Taman Siswa/6
6
Zat² makanan:
Asia jang sedang bangun.
Kedua faktor jang diperlukan untuk tumbuhnja gerakan Taman Siswa, jakni murid dan guru, adalah memuaskan dari semula. Berdirinja sekolah pertama adalah tepat pada waktu keinginan dari orang² Indonesia bertambah besar untuk meninggikan deradjatnja dalam masjarakat dengan perantaraan pengadjaran. Untuk tudjuan kemasjarakatan inilah diperlukan penguasaan bahasa Belanda jang baik dan demikianlah terdapat dimana-mana permintaan akan pengadjaran barat. Untuk menampung permintaan ini pengadjaran gubernemen lalai dalam kewadjibannja dan demikianlah waktu itu mendjadi masa emas misalnja bagi guru² pensiunan untuk mendirikan sekolah² partikulir bagi anak² Djawa dari golongan pertengahan jang tidak dapat memperlihatkan haknja untuk masuk kesekolah Belanda, sekolah mana hanja dapat dimasuki oleh anak² jang ajahnja sedikit-dikitnja seorang djaksa. Djuga perkumpulan² jang bertudjuan mempertinggi deradjat ketjerdasan orang² Indonesia, sebagai Budi Utomo dan Mohammadjjah, mendirikan sekolah² dimana sekurang-kurangnja diberikan program H.I.S. dan kadang² pengadjaran jang masih lebih kebelandaan lagi. Dengan memenuhi sjarat² jang telah ditentukan dan dengan menerima pengawasan pemerintah sering sekolah² ini mungkin mendapat bantuan uang dari pemerintah.
Jang penghabisan ini belum pernah dikehendaki Taman Siswa, tetapi kemungkinan untuk menarik tjukup murid², walaupun sekali² perlu berkundjung kerumah untuk mejakinkan orang² tua, diperolehnja djuga dengan mengambil, dalam hal program ketjerdasan, H.I.S. dan Mulo sebagai pedoman. Dalam tahun 1924 djuga telah didirikan sebuah Mulo Taman Siswa. Dengan pedoman ini murid² dapat meneruskan peladjarannja ke A,M.S. setelah membuat udjian masuk, atau mereka dapat turut menempuh udjian Mulo Negeri. Dewantoro merantjang djuga garis petundjuk untuk sekolah schakel, djadi sekolah bahasa Belanda. Djika di H.I.S. pengadjaran dimulai dalam bahasa ibu, di kelas² pertengahan disampingnja diadjarkan bahasa Belanda, jang mendjadi bahasa pengantar dikelas-kelas jang tertinggi (mengadjarkan terlalu lekas sesuatu bahasa asing ternjata mempunjai pengaruh jang tidak baik atas pertumbuhan watak dan ketjerdasan murid²), demikianlah dalam rentjana peladjaran Taman Siswa untuk kedua kelas jang pertama diambil bahasa Djawa sebagai bahasa pengantar, sedang dari bahasa Belanda diadjarkan bentuk² utjapan jang paling perlu, dan dari mulai kelas tiga diadakan pemetjahan dalam mata² peladjaran Belanda”, jang memakai bahasa Belanda, dan „mata² peladjaran Djawa” (misalnja sedjarah), jang memakai bahasa Djawa sebagai bahasa pengantar, dengan tjatatan, bahwa pemakaian tjampur-baur bahasa Belanda dan Djawa harus ditolak dengan keras.
Djika dalam hal murid² waktunja belum datang untuk menggunakan alasan idealistis dan nasionalistis (sebenarnja waktu itu baru datang setelah perang jang penghabisan, ketika dengan tiba² permintaan² untuk masuk sekolah banjak sekali, djuga dari pihak anak² orang jang lebih terkemuka), dalam hal mentjari guru² waktu itu pastilah telah datang. Guru² jang kita temui disini ialah orang² terpeladjar, dididik setjara barat, jang mendapat dari pengadjaran jang diterimanja sendiri, ketjuali barangkali keuntungan sosial, kepuasan untuk dapat berhadapan dengan pendjadjah² Belanda atas dasar ketjerdasan jang sama dan dengan memakai bahasa jang sama, tetapi djuga dalam kehendak jang timbul dimana-mana untuk meniru-niru orang² Eropah, kehendak jang menurut pendapat mereka lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex) sebagai akibat pertalian² kolonial, mereka mengalami surrogaat (barang tiruan) jang melukai kesedaran diri sendiri. Mereka setudju dengan perkataan² jang memberi peringatan dari pendukung² kebudajaan sendiri, jang melihat bahwa hidup kebudajaan nasional terantjam kutjar-katjir.
Di India Rabindranath Tagore memperdengarkan suara demikian, jang djuga melihat kemungkinan² positif dalam pertemuan dengan Barat, seperti dibentangkannja pada tahun 1916 dalam bukunja The Spirit of Japan: „Timur merasa bahwa ia dapat banjak beladjar dari Eropah, bukan sadja dalam hal alat² tehnik untuk memperbesar kekuasaan, tetapi djuga dalam hal pendidikan batin jang mengenai watak. Eropah telah mengadjarkan kepada kita kewadjiban² jang lebih tinggi, keselamatan umum diutamakan diatas kepentingan² keluarga; kesutjian hukum jang melindungi masjarakat terhadap perbuatan sewenang-wenang seseorang; apalagi kemerdekaan, kemerdekaan rasa hati, berpikir dan berbuat, kemerdekaan dalam tjita² seni dan sastera.”
