Taman Siswa  (1951)  oleh W. le Fèbre, diterjemahkan oleh P. S. Naipospos
Nasionalismus Indonesia dienten pada batang Djawa dan “pengenten” Sarmidi Mangunsarkoro.

7

Nasionalismus Indonesia
dienten pada batang Djawa dan “pengenten”
Sarmidi Mangunsarkoro.

Tiap² pemuka biasanja selalu mengatasi pengikut²nja dan menarik segala perhatian kepadanja, walaupun harus djelas, bahwa untuk berdirinja sesuatu pekerdjaan tenaga² kemudian dapat mempunjai bagian jang sama pentingnja atau bagian jang bahkan menentukan nasib pekerdjaan itu. Apabila saja disini setelah Dewantoro hendak memperkenalkan Mangunsarkoro sebagai orang kedua dari gerakan Taman Siswa, maka saja berbuat demikian adalah berpendapat, bahwa untuk bentuk Taman Siswa jang terachir ia mempunjai djasa² jang sama pentingnja. Sebab itu ada baiknja disini, sebelum kita membitjarakan peranannja dalam perkembangan Taman Siswa, memberikan djuga suatu rentetan singkat dari perdjalanan hidupnja.

Lahir pada tanggal 23 Mei 1904 di Solo, djelaslah Mangunsarkoro, djuga dalam hal umur, termasuk dalam angkatan kedua dikalangan guru² Taman Siswa. Ajahnja adalah seorang pegawai susuhunan Solo, sehingga ia besar dalam suatu suasana tradisi dan konvensi dan prioritet feodal, dengan perbedaan jang besar dalam kemakmuran antara aristokrasi dan orang kebanjakan dari rakjat. Ada ditjeritakan (dalam karangan Mangunsarkoro and the common Man dalam Republican Review bulan Desember '49), bahwa ia sedjak ketjil telah bentji kepada tjontoh² perkosaan jang banjak itu disekelilingnja dan dalam hal ini termasuk djuga pada anggapannja perbedaan deradjat antara pegawai² Belanda dan Indonesia jang sama pangkatnja. Masa mudanja ini meninggalkan kesan²nja selama hidupnja seterusnja.

Orang tuanja mengirimnja bersekolah kesekolah Tehnik di Djokja, dimana ia memperoleh dua idjazah. Tetapi waktu itu ia telah djuga mentjapai kematangan djiwa, telah mendjadi ketua tjabang Djokja perkumpulan Jong Java, dan menempuh djalannja sendiri. Hal ini berarti ia pindah ke Djakarta, dimana ia mengikuti peladjaran mendjadi guru pada kweekschool Ardjuna, kepunjaan perkumpulan Theosofi. Ia djuga waktu itu adalah anggota Young Theosophical Society dan turut dalam perkumpulan debat dibawah pimpinan Prof. Wertheim, dimana dibitjarakan soal² sosial dan soal² filsafat. Dalam politik ia memilik P.N.I. Sukarno, jang berarti untuk dia dengan wataknja lebih dari suatu formalitet. Dalam tahun 1928 ia turut dalam konggres pemuda nasional jang telah tertjatat dalam sedjarah Indonesia itu, dimana diambil resolusi jang penting: satu tanah air, satu bahasa, satu bangsa.

Ia waktu itu telah mendjadi kepala sebuah H.I.S. jang didirikan oleh Budi Utomo di Djakarta. Tahun berikutnja didirikanlah sekolah Taman Siswa jang pertama di Djakarta atas permintaan penduduk Kemajoran dan beberapa bulan setelah pembukaan itu Mangunsarkoro menggabungkan diri bersama-sama sekolahnja dengan sekolah Taman Siswa itu. Ketjuali sebuah sekolah rendah dibuka djuga sebuah sekolah sore untuk pengetahuan umum rakjat.

