Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 sudah tidak berlaku lagi karena sudah dicabut atau diganti. Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, lihat di sini.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan pemilihan umum;
b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat: 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.
8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.
9. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat desa atau sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut desa/kelurahan.
10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.
11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.
13. Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS, adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara.
14. Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut TPSLN, adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri.
15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16. Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.
18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.
19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
20. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.
21. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD.
24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.
25. Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.
26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.
27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
BAB II ASAS, PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU
Pasal 2
Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 4
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. (2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; b. pendaftaran Peserta Pemilu; c. penetapan Peserta Pemilu; d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; f. masa kampanye; g. masa tenang; h. pemungutan dan penghitungan suara; i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan.
Pasal 5
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
Pasal 6
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.
(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.
BAB III PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU
Bagian Kesatu Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD
Pasal 7
Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik.
Pasal 8
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Pasal 9
(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan penetapan keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 10
Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilarang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain.
Bagian Kedua Peserta Pemilu Anggota DPD
Pasal 11
(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan.
Pasal 12
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf p meliputi:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; dan
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.
(4) Seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.
(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.
(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketiga Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu
Pasal 14
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen persyaratan.
(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.
Pasal 15
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:
a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda terdaftar bahwa partai politik tersebut menjadi badan hukum;
b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat provinsi dan pengurus tingkat kabupaten/kota;
c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat kabupaten/kota;
d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar partai politik dari departemen; dan
f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.
Bagian Keempat Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 16
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
Pasal 17
(1) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan dalam sidang pleno KPU.
(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai Politik Peserta Pemilu.
(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diumumkan oleh KPU.
Bagian Keenam Pengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi
Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 18
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi sehingga merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB IV HAK MEMILIH
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 20
Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
BAB V JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN
Bagian Kesatu Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR
Pasal 21
Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).
Pasal 22
(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.
(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Bagian Kedua Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Pasal 23
(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus).
(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima) kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima) kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh lima) kursi; dan
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.
Pasal 24
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.
Pasal 25
(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi.
(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah Penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah pemilihan di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 26
(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh).
(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40 (empat puluh) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi; dan
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.
Pasal 27
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.
(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf g.
(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf g diberikan kepada daerah pemilihan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak secara berurutan.
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemilihan, daerah pemilihan tersebut dihapuskan.
(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.
Pasal 29
(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi.
(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk sesuai dengan jumlah penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan daerah pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan KPU.
Bagian Keempat Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD
Pasal 30
Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat).
Pasal 31
Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.
BAB VI PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Bagian Kesatu Data Kependudukan
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan.
(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Bagian Kedua Daftar Pemilih
Pasal 33
(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih.
(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.
(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga Pemutakhiran Data Pemilih
Pasal 34
(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan.
(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS dan PPK.
(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
Pasal 35
(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat.
(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh PPS.
Bagian Keempat Penyusunan Daftar Pemilih Sementara
Pasal 36
(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau sebutan lain.
(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan.
(6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.
Pasal 37
(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.
(2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman.
(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk menyusun daftar pemilih tetap.
(4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan.
Bagian Kelima Penyusunan Daftar Pemilih Tetap
Pasal 38
(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS.
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan basis TPS.
(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS.
(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS.
(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota.
Pasal 39
(1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS dalam melaksanakan pemungutan suara.
Pasal 40
(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.
(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
Bagian Keenam Penyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri
Pasal 41
(1) Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara akreditasinya.
(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk menyusun daftar pemilih di luar negeri.
Pasal 42
(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu.
(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data pemilih.
(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di negara yang bersangkutan.
(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN.
Pasal 43
(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.
(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan.
(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.
Pasal 44
(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.
(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 45
(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam melaksanakan pemungutan suara.
Pasal 46
(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar.
Bagian Ketujuh Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
Pasal 47
(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi. (3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional.
Bagian Kedelapan Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan dalam Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih
Pasal 48
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS.
(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN.
Pasal 49
(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VII PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 50
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
k. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Bagian Kedua Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 51
(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.
Pasal 52
(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing-masing.
(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat.
(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi.
(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.
Pasal 53
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 54
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Pasal 55
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru.
Pasal 56
Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada:
a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain.
b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.
