Taman Siswa  (1951)  oleh W. le Fèbre, diterjemahkan oleh P. S. Naipospos
Angin topan dan hasilnja: pembentukan negara Indonesia.

8

Angin topan dan hasilnja:
pembentukan negara Indonesia.

Djatuhnja negeri Belanda dalam bulan Mei '40 menimbulkan dari pihak Indonesia banjak pernjataan² turut merasa dan pernjataan² bersedia untuk membantu memperdjuangkan pembebasan Belanda. Tetapi reaksi kedua atas keadaan ini adalah keinginan jang makin besar, supaja kepada Indonesia diberikan sekarang tingkat pemerintahan sendiri jang sesuai dengan keadaan. Pemerintah di London masih belum bersedia untuk sementara memenuhi keinginan ini. Sudah sedjak itu terdjadi perpetjahan moril jang mendjadi benih proklamasi '45.

Tetapi bangsa Indonesia masih menderita tekanan kolonial dahulu dari pendudukan Djepang jang makin kuat dan memakai tjara² modern, dimana pemimpin² bangsa Indonesia lama kelamaan dengan tidak dikehendaki mereka sendiri mendapat kesempatan untuk memperdjuangkan kemerdekaan mereka. Untuk memulainja orang² Djepang jang masuk menjerbu itu mengakui sebagai empat pemimpin rakjat dipulau Djawa: Sukarno, Hatta, Dewantoro dan Kjai Hadji Mas Mansur dan kepada mereka diberikan pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakjat). Tetapi baru setengah tahun kemudian (Des. '42 sampai Djuni '43) kantor ini diganti dengan Djawa-Hokokai dibawah pimpinan Djepang seluruhnja. Kjai Mansur, jang harus mendjalankan putusan² jang bertentangan dengan djiwa Islam, mendapat penjakit djiwa dan meninggal. Dewantoro telah segera menolak segala tindakan² didepan umum, barangkali untuk menunggu, bersama-sama dengan rakjat Indonesia, pada waktu hidupnja kembali pendjadjahan mutlak ini, tumbuhnja buah djagung, karena menurut ramalan lama dan jang malahan dikatakan berasal dari radja Hindu-Djawa Djojobojo (abad ke 12), pendjadjahan oleh suatu bangsa kate dari Utara tidak akan lama.

Politik Djepang bukanlah djuga ditudjukan untuk menggiatkan pengadjaran. Oleh penghapusan bahasa Belanda (dan segala guru² Belanda) dan pengandaian setjara teoretis lamanja pengadjaran rendah enam tahun, perbedaan antara H.I.S. dan sekolah desa mendjadi hilang. Djumlah sekolah² menengah dibatasi benar dan menjelenggarakan sekolah² partikulir dilarang. Lebih sesuai dengan maksud² Djepang dikemudian hari untuk bangsa Indonesia dianggap sekolah² kedjuruan untuk pertanian atau pertukangan. Disekolah-sekolah biasa banjak waktu disediakan untuk gerak badan dan pendidikan semangat. Djuga bahasa Djepang harus diadjarkan.

Keadaan ini mempunjai akibat² jang berbahaja sekali untuk pengadjaran Taman Siswa. Memang ditjoba untuk tidak mengikuti seboleh-bolehnja rentjana peladjaran resmi dan pengadjaran landjutan dipertahankan sembunji² dengan memakai segala alat dan djalan untuk mengelakkan pengawasan Djepang. Hanja sajang, bahwa tidak pada semua tempat ada tjukup bahan² dan guru² untuk menampung larangan sekolah² menengah dengan mendirikan Taman Tani sebagian besar untuk kamouflage, supaja sedapat mungkin pengadjaran diteruskan dengan patjol² digudang untuk dapat dipakai pada waktunja. Tetapi malahan ada tempat², dimana Taman Siswa terpaksa ditutup sama sekali, djadi djuga pengadjaran rendah, karena dengan uang sekolah jang masuk tidak lagi mungkin mengongkosi diri sendiri. Disamping ini harus dipikirkan, bahwa daja penarik pengadjaran dengan tjorak H.I.S. telah hilang dan bahwa murid² jang hanja karena itu dikirimkan ke Taman Siswa, mulai waktu itu, sama baik atau buruk tetapi djauh lebih murah, dapat masuk kesekolah-sekolah negeri. Tetapi dikota seperti Djakarta ada terdapat, bahwa kaum terpeladjar jang lebih makmur menundjukkan untuk pertama kali perhatiannja kepada pengadjaran Taman Siswa dan mengirimkan anaknja bersekolah kesana dengan kesedaran, bahwa djiwa pendidikan masih tetap baik disana. Kesemuanja itu pada achir pendudukan Djepang gerakan Taman Siswa masih hanja mempunjai 36 tjabang, dipulau Djawa dan Sumatera.

Tetapi ketika orang² Djepang melihat, bahwa kekalahan mereka sudah dekat, mereka memutuskan untuk menggiatkan nasionalismus Indonesia untuk dapat meninggalkannja sebagai bom-waktu. Untuk itu mereka mendirikan Panitya Penjelidik Kemerdekaan. Sebagai pemimpin panitya Sukarno menghendaki disokong oleh orang² lain, supaja disusun suatu rentjana lengkap U.U.D., jang disetudjui oleh orang² Djepang, (dahulu ditolak mereka mensahkannja), setelah dirundingkan, dengan Tokio — begitulah kata mereka. Pada perampasan-'setjara teoretis ini kekuasaan negara bukan sadja dirantjang U.U.D., tetapi djuga rentjana pekerdjaan dalam lapangan ekonomi, keuangan, pertanian, pengadjaran, walaupun hanja dalam arti orientasi pertama tentu. Ketua panitya penjusun rentjana untuk pengadjaran dan pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantoro, dan ia djuga jang menduduki kursi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dalam kabinet presidentiel, sampai dalam bulan Nopember '45 dapat dibentuk kabinet pertama dibawah pimpinan Sjahrir.

