Taman Siswa/9
9
Tukang kebon jang paling muda sedang
mentjari sumber² universil:
Mohamad Said.
Adalah dalam tahun 1937, ketika seorang pemuda memasuki Taman Siswa sebagai guru, waktu jang ternjata penting sekali untuk hari kemudian sekolah ini. Ia adalah mahasiswa kedokteran tahun ketiga, Mohamad Said.
Ia lahir pada tanggal 21 Djanuari 1917 di Purworedjo sebagai tjutju bupati Semarang. Ajahnja, Reksohadiprodjo, jang sehabis pendidikan H.B.S. dipekerdjakan sebagai wedana untuk mendjadi bupati nanti, berselisih paham dengan sepnja, residen, lalu minta lepas dan mendirikan sebuah sekolah partikelir, untuk mengabdi selandjutnja kepada pengadjaran.
Mohamad Said, jang pada mulanja bernama Bambang Sunjo Sudarmo (= anak seorang ajah jang tidak hadir), karena waktu ia lahir ajahnja tidak ada ditempat itu, djadi ia dibesarkan dalam keluarga bangsawan feodal, dimana misalnja tiap² anak mempunjai seorang emban. Asal-usul ini mengingatkan kita kepada Raden Adjeng Kartini, seorang anak perempuan Bupati Djapara. Seperti Kartini anak prijai, Bambang djuga bersekolah di Europese Lagere School. Ia seorang murid jang radjin dan entjer otaknja dan, telah djuga waktu itu, mempunjai kemauan jang keras. Pudjian paling tinggi jang dapat diperolehnja dari entjik gurunja, jang nampaknja mengenal dia betul², adalah, sedang entjik guru itu mengapus-apus djambul hitam Bambang: Engkau seorang anak Jan de Wit.”
Waktu berusia duabelas tahun, ia lulus untuk udjian masuk H.B.S., dimana ia djuga mengikuti pengadjaran sebagai salah seorang jang paling baik. Walaupun termasuk anak jang bungsu dari suatu keluarga jang besar dan ajahnja telah kehilangan kedudukannja jang baik, masih belum ada kesulitan² keuangan jang dapat mengalangi sekolahnja. Orang tuanja dan abang²nja, jang telah ada beberapa orang mempunjai kedudukan jang penting dalam masjarakat, bangga akan dia dan mempunjai harapan besar tentang dia, jang sedemikian muda telah dapat menarik perhatian orang² dan membuat mereka kadang? heran dengan utjapan²nja.
Dua persahabatan jang diikat di H.B.S. imi mempunjai pengaruh jang penting atas hidup Moh. Said. Dikelas satu telah ada seorang temannja murid jang diseganinja dan karena itu didjundjungnja tinggi: Mukarto muda, jang waktu itu telah dapat dikatakan seorang nasionalis dan jang utjapan²nja tentang tjita²nja demikian tertjantum dalam hati Bambang, sehingga ia dapat mengulanginja sekarang. Jang lain ialah seorang gadis, jang memperkenalkannja dengan adjaran theosofi. Itulah dalam tahun² ketika Krishnamurti jang dibawa oleh Annie Besant sebagai guru baru dunia dari India ke Eropah, mengadakan pidato²nja di Ommen dan
menganggap faham jang satu²nja tepat tentang tugas pelepasnja adalah menjuruh orang kembali kepada berpikir sendiri jang bebas, dan achirnja membubarkan „Djemaah Bintang” (Orde van de Ster) jang didirikan sekelilingnja. Sekolah Pembukaan Taman Indrya
Dewantoro menerima kuntji dari tangan anak² untuk membuka sekolah Taman
Indrya (taman kanak²) jang baru di Djalan Mataraman Dalam,
Djakarta, 23 Maret 1952.
Waktu berumur tudjuhbelas tahun, ketika Said hendak meninggalkan H.B.S. terdjadilah suatu peristiwa jang boleh dikatakan kentara, jakni bahwa guru²nja mendirikan fonds untuk mentjegah, supaja ia djangan menghentikan peladjarannja karena alasan² keuangan. Waktu ditanja, dimana ia suka melandjutkan peladjarannja, maka Said menjebutkan tiga djurusan: djurusan konsulen pertanian dan kalau mungkin, beladjar di Wageningen, atau djurusan dokter untuk dapat memenuhi panggilan djiwanja menolong sesamanja manusia, atau achirnja djurusan guru, sebab ia suka akan anak². Guru²nja menasihatkan, supaja bersekolah ke Sekolah Tabib Tinggi di Betawi.
Djadi seperti pada Kartini beladjar kenegeri Belanda tidak dapat terus, dan diganti dengan beladjar di Betawi, tetapi lain dari pada Kartini jang harus menuntut sekian tahun lamanja untuk boleh beladjar terus, tidaklah datang krisis batin sebelum pengambilan keputusan, jang achirnja membuatnja menolak dan menuruti panggilan djiwanja memberi peladjaran kepada anak² dalam sekolah jang didirikannja sendiri. Said beladjar tiga tahun dan kota besar Betawi dengan pertentangan² sosialnja jang menjolok mata dan dengan hidup kosmopolitis barat jang atjuh tak atjuh di negeri timur, adalah sebagai pembeku bagi hatinja jang masih muda lagi idealistis itu. Ia djuga mengalami krisis batin jang besar, ketika ia dengan kemutlakan chuluknja merasa dirinja terpentjil dari bangsanja sendiri pada satu pihak dan dari guru²nja pada pihak lain. Dengan keberanian besar jang mendjadi sifatnja jang kentara, ia mengambil keputusan: pantalonnja jang berseterika litjin itu, badjunja dan dasinja ditanggalkannja dan dengan tidak bersepatu pakai sarong sebagai anggota rakjat golongan rendah ia menerima tugasnja jang dipilihnja sendiri sebagai guru pada Taman Siswa. Hasil pelarian dari kesepian ini, jang kedalamnja ia didorong krisis religinja, adalah sesuai dengan apa jang dikatakan salah seorang guru besar kepada vegetarier Said, jang tidak djuga dapat menjembunjikan sama sekali keseganan hatinja terhadap pembedahan, untuk dipertimbangkannja: sebenarnja engkau harus mendjadi domine atau guru, tetapi djangan dokter.