Bagian Ketiga Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 57
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 58
(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta Pemilu.
(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 59
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik untuk mengajukan bakal calon baru anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai pengganti bakal calon yang terbukti memalsukan atau menggunakan dokumen palsu.
(2) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.
(3) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak dapat mengajukan bakal calon pengganti apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu tersebut dikeluarkan setelah ditetapkannya daftar calon tetap oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 60
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kelima Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 61
(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 disusun dalam daftar calon sementara oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR. b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara diumumkan.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.
Pasal 62
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada partai politik atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan kepada partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan.
(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat pemberitahuan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi pengganti calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), urutan nama dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sesuai dengan urutan berikutnya.
Pasal 63
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak memengaruhi daftar calon tetap.
Bagian Keenam Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD
Pasal 65
(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR. (2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD kabupaten/kota.
(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
Pasal 66
(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketujuh Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 67
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Bagian Kedelapan Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 68
(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan bakal calon anggota DPD.
(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 69
(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk setiap pendukung.
(2) Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) orang bakal calon anggota DPD.
(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.
Bagian Kesembilan Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Calon Anggota DPD
Pasal 70
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kesepuluh Penetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD
Pasal 71
(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU.
(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada KPU paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara diumumkan.
Pasal 72
(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk perbaikan daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) disampaikan secara tertulis kepada KPU dengan disertai bukti identitas diri.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.
Pasal 73
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPD, maka KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPD, putusan tersebut tidak mempengaruhi daftar calon tetap.
Bagian Kesebelas Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD
Pasal 75
(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan abjad dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
BAB VIII KAMPANYE
Bagian Kesatu Kampanye Pemilu
Pasal 76
Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat.
Pasal 77
(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye. (2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye. (3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.
Pasal 78
(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.
(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.
(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanaan kampanye.
Pasal 79
(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 harus didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota.
Bagian Kedua Materi Kampanye
Pasal 80
(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota meliputi visi, misi, dan program partai politik.
(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.
Bagian Ketiga Metode Kampanye
Pasal 81
Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat dilakukan melalui: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka; c. media massa cetak dan media massa elektronik; d. penyebaran bahan kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga di tempat umum; f. rapat umum; dan
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.
(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf f dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang.
(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 83
(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye Pemilu secara nasional diatur dengan peraturan KPU.
(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan KPU kabupaten/kota setelah KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
Bagian Keempat Larangan dalam Kampanye
Pasal 84
(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
g. kepala desa; h. perangkat desa; i. anggota badan permusyawaratan desa; dan j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.
(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil.
(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.
Pasal 85
(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye
Pasal 86
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pelanggaran larangan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) oleh pelaksana dan peserta kampanye, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 87
Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 88
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan berupa:
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.
Bagian Keenam Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye
Paragraf 1 Umum
Pasal 89
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu oleh Peserta Pemilu kepada masyarakat.
(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu.
Pasal 90
(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi kampanye.
(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye bagi Peserta Pemilu.
(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia menetapkan standar biaya dan persyaratan iklan kampanye yang sama kepada Peserta Pemilu.
Paragraf 2 Pemberitaan Kampanye
Pasal 91
(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan cara siaran langsung atau siaran tunda dan oleh media massa cetak.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Peserta Pemilu.
Paragraf 3 Penyiaran Kampanye
Pasal 92
(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.
(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata cara penyelenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga penyiaran.
(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
(4) Siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.
Paragraf 4 Iklan Kampanye
Pasal 93
(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu pada media massa cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial dan/atau iklan layanan masyarakat.
(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.
(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.
Pasal 94
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment dan/atau blocking time untuk kampanye Pemilu.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye Pemilu.
(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta Pemilu dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu kepada Peserta Pemilu yang lain.
Pasal 95
(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye.
(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa kampanye.
(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah untuk semua jenis iklan.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk setiap Peserta Pemilu diatur sepenuhnya oleh lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan kesempatan yang sama kepada setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).
Pasal 96
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan iklan kampanye Pemilu dalam bentuk iklan kampanye Pemilu komersial atau iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif iklan kampanye Pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta Pemilu.
(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus lebih rendah daripada tarif iklan kampanye Pemilu komersial.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 (enam puluh) detik.