Tidaklah menimbulkan keheranan, bahwa djuga promotor Taman Siswa jang lain, Mangunsarkoro, aktif sekali dalam waktu ini. Pada tahun '41 Mangunsarkoro masih inspektur segala sekolah² gerakan Taman Siswa di Djawa Barat dan direktursekolah² menengahnja, dan selama zaman Djepang, djuga sibuk dengan soal? pendidikan sebagai anggota badan penerbitan buku² untuk sekolah² menengah dan pada tahun '44 sebagai kepala Bagian Pendidikan untuk Orang² Dewasa, sehingga ia masih dapat djuga waktu itu membantu pemberantasan butahuruf. Dalam waktu revolusi ia terkenal sebagai penentang tiap² politik „memberi dan menerima”. Ia menolak pembitjaraan² dengan Komisi Djenderal dan penandatanganan persetudjuan Linggardjati, seperti djuga ia mengadakan opposisi dalam badan pekerdja K.N.I.P. terhadap persetudjuan Renville. Selama pendudukan Belanda di Djokja,ia tinggal beberapa bulan dalam pendjara, setelah ditangkap ketika mengadakan perhubungan dengan kaum gerilla digunung. Sebagai wakil P.N.I. baru, jang turut didirikannja djuga, (hanja nama sadja jang sama dengan partai sebelum perang), ia mendjadi Menteri P. P. dan K. jang ketudjuh dalam kabinet Hatta (Agustus '49). Undang² pengadjaran jang telah disahkan dibawah pimpinannja masih berlaku diseluruh Indonesia, sedjak pembentukan negara kesatuan (Ag. '50) sampai sekarang.

Djadi memanglah tidak mengherankan, bahwa tidak tiap² guru Taman Siswa dengan segera melihat, bahwa dengan tertjapainja kemerdekaan oleh bangsa Indonesia datanglah djuga masa baru untuk sekolah nasional mereka. Tetapi perkembangan Taman Siswa memperlihatkan dengan berangsur-angsur tjorak tertentu, setelah harapan² jang taktentu dari tahun² pertama sehabis perang, dan hal ini terdjadi, walaupun perhubungan dengan pengadjaran pemerintah belum lagi mentjapai keseimbangan. Dalam rentjana peladjaran, djadi isi materiel pengadjaran, adalah hampir tidak ada bedanja lagi dengan jang resmi. Sebabnja ialah bahwa sekarang mungkin djuga bagi murid² Taman Siswa untuk mengikuti udjian² resmi sekolah² menengah. Walaupun begitu, masih ada berbagai-bagai kesulitan, misalnja tentang bagian guru² Taman Siswa dalam komisi² udjian, jang djuga membuat mereka mungkin memperhatikan kepentingan murid² mereka. Salah satu handicap murid² ini ialah kekurangan alat² peladjaran, jang masih lebih besar disekolah-sekolah partikelir dari disekolah-sekolah negeri. Kekurangan guru² berwewenang, (sehingga dahulu sulit bagi Taman Siswa untuk mentjapai tingkat AMS), tidaklah berapa penting sekarang, karena sekolah² negeripun menghadapi kesulitan ini. Bahkan keadaan adalah sedemikian, bahwa sebagian besar dari guru² Taman Madya memberi djuga peladjaran pada S. M. A. Djuga karena subsidi jang diperoleh, Taman Siswa dapat menggadji guru²nja lebih baik. Keberatan² prinsipiel terhadap subsidi ini sekarang tidak lagi teratasi, hanja harus ditjari suatu bentuk jang praktis dapat diterima, sebab pekerdja² Taman Siswa masih djuga belum menerima gadji dalam arti jang sebenarnja. Bentuk ini diperoleh dengan memberikan subsidi kepada sekolah itu sebagai keseluruhan.

Tetapi peristiwa jang djauh paling penting dalam perkembangan sekolah² Taman Siswa setelah perang adalah pergeseran perbandingan djumlah sekolah² rendah dengan djumlah sekolah² menengah. Djika jang penghabisan ini adalah jang paling sedikit dahulu, sekarang telah hampir melebihi djumlah jang rendah. Hal ini disebabkan keadaan, bahwa pengadjaran rendah makin intensif diselenggarakan pemerintah, sedang sekolah² menengahnja tidak dapat mengimbangi perluasan ini dalam waktu jang sama. Djadi permintaan akan pengadjaran menengah teratur tumbuhnja, sedang persentase permintaan ini jang dapat ditampung oleh sekolah² pemerintah untuk sementara makin ketjil. Pemilihan murid² jang akan diterima adalah berdasarkan ketjakapan, tetapi sekolah² partikelirpun mengeluh, bahwa pendidikan pendahuluan murid² dipertimbangkan djuga. Tjalon² jang kurang dihargai terpaksa masuk sekolah² partikelir dan itulah sebabnja, mengapa lebih rendah persentase lulusan murid²nja. Seperti kita ketahui, pemerintah telah menjusun suatu rentjana sepuluh tahun untuk mendjalankan kewadjiban beladjar. Djadi barulah setelah taraf ini, sekolah² menengah dapat mentjukupi kekurangan djumlahnja. Djadi sekolah² partikelir masih lama lagi memberikan pengadjaran dalam sjarat hidupnja jang abnormal itu.