Disini dapat kita tjatat dengan segera, bahwa Djepang adalah tjontoh jang baik dari suatu negeri jang mengoper pendidikan tehnik, tetapi djustru tidak „pendidikan batin” dan dengan itu mereka sampai dahulu kekemadjuan jang besar, tetapi selandjutnja kemadjuan itu membantu membawa dunia mereka pada tepi djurang untuk djatuh terdahulu kedalamnja. Memang akkulturasi bukanlah permainan anak2. Sebab itu memang berat sebelahnja pendidikan ketjerdasan jang masih melekat pada pengadjaran barat sebagai warisan, dari abad pertengahan jang bersifat agama (Gunning), dan jang baru mulai diprotes oleh pengetahuan ilmu djiwa jang sangat muda itu dalam fasenja jang kedua, merupakan bahaja jang besar dalam penjerahan barang² kebudajaan ini. Tidak berkatanja kejakinan² susila (ethos) jang hanja masih dipakai oleh wakil² kebudajaan barat jang paling baik sebagai bekal hidup (hidup ialah sebagai tugas atas pertanggungdjawaban ethis sendiri dan pertanggungdjawaban religi sendiri) dan karena itu tidak adanja pemikiran kemungkinan adaptasi ethos kebudajaan² timur, membuat pengadjaran ini mendjadi suatu unsur² kebudajaan jang pada bangsa² jang kurang keras hati dan aktif sebagai bangsa Djepang, akan mengakibatkan desintegrasi, jang dialami dengan berbahaja sebagai perpetjahan batin dan dengan diam² (latent) sebagai kekosongan batin. Seperti jang dikatakan Tagore (menurut kutipan Dewantoro): „Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang barat; suara kita gema dari suara Eropah; sebagai ganti intellekt kita tidak lain dari sebuah tas penuh dengan keterangan²; dalam djiwa kita ada kekosongan jang demikian besar, sehingga kita tidak sanggup menangkap jang indah dan berharga dalam diri kita.”
Dan apabila ethos sesuatu kebudajaan telah gontjang dari bawah, dengan sendirinja djuga pergaulan-hidup, pendukung kebudajaan itu, gontjang dari bawah. Individu merasa dirinja sendirian dania berhadapan dengan suatu tugas kepahlawanan untuk memelihara ethos baru dan memasukkannja dalam pergaulan-hidup dan tugas ini demikian beratnja, hingga sebenarnja seharusnja djuga tidak didirikan oleh suatu individu, tetapi oleh „waktu”. Keadaan jang demikian hanjalah djuga terdapat pada kebudajaan² jang saling bersintuhan, jang karena itu saling mengantjam dengan kemusnahan (dengan ini tidaklah djuga dikatakan, bahwa jang satu harus timbul sebagai pemenang: mungkin pula terdjadi modulasi baru dari salah satu atau kedua-duanja bersama-sama).
Kepetjahan ini didjelaskan oleh Armijn Pane dengan kata² seperti berikut dalam suatu karangan Naar nieuwe verhoudingen (Menudju perhubungan baru), dalam Panorama 1937, No. 4: „Perasaan ketidaksanggupan, sebagai akibat dari hilangnja keseimbangan jang djustru melaraskan antara individu dan masjarakat, dan dengan itu hilangnja suatu fundamen kebudajaan jang kokoh, membuat djelas tanda² (symptomen) perasaan ketidaksanggupan, jang memantul dari segala tindakan² orang Indonesia dalam masjarakat. Dorongan sesuatu kemauan bersama dari masjarakat, seperti jang terdapat di Bali dalam upatjara agama bersama, tidak ada.”
Menolong ethos sendiri itulah djuga maksud Dewantoro dan ia menundjukkan trio jang dibawa oleh sekolah barat, jakni trio intellektualismus, materialismus dan individualismus dalam saling pengaruh-mempengaruhi, sebagai mula „baik kegelisahan batin kita maupun kegelisahan masjarakat kita” (suatu pikiran jang terutama diperluasnja pada konggres pengadjaran nasional jang pertama di Solo tahun 1935). Adalah djelas, bahwa istilah sifat² jang dihukumnja disini bukanlah berlaku dalam artinja setjara filosofis, tetapi harus diartikan dalam nilai pemakaiannja sehari-hari. Menerangkan idee kebudajaan barat (dan bolehlah dikatakan sifat² ini adalah hanja perobahan² akkulturil), seperti jang ditjoba Tagore dalam kutipan pertama jang diberikan disini, tidaklah pernah sepandjang pengetahuan saja, dianggapnja sebagai tugasnja.
Pengedjekan peradaban barat dalam ketiga sifat jang disebutkan diatas barulah djuga djelas tampak, apabila peradaban itu dilihat dari sudut ethos Djawa jang dipertahankan oleh Dewantoro, dan untuk itu, seperti pada tiap² ethos, kita dapat mengambil tokoh mythis jang mentjiptanja, dan untuk orang² Djawa itulah ideaal Ardjuna.