Kedjadian ini membawa keributan dan keketjewaan dikalangan anggota² keluarganja dan guru²nja, jang telah, melihat harapan mereka terkandas dan segala djalan dipakai untuk menariknja dari maksud²nja jang tidak masuk diakal itu, Ada jang memaki-makinja seorang dungu. Tetapi Said telah mengambil keputusan dan, walaupun masih satu tahun lagi lamanja, sebelum ia sendiri mendapat kembali keseimbangan batinnja, jang telah terganggu dengan perubahan mendadak arah dan pribadinja, ia akan melakukan kewadjibannja seperti jang dilihatnja. Pembawaan chuluknja untuk ketabahan hati diperkuat tahun ini mendjadi sifat definitif pribadinja.
Sama sekali tidak berpengaruh adalah permintaan² keluarganja untuk meneruskan peladjaran djuga. Tetapi Said memadjukan dua sjarat: saja tinggal pada Taman Siswa dan memilih djurusan peladjaran jang saja sukai.
Demikianlah Said mendaftarkan nama untuk fakultet sastera jang didirikan pada tahun '40. Dalam kuliah² jang diberikan oleh R. Nieuwenhuys, para mahasiswa bergiliran mendapat tugas memulai sesuatu pembitjaraan jang diikuti oleh debat. Said memberikan pendjelasan tentang sedjarah Adam dan Hawa sebagai mytha anthropologis dan tidak dapat mengelakkan, bahwa pendjelasannja menimbulkan amarah beberapa mahasiswa jang orthodox. Ia berpendapat, bahwa pengetahuan baik dan buruk, jang menghalau manusia dari taman firdaus dunia kanak², bukanlah pemberian iblis, tetapi bahwa Tuhan sendiri memasukkan Lucifer dalam tjiptaanNja djustru untuk mengadjarkan pengertian dosa kepada manusia. Djadi Said menganggap ketjerdasan sebagai karunia illahi, jang diilhamkan oleh kepertjajaannja kepada harmoni dalam alam, dimana disamping tiap² penjakit ada obatnja. Bagaimana ia menerima hidup ini memang membuktikan sifat positif dari putusan hidupnja sendiri, seperti djuga bagaimana ia memilih peladjarannja adalah kentara untuk perhatiannja kepada hidup dalam seluruh kekajaannja.
Peperangan membuat kuliah² ini berachir dan pada waktu itu telah tiba saatnja bagi Said untuk membuktikan dahulu benar², apakah harganja dalam hidup. Mangunsarkoro — dengan siapa Said sebagai guru jang paling muda berkali-kali seru berdebat dan jang pernah dipersalahkannja, bahwa tindakannja tidaklah tjukup sosialistis (kemudian ketika ia sendiri mendjadi pemimpin sekolah, ia mendapat pandangan jang lebih baik tentang keperluan² organisatoris dan pertalian dengan pemimpin sekolah jang lama mendjadi tetap terpelihara) — diganti oleh Sukamto. Tetapi tidak lama kemudian sebagian besar dari guru² itu telah mengungsi dan hanja karena ketabahan hati Mara Sutan, salah seorang guru jang paling lama di Taman Siswa, dan Said dan dengan bantuan murid², sekolah itu dapat dihidupkan kembali. Said memakai segala alat untuk mengelakkan pengawasan Djepang, supaja pendidikan murid² jang diserahkan kepadanja tidak menderita kerugian. Diluar djam² peladjaran untuk bahasa Djepang, jang telah dapat dipeladjarinja dalam beberapa bulan sadja, ia memberikan djuga dengan diam² peladjaran dalam bahasa asing atau dalam mata peladjaran lain jang terlarang.
Lalu angin topan revolusi datang bertiup dan sebagai dalam tahun '42 kebanjakan dari guru² telah pergi mengungsi, setelah pertempuran² pertama. Orang² Inggeris jang masuk mendarat untuk mendjaga keamanan, menangkap Said sebagai extremist atas tundjukan orang. Tetapi ia ternjata bukanlah type seorang anarchist pembom, sebaliknja pribadinja menarik mereka jang menangkapnja. Ia dilepaskan lagi dan karena penangkapan ini, ia berkenalan dengan beberapa opsir Inggeris dan India jang berguna baginja kemudian.
Waktu itu ialah zaman bersiap jang berbahaja dan ketika bangkai anak² telah terapung-apung dikali Molenvliet, Said mengerti, bahwa telah tiba waktunja untuk mendirikan lagi sebuah sekolah. Anak² jang dipungutnja dalam rumahnja merupakan murid² pertama tentu dan „sekolah” ini masih tetap dalam rumahnja sampai bulan Djanuari '46. Dalam segala lapangan Said mengambil initiatif dan dapat pula membentuk kembali korps pengadjar, jang selandjutnja terutama terdiri dari pemuda², jang menerima pimpinannja jang memberi semangat itu. Pengurus besar Taman Siswa memberikan kepadanja dispensasi peraturan tahun '32, jang mengatakan, bahwa hanja guru² jang kawin dapat ditundjuk sebagai pemimpin sekolah. Tidak lama kemudian sekolah itu sudah mentjapai seribu murid lagi.
Dalam bulan Djuli '47 tentara Belanda mendjalankan „aksi polisinja” jang pertama. Said dan beberapa orang guru² ditangkap lagi. Hampir kutjar-katjir sekolah itu kembali, tetapi meskipun ia harus lama tinggal dipendjara, sekolah diteruskan djuga. Waktu sekolah² Republik ditutup semuanja di Djakarta, berdujun-dujunlah murid² masuk ke Taman Siswa. Tetapi meneruskan sekolah itu tidaklah dapat disetudjui oleh pengurus besar di Djokja, jang berpendirian, bahwa di daerah² pendudukan pengadjaran harus dihentikan dan pada umumnja harus didjadikan sedemikian, hingga pemerintahan tidak mungkin. Said menolak dengan keras pendirian ini dan sebagai alasan penghabisan guru² di Djakarta memutuskan, bahwa djika pengurus besar tidak akan mengubah pendiriannja, sekolah itu akan bekerdja terus dengan nama lain. Dengan mesinterbang Inggeris Said pergi ke Djokja untuk merundingkannja dalam bulan Desember '47. Adalah terutama angkatan ketiga guru² jang muda Taman Siswa, (dan ia sendiri termasuk kesitu), jang mau tetap mempertahankan larangan itu. Guru² jang lebih tua seperti Dewantoro dan Mangunsarkoro menundjukkan pengertian jang banjak untuk alasan²nja, dan ketika setelah itu salah seorang pengurus dari Djokja membuat perdjalanan melalui daerah pendudukan Djawa Barat dan menjampaikan laporannja kepada pengurus besar, pendirian pimpinan mendjadi lunak, jang sebenarnja tidak mempunjai pandangan jang kurang tepat tentang keadaan didaerah pendudukan.