Windu pertama waktu itu dalam hidup Taman Siswa telah lewat, orang bekerdja

Taman Siswa (page 44 crop)

Sarmidi Mangunsarkoro
... pengenten nasionalismus Indonesia pada batang Djawa ...

dengan tidak banjak ribut dan pada konggres pertama dalam tahun 1930 ternjatalah gerakan itu telah mempunjai 82 tjabang dengan 6319 orang djumlah murid seluruhnja. Dua tahun sadja kemudian djumlah tjabang?nja telah lebih dari dua kali lipat (168), tersebar dari Atjeh sampai ke Ambon dan dari Kalimantan sampai ke Bali, dan djumlah murid hampir (10.639). Perluasan jang tjepat ini tidak boleh tidak ada hubungannja dengan suatu pembaruan batin, walaupun bukan itu sadja.

Akibat krisis tahun 1929, jang membuat Pemerintah terpaksa mendjalankan penghematan dalam berbagai-bagai lapangan (dalam tahun '34 anggaran seluruhnja, jang pernah berdjumlah 1500 djuta, dikurangi sampai 400 djuta) dan mendjadikan dihentikannja perluasan pengadjaran, dan bertambah besarnja pengangguran, djuga dikalangan guru² jang baru tammat dari kweekschool, tampak dimana-mana. Karena permintaan akan pengadjaran tidak berkurang, bertambahlah pula dengan tjepat sekolah² liar pada umumnja. Ordonnansi pengawasan pengadjaran partikulir, jang telah kita sebutkan dahulu, telah mendjadi perlu dalam keadaan ini, ditindjau dari sudut sosial, karena dengan ordonnansi ini mungkinlah diadakan kontrole tertentu, misalnja kontrole atas ruangan sekolah dan atas harapan² jang ditimbulkan nama² sekolah itu pada orang² tua murid. Telah diatur hak² pemakaian nama (jakni H.I.S.) dan hak persamaan, jang dapat diberikan kepada sekolah² partikulir, jang memintanja dari inspeksi departemen pengadjaran dan jang mentjapai pada laporan inspeksi sekurang-kurangnja angka 5 (untuk hak pertama) atau sekurang²nja angka 6 (untuk hak kedua). Sekali dipersamakan (jang djuga untuk orang² tua menguntungkan dalam penetapan uang sekolah, sepandjang mereka masih mempunjai anak² lain disekolah-sekolah gubernemen), tjita² berikutnja adalah subsidi tentu, jang hanja diberikan, apabila sekolah itu menurut pendapat gubernemen benar² dibutuhkan. Subsidi ini biasanja diberikan sekali gus kepada sedjumlah sekolah² jang dengan teliti dibagi-bagi dikalangan berbagai-bagai kejakinan agama, djadi diantara sekolah² protestan, katolik, islam dan netral. Adanja sekolah netral istimewa menundjukkan, bahwa orang² Belanda jang lebih makmur tidaklah bersenang hati dengan Europese Lagere School kepunjaan gubernemen (jang dalam kota² besar masih pakai nomor, kurang lebih menurut kelas² kekajaan orang² tuanja). Djadi supaja djangan terikat dengan salah satu sekolah² zuster atau zending jang banjak itu, maka haruslah didirikan sebuah sekolah netral istimewa, tugas mana memberi lebih banjak penghargaan orang kepada adanja organisasi² batin seperti loge vrijmetselaars. Seperti kita lihat, djuga perkumpulan theosofi aktif dalam lapangan ini, sungguhpun hanja terutama dengan menjelenggarakan beberapa H.I.S. Sebagai perkumpulan idealistis jang bertudjuan untuk memperkenalkan djuga filsafat timur dibarat(dan pada achir abad jang lalu memang dapat dengan tjara demikian menarik kaum elite dalam lapangan batin, tetapi selandjutnja merosot dan lebih dapat menarik setengah-setengah intellektuil), tidak dapat tidak agak menarik bagi orang² Indonesia.

Djadi kalau disimpulkan, kita harus berkata, bahwa sekolah² partikulir meliputi seluruh lapangan, bukan sadja dibawah tingkat sekolah² gubernemen, tetapi djuga diatasnja.

