Taman Siswa  (1951)  oleh W. le Fèbre, diterjemahkan oleh P. S. Naipospos
Tugas jang besar: mewudjudkan diri sendiri

1

Tugas jang besar:
mewudjudkan diri sendiri

Dengan tertjapainja kemerdekaan bangsa Indonesia datang pula masa baru untuk sekolah² nasional, jang telah terkenal dengan nama Taman Siswa. Tetapi tidak setiap guru Taman Siswa melihat itu dengan segera. Ada orang jang mengunjah kembali buah pikiran jang telah timbul waktu proklamasi dalam bulan Agustus '45 jang lalu: „Tudjuan telah tertjapai, tugas kita sudah selesai.”

„Tidak Saudara², tudjuan kita belum tertjapai dan tugas kita tidak akan selesai-selesainja,” demikianlah djawab Pak Said, pemimpin Taman Siswa di Djakarta. Dan sekolah² di Djalan Garuda „berdjalan terus”. Dengan tidak ada rintangan sekolah² disini tumbuh terus tergesa-gesa, belum sampai setahun jang lalu pekarangan sebelah dalam, setelah didirikan sajap baru, telah djuga penuh dengan bangun²an baru, dan dengan ini selesailah konstruksi rumah lebah, jang terdjadi dari sarang² madu jang sempit lagi pandjang, dan disekelilingnja berdengung-dengunglah murid² sehari-harian: dari pagi pukul tudjuh, ketika sinar matahari masih tuding, sampai malam pukul sembilan, apabila matahari telah lama mengachiri siang dengan masuk keperaduannja dan lampu listrik, jang sebentar² mati dan hidup menjebabkan teriakan murid² dan jang dengan kerdja-sama diperbaiki kembali. Sebab semuanja dilakukan bersama: mendirikan ruangan kelas, membuat lapangan olah raga, merajakan upatjara², memperdebatkan dengan mendalam soal² jang ada, mengerdjakan pendidikan sehingga mendjadi pendidikan diri sendiri .....

„Sungguh pekerdjaan kita mendjadi lebih sukar, sedjak kita mendjadi merdeka”, kata Pak Said mengakui. Dan jang dapat bitjara tentang itu ialah Pak Said, jang menjelamatkan Taman Siswa Djakarta dari perang, mengasuhnja seperti mengasuh seekor burung jang lumpuh sajap, sehingga bernjanji kembali dengan debaran hati sendiri, debaran hati Pak Said, bersorak gembira karena kepertjajaannja kepada hidup, walaupun datang mengganggu segala kesulitan², dengan tidak mengenal tjape membangun sebuah „sekolah” dengan duapuluh orang anak dalam rumahnja sendiri jang ketjil mendjadi dalam lima tahun suatu pergaulan-hidup dari empatribu orang murid², murid² dari pengadjaran rendah, pengadjaran permulaan dan landjutan. Rentjana² jang makin lama makin bertjabang-tjabang itu telah djuga bermaksud mempunjai „Kindergarten” (Taman Kanak²) jang ada ajunan dan djungkatannja seperti di Djokja. Dengan ini keluarga jang besar serta segar bugar itu akan lengkap seluruhnja dan barangkali patut diberi bernama: Indonesia.

Tjinta kepada anak² ialah sifat bangsa Indonesia jang paling mulia dan menjolok mata dan itulah pula jang mendjadi kekuatan pemimpin sekolah jang muda dan masih budjang ini, jang dengan tidak ada prasangka berdiri dalam hidup dan dengan pandangan matanja jang tjelik, seakan-akan dapat selalu melihat seluruhnja, tetapi djuga sering memperlihatkan perhatian jang tidak disangka-sangka kepada bagian ketjil², jang kelihatannja tidak ada harganja, seperti perhatian tukang kebon kepada tjangkuk dan tjarang, kepada unsur jang sedang tumbuh, dan tjinta pendidik kepada djustru anak² nakal, jang dikenalnja benar² diantara empatribu muka anak², jang menganggukkan kepalanja kepadanja, dan jang semuanja menjebutkannja Pak.

Apakah sebenarnja kesulitan² jang baru itu? Kesulitan untuk mendapat terus guru² bagi semua djam peladjaran, karena mahasiswa² republik telah djuga beladjar kembali dan mempunjai kurang waktu untuk berdiri didepan kelas? Walaupun begitu, ada enampuluh orang berganti-ganti pagi dan sore mengadjar di Taman Siswa dan mengikuti kuliah djuga pada Balai Perguruan Tinggi Indonesia. Djadi kesulitan untuk mendapat kembali suasana sendiri, karena pengibaran Sang Dwiwarna jang dilakukan bersama-sama tidak lagi mempunjai sifat perangsang sesuatu jang terlarang, tidak lagi mempunjai kekuatannja jang mengikat, kekuatan perlawanan terhadap orang² jang memperkosa kemerdekaan Indonesia? Ataukah djustru kesulitan untuk memberi isi kepada kemerdekaan dan untuk kembali kepada diri sendiri, karena pendjadjahan telah terhindar?

Bagaimanapun djuga anehnja kedengaran, memang jang penghabisan inilah tugas jang paling besar dan paling sulit. Itulah pula alfa dan omega, awal dan achir Taman Siswa, titik permulaan dan dorongan jang selalu mengatasi segala kesulitan² dan jang seharusnja sekarang mendjadi harapan suka tjita, karena perlawanan buatan telah terhindar, mentjapai udara lapang lagi bebas dan tanaman harus tumbuh dan berkembang dengan wataknja sendiri jang tidak terpalsukan itu. Suatu tugas jang besar, sebab walaupun benih tanaman boleh dikatakan hampir abadi, tanah, zat² makanan dan iklim kelihatannja telah berubah.

Adalah selalu sulit untuk terus memakai hiasan. Sebab itu saja insaf, bahwa saja harus meminta kerelaan pembatja, apabila djuga saja, guna pembagian jang agak memudahkan pandangan, tetap memakai istilah² ilmu tumbuh²an, istilah jang sangat terpakai untuk proses² pendidikan, dalam ichtiar jang dibawah ini, berbentuk perslah jang subjektif untuk membuat analysis, menguraikan sekotah jang sangat bersusun itu, sekotah wudjud, sedjarah dan kemungkinan² berkembangnja dikemudian hari gerakan Taman Siswa.