Djadi mungkin baru setelah limabelas tahun lagi dapat ditentukan, bagaimana sjarat² hidup sekolah² partikelir di Indonesia, jakni memberikan pengadjaran ideologis atau pengadjaran jang metodiknja lain. Dalam satu sektor pemerintah telah membuka sendiri sekolah sematjam ini, jakni dalam hal sekolah² Islam orthodox. Dengan ini djelaslah, bahwa pembukaan kembali sekolah² Taman Siswa dalam tahun² pertama sehabis perang didaerah-daerah Islam, dimana sekolah² dahulu kuat mempunjai tjorak Islam, kuranglah tjepatnja terdjadi. Tetapi inipun tentulah tidak dapat dianggap sebagai sifat hakiki dari pengadjaran Taman Siswa dan adalah pasti, bahwa sekarangpun masih banjak orang² tua, jang mau membajar uang sekolah jang lebih tinggi disekolah partikelir, karena mereka lebih suka setjara ideologis kepada djenis pengadjaran partikelir ini.

Untuk dapat mendjawab pertanjaan, apakah perbedaan pengadjaran ideologis dengan pengadjaran pemerintah, maka kita harus membaginja dalam dua bagian menurut bentuk dan menurut isi. Bentuk ialah mengenai metodos pengadjaran atau pengadjaran sadja, isi ialah dasar² batin pengadjaran ini.

Dasar² batin pengadjaran pemerintah disimpulkan dalam Pantja Sila, sematjam pernjataan azas negara Indonesia baru dalam mukaddimah U.U.D.-Sementara. Didalamnja disatukan kembali kedua komponen gerakan nasional dari sedjarah dengan mengambil, disamping nasionalismus, kedaulatan sosial dan demokrasi djuga. Selandjutnja dalam kelima azas ini ditempatkan disamping masing² ketuhanan (kepertjajaan kepada Tuhan) dan kemanusiaan, djadi kepertjajaan kepada manusia.

Adalah menarik perhatian, bagaimana sikap aliran² gerakan nasional, jang telah memperlihatkan perbedaan dahulu itu, terhadap pernjataan azas ini. Keterangan jang diberikan Alisjahbana pada waktu belakangan (dalam konggres Perkumpulan Pedagogik Indonesia di Bandung, Des. ’50), dimana ia begitu sadja menjebutkan azas² ini bertentangan satu sama lain, adalah mendjelaskan bagi kita. Sebagai tjontoh diambilnja demokrasi dan ketuhanan: jang satu membolehkan dan jang lain melarang aktivitet perkumpulan jang mungkin atheistis. Seterusnja ia berkata: „Sebenarnja tidak ada partai manapun di Indonesia, jang jakin akan Pantja Sila. Tiap² partai dari jang banjak itu berusaha untuk mendjalankan azas² dan tudjuan²nja sendiri dalam praktik. Ada partai² jang bertudjuan mendirikan negara Islam, djuga ada jang menghendaki masjarakat sosialis, atau nasionalis atau kommunis.”

Dewantoro menerangkan dalam suatu karangan (dalam Mimbar Indonesia bulan Maret ’50), bahwa tiap² orang bebas mengartikan azas² ini dengan tjaranja sendiri. Demikianlah penjusunnja, jang tak dapat tidak adalah seorang jang taat beragama (Sukarno), memang menjebutkan ketuhanan lebih dahulu, tetapi Dewantoro menghendaki, supaja hal ini terutama diartikan dalam prakteknja, djadi sebagai tjinta kepada sesama manusia, dan sebab itu untuk dia kemanusiaanlah azas jang pertama (pendirian Taman Siswa terhadap peraturan pemerintah mengenai pengadjaran agama telah kita kutip didepan ini). Djadi Pantja Sila, bukan sadja memuaskan kejakinan agama Islam, c.q. Kristen, dari bangsa Indonesia, tetapi djuga memuaskan kejakinan djiwa Djawa jang lebih spesifik itu. Ada baiknja kita tambahkan disini, bahwa kejakinan pertama selalu lebih kuat menarik rakjat dari kejakinan kedua jang lebih aristokratis, seperti jang tampak misalnja pada perkembangan Sarekat Islam dalam tahun² ’20—’30 terhadap pengikut² tjita² luhur Budi Utomo jang djumlah anggota²nja selalu tinggal terbatas.