(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain.
(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat yang diproduksi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.
(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk jumlah kumulatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 97
Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.
Pasal 98
(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak.
(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada KPU dan KPU provinsi.
(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.
Pasal 99
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dapat berupa:
a. teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;
c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu;
d. denda;
e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; atau
f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers bersama KPU.
Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Ketujuh Pemasangan Alat Peraga Kampanye
Pasal 101
(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN berkoordinasi dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.
(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik tempat tersebut.
(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan oleh Peserta Pemilu paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan pembersihan alat peraga kampanye diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Kedelapan Peranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye
Pasal 102
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi kampanye.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pelaksana kampanye.
Bagian Kesembilan Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Pasal 103
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye Pemilu.
Pasal 104
(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan.
(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan adanya pelanggaran pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPS, pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.
Pasal 105
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPS dengan sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kecamatan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau petugas kampanye dengan sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada PPS.
Pasal 106
(1) PPS wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye berikutnya; dan
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya.
(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 107
Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan dikenai tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) dengan melaporkan kepada PPK.
(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan meneruskan kepada KPU kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPS.
Pasal 109
(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan.
(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan pelanggaran pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK, pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.
Pasal 110
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPK melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye atau petugas kampanye melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota dan menyampaikan temuan kepada PPK.
Pasal 111
(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye berikutnya; dan/atau
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 112
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dengan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPK.
Pasal 113
(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat kabupaten/kota, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu kabupaten/kota:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota tentang pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota kepada Bawaslu; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
Pasal 114
(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama dengan diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.
Pasal 115
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, ditetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 116
Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Panwaslu kabupaten/kota melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu tentang sanksi.
Pasal 117
Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116.
Pasal 118
(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat provinsi, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu provinsi:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi tentang pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan dugaan adanya tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
Pasal 119
(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat provinsi, Panwaslu provinsi menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU provinsi.
(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi, Panwaslu provinsi meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.
Pasal 120
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 121
Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu tentang sanksi.
Pasal 122
Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120.
Pasal 123
(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu:
a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.
Pasal 124
(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu menetapkan penyelesaian pada hari yang sama diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat pusat, Bawaslu menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.
(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU langsung menetapkan penyelesaian pada hari yang sama dengan hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, maka Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberikan sanksi.
Pasal 125
(1) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan oleh KPU bersama Bawaslu.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 126
Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dalam pelaksanaan kampanye Pemilu, Bawaslu melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.
Pasal 127
Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau sanksi administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.
Pasal 128
Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota serta tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau laporan yang diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye sebagaimana yang telah ditetapkan.
Bagian Kesepuluh Dana Kampanye Pemilu
Pasal 129
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan; dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada bank.
(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 130
Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.
Pasal 131
(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 132
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan menjadi tanggung jawab calon anggota DPD masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang bersangkutan pada bank.
(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota DPD yang bersangkutan.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah calon anggota DPD ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 133
(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 134
(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
(2) Calon anggota DPD Peserta Pemilu memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
Pasal 135
(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.
(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan hasil audit dana kampanye Peserta Pemilu masing-masing kepada Peserta Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menerima hasil audit dari kantor akuntan publik.
(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil pemeriksaan dana kampanye kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan.
Pasal 136
(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi.
(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;
b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.
(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 137
(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dalam proses pelaksanaan audit diketahui tidak memberikan informasi yang benar mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan penunjukan kantor akuntan publik yang bersangkutan.
(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (3).
(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk melanjutkan pelaksanaan audit atas laporan dana kampanye partai yang bersangkutan.
Pasal 138
(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu.
(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkan menjadi calon terpilih.
Pasal 139
(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari:
a. pihak asing; b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
c. Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah; atau
d. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.
(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir.
(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 140
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye Peserta Pemilu melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB IX PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 141
(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
(2) Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan sekretaris KPU kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 142
(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:
a. kotak suara; b. surat suara; c. tinta; d. bilik pemungutan suara; e. segel; f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan g. tempat pemungutan suara.
(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya.
(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara ditetapkan dengan peraturan KPU.
(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal KPU dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf f, dan ayat (2), Sekretaris Jenderal KPU dapat melimpahkan kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.