Ardjuna adalah pahlawan jang mengalahkan radja dewa dan dengan kemenangan ini, kemenangan jang baik atas jang djahat (keinginan egoistis akan kekuasaan) diperoleh kembali keselarasan dalam alam. Kekuatan untuk kemenangan ini didapatnja dengan perantaraan tapa dan pemikiran dalam gua gunung, dimana ia mengasingkan diri, setelah kekalahan jang diderita oleh sanaknja. Dalam kesedaran penuh, bahwa mentjari harmoni abadi, nirwana, ialah tudjuan tertinggi dari hidupnja, tidaklah ia karena itu melepaskan tugas ksatryanja dalam masjarakat, sebab tugas ini adalah telah haknja menurut takdir alam dan menurut takdir ini nirwana akan mendjadi bagiannja, sesudah beberapa waktu, kalau datang waktu jang tepat.
Tjita² Ardjuna ini memanglah suatu tjita² jang sangat sutji dan dapat diterima oleh semua orang, lebih² djuga karena tjita² ini, jaitu mentjapai harmoni batin, sedikit-dikitnja bukanlah bentuk ketenangan rasa hati sendiri jang tidak dapat diterima oleh orang² Eropah, dan jang pada orang² India, jang mempunjai pada umumnja susunan otak jang lebih sulit dari bangsa² barat sedemikian banjak terdapat dan jang mematikan itu bagi segala tjita² untuk perbaikan. Walaupun demikian, harmoni sewadjarnja itu, sungguhpun suatu pikiran jang sangat idealistis, hanjalah perlu dipulihkan, jang dalam hal ini terantjam mempunjai kekuatan jang kurang mengaktifkan dari kekuatan suatu „kemadjuan”, jang djika terpaksa berdasarkan illusi, ditjita²kan (bandingkan dengan pendapat Dewantoro, jang dalam merumuskannja hampir seolah-olah berdasarkan contradictio in terminis, apabila ia menundjukkan „nerimo” (aanvaarding) sebagai dasar „tjita² keatas”). Djuga sikap-hidup jang bernapsu, jang timbul dari tragik hidup (suatu idee jang tidak masuk diakal bagi kebudajaan India, jang berdasarkan keseimbangan kosmis, dimana hidup duniawi paling tinggi dianggap sebagai chajal indah, jang pada achirnja tidak memuaskan) mempunjai suatu kekuatan dorongan jang lebih besar. Untuk mengalami hidup setjara bernapsu, jang djuga untuk mendapat kedalaman batin djustru tidak takut kepada kegelisahan batin jang bagaimanapun djuga, kebentjian akan kegelisahan seperti jang disebutkan diatas ini agak kolot rasanja, walaupun kembali mengutamakan damai dan harmoni ini sebagai tjita² jang tertinggi, memanglah dapat diterangkan dalam suatu kebudajaan aristokratis, jang oleh akkulturasi terantjam hantjur.
Adalah lebih kuat kedudukan Dewantoro sebagai ahli mendidik jang mengerti sebenarnja, bahwa pengadjaran haruslah lebih dari mengadjarkan, dengan tidak ada pertanggungdjawaban batin, pendapatan² dan kebutuhan² peradaban materiel, dan dengan demikian dapatlah dipertahankan dengan tiap² tjara sembojan jang dipakainja waktu ia memulai gerakannja dalam tahun 1922: Kembalilah kepada alammu. Sembojan ini lebih djelas diterangkan dalam azas ketiga dari program-azas, jang dengan itu memulai bagian jang lebih praktis, dan demikianlah bunji lengkapnja:
3.Tentang zaman jang akan datang rakjat kita berada dalam kebingungan. Tertipu oleh kebutuhan² jang dianggap perlu, Jang sebagai pantjaran peradaban asing sukar dipuaskan dengan alat² sendiri, kita betul² turut merusak perdamaian. Tetaplah ketakpuasan bagian kita. Djuga sebagai akibat dari tertipu itu kita mentjari pengadjaran jang berat sebelah kearah intellektualismus, jang membuat hidup kita tidak merdeka setjara ekonomis dan djuga memisahkan kita dari rakjat sendiri. Dalam keadaan bingung ini hendaknjalah kebudajaan kita sendiri kita pakai sebagai titik permulaan, tempat kita melangkahkan kaki madju kedepan. Hanja atas dasar peradaban sendiri ini dapat dilakukan pembangunan dengan damai. Dalam bentuk nasional inilah, dengan tidak ada imitasi, hendaknja bangsa kita berhadapan dengan dunia internasional.
Apa jang diperlukan untuk mewudjudkan pembangunan ini atas dasar peradaban sendiri, dirumuskannja lebih landjut dalam suatu karangan dalam madjallah Taman Siswa Wasita pada tahun 1930: „Untuk mengetahui garis-hidup jang tetap (konstant) dari sesuatu bangsa, perlulah kita mengetahui zamannja jang lampau, mengetahui pendjelmaan zaman jang lampau itu dalam zaman sekarang, dan dengan pengetahuan itu dapatlah kita mendapat kesadaran akan zaman jang akan datang.” „Tjara baru untuk mempengaruhi adalah terdjadi oleh penjintuhan dan pergaulan bangsa jang satu dengan bangsa jang lain dan hal ini sekarang mudah sekali berlaku, karena adanja lalu lintas modern. Tetapi untuk dapat membedakan mana jang baik untuk mempertinggi nilai-hidup kita dan mana jang merugikan kita, haruslah kita awas dan berhati-hati, dan dengan selalu mengingat, bahwa segala kemadjuan dalam ilmu pengetahuan dan dalam bentuk²-hidup adalah kemurahan Tuhan kepada segala manusia didunia, meskipun tiap² orang hidup menurut garisnja sendiri jang tetap.