Djuga pandangan Mangunsarkoro ada baiknja diperhatikan dalam hal ini. Pendapatnja sama dengan pendapat Dewantoro, dan barangkali hanja terutama berbeda dalam tjoraknja sebagai kurang individualistis, seperti Mangunsarkoro selalu kuat mengutamakan tjorak sosialis bentuk organisasi Taman Siswa dan sebagai sambungan tradisi desa Djawa jang kollektivistis. Ia mendjelaskannja a.l. dalam karangan tahun '47 jang telah kita kutip didepan ini The sociological and cultural Fundamentals for the educational System in Indonesia, dimana ia mengusulkan, dalam mentjari dasar pendidikan dan pengadjaran di Indonesia, untuk memasukkan pengertian baru, jang untuk sementara disebutkannja agama-kerti, sampai ada istilah jang lebih tepat. Dengan ini dimaksudkannja „religion of ethics”, djadi azas² kemanusiaan jang disetudjui segala agama, tetapi terlepas dari dogma kepertjajaan dan sekte, dan mengenai hidup sehari-hari orang biasa. Dengan tjara demikian ia hendak mempergunakan tabiat beragama, jang menurut dia ada pada orang Indonesia, untuk masjarakat dengan memakainja didalamnja sebagai tenaga pendorong. Ketjuali bahwa inilah sebenarnja (meskipun sajang dalam dunia kita agak tak njata nampaknja) satu²nja titik permulaan jang mungkin praktis benar dipakai dalam masjarakat jang dipetjah-petjah dalam berbagai-bagai kejakinan agama, lagipula hal ini kentara benar bagi Mangunsarkoro, jang merasa dirinja sebagai seorang jang terdorong oleh perasaan sosialnja, djadi sebagai seorang jang suka berbuat dengan kebutuhan untuk pertanggungdjawaban religi (perkataan religieus-sosialistis teringat kepada saja). Bahwa ia, seperti semua organisator² besar, djuga seorang pemikir jang terang dan seorang systematikus, telah dibuktikannja dalam berbagai-bagai karangan (a.l. lagi Penuntut Guru Nasional 1935 dan Sosiologi 1947) dan dalam karangan² dimadjallahnja sendiri Kebudajaan dan Masjarakat. Adalah kentara untuk dia, bahwa ia sebagai salah satu orang Indonesia jang tidak banjak djumlahnja itu, (bahkan Takdir membatasi diri dalam hanja melihat pertentangan Rusia-Amerika dalam kebudajaan dunia sekarang), jang melihat kepentingan perbedaan antara kebudajaan Eropah dan Amerika, dimana ia menjangsikan, apakah jang penghabisan ini pada tempatnja mendapat kwalifikasi kebudajaan (memang sekarang, djuga menurut Sartre misalnja, Eropah harus berdjuang mati²an setjara kulturil terhadap Amerika jang berkuasa besar itu dalam lapangan ekonomi).

Lebih banjak mempunjai pengaruh dari berbagai-bagai interpretasi tentang Pantja Sila adalah dalam tingkat pembangunan sekarang ini pendapat² jang berbagai-bagai itu tentang garis²-petundjuk jang harus diikuti dalam pembentukan kebudajaan Indonesia baru. Keterangan untuk ini tidak akan djauh ditjari, sebab menurut tjoraknja Pantja Sila sebagai dasar adalah lebih baik ditaruh diluar pembitjaraan, sedang terutama disini dengan segera kita menjinggung segala soal² pandangan-dunia. Kurang memberi perangsang ialah perbedaan² pendapat dalam kebudajaan.

Dengan segera, setelah pernjataan negara nasional, keinginan untuk mempunjai kebudajaan nasional membawa orang² terkemuka dalam lapangan kebudajaan berunding. Pada tahun '46 diadakanlah di Sukabumi konggres partikelir dan pada tahun '48 konggres jang lebih bertjorak resmi di Magelang. Diantara keduanja ialah turutnja Indonesia dalam Inter-Asian Relations Conference di New Delhi, dimana tjita² berdiri sendiri dalam kebudajaan ternjata pada umumnja hidup di daerah² djadjahan dahulu, bahkan ada dimadjukan usul untuk mendirikan Institute for Asian Culture. Lembaga sedemikian untuk kebudajaan Indonesia ada didirikan sebagai akibat konggres Malang.

Konggres ini masih dilakukan ditengah-tengah perdjuangan kemerdekaan. „Sedjak resepsi sehingga sampai achir Konggres terasa benar kebesaran pengaruh revolusi rakjat Indonesia didalam konggres ini. Api pikiran, api djiwa baru terus bernjala-njala meliputi suasana Konggres. Getaran pemandangan hidup dari angkatan tua dan angkatan muda jang merdeka-bebas, berdjumpa dan meletus mendjelma mendjadi satu getaran baru jang tampak terlukis didalam kesimpulan dari prae-adpis² jang dikemukakan.

Debar djantung para Kongressis laksana tertegun, kening berkerut ketika Bung Karno mengatakan kebudajaan Mataram, kebudajaan Sriwidjaja, kebudajaan Madjapahit, bukan kebudajaan Nasional,” (demikianlah menurut Gusti Majur dalam Mimbar Indonesia, 11 September 1948).

Beginilah bunjinja ajat 4 resolusi umum: Bahwasanja perlu dalam pokoknja diperbarui djiwa manusia Indonesia guna mentjiptakan manusia, masjarakat dan kebudajaan baru, dengan mewudjudkan dan memperkembangkan nilai² kebudajaan (cultuurwaarden) jang telah dapat kita „sublimeer” (resapkan) dalam Pantja Sila Negara kita.

Resolusi tentang kebudajaan dan pendidikan, diterima setelah prae-adpis Ki Hadjar Dewantoro, mendjelaskan lebih landjut tentang itu:

2. Kebudajaan Indonesia terdjadi dari nilai² kebudajaan sebagai panijaran djiwa bangsa Indonesia jang hidup dan tumbuh antara segenap golongan diseluruh kepulauan Indonesia. 3. Dalam masa peralihan ini adalah kewadjiban pendidikan jang ditudjukan kepada masjarakat baru untuk menghilangkan segala bekas² dan sisa² kebudajaan kolonial dan feodal, agar supaja benih kebudajaan baru jang telah mulai tumbuh bisa berkembang dengan suburnja. 4. Pendidikan dengan langsung kita tudjukan kepada kebudajaan dan masjarakat baru dan kita dasarkan atas keseimbangan pendidikan lahir dan batin, hingga tertjapailah kebudajaan nasional jang harmonis.