Said mendapat idjin memimpin konsulat Taman Siswa untuk daerah² pendudukan dan beberapa guru² jang lebih tua datang djuga kesekolah itu kembali, jang telah mempunjai lebih dari duaribu orang murid. Adalah tetap sulit untuk menampung murid² jang terus-menerus bertambah banjaknja itu, tetapi Said memperlihatkan keuletannja, ia menjuruh mereka membawa sendiri bangku dan medja untuk dipakai disekolah mereka sendiri. Sedang dimana-mana uang Nica masuk merembes, uang nafkah guru² masih tetap dibajar dengan uang ori, tetapi untuk meringankan kesulitan² mereka sedikit murid² membajar uang sekolahnja djuga dengan bahan makanan. Gedung di Djalan Garuda dengan masjarakatnja jang ramai dari murid² dan guru² dalam pergaulan karib, adalah seperti jang disebutkan Dolf Verspoor kepada kenalan²nja orang Inggeris: „The last republican fortress in Djakarta.”
Penderitaan belum berachir dan pada aksi militer kedua dalam bulan Desember '48 Said, jang baru keluar dari rumahsakit, setelah menderita penjakit radang paru², pada suatu malam gelap gulita diambil lagi oleh P. I. D. dan ditahan di Parapatan. Taman Siswa berdjalan terus dan dari luar pendjara murid² tidak lalai mengadakan perhubungan dengan Pak mereka jang ditjintai itu.
Setelah ia dibebaskan Said bekerdja „banting tulang” lagi untuk sekolah itu dengan kegembiraan jang tak patah²nja dan dengan empatribu orang murid dan delapan puluh guru², sekolah ini menghadapi dalam bulan Djuli '49 hari peringatan duapuluh tahun berdirinja tjabang Djakarta. Hari peringatan itu diramaikan dengan demonstrasi murid² dilapangan olah raga jang mereka buat sendiri, dan dengan pertundjukan perkumpulan musik klassik barat „Saraswati” jang erat berhubungan dengan sekolah itu, sedang dalam liburan sebelum tahun peladjaran baru, diadakan bukan sadja pertundjukan pekerdjaan² murid diruangan-ruangan kelas jang dikosongkan itu, tetapi djuga eksposisi lukisan² dari pelukis² Indonesia dan Tionghoa. Bukankah sebagai Taman Siswa jang baik orang menghendaki lebih dari tjorak sesuatu sekolah: sesuatu pusat kebudajaan untuk tua dan muda?
Adalah karena pertundjukan ini, saja mengundjungi sekolah itu untuk pertama kali. Persamaan² lukisan² jang dipertundjukkan dengan lukisan² barat dengan segera menarik perhatian saja. Tentang pelukis² Tionghoa itu, lukisan² mereka terutama mengingatkan saja kepada taraf seni lukis di Eropah jang dengan definitif berhenti, setelah petjah perangdunia pertama, dan pelukis² ini nampaknja meletakkan titik-beratnja pada penguasaan teknik, dengan masih ada disana-sini bekas² kalligrafi piktural Tiongkok. Sebaliknja pelukis² Indonesia adalah seakan-akan merupakan sambungan seni lukis Eropah modern jang telah terlepas dari masjarakatnja, jang sebenarnja djuga demikian memperlihatkan pendjelmaan bentuk jang diambil dari kebudajaan² primitif lain. Tjorak Indonesia sendiri barangkali tampak djuga dalam pemakaian pertentangan² warna, jang bagi saja agak tidak sewadjarnja, dengan ketjenderungan jang menjolok mata kepada warna kuning dan hidjau. Dari ketjakapan mereka jang kentara untuk dekorasi seperti jang kita lihat berkali-kali pada gambar² murid sekolah, tidaklah ada bekas²nja sama sekali. Ada sematjam kesan jang tidak menjenangkan pada lukisan² mereka sebagai akibat pengutamaan ke„spontan”an jang berlebih-lebihan dan portret² sendiri istimewa banjaknja, jang tentu sekali menundjukkan, bahwa mereka sedang sibuk dengan dirinja sendiri, jang berarti: pelukis² muda ini sedang mentjari dirinja sendiri. Pengutjapan kesepian dan pessimismus ada tampak pada air muka lukisan kepala² ini jang kebanjakan suram, kadang² hampir antjai. Djadi djuga „kebantunan”? Bukankah pessimismus puisi Indonesia telah djuga ditulis sebagai akibat masjarakat dalam pantjaroba kebudajaan?