(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan masyarakat.
(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, huruf f, dan ayat (2) harus sudah diterima KPPS paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara dilakukan oleh Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota.
(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU dapat bekerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 143
(1) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.
(2) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 144
(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 145
(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas baik.
(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU.
(3) Selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang.
(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KPU untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara pemungutan suara ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 146
(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta keutuhan surat suara.
(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengamankan surat suara selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.
(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan membuat berita acara yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.
(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan menyimpannya.
(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 147
Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
BAB X PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 148
(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak.
(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 149
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS lain/TPSLN dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain/TPSLN.
(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK.
Pasal 150
(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus) orang.
(2) Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.
(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.
(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 151
(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS. (2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih. (3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.
(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Lapangan.
(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD.
Pasal 152
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan yang meliputi:
a. penyiapan TPS;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara; b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 153
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.
(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan tanda diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 154
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:
a. membuka kotak suara; b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara; c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan; d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan; e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.
(2) Saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketua KPPS wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
Pasal 155
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara.
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS hanya memberikan surat suara pengganti 1 (satu) kali.
Pasal 156
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 157
(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri hanya memilih calon anggota DPR.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di setiap Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama atau waktu yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia.
(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 158
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPSLN meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPSLN yang bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN lain/TPS dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPLN untuk memberikan suara di TPSLN lain/TPS.
(3) KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat dan melaporkan kepada PPLN.
Pasal 159
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.
Pasal 160
(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPSLN dipimpin oleh KPPSLN. (2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Partai Politik Peserta Pemilu.
(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU.
(6) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu.
Pasal 161
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan yang meliputi:
a. penyiapan TPSLN;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR di TPSLN; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara; b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPSLN dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPSLN;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 162
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPSLN:
a. membuka kotak suara; b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara; c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan; d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan; e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.
(2) Saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketua KPPSLN wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPSLN dan saksi Partai Politik Peserta Pemilu yang hadir.
Pasal 163
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPSLN berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara.
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN hanya memberikan surat suara pengganti 1 (satu) kali.
Pasal 164
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 165
(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat suara.
(2) Surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.
Pasal 166
(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh KPPS/KPPSLN.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 167
(1) KPPS/KPPSLN dilarang mengadakan penghitungan suara sebelum pemungutan suara berakhir.
(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan suara ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 168
(1) KPPS/KPPSLN bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara secara tertib dan lancar.
(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan bertanggung jawab. (3) Saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan bertanggung jawab.
(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib menjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan di lingkungan TPS/TPSLN.
(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung jawab.
Pasal 169
(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau yang tidak sedang melaksanakan pemberian suara dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memelihara ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara.
Pasal 170
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN.
(2) KPPS/KPPSLN seketika itu juga menindaklanjuti saran perbaikan yang disampaikan oleh pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 171
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau Pemilu, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan melakukan penanganan secara memadai.
(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilu tidak mematuhi penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XI PENGHITUNGAN SUARA
Bagian Kesatu Penghitungan Suara di TPS/TPSLN
Pasal 172
(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dilaksanakan oleh KPPS.
(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN.
(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.
(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.
(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan.
(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN diawasi oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.
(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.
(9) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yang belum menyerahkan mandat tertulis pada saat pemungutan suara harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu kepada ketua KPPS/KPPSLN.
Pasal 173
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 174
(1) KPPS melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.
(2) KPPSLN melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.
(3) Saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS/TPSLN.
(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.
(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.
(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di luar TPS.
(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.
(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di luar TPS.
(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.
Pasal 175
(1) Sebelum melaksanakan penghitungan suara, KPPS/KPPSLN menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih tetap;
b. jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain; c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;
d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau salah dalam cara memberikan suara; dan
e. sisa surat suara cadangan.
(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua KPPS/KPPSLN dan oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS/KPPSLN yang hadir.
Pasal 176
(1) Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan b. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.
(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU.
Pasal 177
(1) Ketua KPPS/KPPSLN melakukan penghitungan suara dengan suara yang jelas dan terdengar dengan memperlihatkan surat suara yang dihitung.
(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang atau yang mendapat penerangan cahaya cukup.