Sehabis konggres itu ada jang menjebut-njebutkan perputaran baru Ki Hadjar Dewantoro. Djika hal ini boleh disebutkan perputaran, maka inilah perputaran kutjing jang selalu djatuh kembali pada kakinja, sebab djuga dalam hal ini kelapangan berpikir Dewantoro setjara pedagogis tidaklah berarti, bahwa ia tidak setia kepada azas²nja sendiri. Pendiriannja didjelaskannja lebih teliti dalam konggres pengadjaran Inter-Indonesia, jang pada tahun berikutnja diadakan di Djokja, dimana ia sebagai pendjelasan prae-adpisnja a.l. mengemukakan jang berikut:

Kita djangan lupa, bahwa kemerdekaan sesuatu bangsa bukanlah hanja kemerdekaan politik, tetapi harus djuga kemerdekaan kuliuril, jakni untuk mewudjudkan jang chusus dan jang kepunjaan sendiri dalam segala bentuk²-hidup dan untuk membentuk hidup berdasarkan peradaban manusia jang luas. Kebudajaan Indonesia, jang sekarang masih berupa kumpulan segala kebudajaan daerah, haruslah mulai sekarang digalang mendjadi kebudajaan kesatuan untuk seluruh rakjat. Berhubung dengan kesatuan alam, sedjarah, masjarakat dan zaman, maka kesatuan kebudajaan Indonesia hanjalah soal waktu sadja. Sebagai bahan² untuk membangun kebudajaan nasional itu perlulah segala „puntjak-kebudajaan” jang terdapat diseluruh daerah Indonesia dipergunakan mendjadi isinja. Djuga dari luar lingkungan nasional perlu diambil bahan² jang dapat mengembangkan kebudajaan kita sendiri, tetapi dalam memasukkan bahan² ini haruslah diingat senantiasa sjarat kontinuitet, konvergensi dan konsentrisitet.

Adanja sistem pengadjaran nasional tidaklah berarti hapusnja aliran² chusus dikalangan golongan" masjarakat jang memelihara kejakinan ideologis jang sangat kuat dan sehat, baik jang berdasarkan agama, kebudajaan, kemasjarakatan maupun metodik, dll., sesuai dengan tuntutan demokrasi dalam negara kita. Kesatuan sistem hendaknja didasarkan pada kesatuan rentjana peladjaran minimum.

Pengadjaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan bahasa perantaraan diwadjibkan dalam semua sekolah² diseluruh kepulauan Indonesia, sedang bahasa² daerah jang penting diadjarkan dengan setjukupnja di masing² daerah. Bahasa² asing jang perlu untuk menuntut ilmu atau melantjarkan perhubungan dengan bangsa lain hendaknja diberikan sebagai berikut: bahasa Inggeris dimulai pada sekolah menengah, bahasa Djerman pada sekolah menengah atas, bahasa Perantjis dan Arab atau Tionghoa boleh dipilih pada bagian kesusasteraan disekolah menengah.

Dalam rentjana peladjaran umum hendaknja dimasukkan selandjutnja segala djenis pengadjaran jang dapat mempersatukan dan memperkuat kebudajaan nasional dan jang djuga menumbuhkan semangat nasional, dengan tidak menjalahi hukum peradaban kemanusiaan, sedang peladjaran²nja hendaknja diambil dari sumber² keagamaan, adat kesusilaan, kesenian, sedjarah, dll., jang mengandung peladjaran keadaban pada umumnja. Pengadjaran etik dan moral nasional hendaknja diberikan untuk pengetahuan peradaban kemanusiaan pada umumnja.

Kesenian nasional jang dapat diberikan dalam hubungan kelas atau diluar sekolah dapat dipergunakan untuk menghaluskan budi pekerti serta untuk menebalkan rasa kebangsaan. Dalam hubungan ini perlu agaknja dibentuk panitya untuk menjelidiki kesenian² apakah jang patut diberikan disemua sekolah diseluruh Indonesia, dan manakah jang hanja penting bagi masing² daerah. Kesenian nasional jang dapat diadjarkan disekolah-sekolah ialah seni suara, seni lukis, seni sastera, seni tari, seni sandiwara dan permainan anak². Akademi kesenian perlu didirikan didaerah-daerah, jang mendjadi pusat kesenian.

Dalam pendjelasan ini tampak dengan djelas sebagai dasar pikiran, bahwa Indonesia sedang mendjadi suatu kesatuan kulturil, dan dimana ia berbitjara tentang „kesatuan sedjarah”, disana dalam zaman silam sering kesatuan itu telah dekat. Perpetjahan adalah sebagian ditjegah oleh pemerintahan kolonial Belanda dan sebagian dengan sadar dipelihara dan diperkuat untuk kepentingan sendiri. Perpetjahan ini menghilangkan kekuatan bangsa dan sekarang harus diatasi kembali dalam kesatuan jang definitif dan seperti jang pernah dilakukan Sanusi Pane, Dewantoro sedang dengan sadar membangunkannja dari unsur² paling baik dalam kebudajaan² daerah.

Tentulah pada tempatnja, bahwa dalam pembangunan ini sebagian besar akan diberikan oleh kebudajaan Djawa, jang memang kebudajaan jang paling tinggi tingkatnja dalam kepulauan Nusantara, lagipula didukung oleh hampir setengah dari seluruh penduduknja, sedang mereka semuanja, bersama-sama dengan kebudajaan Sunda dan Madura jang saling erat berhubungan itu, meliputi malahan lima pertudjuh bagian. Seperti ditulis Surya Ningrat dalam tahun 1918 dalam buku peringatan perkumpulan Budi Utomo: „Orang² Djawa, berlainan dengan penduduk pulau² lain di Hindia Timur, merupakan keseluruhan jang besar dan jang agak kompakt. Untuk Hindia Belanda pulau Djawa itulah sebenarnja negeri jang paling homogen.” Bahwa nasionalismus Djawa jang timbul dari sini merupakan suatu rintangan dalam perdjuangan politik untuk tanah air jang satu Indonesia, tidak dilihatnja waktu itu dengan djelas. Ia tahu pendapat² orang² Djokja tulen jang disokong oleh rakjat: „O, memang, dahulu ada pertalian antara Djawa dan tanah² seberang, tetapi bukan Djawa termasuk dalam Keradjaan jang besar itu, tetapi Keradjaan itu ialah Djawa dan semua tanah² seberang termasuk dalam Djawa. Nasionalismus Djawa....itulah pengembalian kedaulatan Djawa.” Dan walaupun ia mengakui, bahwa bangsa² dikepulauan Nusantara akan memegang teguh hak mengatur diri sendiri setjara kulturil dan walaupun ia melihat nilai nasionalismus kulturil untuk nasionalismus politik, ia menerangkan dengan tegas, bahwa dalam perdjuangan politik sendiri hanjalah „bersatu kita teguh” jang boleh berlaku.