Adalah menarik perhatian, bahwa djustru pelukis jang dalam lukisannja demikian impulsifnja, Affandi, bekerdja pada Taman Siswa sebagai guru gambar. Seorang guru jang djuga mahasiswa mengatakan itu kepada saja, ketika saja dengan dia bersama-sama sedang menunggu pulangnja Pak Said jang pergi menjampaikan pesan, untuk bertjakap-tjakap dengan dia. Ketika Pak Said datang, ternjata bahwa banjak benar pekerdjaannja, tetapi hal itu terlalu djelas diperlihatkannja, supaja djangan timbul persangkaan, bahwa adalah karena hendak menutupi sedikit keadaannja jang belum bersisir dan bertjukur itu, dan kepegalan ini membuat saja sebentar menjangka, bahwa saja telah berkenalan dengan seorang pelopor jang belum berapa lama ini saja lihat dibelakang kawat duri, ketika saja dari negeri Belanda baru sampai dengan kapal di Belawan, dimana mereka ditahan menunggu Konperensi Medja Bundar. Tetapipada suatu malam jang telah didjandjikan untuk bertjakap-tjakap saja beladjar mengenalnja lain sekali dikamar tidur-duduknja jang ketjil itu, jang disamping kamar mandi menundjukkan kedudukan pengurus besar (untuk Taman Siswa didaerah pendudukan), dimana kami dalam beberapa kursi rotan jang tjombeng dengan kepala berdekatan memulai perkenalan, Besar perbedaannja terasa untuk saja, ketika pada pertemuan jang lebih tenang ini, dalam kesunjian malam dipekarangan belakang jang segitiga dan penuh bangun²an itu, malahan terdengar sifat jang halus berhati-hati dalam suaranja dan dengan tiba² tampak kepada saja, bagaimana tulennja utjapannja dalam bahasa Belanda. Memakai sarong tidak pernah saja lihat dia, selalu memakai tjelana pendek sportif dari khaki dengan kaki telandjang dalam sepatunja. Malam itu kami telah segera terlibat dalam pertjakapan jang menarik hati, dimana mentjatat peristiwa² sedjarah sekolahnja hanjalah merupakan formalitet ketjil. Djuga tentang hari kemudian sekolah itu saja tanjakan dan ia tidak menjembunjikan, bahwa ia takut djumlah guru² akan berkurang dengan tjepat, apabila setelah penjerahan kedaulatan, mahasiswa² republik dengan sungguh² akan beladjar kembali untuk sedapat mungkin mengedjar ketinggalannja. Djuga pada umumnja ia menganggap soal guru, menilik pentingnja tugas pengadjaran dalam Indonesia merdeka, adalah salah satu soal jang paling penting. Sebab itu menurut pendapatnja ia setudju, bahwa disegala sekolah² menengah diberikan djuga sedikit peladjaran ilmu djiwa, ilmu mendidik dan didaktik untuk membuat mungkin mendjalankan bagi semua mahasiswa kewadjiban bekerdja pada pengadjaran setahun lamanja. Untuk gadji jang lebih baik, seperti waktu itu disokong oleh beberapa suratkabar, ia tidak dapat memperlihatkan sympati jang besar, Djustru karena gadji guru² Taman Siswa dibawah gadji guru² Pemerintah, dapat terdjamin, bahwa hanja mereka jang mempunjai panggilan djiwa untuk itu datang memasuki Taman Siswa sebagai guru.
— Tidakkah tuan mengharapkan, bahwa dikemudian hari djuga sekolah² Taman Siswa akan termasuk bilangan sekolah² jang mendapat subsidi dari Pemerintah?
— Saja tidak tahu. Barangkali ada selalu kebutuhan akan sekolah² pertjobaan jang sungguh² bebas.
— Pertjajakah tuan, bahwa sekolah² Taman Siswa dikemudian hari djuga akan berusaha untuk memadjukan „bekerdja sendiri” dikalangan murid² dengan metodik baru dalam djurusan jang lebih individuil?
— Tidak, saja tidak pertjaja. Untuk melakukan itu kami kekurangan alat² peladjaran dan pengadjaran kami untuk sementara harus terlalu banjak ditudjukan untuk orang banjak (massa). Penjelenggaraan jang diperatur seperti di Barat belum dapat kami tjapai sama sekali. Demikianlah misalnja buku² rapport bagi kami masih tetap sesuatu jang tak baik, tetapi jang tidak dapat kami elakkan, (saja sendiri ingin menjampingkannja), tetapi bagaimanakah kita dengan tjara lain dapat mengingat prestasi² beberapa ratus orang murid bersama-sama? Walaupun begitu, ada terdapat disekolah-sekolah kami suasana kebebasan dan kesatuan antara murid dan guru, jang pada sekolah² resmi, djuga sekolah² Republik, tidak dapat ditjapai, karena guru² disana terlalu menganggap dirinja pegawai. Pada kami ada sematjam suasana pertjaja-mempertjajai antara murid dan gurunja jang kadang² djauh lebih besar dari kepertjajaan kepada orang tua. Disini ada anak² jang datang kepada kami dengan soal jang tidak berani mereka membitjarakannja dengan orang lain. Dan kami berusaha, supaja mereka sendiri sedapat mungkin mengambil keputusan. Pendidikan watak itulah jang paling perlu bagi kami. Djuga selama peladjaran, murid² mendapat kebebasan penuh dan untuk mendjalankan ini dengan baik, kami malahan menjuruh mereka bekerdja bebas sama sekali satu hari dalam satu bulan: „hari usaha merdeka” itu ditetapkan sekarang pada tanggal tudjuhbelas tiap² bulan. Tentu sadja kami ingin, supaja tiap² anak seboleh-bolehnja dapat mengembangkan dirinja sendiri menurut bakatnja dan dapat memilih wudjudnja sendiri; tetapi jang terutama ialah bahwa kami dapat memberikan bantuan batin untuk itu. Kami ingin mengadjar mereka mengatasi pengaruh dari luar jang tidak dapat mereka elakkan nanti, dan hal ini kami lakukan dengan tjontoh kami sendiri. Waktu membuktikan, bahwa tjita² kami memang berbuah. Demikianlah misalnja ternjata, bahwa sebagian besar dari tokoh² pemimpin selama revolusi datangnja dari sekolah² Taman Siswa seperti Djenderal Sudirman. Dan djuga dikalangan pengarang² muda dapat kami tundjukkan murid² lama sekolah² kami, seperti Asrul Sani, Pramudya Ananta Tur dan Utuy Sontani.
Saja katakan, bahwa saja ingin melihat sekali dan mengalami sendiri pengadjaran Taman Siswa pada suatu hari sekolah biasa. Ia tidak berkeberatan sama sekali. Demikianlah saja pada suatu pagi, bersama-sama dengan seorang teman pengiring muda, ikut duduk berturut-turut dibangku sekolah dalam tiga kelas sekolah menengah dan dalam dua kelas sekolah rendah. Kekurangan alat² peladjaran dan perlunja untuk selalu membuat diktat adalah menjolok mata dalam kelas sekolah menengah. Tetapi hal ini dilakukan dengan tjara jang paling sewadjarnja dan dalam suasana persahabatan jang menggembirakan dengan „Pak” mereka didepan kelas, seorang mahasiswa muda, jang dengan kerelaan hati jang baik dan daja mengadjar jang meraba-raba membimbing murid²nja kedalam dunia pengetahuan. Tentu sekali dalam bahasa Indonesia. Sedjak tahun '42, murid² tidak pernah mendengar bahasa lain dan disini di Djakarta telah dipakai bahasa Indonesia mulai dari kelas satu. Disekolah rendah ini pengadjaran lebih diberikan oleh tenaga² jang terdidik baik dan saja hanjalah perlu melihat sebentar, bagaimana ibu jang „berwewenang” itu dengan perantaraan segala taktik vaknja dapat berbuat sekehendaknja dengan sekelas anak² ketjil dalam pertjakapan berganti-ganti jang teratur, untuk mengerti bahwa segala ketidakrataan dengan tiba² terhapus disini oleh tangan jang pasti.