Terhadap kebudajaan asing Dewantoro tidak menghendaki assimilasi dan djuga tidak assosiasi; nilai² kebudajaan asing harus dinasionalisasikan sebelum dapat dipakai untuk memperkaja kebudajaan sendiri. Setjara teoretis bunjinja memang indah, tetapi adakah djuga mungkin praktiknja dilakukan menurut garis² petundjuk ini? Bahwa pengoperan „pendapatan² ilmu dan bentuk²-hidup jang baru” dapat bertentangan dengan bentuk² adat jang tertentu, Dewantoro menganggapnja bukanlah keberatan jang hakiki: „Bukan kenasionalan sadja jang kita pakai sebagai ukuran (untuk menjelidiki apakah sesuatu baik atau tidak untuk kita), adat nasional kita memang penting sekali dan berguna benar sebagai penundjuk djalan, tetapi apabila adat itu bertentangan dengan keadaan kodrat dalam suatu masa, maka tidaklah ia pada tempatnja. Kita harus membuangnja atau memperbaikinja, sehingga selaras kembali dengan tjita² kita „keatas” (dalam kata penutup Pola Wasita). Djadi disini mengutamakan tjita² keatas, tudjuan humanistis-religieus dari Taman Siswa, daripada mempertahankan kenasionalan, diterima sebagai perkembangan jang sewadjarnja, tetapi alasan menurut keadaan kodrat dalam suatu masa tertentu adalah agak membimbangkan, pertama karena dalam hal ini adalah lebih mengenai kodrat manusia dari kodrat keadaan dan kedua karena disini sedikit sekali kelihatan pertumbuhan jang sewadjarnja, tetapi banjak sekali akkulturasi jang tak terelakkan dengan segala kemungkinan² disharmoni.
Tetapi ada lagi pada proses akkulturasi suatu aspek jang djauh lebih berbahaja, jaitu kenjataan bahwa bekerdjanja tidaklah sadar dan bahwa pandangan baru jang telah didapat tidak dapat dengan mudah dilepaskan: untuk orang² normal regressi (kemunduran) djiwa tidaklah mungkin. Bahwa melindungi garis-hidup sendiri sukar tahan kepada alat² jang lebih diktatorial, adalah djuga dimengerti Dewantoro, seperti jang telah kita lihat, dan ia telah mentjiptakan lagi, walaupun masih ada kekuasaan adat, suatu suasana kebebasan dan pertanggungdjawaban sendiri disekolahnja (tetapi tidak diluar sekolah) dengan harapan untuk menumbuhkan dengan djalan demikian manusia² jang sadar akan dirinja sendiri, bebas dari perasaan kurang, dan dapat bangga akan kebudajaan sendiri, jang unsur²nja dimuat dalam program peladjaran.
Unsur² ini menurut rentjana program peladjaran jang dipakai sebagai petundjuk sementara dalam sepuluh tahun jang pertama (pelaksanaannja adalah djuga bergantung kepada guru² jang ada) ialah a.l. pengetahuan nada dan gamelan, (dan disamping itu tari²an dipeladjari diluar djam² sekolah dan orang bebas mengikutinja atau tidak), pemakaian motif² batik dan wajang waktu menggambar, waktu kepandaian rumah tangga untuk gadis, dan djuga perusahaan batik sendiri. Pengadjaran sedjarah harus ditindjau kembali setjara prinsipiel jang harus lebih mengutamakan negeri sendiri, sehingga sedjarah keradjaan² Mataram, Modjopahit dan Kediri dikedepankan, dimana peristiwa² dan anekdot² diambil dari tjeritera² dan babad² jang masih ada dan kalau mungkin, diadakan ekskursi² sedjarah, sedang sedjarah „Indonesia-Nederland” hanja dibitjarakan jang bertalian dengan itu.
Logika penindjauan kembali jang penghabisan ini hanja dapat dibantah oleh seorang kolonis pendjadjah, djadi tidak oleh seorang manusia jang mempunjai „otak”. Dan tjita² jang disebutkan diatas untuk melindungi kesenian sendiri akan memperoleh sympati dari tiap² pentjinta pendjelmaan kebudajaan manusia, jang telah hampir menjerupai alam dalam kebanjakan bentuknja, seperti djuga harapan bahwa hal itu akan berhasil (di Eropah tjita² William Morris dan perkumpulan Jugendstil untuk mengembalikan ketjekatan dan perasaan kesenian dalam abad pertengahan telah terkutuk tidak berhasil).