Dalam waktu tjita² kearah kesatuan nasional ini tiap² nasionalismus daerah dianggap sebagai merusak, malahan dalam sematjam „overkompensasi” dianggap sebagai jang paling harus ditolak. Hal ini tidaklah membaikkan pembangunan jang diusulkan itu, jang menurut tjoraknja terdjadi dari berbagai-bagai unsur. Lebih² peranan besar, jang tentu dalam hal ini harus dimainkan oleh kebudajaan Djawa, menimbulkan dengan mudah ketidakpertjajaan wakil² kulturil dari suku² bangsa lain. Sebagai bukti untuk ini adalah karangan Alam pikiran jang tidak sadar (dalam Siasat, 7 Djan. '51), dimana Armijn Pane menjasat karangan Dewantoro tentang Konservatorium untuk musik Indonesia di Solo (Mimbar Indonesia, 2 Des. '50). Ia menjalahkan Dewantoro (jang dalam hal² lain dianggapnja tidak lebih „verpolitiekt” dari kebanjakan pemuka² batin Indonesia) telah memberikan dalam karangannja djalan pikiran jang demagogis, djadi jang katjau, bukan sadja bertalian dengan tindakan kulturil dari orang? Belanda dalam zaman silam, tetapi djuga bertalian dengan pengertian „musik Indonesia” jang untuk Dewantoro nampaknja identik (sama) dengan musik Djawa. Apabila ketua konservatorium dalam pidato pembukaannja mengatakan, bahwa konservatorium ini „tidak sadja akan memperhatikan dan memelihara kesenian² suara Djawa, tetapi....”, maka dengan „bukan sadja” ini dianggapnja telah ditundjukkan, bahwa hal itu sebenarnja adalah konservatorium Djawa. Bukan karena ia mempunjai keberatan terhadap hal itu, tetapi karena dianggapnja berbahaja menjebutkan sesuatu lain dari jang sebenarnja.

Tetapi dengan tidak mengingat kesulitan² ini, dari perumusan tjita² itu, jakni syntesis unsur² jang paling baik, timbul djuga keberatan jang berdasarkan pertimbangan, bahwa sesuatu kebudajaan hanjalah dapat tumbuh dalam kebebasan, dan hal itu berarti disini dalam ketidaksadaran jang bebas dari prasangka² demikian. Dalam arti sebenarnja, bukankah ini sedjenis kebudajaan tukang²an, sematjam pembikinan kebudajaan gado² seperti jang saja dengar dari seorang Indonesia? Maksudnja tidaklah lain bahwa Pemerintah memberi dorongan dan membantu usaha² jang menudju kearah tjita² ini, dan bahwa tjita² itu sendiri tidaklah lebih dari perumusan kemungkinan jang diharapkan, jang djuga dianggap perlu. Dengan perkataan lain: sesuatu jang dapat dipakai sebagai penuntun bagi politik aktif dan paling tinggi djuga bagi pemeliharaan barang² kebudajaan, dan pentjipta kebudajaan tetap tinggal bebas.

Ketjuali dari aktivitet Lembaga Kebudajaan Indonesia, jang terutama tampak dalam konggres kebudajaannja tiap² tahun, ternjata djuga, bahwa ada kebutuhan untuk mendjalankan sesuatu politik kebudajaan dalam tahun² pembangunan Indonesia ini, jakni dari pelantikan pada tanggal 22 Nopember jang lalu oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Mr. Wongsonegoro, panitya adpis untuk politik kebudajaan jang akan didjalankan kementerian ini. Djadi dalam badan ini boleh dilihat djuga pewudjudan „panitya penjaring” jang diusulkan oleh Dewantoro dalam prae-adpisnja pada tahun ’49. Sebagai ketua panitya ini diangkat S. Mangunsarkoro, sedang Dewantoro termasuk anggotanja. Pembagian kedelapan anggota²nja, (jang setengahnja adalah menteri² lama P. P. dan K.), menurut asal mereka dari golongan penduduk jang paling penting, adalah hampir sebanding, tetapi hampir semuanja ialah pengikut² tjita² kebudajaan Indonesia, jang harmonis tumbuh dari zaman silam dan mereka djuga semuanja berumur diatas empatpuluhlima tahun (ketjuali usia Ds. Mr. Th. A. Rotti dari Menado, jang pada tahun ’46 mendapat titelnja di Amerika). Djadi keberatan dari segolongan pengarang² dan pelukis² muda jang tergolong penting dan masih mendjauhkan diri terhadap kejakinan konservatif, jang telah djuga tampak dalam usia pengurus² Lembaga Kebudajaan, akan berlaku pula untuk panitya ini dan karena itu mereka akan lebih menitikberatkan kebebasan pentjiptaan kebudajaan.