Tetapi sekarang kita kembali kepada Taman Siswa untuk membitjarakan pembaruan batinnja. Pendjelmaannja ialah tugas jang diberikan oleh konggres tahun '31 kepada Mangunsarkoro untuk menjusun suatu rentjana peladjaran baru, jang pada satu pihak lebih bersahadja bentuknja dan pada pihak lain lebih kuat bertudjuan nasional dengan mengambil seboleh-bolehnja bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Belanda hanja sebagai mata peladjaran, dimana mungkin baru mulai dari kelas tiga, rentjana mana diterima baik dalam tahun berikutnja, bersamaan dengan penerimaan oleh konggres 32 ini prinsip pekerdjaan zending. Pemberian pengadjaran jang diperlukan kepada golongan² penduduk, jang tidak dapat ditjapai oleh sekolah² gubernemen, seperti sampai sekarang jang dilakukan, dihargai orang sebagai pekerdjaan menolong, tetapi mulai sekarang haruslah lebih diawasi tudjuan sendiri. Konkordansi (persamaannja dengan negeri Belanda) Mulo Gubernemen telah dihilangkan, djuga disekolah-sekolah ini akan lebih diatamakan unsur² sendiri: mata² peladjaran ethik, sedjarah kebudajaan, bahasa nasional, musik dan tari²an dan seterusnja djuga pengetahuan masjarakat harus lebih diperhatikan. Seboleh-bolehnja bahasa sendiri dipakai sebagai bahasa pengantar pada pengadjaran.

Sekali mengikuti djedjak „zending” maka perdjalanan diteruskan dengan penuh semangat. Djalan telah djelas terbentang didepan mata. Dan ketika tjabang Taman Siswa Djakarta memutuskan pada tahun 1933 untuk mendirikan sebuah Taman Dewasa Raya, sebagai landjutan Taman Dewasa jang dimulai pada tahun 1931, maka Taman Siswa menuntut, supaja didalamnja djuga didjelaskan tjita² zending itu. Dengan sembojan Menudju Masjarakat dan sekolah tinggi nasional didirikanlah Taman Dewasa Raya dengan program, jang boleh dikatakan „literer-ekonomis”. Mengapa literer-ekonomis? Sifat kesusasteraan (sastera Timur) menjatakan tjita² pembangunan kebudajaan sendiri. Program ekonomis itu timbul dari pandangan, bahwa kalau tidak ada pengetahuan ekonomi tidak dapat bangsa Indonesia bertahan dalam perputaran rumah tangga dunia jang besar itu. Demikianlah Taman Dewasa Raya mempunjai tjorak tersendiri pula. Dengan sedar Taman Dewasa Raya bertudjuan mendidik pekerdja² untuk pergaulan-hidup jang akan datang, berdjiwakan tjinta jang besar kepada bangsa dan tanah air. Bukankah itulah djuga tudjuan tjita? „zending”Taman Siswa?

Dan dalam hal jang telah dibentangkan diatas kita lihat dengan djelas perkembangan Taman Siswa dalam lapangan nasional-kulturil. Perkembangan setjara kulturil itu mentjapai titik puntjaknja dalam reorganisasi Taman Siswa selama konggres bulan April tahun 1936. Dengan djelas Ki Hadjar Dewantoro mengatakan waktu itu, bahwa tiap² anggota Taman Siswa harus menganggap dirinja sebagai saudara seperguruan anggota lain. Nasionalismus kulturil dalam Taman Siswa telah mendjadi kepertjajaan luhur, mendjadi aliran djiwa (Mangunsarkoro, Kol. Studien '37 hal. 291—292).