Ketjuali unsur² ini untuk memperkuat kekuatan-bertahan batin ada djuga dimasukkan Dewantoro beberapa mata peladjaran untuk memadjukan kekuatan-bertahan praktis, dan untuk ini dimaksud misalnja mata peladjaran baru „ilmu kewargaan” dan barangkali djuga pengadjaran dalam bahasa Inggeris, jang disuruhnja diberikan dikelas enam (bahasa Melaju sebagai bahasa pergaulan antara pulau² adalah sebagai mata peladjaran mulai dari kelas empat). Demikianlah dianggapnja harus dipudjinja apabila dalam sekolah² partikelir seperti Muhammadijah diberikan djuga mata² peladjaran seperti hitung-dagang dan memegang-buku. Tetapi disini hanja dilihatnja tambahan jang ditudjukan kepada jang sosial-ekonomis dan dia kehilangan jang kulturil-nasional. Djuga arah jang ditempuh Moh. Sjafei dengan sekolahnja jang didirikannja di Kajutanam dalam tahun 1926, arah pergaulan pekerdja² dari Landerziehungsheime, dimana mata² peladjaran jang berbagai-bagai itu dipergunakan untuk memadjukan aktivitet, membuat tadjam daja menangkap, berpikir dengan teratur dan merumuskan pikiran dengan tadjam, djuga memadjukan rasa persekutuan, tidaklah diturutnja karena dorongannja jang pertama nampaknja bukanlah jang pedagogis-didaktis, tetapi jang politis-kulturil.
Jang penghabisan ini mempunjai daja menarik untuk orang² Indonesia jang berpihak nasional, djadi jang berpihak idealistis dan karena itu Taman Siswa, bertentangan dengan Ruang Pendidik Sjafei, mendjadi suatu gerakan nasional. Mengadjar bangsa sendiri, dan hal ini dalam djiwa nasionalis, adalah tentu tugas jang sewadjarnja untuk orang terpeladjar, dan pelaksanaannja dapat djuga sekaligus untuk mengembalikan persekutuan jang telah hilang dengan rakjat. Hal ini adalah sesuai dengan azas keempat:
4. Tidak ada pengadjaran, bagaimanapun tingginja, akan berhasil, apabila hanja beberapa lapisan dari pergaulan-hidup sadja jang ditjapai. Daerah² jang lebih luas harus diliputinja. Kekuatan sesuatu negara adalah djumlah kekuatan anggota²nja masing². Sebab itu perluasan pengadjaran rakjat termasuk dalam tjita² kita.
Dan mereka menerima ketiga azas jang berikut :
5. Mendjalankan tiap² azas meminta kesanggupan berdiri sendiri. Sebab itu kita tidak mengharapkan pertolongan dan bantuan, djika hal ini berarti djuga memper- sempit kemerdekaan kita. Kita suka menerima bantuan orang lain, tetapi menolak selalu apa jang dapat mengikat kita. Dengan demikian kita membebaskan diri kita sendiri dari tali² jang memaksa dan dari tradisi² jang menekan dan kita memelihara dalam diri kita sendiri kekuatan bekerdja jang sadar.
6. Karena kita bersandar atas kekuatan sendiri, hendaklah kebersahadjaan sembojan kita. Tidak ada perusahaan didunia, jang berdiri sendiri, tahan lama, apabila ia tidak menolong dirinja sendiri. Sebab itu pada segala usaha Jang kita lakukan, hendaklah selalu „sistem menolong diri sendiri” itu mendjadi metodos bekerdja kita.
7. Bebas dari tali² jang mengikat, serta dengan kesutjian hati kita mendekati si anak. Kita tidak meminta hak, tetapi kita menjerahkan diri dan mengabdi kepada si anak,
Untuk melaksanakan azas² ini Dewantoro memilih bentuk organisasi wakaf bebas. Wakaf ialah suatu jajasan bumiputera bertalian dengan hukum Islam, tetapi dari jang penghabisan ini Taman Siswa ingin tetap bebas. Djuga bentuk jajasan Eropah memberi kesulitan², berhubungan dengan kemungkinan milik tanah. Dalam wakaf bebas ini ada diwudjudkan suatu djenis persekutuan-hidup jang bersahadja, berdasarkan koperasi, dan untuk ini dapat dipergunakan tradisi persekutuan desa Djawa dengan gotong-rojongnja dan dengan bentuk pemerintahannja jang kollektivistis dari rapat orang² tertua didesa itu dan kepala desa jang „dipilih” dengan persetudjuan bersama. Bentuk ini menurut tjoraknja ada sedikit didjadikan lebih formil demokratis dengan pengurus sekolah jang dibentuk dari guru² dan kepala sekolah jang dipilih untuk empat tahun dari antara mereka. Perhubungan madjikan dan buruh tidak ada dan sebenarnja tidak ada djuga gadji dibajar, tetapi dengan permufakatan masing² untuk tiap² orang ada diberikan sedjumlah uang dari kas sekolah untuk menutup ongkos² penghidupan bagi dirinja sendiri (dan bagi jang telah kawin, untuk satu orang isteri dan anak²), jang disebut nafkah. Ketika dalam tahun 1936 gubernemen ingin djuga menagih padjak upah dari Taman Siswa, Taman Siswa memadjukan keberatannja atas dasar tjorak keuangannja, jang menjebabkan perhubungan jang tegang, dimana Taman Siswa memberitahukan, bahwa djika gubernemen tidak mengakui keberatan² mereka, mereka akan memberi djawaban dengan desorganisasi sendiri dibawah sembojan, bahwa kalau begitu dalam tiap² rumah ada sekolah. Djika perlu mereka rela membajar padjak penghasilan, walaupun itu lebih tinggi dari padjak upah. Dalam tahun 1940 pemerintah mengalah untuk kekerasan hati jang sedemikian besarnja dan padjak upah ditarik untuk Taman Siswa.