Walaupun begitu, dalam negeri seperti Indonesia jang kendatipun tidak berdiri sendirian diatas dunia, tetapi dimana pemerintah masih mempunjai tugas jang demikian besarnja terhadap rakjat, terutama dalam lapangan pengadjaran, lebih lagi dari ditempat manapun didunia, politik kebudajaan jang aktif banjak artinja, jakni salah satu kemungkinan penting untuk mempengaruhi tjiptaan kebudajaan. Walaupun keaslian adalah nilai tjiptaan, tetapi tiap² seniman „pentjipta” mendapat dasarnja sebenarnja dari suasana dimana ia dibesarkan. Mudjurlah dorongan ekspansi djiwa jang demikian kentara itu bagi tiap² proses „bangun dan hidup kembali”, keinginan untuk mengetahui segala-galanja dimana-mana didunia, masih banjak djuga terdapat di Indonesia.

Disamping segolongan jang dalam teori seperti disebutkan diatas mendapat kemungkinan untuk membuat pertjobaan² dengan kegembiraan jang besar, masih ada djuga segolongan lain seperti telah kita sebutkan didepan ini jang dengan sadar berpedoman kepada dunia internasional, dengan harapan jang tenang, bahwa watak sendiri akan terdjelma dalam tjiptaan sendiri.

Sebab itu lebih dari untuk seniman² teori² ini adalah penting untuk pengadjaran. Dan dengan ini kita sampai kepada atjara jang djuga penting sekali untuk pembitjaraan ini, jakni pertanjaan sampai dimana nasionalisasi pengadjaran jang didjalankan oleh Republik membawa kita kepada pengoperan metodos² sekolah² nasional, djadi kepada kemenangan moril mereka.

Sjarat² untuk kemenangan ini baik sekali dari semula, seperti jang telah sewadjarnja dan seperti jang telah kita lihat bahwa itulah djuga harapan pasti dari kebanjakan guru²nja. Djalannja keadaan² setjara lahir memenuhi sjarat kemenangan ini: disamping pangkat menteri kedua pemuka² Taman Siswa itu masih djuga dapat kita tundjukkan disini kenjataan, bahwa dua panitya penjelidik pengadjaran, jakni pada tahun '46 dan '47, jang penghabisan menerbitkan laporannja berupa buku, dibawah pimpinan Dewantoro, sedang Konggres Pengadjaran Inter-Indonesia, jang diadakan dalam tahun '49 di Djokja dan konggres pertama jang terpenting setelah konggres tahun '47 di Solo, (karena kekurangan waktu akan persiapan, maka putusan² panitya penjelidik, dan prea-adpis² tahun '47 dibitjarakan dalam instansi ketiga), adalah djuga dibawah pimpinannja.

Setjara batinadadjuga tentu adhesi jang kuat. Sembojan ialah: mendemokrasikan pengadjaran: Hal ini terdjadi a.l., walaupun ada kesulitan² praktis, dalam mendjalankan „sistem berdjalan terus” (doorstromingsbeginsel) dalam pengadjaran kedjuruan. Tetapi djuga dalam keinginan kepada semangat baru dalam pengadjaran jang lebih bertjorak persahabatan dan lebih ditudjukan kepada pendidikan kepribadian, Tentulah di sekolah² pemerintah jang lebih bertjorak resmi itu guru² lebih dahulu mendapat tjorak kepegawaian dari di sekolah² Taman Siswa jang bebas itu, jang dalam hal ini masih berdasarkan tradisi jang berharga (aspek „sosialistis”!) sedang hidup perkumpulan murid² dengan arti memelihara kebudajaan jang penting seperti misalnja latihan menari, adalah kurang mudah dapat dioper. Demikianlah kita boleh mengharap tentu, bahwa hal ini adalah suatu Jangkah kemadjuan bagi Taman Siswa, jang tidak dipunjai oleh sekolah² Pemerintah.

Tetapi memanglah pasti, bahwa hal ini adalah disebabkan waktu jang masih katjau, dimana hanja melandjutkan pengadjaran sadja sering termasuk dalam hal² jang tak tertjapai, apalagi memperbaikinja, apabila dalam bulan Maret '51 Menteri Pengadjaran pada waktu itu, Dr. Bahder Djohan, kembali mengeluarkan sebuah putusan membentuk instansi untuk mempeladjari pendidikan dan pengadjaran, berdasarkan pertimbangan, „bahwa isi, sistem, program dan metodos pendidikan dan pengadjaran jang diberikan sekarang belum berazaskan dasar² kebudajaan dan tjita² bangsa kita”. Penggantinja, Mr. Wongsonegoro, melantik dalam bulan Agustus j.l. panitya jang diperbantukan pada instansi ini, bersama-sama dengan tiga panitya lain, jakni berturut-turut panitya persiapan Dewan Nasional untuk Pengetahuan, panitya penjusun sedjarah nasional Indonesia dan panitya penjelidik kemungkinan mendirikan akademi kesenian. Upatjara ini dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden, dan jang pertama menundjukkan dalam pidatonja keperluan bagi sesuatu bangsa untuk menghidupkan terus semangat nasional. „Ook een volk kan van brood alleen niet leven,” (Djuga sesuatu bangsa tidak dapat hidup hanja dari roti), kata Presiden dan diperingatkannja dengan kutipan-kutipan lain dari Kitab Indjil, djuga dalam bahasa Belanda: „Verkoopt Uwnationale eerstgeboorterecht niet voor een schotel internationale linzen,” (Djangan djual hak-lahir-pertama nasionalmu untuk semangkok katjang buntjis internasional)“ Djuga wakil Presiden Hatta menjatakan kegembiraannja dengan pembentukan panitya² ini, jang kelihatannja mengembangkan daja kreatif, dan

__________

  • Karena perkataan terachir tidak dikenal, jakni „linzen”, utjapan ini dimuat dalam segala suratkabar sebagai peringatan terhadap „semangkok sembojan” (leuzen) internasional”, setjara kritik jang tidak dapat dipakai untuk proses akkulturasi ? dengan demikian memberi sumbangan kepada kemakmuran batin Indonesia, jang dalam lapangan ini didunia tidak lagi hanja perlu menerima sendiri, tetapi djuga dapat memberi.