(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan dengan tulisan yang jelas dan terbaca.
(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 178
(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan penghitungan suara kepada KPPS/KPPSLN.
(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan.
Pasal 179
(1) Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 180
(1) KPPS/KPPSLN mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN.
(2) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS pada hari yang sama.
(3) KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari yang sama.
(4) KPPS/KPPSLN wajib menyegel, menjaga, dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara.
(5) KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama.
(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwaslu kecamatan serta wajib dilaporkan kepada Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 181
PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.
Bagian Kedua Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan
Pasal 182
(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS melalui PPS.
(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan.
(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali.
(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.
(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di tempat umum.
(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kecamatan, dan KPU kabupaten/kota.
Pasal 183
(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.
(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 184
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 185
PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS dalam kotak suara tersegel serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS.
Pasal 186
(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara yang diterima melalui pos dengan disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.
Bagian Ketiga Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota
Pasal 187
(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari PPK.
(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD kabupaten/kota.
(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kabupaten/kota, dan KPU provinsi.
Pasal 188
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 189
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupaten/kota dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. (2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 190
KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Bagian Keempat Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi
Pasal 191
(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.
(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD provinsi.
(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu provinsi, dan KPU.
Pasal 192
(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU provinsi.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU provinsi.
(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 193
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.
Bagian Kelima Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional
Pasal 194
(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU provinsi.
(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.
(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
Pasal 195
(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.
(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 196
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 197
Saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu.
Bagian Keenam Pengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara
Pasal 198
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan suara yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS/PPSLN.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara.
(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan perolehan suara, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/KPPSLN yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dikenai tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XII PENETAPAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu Hasil Pemilu
Pasal 199
(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Bagian Kedua Penetapan Perolehan Suara
Pasal 200
(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi.
(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 201
(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.
(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi paling lambat 15 (lima belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 (dua belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 202
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 203
(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
BAB XIII PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Kesatu Penetapan Perolehan Kursi
Pasal 204
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU.
(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.
(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Pasal 205
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan.
(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR.
(3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.
(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.
(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.
(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 206
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
Pasal 207
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 208
Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.
Pasal 209
Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.
Pasal 210
Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam peraturan KPU.
Pasal 211
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di daerah pemilihan masing-masing.
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.
Pasal 212
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masing-masing.
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.
Bagian Kedua Penetapan Calon Terpilih
Pasal 213
(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU. (2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.
(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Pasal 214
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Pasal 215
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.
(3) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang bersangkutan.
BAB XIV PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH
Pasal 216
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya dengan tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.
Pasal 217
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.
BAB XV PENGGANTIAN CALON TERPILIH
Pasal 218
(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum.
(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.
(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
BAB XVI PEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG, DAN REKAPITULASI SUARA ULANG
Bagian Kesatu Pemungutan Suara Ulang
Pasal 219
(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; dan/atau
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.
Pasal 220
(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan yang menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang.
(2) Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan suara ulang.
(3) Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Bagian Kedua Penghitungan Suara Ulang dan Rekapitulasi Suara Ulang
Pasal 221
(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPS, penghitungan suara ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di KPU kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.
(2) Penghitungan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan; b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang mendapat penerangan cahaya;
d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas; e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau
h. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
Pasal 222
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2), saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan penghitungan ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan ulang surat suara di TPS harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal yang sama dengan hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 223
Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;
b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;
d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara secara jelas; dan/atau
g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.
Pasal 224
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223, saksi Peserta Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang bersangkutan.
(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan rekapitulasi.
Pasal 225
(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan suara yang diterima PPK melalui PPS, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan saksi Peserta Pemilu di TPS, Panwaslu kecamatan, atau Pengawas Pemilu Lapangan, maka PPK melakukan penghitungan suara ulang untuk TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan suara ulang di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara ulang di PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 223 dilaksanakan paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Pasal 226
Penghitungan suara ulang untuk TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) dilakukan dengan cara membuka kotak suara hanya dilakukan di PPK.
Pasal 227
(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota, saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, atau Panwaslu kecamatan, maka KPU kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu provinsi, atau panitia pengawas Pemilu kabupaten/kota, maka KPU provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU kabupaten/kota yang bersangkutan.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU provinsi yang bersangkutan.