Perkembangan ini barangkali dapat saja sebutkan sebagai suatu aliran Kembali kepada jang nasional dari berdirinja sampai kealiran Madju kepada jang nasional, suatu orientasi kepada masa jang akan datang, seperti djuga disamping Dewantoro, orang jang mempertahankan kebudajaan nasional jang masih ada, dapat dibedakan Mangunsarkoro, sebagai orang jang bertjita-tjitakan pembentukan kebudajaan baru Indonesia. Djadi dalam hal ini Taman Siswa dengan sedar menerima dan mengikuti penggantian bahasa Melaju mendjadi „bahasa Indonesia”, sebagai bahasa persatuan nasional dinjatakan oleh konggres pemuda, Itulah jang dirumuskan oleh Prof. C. C. Berg seperti berikut: „Sudah sedjak antara tahun tiga puluh dan empat puluh pemimpin sekolah² Taman Siswa, jang memulai perdjalanan hidupnja jang aneh itu dengan aksi untuk melindungi kebudajaan Djawa, telah meninggalkan tjita²nja dan menerima prioritet kepentingan Bahasa Indonesia” (lihat Orientatie no. 14, hal. 17). Tetapi utjapan ini menurut pendapat saja agak terlalu dilebih-lebihkan. Penerimaan prioritet tersebut untuk Dewantoro sebenarnja tidaklah berarti sama sekali, bahwa telah ditinggalkan penjelenggaraan kebudajaan dan bahasa Djawa. Bukanlah djuga begitu pilihan jang akan dibuat. Jang penting ialah bahasa manakah jang akan mendjadi bahasa pergaulan umum untuk semua orang² Indonesia dan dalam tahun duapuluh-tigapuluh adalah seakan-akan bahasa Belanda jang paling banjak harapannja untuk itu. Tetapi orang² Belandajang konservatif setudju dengan politik seboleh-bolehnja membatasi pemakaian bahasa Belanda untuk orang² Indonesia terpeladjar jang makin banjak itu (karena hak² jang dibawa oleh bahasa Belanda itu), sedang pada pihak lain gerakan politik nasional jang makin madju itu berpendapat, bahwa bahasa Melajulah jang lebih baik dipakai untuk kontak dengan pendudukan. Kedua faktor itulah jang membuat kemenangan bahasa Melaju seperti didjelaskan oleh sasterawan Indonesia Takdir Alisjahbana, jang mempunjai djasa jang paling besar dalam perkembangan bahasa ini, dalam karangan Bahasa Indonesia, hasil sampingan nasionalismus Indonesia (Pacific Affairs, Des. '49). Melihat alternatif itu, maka tidak sulit untuk mengerti, bahwa Dewantoro dapat menjetudjui perkembangan ini. Bahkan achirnja bahasa Melaju jang berasal dari pulau Sumatera itu adalah bahasa timur (jang tjiri²nja misalnja memperlihatkan ketjenderungan kepada bentuk² kata kerdja jang tak berwudjud dan jang passif), jang telah dikenal orang dari dahulu di-pulau² Nusantara, sehingga kurang membawa bahaja untuk bertambah djauh dari tjorak sendiri daripada suatu bahasa barat dan ditindjau dari sudut politik, bahkan membawa keuntungan jang besar.

Walaupun begitu, dilihat dari hubungan sedjarah memang ada terdjadi disini suatu perputaran prinsipiel dalam proses akkulturasi di Indonesia, jang terutama akan ternjata dalam waktu j.a.d. Memindjam atau mengoper pengetahuan kebudajaan asing dalam bahasa negeri sendiri, djadi suatu bentuk nasionalisasi dan dengan demikian salah satu keinginan dari gerakan Taman Siswa, telah dimulai dan proses memindjam dan memiliki ini, supaja bahasa pada umumnja dapat terpakai, setjara kilat dipertjepat oleh perdjalanan kedjadian² jang dibawa pendudukan Djepang, diantaranja bahasa Belanda dihapuskan dan sambil menunggu kemungkinan dimasukkan bahasa Djepang, diwadjibkanlah bahasa Indonesia untuk pemakaian umum dan karena proklamasi Republik Indonesia dan diterimanja bahasa Indonesia dengan resmi sebagai bahasa negeri, dimaksud selandjutnja untuk didjalankan seluruhnja.

Tetapi tentu sekali nasionalisasi „jang asing” ini mempunjai djuga tjorak adaptasi „jang asing”. Bahkan inilah misalnja tudjuan jang dengan sedar ditjita²kan Alisjahbana. Sebagai orang Sumatera ia tidak dialangi oleh suatu kebudajaan jang telah sampai kepuntjaknja seperti kebudajaan Djawa dan ia lebih mudah dimasuki pandangan akan kekurangan? dan tjorak terbelakang masjarakat sendiri terhadap bentuk² masjarakat barat. Dalam gerakan kesusasteraan, jang mulai mendjelmakan dirinja dalam madjalah Pudjangga Baru sedjak tahun 1932 dan jang salah satu pemimpinnja adalah Alisjahbana sendiri, ia mempropagandakan djuga suatu orientasi ke barat untuk menggerakkan feodalitet sendiri jang telah mati itu, Karangan²nja dan karanga² teman sependirian dengan dia bernapaskan elan dan suka tjita hidup, jang memang mempunjai segala tjiri² suatu renaissance.