Ketua panitya penjelidik pengadjaran mengakui dalam kata sambutannja, bahwa menurut communis opinio pengadjaran jang sekarang belum berdjiwa nasional. Tetapi adalah sulit untuk memperbaiki hal ini, selama djiwa rakjat kita belum lagi tenang. Ketjuali tentang dasar² Pantja Sila jang kurang baik dasarnja itu, terdengar djuga keluhan, bahwa hasil² jang ditjapai tidak seimbang dengan ongkos² jang dikeluarkan, djadi masjarakat kurang mendapat keuntungan dari pengadjaran.

Supaja kita mengerti dengan baik, ada baiknja diingatkan disini, bahwa dengan penggabungan mendjadi negara kesatuan dalam bulan Agustus ’50 perbaikan pengadjaran, jang telah disiapkan oleh pemerintah prefederal dan telah dioper oleh Menteri Pengadjaran R.I.S., dihilangkan sama sekali dan sistem Djokja dinjatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Hal ini berarti misalnja, bahwa pemetjahan dalam tiga bagian pengadjaran menengah, sehingga pada tiap² dua tahun mungkin untuk murid² memilih tudjuannja, djadi „tinggal kelas” jang sangat mahal itu dihilangkan — sedang bagian tertinggi dapat dianggap sebagai keuntungan sampingan, djadi bagian persiapan perguruan tinggi, jang semata-mata hanja dapat diberikan oleh lerar² jang berwewenang penuh — dikembalikan lagi kepada pemetjahan dalam dua bagian Mulo (sekarang S.M.P.) dan A.M.S. (sekarang S.M.A.), seperti jang dioper oleh Taman Siswa dahulu dari Gubernemen. Anehnja, bahwa hal ini terdjadi, bertentangan dengan adpis Konggres Pengadjaran Inter-Indonesia (menurut kata orang, terutama atas desakan Persatuan Guru Republik Indonesia), jang ingin memperdengarkan suaranja dalam bagian pengadjaran menengah jang lebih tinggi). Sebab itu kembali kepada djalan jang telah ditempuh tidaklah „tidak boleh djadi”.

Tetapi apabila pengadjaran sekarang seumpamanja kita sebutkan kolonial, maka adalah pada umumnja tidak tepat benar utjapan kita itu. Tentulah semangat nasional dipelihara dengan kuat, (tetapi memanglah hal ini bukan sama dengan pendidikan nasional), pendidikan kemasjarakatan djuga diperhatikan, walaupun boleh dikatakan penjelenggaraan perkembangan kepribadian belum lagi tjukup lengkap, tetapi dalam prinsipnja didjalankan djuga, misalnja djam² bebas dalam program sekolah menengah. Djokja dan Djakarta memanglah tidak didirikan dalam satu hari dan untuk pengadjaran jang lebih baik haruslah dahulu dididik guru² jang lebih baik, sedang pada saat ini permintaan adalah hanja untuk guru² jang selekas mungkin dididik sadja.

Panitya jang baru dibentuk itu, dibawah pimpinan seorang pegawai tinggi dengan berkantor tetap dikementerian P.P. dan K., memang sungguh² mau mendjalankan research-work (pekerdjaan penjelidikan) dan akan dapat mentjotjokkan pendapat²nja dengan pengalaman² jang akan diperoleh disekolah-sekolah pertjobaan jang akan didirikan dimana-mana. Dan dengan Dewantoro sebagai anggota dapatlah djuga mereka memakai pengalaman²nja pada sekolah² Taman Siswa, jang seperti pernah dikatakan ketua panitya itu sendiri, bersama-sama dengan sekolah² nasional lain, telah mengamalkan dan mentjobakan segala pikiran², jang sekarang dianggap tidak dapat lagi ditinggalkan Indonesia. Wakil² lain dari gerakan Taman Siswa, selain dari Dewantoro jang telah berusia enampuluh tahun itu dan telah mengalami gangguan² physik ketuaan, tidaklah termasuk dalam anggota² jang duapuluhdua banjaknja itu. Djadi berlainan dengan panitya adpis kebudajaan tidak termasuk disini Mangunsarkoro, dan dari hal ini mungkin djuga kita lihat, bahwa Taman Siswa lebih dihargai dari sudut kulturil, bukan dari sudut ilmu pengadjaran. Sedjak pembentukan negara kesatuan dan sampai pengangkatannja dalam panitya kebudajaan, surat²kabar hanja membawa kabar tentang Mangunsarkoro, bahwa ia untuk pertama kali turut dengan rapat umum, bukan dalam pakaian sarong jang tradisionel itu, tetapi dalam pakaian Eropah. Dan djuga pemimpin kompleks sekolah² Taman Siswa jang paling besar pada waktu ini, Mohamad Said, tidaklah termasuk anggota. Barangkali djuga karena dianggap terlalu muda (alasan ini lagi!), tetapi tidaklah djuga saja rasa dapat dilupakan orang, bahwa revolusi, dimana negara Indonesia lahir, adalah diteruskan oleh orang² muda?