Djika dengan tjara jang disebutkan diatas dipergunakan setjara praktis rasa orang² Indonesia untuk kerukunan, maka sifat kebersahadjaan Indonesia djuga harus dipakai (jang bentji akan keinginan² barat), sebab untuk dapat memelihara kemerdekaan sendiri tidaklah diharapkan bantuan pemerintah. Lebih² djuga, karena idealismus mereka jang optimistis itu, mereka berhasil dalam tjara jang demikian, bahwa untuk ongkos² satu H.I.S. dapat berdiri empat Taman Siswa!
Djika tjorak sosialistis-demokratis dari bentuk organisasi ini mempunjai daja menarik atas idealismus, pada pihak lain ada ditjiptakan kemungkinan untuk memelihara suatu garis pengadjaran jang sedar akan tudjuannja, karena garis pengadjaran itu mempunjai djuga tjorak patriarchal jang djelas dengan suatu Rapat Orang²-tua sebagai pengurus besar dan dengan hak organisatoris Dewantoro untuk mengambil dalam hal² tertentu keputusan² setjara diktatorial. Salah seorang guru Taman Siswa di Djakarta, jakni Armijn Pane, (jang terutama terkenal sebagai sasterawan dari golongan Pudjangga Baru oleh romannja Belenggu jang disusunnja setjara roman Barat betul) pastilah djuga melihat dalam karangannja Taman Siswa dan pemimpinnja, bahwa keseimbangan tidaklah terus tetap dan bahwa misalnja kadang² timbul individualismus jang terlalu besar. Ia sendiri meninggalkan Taman Siswa setelah beberapa tahun, dan dengan dia beberapa guru² jang lain karena berbagai-bagai alasan, seperti keberatan² biasa terhadap suatu sistem pengadjaran jang bebas, selandjutnja keberatan terhadap menurut pandangannja kurangnja hak turut mengatur (medezeggenschap) dan sedikitnja uang nafkah, dan bahkan djuga karena terlalu kurang penjesuaian dengan pendapat² barat. Jang penghabisan ini menundjukkan dalam hal ini suatu perbedaan pendapat jang prinsipiel, walaupun hanja dalam suatu perasaan ketidaksenangan jang tidak lagi merasa betah dalam suasana Taman Siswa, jang kadang² memberikan kepada tiap² guru terlalu sedikit kesempatan untuk mengatur diri sendiri, sehingga kebanjakan dari mereka djatuh dalam „sikap-nerimo*) jang dipermodern”.
Pada umumnja dapat dikatakan bahwa untuk pemimpin² Taman Siswa, jang dididik setjara barat itu, kembali kepada kebudajaan sendiri, bagaimanapun djuga perlunja untuk memperkuat kesedaran nasional, hanjalah dapat berarti „hidupnja kembali” apa jang telah dimiliki djiwa sendiri, dalam hal jang paling baik, jakni djika tidak ada pertentangan dengan pendapat² lain jang telah dimiliki. Apabila setjara batin „hidup kembali” itu ternjata tidak mungkin, maka memanglah dapat ditjapai suatu bentuk, tetapi haruslah djuga diisi anggur baru dalam gentong lama dan dengan ini „hidup kembali” itu mendjadi tidak lebih dari suatu kegagalan politik. Demikianlah untuk sesuatu jang baru, jang timbul karena alasan² praktis, seperti pembagian sistem persekolahan dalam empat bagian, menurut kata Armijn Pane, ditjari djuga dengan radjin persamaan²nja dalam zaman Djawa Kuno, lebih² Ki Tjokrodirdjo di Semarang „banting tulang benar²” untuk ini, seakan-akan pertolongan satu²nja datang dari situ.
Ada baiknja untuk menjebutkan sekali gus, disamping kemungkinan pemilihan pura² itu, djuga pengoperan pura² jang telah sering diperlihatkan oleh kebudajaan Djawa aneh itu dalam sedjarahnja, dimana dioper bentuk² baru dengan tidak merasainja setjara batin, djadi gentong² baru diisi dengan anggur lama (de plus ça change, de plus ça reste le même = makin berubah, makin tetap tinggal itu-itu djuga), dan bahaja ini, sepandjang mengenai Taman Siswa dan gerakan nasional, kita alami hampir hanja dengan bentuk² kebalikan kebudajaan barat, seperti misalnja dengan azas² pengadjaran bebas dan dengan pengadjaran sosialismus.
Demikianlah setjara instruktif ada harganja untuk tjorak sosialistis gerakan nasional utjapan Dr. Tjipto Mangunkusumo (dalam Suara Parindra, Nop.-Des.1936): „Mereka (Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia) revolusioner, tetapi hanja revolusioner terhadap kekuasaan jang asing dari nasional, jang memerintah
_______________
- ) sikap-menjerah disini. Mereka marhaen, karena mereka berpendapat, bahwa seluruh rakjat, dalam segala lapisannja, telah mendjadi marhaen. Tetapi terhadap susunan asli rakjat bumiputera tidaklah mereka revolusioner. Kadang² malahan mereka mau menghidupkan kembali bentuk² jang telah kolot.” Djadi kita lihat disini, sosialismus tampak dapat diassimiler, tetapi harus dinasionaliser dan bertjorak marhaen. Untuk kaum terpeladjar, jang telah merasa sebagai individu, karena pendidikan barat mereka, jang telah mengikuti sosialismus, haruslah lebih penting mentjiptakan pertalian² baru daripada unsur perdjuangan kelas, jang walaupun demikian, harus ikut diterima mereka sebagai sesuatu jang tak terelakkan. Dengan mulai dari sini tjorak sosial dari revolusi Indonesia akan berharga untuk ditulis.