BAB XVII PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN
Pasal 228
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.
(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.
Pasal 229
(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.
(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelengaraan Pemilu.
Pasal 230
(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.
(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh:
a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;
b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;
c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota;
d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa provinsi.
(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh perseratus) jumlah provinsi atau 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.
BAB XVIII PEMANTAUAN PEMILU
Bagian Kesatu Pemantau Pemilu
Pasal 231
(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu. (2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri; b. badan hukum dalam negeri; c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri; d. lembaga pemilihan luar negeri; dan e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Bagian Kedua Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu
Pasal 232
(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen; b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantau dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 233
(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan formulir pendaftaran kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dengan menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:
a. profil organisasi/lembaga; b. nama dan jumlah anggota pemantau; c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;
d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin dipantau; dan
e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri pas foto diri terbaru.
(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti kelengkapan administrasi pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi.
(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan dilarang melakukan pemantauan Pemilu.
(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sahabat di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.
(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga Wilayah Kerja Pemantau Pemilu
Pasal 234
(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi masing-masing.
(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu kabupaten/kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU provinsi dan wajib melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing.
(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.
Bagian Keempat Tanda Pengenal Pemantau Pemilu
Pasal 235
(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf a dan huruf b dikeluarkan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja yang bersangkutan.
(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dikeluarkan oleh KPU.
(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.
(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimuat informasi tentang:
a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas; b. nama anggota pemantau yang bersangkutan; c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan; d. wilayah kerja pemantauan; dan e. nomor dan tanggal akreditasi.
(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam setiap kegiatan pemantauan Pemilu.
(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Pemantau Pemilu
Pasal 236
(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:
a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah Indonesia; b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilu; c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.
(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas sebagai pemantau Pemilu.
Pasal 237
Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;
c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan; e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu; h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat; i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan
k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Bagian Keenam Larangan bagi Pemantau Pemilu
Pasal 238
Pemantau Pemilu dilarang: a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu; b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih; c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu; d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung Peserta Pemilu;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau kepada Peserta Pemilu;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia;
h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama melakukan tugas pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS; dan/atau
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau Pemilu.
Bagian Ketujuh Sanksi bagi Pemantau Pemilu
Pasal 239
Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
Pasal 240
(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilaporkan kepada KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 241
Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan Pelaksanaan Pemantauan
Pasal 242
Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.
Pasal 243
Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XIX
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
Pasal 244
(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu. c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Pasal 245
(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang.
(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu.
Pasal 246
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
BAB XX PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Paragraf 1 Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu
Pasal 247
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:
a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih; b. pemantau Pemilu; atau c. Peserta Pemilu.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor; b. pihak terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.
(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.
(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.
(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur dalam peraturan Bawaslu.
Paragraf 2 Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pasal 248
Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.
Pasal 249
Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 250
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
Paragraf 3 Pelanggaran Pidana Pemilu
Pasal 252
Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal 253
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.
Pasal 254
(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 255
(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.
(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.
(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. (5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.
Pasal 256
(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.
Pasal 257
(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Bagian Kedua Perselisihan Hasil Pemilu
Pasal 258
(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Pasal 259
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.
(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
BAB XXI KETENTUAN PIDANA
Pasal 260
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 261
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 262
Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 263
Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 264
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 265
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 266
Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 267
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 268
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 269
Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) atau paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 270
Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 271
Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 272
Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta Pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 273
Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 274
Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275
Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 276
Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 277
Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 279
(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 280
Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 281
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 282
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 283
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 284
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 285
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 286
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 287
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 288
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 289
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 290
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 291
Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 292
Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 293
Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 294
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 295
Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 296
(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sementara persyaratan dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi, anggota KPU kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 297
Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 299
(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 300
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 301
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 302
Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 303
Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 304
Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 305
Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 306
Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 307
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 309
Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 310
Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 311
Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.
BAB XXII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 312
Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 313
Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.
Pasal 314
(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD provinsi yang sama dengan daerah pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2004, maka daerah pemilihan DPRD provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah pemilihan anggota DPR.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan KPU.
BAB XXIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 317
Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang daerah pemilihan bagi provinsi dan kabupaten/kota induk serta provinsi dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 318
Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.
BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 319
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 320
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 51.