Dalam karangannja Menudju masjarakat baru dan kebudajaan baru (Pudjangga Baru '35) ia mengambil dasar perpetjahan jang tadjam dan hampir mutlak antara Indonesia dan prae-Indonesia sebagai kenjataan dan sebagai tjita². Kebudajaan Indonesia jang sedang tumbuh itu adalah radikal berlainan dari kebudajaan jang dahulu atau dari kebudajaan² Nusantara jang dahulu. Radikal berlainan bukanlah sedemikian dalam hal, bahwa tidak ada sama sekali tinggal dari bekas² kebudajaan² tua dalam Indonesia abad keduapuluh, tetapi radikal berlainan, karena semangat Indonesia jang memberi djiwa kepada kebudajaan jang penghabisan, adalah sesuatu jang baru sama sekali. Jang menetapkan kebudajaan bukanlah sebenarnja sedjumlah unsur² kebudajaan jang lepas, tiap² kebudajaan dikuasai dan diberi bertjorak oleh suatu tjita², oleh suatu motif pendorong, dan itulah disini suatu djiwa, suatu tjita² jang fundamentil dapat dibedakan dari motif² pokok beberapa kebudajaan jang dahulu dinegeri ini. Dan hal itu adalah berkat dorongan² Barat, jang telah memberikan kepada Indonesia dynamik jang tak akan dapat ditinggalkannja lagi. Sebab itu djuga bukan restaurasi, serahkanlah itu kepada ahli² kamar beladjar jang botak dan jang sabur mata.

Tetapi djuga bukan imitasi –– itu baik untuk kaum lemah. Bukanlah untuk mereka jang mempunjai debaran hati muda lagi keras dalam dada. Kemauan Indonesia untuk bersatu bukanlah berakar dalam zaman jang akan datang. Dan apa jang diperlukan Indonesia akan bahan² pembangunan, bukanlah terdapat pertama-tama dalam zaman silam sendiri, tetapi di Barat, bagaimanapun anehnja terdengar bagi orang² idealist. Sebab dengan tidak ada dynamik Barat (jang bahkan memberi nama kepada Indonesia), sungguhlah tidak akan mungkin untuk turut kembali dengan bangsa² lain didunia ini. Kita selalu dapat melihat, apa jang masih dapat dipakai dan dapat diolah dari kebudajaan² prae-Indonesia. Tetapi itupun djuga pada hakekatnja akan mendjadi lain karena ditjiptakan kembali oleh suatu djiwa baru. (demikianlah kesimpulan karangan ini diberikan Dr. A. Teeuw dalam timbangannja mengenai bundel Polemik Kebudajaan dalam Nieuwsgier, Nop. '49).

Pertentangan jang lebih besar dengan tjita² Dewantoro, jang sebagai reaksi atas prae-Indonesia Alisjahbana menjebutkan tjita² Alisjahbana itu sebagai Indonesia-Futura, bukan futurisme terhadap Indonesia-Realia sendiri, tidaklah dapat dipikirkan. Dewantoro dalam hubungan ini menjusun teorinja jang disebut teori-tri-con. Disini ia mulai dengan kebudajaannja jang historis berakar itu, kebudajaan jang ia jakin akan nilai batinnja dan pertjaja akan kekuatan tumbuhnja dan sebab itu ia setudju dengan perkembangan continue dari kebudajaan ini dalam perhubungan² baru. Walaupun ia menganggap pengetahuan kebudajaan asing adalah sjarat untuk memperkaja dan memperluas kebudajaan sendiri, ia beranggapan djuga, bahwa adalah perlu untuk menguasai kontak ini setjara teratur (planmatig) untuk menunggu saat psychologis dan saat jang sewadjarnja, karena kontak jang datang dengan sendirinja biasanja hanja nampaknja sadja dapat memenuhi sjarat² untuk perkembangan jang bulat. Walaupun begitu, perhubungan antara berbagai-bagai kebudajaan² itu dianggapnja djuga tidaklah bermusuhan, tetapi ia pertjaja, bahwa berkembangnja adalah konvergent, sedang suasana nasional dan suasana internasional berbanding konsentris dengan individu.