Tentang murid²nja, djika saja tidak melihat segala gambar² dan sadjak² mereka dipertundjukan, maka beberapa orang anak perempuan jang berrok putih dan berbadju merah, djuga satu tjoretan dengan potlot dibangku jang berbunji „100 % merdeka”, telah membuat saja insaf, bahwa anak² disini dididik dalam suasana kebangsaan dan bahwa soal untuk mendjaga, supaja mereka tetap diluar politik, sedjak bertahun-tahun bukanlah soal jang mudah. Tetapi segala-galanja akan segera beres lagi pada hari jang aneh lagi sepi itu, distraat-straat jang mengibarkan bendera tetapi sunji, ketika Indonesia dengan tidak banjak ramai² memperoleh kemerdekaannja, disaksikan oleh orang² banjak jang berdjuta-djuta banjaknja dan berdjedjal-djedjal didepan istana.
Djadi pada saat ini bagi sekolah² di Djakarta mulailah tugas untuk membuktikan, bahwa djuga dalam keadaan baru itu Taman Siswa akan tetap memegang fungsinja jang mengatur dalam proses pembangunan jang sedang dialami Indonesia. Djika pada umumnja pengadjaran dalam hal ini mempunjai peranan penting, untuk pengadjaran Taman Siswa hal ini berlaku dua kali lipat dengan sifat kulturilnja, jang mendorong tetapi lebih² djuga jang memelihara itu, dan jang tentulah untuk sementara tetap mendjadi tjoraknja jang kentara.
Sekolah² sesetempat jang berbagai-bagai itu dalam hal ini akan dapat mempunjai tjoraknja sendiri masing², sesuai benar dengan rentjana sendiri dan tradisi instansi² pengadjaran, bergantung dari keadaan sesetempat dan tjorak pimpinannja, walaupun tjita² untuk kesatuan kebudajaan nasional tidaklah lalu daripadanja. Demikianlah Taman Siswa di Djakarta, dibawah pimpinan Said, terutama mempunjai fungsi pendorong dengan tjorak filosofis, terhadap Taman Siswa di Djokjakarta jang terutama mempunjai fungsi pemelihara jang lebih artistik tjoraknja. Tetapi dalam pada itu untuk murid² Djakarta dibuka lagi kesempatan untuk berlatih tari²an Serimpi. Pak Said nampaknja ada djuga berpendapat, bahwa tjinta untuk kebudajaan sendiri, djika mungkin, haruslah dipergiat, karena hal ini melindungi murid² dari peniruan membabi buta peradaban asing jang tidak dirasai.
Arti latihan musik dan tari sendiri untuk kebudajaan² timur, jang dalam pertemuan dengan barat terantjam terpetjah-petjah dalam segolongan ketjil orang² terpeladjar dan rakjat banjak jang besar djumlahnja, haruslah dianggap istimewa sekali. Bukankah disini masih ada „tanah pemberi makan” bersama, jang djuga akan mentjegah „kenakalan, keberandalan dan kebiasaan² buruk, jang merupakan peristiwa² sampingan dari pengadjaran barat jang tidak terelakkan, apabila hal ini tidak diikat oleh pikiran² religi atau tidak tjukup mendalam untuk membentuk dari dirinja sendiri discipline, jang berdasarkan penguasaan diri sendiri? Dimana tari dan musik mendjelmakan pikiran² filsafat dan religi dalam drama tari jang besar sekali nilainja, tari dan musik itupun memenuhi djuga kebutuhan² asthetis dan kebutuhan² batin” (L. C. Baudisch-van Harencarspel). Dapat ditambahkan kesini, bahwa ikatan jang demikian dapat djuga pada umumnja memperkuat rasa hormat kepada kekuasaan.
Apakah ini djuga alasan jang dipakai dengan sedar oleh Moh. Said, tidaklah dapat saja katakan, karena tentulah ia sanggup mengambil putusan² instingtif dalam hal ini. Sedjak pertjakapan kami jang pertama, masih berkali-kali kami bertukar pikiran; dan untuk itu tidak perlu lagi pertundjukan sebagai pendahuluan, walaupun ia djuga melandjutkan tradisi baru ini, dengan maksud memberikan kepada pelukis² Indonesia dasar kerakjatan dan karena itu ada kemungkinan untuk mengikuti kemadjuan mereka (jang dalam eksposisi penghabisan dengan djelas memperlihatkan konsolidasi keadaan umum: bukan sadja lukisan² jang teliti diberi berbingkai sekarang, tetapi djuga pendiaman jang kentara dalam dynamik dan sebagai ganti inspirasi jang tidak sempurna dikuasai ada lebih banjak pendalaman penjelidikan), seperti ia djuga hendak memperlihatkan pertaliannja dengan penjair² dengan menjuruh membuat patung Chairil Anwar untuk ditempatkan dalam kebun didepan sekolah itu. Tetapi dengan segala kegemarannja akan pemikiran dan pertanggungdjawabannja setjara filosofis, saja pertjaja djuga, bahwa dalam tindakan²nja ia adalah pertama-tama sahabat manusia jang merasai. Lebih dari seorang systematikus jang pasti sebagai Mangunsarkoro, menurut pendapat saja, ia lebih mendekati filsuf pedagogis sebagai Sjafei, jang djuga demikian sedikit menulis. Tetapi Sjafei mempunjai pendidikan dalam lapangan guru, sebelum ia mendirikan sekolahnja sendiri, Said sebaliknja memasuki djurusan jang sesuai dengan djiwanja dalam kebutuhan jang tidak tertahan, dimana ia selandjutnja mewakili unsur terbuka.