Oleh bentuk² pura² dari akkulturasi seperti jang telah kita berikan, djuga oleh tjorak politik kultur Taman Siswa, adalah sulit sekali, lebih² djuga dalam bentuk organisasinja, untuk membedakan sesuatu jang lama dari jang baru dan sesuatu jang prinsipiel dari jang opportunistis. Demikianlah dalam hal ini tidak mengharapkan subsidi gubernemen untuk dapat mempertahankan kemerdekaan sendiri adalah putusan jang prinsipiel, tetapi seperti kita lihat, kemerdekaan ini bukanlah semata-mata karena tidak mau tjotjok dengan program pengadjaran. Kemerdekaan apakah kalau demikian? Ada perkara guru² tidak berwewenang, jang merupakan sebagian besar dari pekerdja² Taman Siswa (dan sampai sekarang masih demikian). Orang mau mempertahankan kemerdekaan untuk mengangkat mereka, karena bagi Taman Siswa jang perlu bukanlah „wewenang”, tetapi ketjakapan. Tetapi inipun boleh kita sebutkan adalah suatu keinginan jang lebih opportunistis dari prinsipiel. Dalam waktu sebelum perang memanglah telah mungkin dengan segera untuk mewadjibkan idjazah sendiri, dengan mendirikan sekolah guru sendiri.
Ada djuga diberikan alasan lain untuk menolak subsidi, jakni kejakinan jang nampaknja dioper Dewantoro dari Gandhi, bahwa sjarat bagi sesuatu bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannja adalah terletak dalam tidak bergantungnja dari bangsa lain setjara ekonomis. Gandhi (jang djuga telah pernah bekerdja sebagai guru dalam ashrama Tagore) mempropagandakan untuk itu, seperti telah kita ketahui, supaja kembali kepada keradjinan tangan jang dahulu sekali, jakni bertenun dengan tangan. Dewantoro, kita lihat dalam azas ketiga, mengedjek ketjenderungan „kepada pertumbuhan jang berat sebelah, pertumbuhan ketjerdasan semata-mata, jang membuat kita tidak bebas setjara ekonomis.” Tetapi prinsip ini tidaklah setjara konsekwen diteruskan.
Untuk gubernemen penolakan ini berarti, bahwa pengadjaran disekolah-sekolah ini lepas dari pengawasannja. Ketika setelah perkembangan² revolusioner pertama dalam gerakan nasional, pemerintah dinegeri ini dengan Gubernur Djenderal B. C. de Jong dalam tahun 1931, dengan persetudjuan pemerintah dinegeri Belanda, mengambil arah politik jang tegang konservatif dan ketika orang mulai takut kepada momok politik mempengaruhi penduduk kearah jang tidak diingini, pemerintah itu mengeluarkan dalam tahun 1932 jang disebut wilde scholen-ordonnantie (undang² sekolah liar). Hal ini terdjadi setelah Direktur Pengadjaran dan Ibadat pada waktu itu mengurangi anggaran departemennja dari 70 djuta mendjadi 21 djuta, tetapi jang ditolak oleh Volksraad. Demikianlah dapat kita mengerti, mengapa Dewantoro, setelah diadjukan ordonnansi ini pada Volksraad, mengirimkan telegram kepada Gubernur Djenderal di Bogor :
„P.j.m., pelaksanaan diktatoris dari ordonnansi, jang besar artinja itu untuk rakjat setjara sosial-kulturil dan jang tergesa-gesa disiapkan, setelah tidak diterimanja anggaran belandja pengadjaran, memberi kesan adanja kegugupan pada pemerintah jang salah tangkap setjara berbahaja dalam hal kepentingan² vital rakjat stop saja peringatkan, bahkan orang jang tidak dapat pertahankan diri sendiri istingtif pertahankan dirinja untuk keselamatannja seperti kami mungkin melakukan perlawanan passif jang seru karena terpaksa.”
Ordonnansi tersebut terombang-ambing beberapa kali antara volksraad dan pemerintah. Departemen pengadjaran mengadakan pembitjaraan dengan pengurus besar Taman Siswa, Ordonnansi jang semula diurungkan satu tahun lamanja dan selandjutnja diganti dengan jang baru, dimana biang keladi jang terutama, jakni perlu adanja pengesahan lebih dahulu oleh pemerintah untuk mendirikan sekolah partikelir jang dibelandjai atau tidak dari kas pemerintah, telah dihilangkan dari dalamnja dan diganti dengan diwadjibkannja memberitahukan sesuatu usaha mendirikan sekolah partikelir jang demikian, dan kemungkinan dilarangnja pengadjaran jang diberikan oleh pengadjar² pada sekolah² demikian, untuk kepentingan ketertiban umum atau kepentingan pengadjaran, (belum disebutkan lagi kemungkinan dengan perantaraan exorbitante rechten (hak² luar-biasa membuang orang² jang politiknja ditjurigai dengan segera). Ini berarti pengawasan politik jang tentu sekali oleh P.I.D.(Politieke Inlichtingen Dienst, sedjenis polisi politik) dipraktikkan dengan kesempitan djiwa jang diperlukan, dimana sebuah portret Diponegoro pada dinding dan bendera Sang Merah Putih jang dikibarkan dengan menjanjikan lagu Indonesia Raya (Sang Merah Putih dan Indonesia Raya telah dinjatakan sebagai lambang² nasional oleh Konggres Pemuda dalam tahun 1928 di Djakarta) dapat dipakai sebagai corpora delic-delicti (tanda² bukti).