Polemik Kebudajaan jang dikutip diatas ini dan jang dimulai oleh Alisjahbana, dimana Dewantoro selainnja hanja mentjampurinja dengan suatu pendjelasan singkat jang maksudnja baik setjara pedagogis, terdjadi, ketika Alisjahbana jang djuga memulai perdjalanan hidupnja dengan pendidikan mendjadi guru dan jang memakai barangkali penanja jang tadjam itu lebih lagi untuk kepentingan pendidikan dan pembangunan Indonesia baru dari pada untuk kepentingan kesusasteraan, memberikan kritik jang tadjam atas prae-adpis², a.l. oleh Dewantoro, jang dikemukakan dalam konggres pengadjaran nasional jang pertama di Solo pada tahun 1935. Djiwa prae-adpis² itu disimpulkannja sebagai djiwa jang „anti-intellektualismus, anti-individualismus, anti-egoismus dan anti-imperialismus”, tetapi menurut pendapatnja adalah masih djauh, bahwa pengertian² jang tertjapai ini dapat mendjadi antjaman bagi kebudajaan baru Indonesia jang masih harus dibentuk itu, tetapi sebaliknja dapat berguna sebagai lontjatan untuk membebaskan diri dari keadaan² lama jang masih terkebelakang itu. Sebab itu ia tidak berkeberatan untuk mempropagandakannja dengan sedar, meskipun ia sendiri mendjadi anggota partai sosialis, jang djelas membuktikan tjorak politik-kultur kata²nja. Bahaja „kebantunan” jang ditakuti oleh pemberi² prae-adpis itu, tetapi jang menurut pendapatnja semuanja mendjadi pemimpin karena pendidikan barat mereka, diterimanja dengan sadar sebagai kemungkinan² jang satu²nja bagi Indonesia untuk dapat turut dengan bangsa² lain didunia. Perpetjahan dalam perkembangan ini dilihatnja pada galibnja sebagai peralihan masjarakat feodal kemasjarakat modern, jang djuga di Barat sendiri dialami sebagai suatu perputaran kebudajaan, tetapi jang di Timur, karena perdjalanan kedjadian², harus ditempuh sekarang dalam beberapa tahun sadja (bandingkan dengan pendapat jang sama dari teman separtainja, Sjahrir, dalam karangannja jang ditulisnja dengan nama samaran Sjahrazad Indonesische Overpeinzingen). Djadi ia tidak pertjaja kepada daja tumbuhnja kebudajaan sendiri, tetapi dalam daja liatnja tiap² individu orang Indonesia. Terhadap perkembangan konvergen itu ia mengemukakan perkembangan analoog (sama bentuknja) dan gambaran dunia jang konsentris digantinja dengan pandangan „one world”.

Persamaan jang dapat kita lihat antara kedua opponen itu adalah terletak dalam optimismus keduanja, bagaimanapun djuga berlainan dasar² mereka. Optimismus Dewantoro tampak dari kejakinannja, bahwa sesuatu kebudajaan memang, seperti hidup ekonomi sesuatu bangsa, dapat dialang-alangi dalam pertumbuhannja, tetapi tidak dapat dipatahkan, sehingga dalam keadaan² baru, keadaan jang baik untuk perkembangan bebas, pertumbuhan jang dihentikan sebentar itu dapat diteruskan, sesuai dengan perkembangan dunia jang konvergen. Walaupun begitu, hidup kembali ini mungkin barangkali disebutkan sesuatu jang mudjizat, sebab berkali-kali sebenarnja terdjadi jang ebaliknja dan terutama kebudajaan² primitif, jang bersikeras dalam sifat tertutupnja sendiri, tidak dapat mengatasi clash of cultures, dimana terutama anggota² penduduk jang tua bertopang dagu dalam apathi dan kadang² mendjadikan sesuatu bangsa musnah. Kedjadian² demikian dapat djuga dilihat di Indonesia, seperti jang tampak dalam njanjian-tangis orang² Nias, (di-terbitkan oleh Dr. W. L. Steinhart dalam Verhandelingen Bataviaas Genootschap No. 73), jang permulaannja berbunji: Kami habis terbakar sebagai dedak diatas api jang bernjala-njala, kami musnah sebagai kaju manawa diantara lidah api, dan bagian lain jang tepat benar: manusia tidak saling kenal-mengenal lagi, dunia telah terlalu tua untuk dipakai sebagai tempat menari.