Dengan mentalitetnja jang istimewa Said dihargai djuga oleh orang² Indonesia jang lebih berpihak „barat”, jang pada umumnja tidak mempunjai sympati terhadap gerakan Taman Siswa. Anehnja djuga, bahwa kebanjakan dari mereka hampir tidak mengenalnja sebagai seorang Djawa, djadi kelihatannja ia termasuk prototype orang Indonesia tulen. Hal ini tidaklah djuga mengherankan benar, kata Said, sebab hidung saja memperlihatkan liuk hidung Arab dan mata saja memilih djurusan mata orang Tionghoa dan sifat² ini bukanlah taktulen sama sekali. Murid²nja ada mempunjai ukuran sendiri untuk mentjoba masing², mana keindonesiaan jang baik, ukuran jang tidak luput dari ketjerdikan semata-mata. Mereka misalnja mengatakan kepada seorang teman dengan edjekan jang diperlukan, bahwa ia adalah seorang Sunda. Apabila teman ini tidak marah, ia telah menang dan membuktikan, bahwa ia memenuhi sjarat² keindonesiaan. Bagaimana djauhnja mereka „antidaerah”, kelihatan, apabila waktu peladjaran ternjata, bahwa untuk sesuatu pengertian tertentu belum ada istilahnja dalam bahasa Indonesia, djadi mereka harus mentjari sendiri. Apabila Said mengingatkan, bahwa bahasa Djawa ada mempunjai kata jang tepat untuk itu, maka datanglah djawab: „Tetapi itu bahasa Djawa.” Dan mereka ternjata lebih suka kepada kata jang sama sekali asing, misalnja istilah Arab.
Tetapi dalam pandangan-hidupnja sendiri tidaklah pernah Said merasa perlu untuk menjembunjikan djiwa Djawanja. Djustru kelapangan dan kekuatan perasaan tjara berpikir Djawa ini merupakan unsurnja jang tulen, sehingga ia dengan pendidikannja (selfmade) jang lebih luas itu mendapat kesempatan untuk merangkum djuga beberapa aliran² filsafat modern, dengan synkretismus agama jang kentara. Inilah pendapatan jang aneh untuk prof. Kraemer jang djuga menjebutkan dirinja seorang synkretist, tetapi jang maksudnja tidaklah lebih dari Kalvinismus jang telah menjesuaikan dirinja dengan berbagai-bagai kebudajaan. Pertukaran pikiran dengan Said, berdasarkan kechilafan persamaan istilah aliran kesukaan keduanja, akan membuatnja tentu melompat dengan langkah seribu, apabila jang lain mengatakan dengan tenang, bahwa ia menganggap ideaal pandangan-dunia jang mempersatukan kekristenan dengan adjaran Nietzsche. Apakah tjita² kepada kekuasaan selainnja dari tjita² kepada kebahagiaan? Dan kebahagiaan jang paling tinggi ialah kesenangan hati. Djadi menurut Nietzsche haruslah Kristus disebutkan manusia jang paling berkuasa, jang kebal, kebadjikan jang memberi. Tetapi orang² kristen dengan kerendahan hati mereka sebagai kemauan akan kekuasaan jang „salah”, adalah orang² jang bermusuhan dengan hidup. „Saja pertjaja, bahwa Nietzsche, kalau ia tidak gila, akan kembali kepada kekristenan.”
Selandjutnja Said menerangkan, bahwa segala mistik pada hakekatnja nistjajalah synkretis, djadi djika diambil setjara teliti, untuk orang² kristen berarti fasik. Sebagai agama wahju kekristenan sebenarnja mengenal karunia pada satu pihak dan pada pihak lain kerendahan hati, djadi pada prinsipnja bukan kesatuan. Sebaliknja untuk kami orang² Djawa berlaku pengertian kawulo-gusti, pengertian budak dan tuan sebagai kesatuan [1]. Saja tidak memerlukan historisitet tokoh Kristus untuk mengerti adjaran Kristus dan tjontohnja, djuga tidak historisitet Muhammad. Mereka semuanja hidup dalam kita sendiri. Sebab itu untuk kami hanjalah berlaku kedjawen dan agama disampingnja ialah pakaian: Seorang Djawa sebenarnja tidak menanjakan „agama mana kauanut”, tetapi „kaubawa?”
Pertjakapan ini nistjajalah tidak ada gunanja. Tetapi keluarbiasaan Said untuk menghargai filsafat-hidup Nietzsche sebagai orang Djawa tidaklah begitu aneh. Bukankah kedjawen dengan kepertjajaannja kepada rentjana alam jang teratur adalah seakan-akan filsafat-hidup sendiri jang hanja dengan mengambil kepertjajaan sebagai dasar (dan apakah jang lebih sesuai dalam suatu masjarakat, dimana kerdja selalu hanja mempunjai tjorak tambahan atas keluapan alam?) dapat sampai kepada kepertjajaan akan hidup dan akan kemungkinan tertjapainja kesempurnaan? Dan disinilah filsafat-hidup itu mendjadi idealismus jang paling murni dan kita sampai kepada filsuf lain dari Eropah jang dianggap Said sebagai gurunja: „Apa jang ditulis oleh prof. Bierens de Haan, adalah mendjelmakan kalimat demi kalimat apa jang saja rasa sebagai orang Djawa.”
Dalam garis inilah djuga hendaknja ditjari, kalau kita hendak mengerti utjapan Dewantoro, bahwa pengertian kodrat alam, (kodrat alam jang merangkum seluruh hidup kita dan jang, karena watak illahi alam, membawa kita kepada kebaikan), mendjauhkan kita dari tiap² ketidaksenangan jang kesal (dan hal ini membuat Armijn Pane gusar), djuga penggabungan kodrat, jang dirumuskan dalam sila Taman Siswa jang pertama, dengan kemerdekaan jang disebutkan dalam sila ketiga atau „hak mengatur diri seseorang” (tentang pertentangan batin dalam azas „nerimo” ia diserang oleh prof. J. J. van Rijekevorsel). Untuk itu ada baiknja diingat, bahwa seseorang jang hidup dalam sikap „nerimo", artinja dalam kepertjajaan dan penjerahan, haruslah merasa kemerdekaan batin jang kuat. Djadi adalah djuga senjum simpul Said jang mengatakan, bahwa „nerimo” tentulah bukan berarti, bahwa kita duduk begitu sadja dengan tangan lemas tergantung; tetapi kegembiraannja jang kentara itu, jang membuatnja demikian berbeda dari portret² lukisan jang telah kita sebutkan. Ia djuga telah mengenal ketidaktentuan, lebih lama dan lebih dalam dari beberapa orang lain, tetapi ia sekarang gembira tentang itu dan ia ingin, bahwa tiap² orang pada waktunja akan mengalami waktu jang demikian, hal itu akan membuktikan pengalaman jang lebih dalam dari jang diperkenankan kedangkalan umum. Pendapatnja bahwa krisis djiwa akan sehat pada waktunja, sebenarnja bertentangan dengan titik permulaan tjita² pedagogis Dewantoro, tetapi menjatakan kepertjajaan kepada alam jang meluap dengan zaman kemudaan, didjelmakan dengan tidak terkutik dalam pembatasan „pada waktunja”.