Tentulah Taman Siswa tidak melupakan dalam keadaan ini untuk memberitahukan pendiriannja mengenai soal² politik dalam pengadjaran dan mengenai kejakinan politik guru². Dewantoro mendjelaskannja a.l, dalam karangannja Kembali keladang dalam madjalah Taman Siswa Pusara bulan Maret 1933, dimana Taman Siswa sebagai organisasi sosial dibandingkan dengan ladang, jang ditanami tanam²an jang perlu untuk penghidupan, sedang gerakan nasional-politik dalam hal ini dianggap sebagai pagar, jang melindunginja terhadap binatang² dan manusia² jang merugikan. „Djadi diluar semua perumpamaan itu dapat pula kita katakan, bahwa Taman Siswa tidak ada perhubungannja sama sekali dengan politik. Memang gerakan politik nasional mendjaga, supaja kemadjuan sekolah nasional itu djangan dialang-alangi, sehingga pendjagaan pemuda² nasional tidak terganggu, karena pendjagaan itu berarti pembangunan nasional. Politik tidak boleh dimasukkan disekolah. Guru dilarang keras membawa politik disekolah, karena Taman Siswa berpendapat, bahwa politik bukanlah makanan anak² ketjil. Bahkan suasana politikpun tidak boleh dimasukkan disekolah. Tentu sekali dalam hubungan ini mendjadi anggota sesuatu partai politik, artinja ikut dalam politik praktik, haruslah dibatasi dan diatur oleh guru². Guru Taman Siswa boleh mendjadi anggota sesuatu partai politik, tetapi harus memperhatikan jang tersebut diatas. Lain dari pada itu ada lagi peraturan Taman Siswa, bahwa tiap² guru harus berdjandji, bahwa diatas segala-galanja keperluan sekolah harus diutamakannja. Taman Siswa meminta dari guru, supaja memberikan seluruh djiwanja kepada pendidikan anak². Hal ini hanja mungkin didjalankan, apabila pekerdjaan untuk itu dipandang sebagai nomor wahid. Bahkan masih banjak lagi jang diminta oleh Taman Siswa, sebab menurut „tjita² Paguron” jang dianut oleh Taman Siswa, guru harus melihat dalam pekerdjaan pendidikan itu tugas hidupnja. Sebab itu pemimpin² sekolah dilarang djuga mendjadi anggota pengurus sesuatu partai politik atau turut dengan aktif dalam pekerdjaan partai (lihat Peraturan Taman Siswa, diterbitkan dalam tahun 1935, hal. 11). Demikianlah menurut Mangunsarkoro dalam karangannja Het nationalisme in de Taman Siswa-beweging dalam Kol. Studiën 1937. Setelah revolusi petjah peraturan jang penghabisan ini hilang dengan diam².
Bagaimana dahulu eratnja selalu hubungan Taman Siswa dengan gerakan nasional, dapat kita batja dengan baik dalam roman Buiten het Gareel, karangan Suwarsih Djojopuspito, jang sebagai isteri pemimpin sekolah Taman Siswa Bandung dan sebagai guru bertahun-tahun turut mengalami hidup „disekolah liar” sebelum perang. Roman ini, jang lebih mendekati „document humain” daripada roman, adalah mula² ditulis dalam bahasa Sunda, tetapi Balai Pustaka tidak mau menerimanja waktu itu untuk diterbitkan, dan sebab itu ditulisnja lagi dalam bahasa Belanda, dan dengan kata pendahuluan Du Perron diterbitkan dalam tahun 1939 dinegeri Belanda. Buku ini sympatik sekali, diliputi sedikit oleh suasana melancholik dari tjeritera idealismus jang tidak luntur² nja oleh penderitaan², tetapi dengan diam² dipatahkan dari bawah oleh usaha manusia jang melumpuhkannja dengan kebiasaan dan pandangannja jang sempit. Beberapa peristiwa masih terpateri dalam hati: sifat „nerimo” fatalistis jang mendjadi bagian guru² dan jang hanja memberi djalan untuk saling tjemburuan dengan djiwa jang sempit; salut penghormatan anak² kepada bendera dilakukan dengan tjara militer-fascistis; dan Sulastri, peranan utama dalam buku ini, jang pada achirnja hanja akan membuat kuwe² untuk anaknja „apabila P.I.D. dan Gerakan Wanita Indonesia menjetudjuinja ....”
Hubungan dengan gerakan nasional tetap terpelihara sampai penghabisan, berkat keuletan batin Dewantoro jang tahu mengartikan dan mengikuti segala perubahan² perkembangan politik.