Optimismus Alisjahbana sebaliknja tersembunji dalam tidak adanja segala kebimbangan, apakah benda² kebudajaan asing itu, jang telah dikuasai dengan berhasil oleh beberapa orang kaum intellektuil jang telah lepas dari rakjat, dapat diikuti oleh rakjat jang karena paksaan ekonomi telah kehilangan fundamen²nja jang lama.

Sementara itu dalam tahun² '30 dan '40 ini angin politik lebih mengembus kearah tjita² nasional murni, seperti jang diwakili oleh Dewantoro, dari pada kearah jang lebih revolusioner-sosial, jang dalam bentuknja jang takbertjampur telah mengalami kekalahan dengan terpadamnja pemberontakan² tahun 1926 dan kemudian sekali lagi dalam penggabungannja dengan jang nasionalistis (dengan memuat azas non-koperasi Gandhi) dengan penghukuman, setelah dalam tahun 1929 arrestasi Sukarno jang pidato pembelaannja adalah suatu pengaduan berdasarkan analysis perhubungan kolonial setjara historis-materialistis. Alisjahbana, pengikut arah sosialistis, hanjalah terutama berhasil sebagai pembina bahasa, djadi dengan suatu jang disebutkannja „hasil sampingan”. Ini sebenarnja adalah dalam garis pertumbuhan jang dialami oleh gerakan nasional dalam tahun² ini: pertumbuhan nasionalismus daerah sampai mendjadi nasionalismus kesatuan Indonesia jang lebih sedar politik, dengan pendahuluan samar² untuk hendak membentuk djuga suatu kesatuan kebudajaan.

Pendirian Taman Siswa dalam hal ini praktis telah ditentukan selama perluasan gerakannja sedjak tahun 1930. Pada waktu itu ada seorang dari pembantu²nja jang karib datang tiba² memasuki kamar Dewantoro serta protes marah²: „Apa itu Taman Siswa jang di Makasar, bahkan tari² Serimpinja tidak ada?” Dengan tenang Dewantoro mendjawab: „Mengapa mereka mempunjai djuga tarian² serimpi? Itu tidak termasuk sama sekali dalam zaman silam kebudajaan. Djadi mereka tidak perlu mempunjainja.”

Heran kita sekarang mendengarkan utjapan ini, bukan sadja seperti pembantunja itu waktu itu, tetapi lebih² djuga kita sekarang ini, karena tidaklah pasti sama sekali, apakah utjapan itu sekarang masih berbunji demikian dengan tidak ada perobahannja. Tetapi hal itu djelas menundjukkan, bahwa pendiriannja adalah bebas dari imperialismus kebudajaan Djawa jang bagaimanapun. Tetapi djuga, bahwa soal pembentukan kebudajaan nasional Indonesia pada waktu itu belum lagi sedemikian pentingnja sebagai sekarang dan perkembangannja setjara berangsur-angsur dapat ditunggu. Lagipula sekolah² Taman Siswa didirikan ditempat-tempat, dimana penduduknja sendiri memintanja.

Walaupun begitu, sudah dalam tahun 1938 djuga di Solo diadakan konggres sekolah² partikelir untuk memikirkan persatuan pendidikan nasional (Konggres Persatuan Pendidikan), sedang soal itu djuga telah dibitjarakan dalam pertukaran pikiran jang dimulai Alisjahbana dengan begitu banjak elan, dan salah satu dari opponennja, penjair Sanusi Pane, menggambarkan tjita²nja kebudajaan Indonesia jang akan datang adalah kebudajaan jang akan didukung oleh syntese Faust dan Ardjuna danjang paling berharga dari seluruh kebudajaan² Indonesia harus mendjadi dasarnja.