Revolusioner jang suka tertawa ini biasanja melunakkan kemarahan murid²nja terhadap pendjadjah (dahulu) tanah air mereka dengan kritik: „Bukankah kita djuga bersalah dalam pendjadjahan kita itu?” Sakit hati tidaklah dikenal Said, untuk itu djiwanja, jang, diberi makan oleh pengadjaran dan batjaan, terlalu dididik dengan sutji. Perdjuangan jang dahulu, sebenarnja telah lalu dari padanja dengan tidak meninggalkan solidaritetnja dengan bangsanja. „Dari orang² Belanda tidak saja sangka, bahwa demikian dalam mereka runtuh, tetapi bangsa kami sendiripun melakukan kekedjaman. Demikianlah halnja dalam pertempuran.” Said adalah type seorang humanist jang aktif. Apabila ia ingin tetap menghidupkan sifat² kebudajaan sendiri jang telah ditjapainja dengan pengadjaran, adalah itu karena tjintanja untuk nilai² batin ini dan bukanlah karena dengan segala daja upaja menggenggam kepunjaan sendiri dalam overkompensasi batin, jang lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex). Barang² kebudajaan jang dianggapnja berharga dan jang untuk itu dapat dididik anak² Indonesia, dia terima dengan tidak menanjakan asalnja. Tetapi untuk mengoper unsur² ini memang diperlukan kematangan djiwa dan dengan melepaskan kepunjaan djiwa sendiri tidaklah ditumbuhkan kematangan ini. Kita melihat djuga, bahwa orang banjak dalam kota², jang oleh tekanan ekonomi telah lama kehilangan kepertjajaan kepada jang lama dan berusaha dengan radjin meniru gaja „barat”, memperlihatkan dalam hal ini kepekaan istimewa untuk segala unsur² Amerikanja jang demikian dangkalnja berakar.
Apabila ia menganggap djiwa murid²nja tidak tahan kepada unsur² ini, Said memperingatkan mereka terhadap itu. Demikianlah misalnja ia memperingatkan mereka terhadap dansa modern. „Apakah jang kamu kehendaki sebenarnja, sedangkan dibioskop belum dapat diperlihatkan tjium dilajar putih dengan tidak kedengaran siut².” Ia djuga duduk dalam panitya sensur pilem dan ia melihat, bahwa panitya inipun tidaklah berdaja. Apabila seorang anak dalam kelas dengan mengunjah-ngunjah karet-gula ingin selalu terus memperlihatkan air muka jang lain, ia dapat melarangnja, tetapi diluar kelas hal itu tidak mungkin, karena ia tidak dapat memakai „mengganggu dia sendiri” sebagai alasan. Sementara itu ia sendiri adalah diluar pekerdjaannja hampir seorang perokok jang tak putus²nja mengepulkan asap keatas seperti tjerobong paberik.
„Apa jang hendak kami oper tidaklah dapat ditentukan lebih dahulu,” kata Said dengan tenang dan rasionil (tetapi bukan rasionalistis). „Sebab apabila ternjata ada sesuatu jang dapat kami terima, maka kami telah mengopernja.” Untuk memungkinkan pertjobaan ini atas rasa hidup sendiri, maka ia barangkali setudju dengan tingkat kebebasan jang lebih besar dalam kemungkinan penjintuhan dengan jang asing (jang tidak dipunjai), lebih besar dari jang dikehendaki Dewantoro. Tetapi persetudjuan kebudajaan dengan Belanda seperti jang ditetapkan dalam K.M.B. dan jang ditolak oleh gerakan Taman Siswa dalam konggresnja bulan Maret '50, dianggap Said djuga sebagai keberatan: dalam segala-galanja haruslah kebebasan tetap mendjadi sjarat, djuga dalam kerdja-sama kebudajaan jang diharapkannja dengan segala senang hati.
„Ketakutan kepada kembalinja pendjadjahan Belanda, tetapi dalam arti kebudajaan, tidaklah perlu dirasai oleh bangsa Indonesia lagi, lebih baik ia harus awas terhadap penetrasi kebudajaan Amerika, jang lebih kuat dan lebih merangkum itu.” Pendapat ini diberikannja belakangan dalam suatu interpiu dengan korresponden kantor berita „Antara”, dimana ia mendjelaskan perlunja pemerintah menetapkan sekarang dengan djelas, apakah pengetahuan bahasa Belanda untuk dapat mengikuti pengadjaran tinggi, lebih² dalam fakultet hukum, masih diperlukan atau tidak. Pada saat ini, sebagai akibat tidak diadjarkannja bahasa itu disekolah-sekolah S.M.A., terutama mahasiswa² muda, mempunjai kesulitan besar dalam mengikuti kuliah² dan dalam mempeladjari buku² jang diwadjibkan, sehingga kebanjakan dari mereka takut untuk membuat udjian dan persentase lulusan masih tetap sedikit, sedang jang lain² menghentikan peladjaran²nja atau mengambil peladjaran partikelir dalam bahasa Belanda dengan bajaran mahal. Apabila Pemerintah tidak sanggup menjuruh memberi pengadjaran tinggi dengan tidak ada bahasa ini, maka haruslah ia mempunjai keberanian untuk menjampingkan sentimen² politik, djuga walaupun ada soal Irian, dan memberikan kesempatan disekolah-sekolah menengah untuk sedikit-dikitnja menguasai dengan passif bahasa Belanda *) dan djika perlu, memberikan pengadjaran tambahan dalam bahasa itu pada universitet sendiri. Hanjalah dengan politik realistis dapat dibangun Indonesia.
Ketjuali dari tjara bagaimana ia memulai soal bahasa Belanda jang pelik ini, ternjata djuga dari lezingnja untuk Jajasan Kerdja-sama Kebudajaan di Djakarta, bahwa ia tidak ikut dalam ketakutan politik Dewantoro. Dan pendapatnja tentang tjita² Taman Siswa sebagai tjita² universil diutamakannja djuga disana: „Manusia dari segala bangsa dan kejakinan dapat mendjadi anggota dan membantu mewudjudkan tjita² Taman Siswa, tjita² jang tidak hanja berlaku untuk orang Indonesia, tetapi djuga untuk tiap² orang.”
Seperti telah dikatakan Mangunsarkoro: „Disini kita lihat, bahwa dalam Taman Siswa lebih dipentingkan kemorilan dari pada kenasionalan („Dengan tidak ada ini Taman Siswa tidak akan dapat mendjadi lembaga pendidikan dalam arti jang sebenarnja”). Kenasionalan dianggap Taman Siswa hanja sebagai bentuk pendjelmaan kemanusiaan jang tinggi. Inilah selandjutnja jang mendjelaskan, bahwa Taman Siswa melihat dalam individu pusat kemadjuan masjarakat dalam arti seperti Foerster melihat djiwa kebudajaan sebagai kebudajaan djiwa.” (Kol. Studiën '38, hal. 597).
Benih tulen, jang kekuatannja untuk tumbuh tidak mengetjewakan kepertjajaan, adalah karena itu lebih lagi dari manusia Djawa seperti jang digambarkan dalam program-azas, manusia Djawa jang harus kembali kepada kebudajaan sendiri, singkatnja manusia jang memerlukan kemerdekaan untuk mengembangkan dirinja. Kemerdekaan ini menganggap, bahwa segala jang tidak tjotjok lagi dengan keadaan sekarang seperti jang diakui oleh Dewantoro haruslah ditinggalkan, dan barulah, apabila segala bangsa² mewudjudkan hal ini untuk dirinja sendiri, akan mungkin melakukan pertemuan jang tidak berpihak sama sekali untuk keuntungan kedua pihak.
Bagaimana benarnja untuk sementara hanjalah setjara insidentil dialami oleh beberapa orang. Pertemuan dengan Said saja anggap sebagai salah satu pengalaman jang berbahagia dalam hidup saja. Memang, seorang idealist adalah djarang terdapat dalam zaman kita ini, di Indonesia tidak kurang dari dinegeri laini didunia. Tetapi lebih dari idealismusnja, integritetnja menarik saja. Ia adalah salah seorang dari manusia jang tidak banjak itu jang ternjata berharga untuk hidupnja. Barangkali anggapan ini terlalu subjektif dan barangkali ada djuga artinja untuk mengatakan, bahwa ukuran ini hanjalah mungkin terdapat pada orang² jang sama umurnja. Untuk saja dialah orang kedua jang memberi kesan ini. Orang jang dapat
_________________
- ) Sementara itu pengurus besar Taman Siswa menjatakan dalam konperensinja bulan Maret '51 keberatan terhadap pemasukan bahasa Belanda Sebagai mata peladjaran pada S.M.A. dipertjajai sungguh², „een man uit één stuk” kata orang Belanda dan karena itu dengan sifat kedjudjuran jang hampir sempurna. Jang satu seorang pelukis dinegeri Belanda, jang lain seorang pendidik Indonesia jang suka bertindak.
Dan adakah pertemuan itu suatu pertemuan, dimana segala tjerita² tentang perbedaan antara Timur dan Barat ternjata dongeng belaka? Tidak, bukan begitu, walaupun saja tidak tahu, apakah kategori itu penting dan akan tetap penting setjara prinsipiel. Tetapi optimismus pandangan-dunia Djawanja tidaklah dapat saja ikuti, seperti sebaliknja keberatan saja jang bertjorak existentialistis adalah terlalu pessimistis-eropah baginja. Pengorbanan seperti jang diberikannja untuk tjita²nja tidaklah pernah saja alami, tetapi utjapannja: „Tjara hidup saja jang sederhana itu adalah karena terpaksa, apabila saja sekarang dapat membeli sebuah tempat tidur dan pakaian jang lebih baik, mengapa saja tidak beli?”, terpaksalah saja djawab dengan: „Dan djika peminta-minta, jang terletak disudut sana menunggu matinja, lebih memerlukan sekarang tempat tidurmu itu?” „Djika ia datang, ia boleh menerimanja,” djawab Said, tetapi pemakaian provisionil (untuk sementara) ini tidaklah mentjukupi sebagai alasan prinsipiel. Dunia masih selalu dalam „dosa”, untuk itu kita adalah keketjualian, individu². Ketakutan adalah sikap hidup seperti djuga kepertjajaan. Kedua-duanja adalah tidak rasionil.
Sekali barangkali akan ada lahir pandangan-hidup jang dapat mempersatukan komponen² ini, jang berarti pengangkatan deradjat dengan tidak berpihak. Maka adaptasi akan berlaku dimana-mana. Ortega Y Gasset mengatakan tentang itu dalam El Tema de nuestro Tiempo: „Mungkin barangkali pandangan jang lebih mengenal djiwa bangsa² lain dan zaman² akan menghasilkan pendirian jang baru lagi subur untuk kita. Kita akan melihat, bahwa tiap² djenis kebudajaan mengembangkan bakat sendiri untuk memetjahkan tugas vital tertentu. Dari induksi historis jang besar, jang diperlukan dan diberitahukan disini, akan terdjadi klassisismus baru, klassisismus jang berformat besar sekali. Dan djika kita menghadapi pertanjaan tertentu, tugas tertentu atau soal tertentu, maka kita dapat beladjar pada tiap² masa dan pada tiap2 bangsa. Tiap² masa dan bangsa akan ternjata adalah dahulu klassikus dalam lapangan lain.”
Apakah pada proses penjatuan ini Barat jang dahulu sedang tumbuh itu di Indonesia akan diwakili oleh orang² Belanda sampai kepada selesainja proses itu, adalah pertanjaan besar tentu, apabila kita mengingat „incompatibilité des humeurs” antara kedua bangsa itu sedjak perang terachir dengan subur berkembang. Mungkin kerugian batin untuk Nederland adalah lebih besar dari untuk Indonesia. Tetapi perhatian kepada laporan seseorang jang melihat sendiri perkembangan dinegeri ini akan tetap ada, sebab dalam perdjalanan waktu dikalangan wakil²nja di „Timur” ada selalu beberapa dari mereka, jang nasionalismus itu adalah seakan-akan suatu tingkat jang harus diatasi untuknja dan jang dengan segala perhatian membukakan dirinja untuk dunia lain jang terbuka disini untuk mereka.
Djakarta, Desember 1951.
- ↑ Kesatuan ini berarti, bahwa kita dalam tiap² keadaan bukan hanja kawulo tetapi djuga gusti, bukan hanja objek tetapi djuga subjek, dan karena itu mempergunakan reaksi-walaupun begitu jang membuat „nerimo” mungkin. Dalam kereligian „deemoed” (kerendahan hati jang pessimistis) berubah mendjadi „ootmoed” (kerendahan hati jang optimistis) seperti telah diterangkan didepan ini.