Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 (UU/2023/17)  (2023) 
tentang Kesehatan

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2023
TENTANG
KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa pembangunan kesehatan masyarakat memerlukan upaya kesehatan, sumber daya kesehatan, dan pengelolaan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya berdasarkan prinsip kesejahteraan, pemerataan, nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif, mengurangi kesenjangan, memperkuat pelayanan kesehatan bermutu, meningkatkan ketahanan kesehatan, menjamin kehidupan yang sehat, serta memajukan kesejahteraan seluruh warga negara dan daya saing bangsa bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional;
  3. bahwa permasalahan dan gangguan kesehatan pada masyarakat akan menurunkan produktivitas dan menimbulkan kerugian bagi negara sehingga diperlukan transformasi kesehatan untuk tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat;
  1. bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin baik dan terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat;
  2. bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik dalam 1 (satu) undang-undang secara komprehensif;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.
  1. Upaya Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
  2. Pelayanan Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan secara langsung kepada perseorangan atau masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
  3. Sumber Daya Kesehatan adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
  4. Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara aktif di bidang Kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal Kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan Upaya Kesehatan.
  5. Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
  6. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
  7. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat dan/atau alat yang digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan kepada perseorangan ataupun masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
  1. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan dan mengoordinasikan Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mengutamakan promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
  2. Rumah Sakit adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan secara paripurna melalui Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan Gawat Darurat.
  3. Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan.
  4. Sediaan Farmasi adalah Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, termasuk bahan Obat Bahan Alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
  5. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, peralatan, implan, reagen dan kalibrator in vitro, perangkat lunak, serta material atau sejenisnya yang digunakan pada manusia untuk tujuan medis dan tidak mencapai kerja utama melalui proses farmakologi, imunologi, atau metabolisme.
  6. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PKRT adalah alat, bahan, dan/atau campuran bahan untuk pemeliharaan dan perawatan yang berdampak pada Kesehatan manusia yang ditujukan pada penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum.
  7. Obat adalah bahan, paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan Kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
  8. Bahan Obat adalah bahan yang berkhasiat atau tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan Obat dengan standar dan mutu sebagai bahan farmasi.
  1. Obat Bahan Alam adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun, atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan Kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/atau ilmiah.
  2. Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat, produk, dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, pencegahan, dan penanganan permasalahan Kesehatan manusia.
  3. Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang mengintegrasikan berbagai tahapan pemrosesan, pelaporan, dan penggunaan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Kesehatan serta mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
  4. Sistem Informasi Kesehatan Nasional adalah Sistem Informasi Kesehatan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang mengintegrasikan dan menstandardisasi seluruh Sistem Informasi Kesehatan dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
  5. Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi layanan Kesehatan, termasuk Kesehatan masyarakat, layanan informasi Kesehatan, dan layanan mandiri, melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
  6. Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan klinis melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
  7. Pasien adalah setiap orang yang memperoleh Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan.
  8. Gawat Darurat adalah keadaan klinis Pasien yang membutuhkan tindakan medis dan/atau psikologis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan.
  1. Konsil adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen dalam rangka meningkatkan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
  2. Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu Kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil.
  3. Registrasi adalah pencatatan resmi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat profesi.
  4. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
  5. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
  6. Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut Wabah adalah meningkatnya Kejadian Luar Biasa penyakit menular yang ditandai dengan jumlah kasus dan/atau kematian meningkat dan menyebar secara cepat dalam skala luas.
  7. Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan sebagai sikap tanggap menghadapi kemungkinan terjadinya Wabah.
  8. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah meningkatnya kejadian, kesakitan, kematian, dan/atau kedisabilitasan akibat penyakit dan masalah Kesehatan yang bermakna secara epidemiologis di suatu daerah pada kurun waktu tertentu.
  9. Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang dari dan ke luar negeri, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas negara.
  1. Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam urusan karantina Kesehatan untuk melakukan pengawasan dan tindakan penanggulangan penyakit dan/atau faktor risiko penyebab penyakit atas alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan.
  2. Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara epidemiologis terdapat penyebaran penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
  3. Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan Kesehatan yang dimiliki setiap alat angkut, orang, dan barang yang memenuhi persyaratan, baik nasional maupun internasional.
  4. Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
  5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
  7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  8. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

Pasal 2
Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
  1. perikemanusiaan;
  2. keseimbangan;
  3. manfaat;
  4. ilmiah;
  5. pemerataan;
  1. etika dan profesionalitas;
  2. pelindungan dan keselamatan;
  3. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
  4. keadilan;
  5. nondiskriminatif;
  6. pertimbangan moral dan nilai-nilai agama;
  7. partisipatif;
  8. kepentingan umum;
  9. keterpaduan;
  10. kesadaran hukum;
  11. kedaulatan negara;
  12. kelestarian lingkungan hidup;
  13. kearifan budaya; dan
  14. ketertiban dan kepastian hukum.

Pasal 3
Penyelenggaraan Kesehatan bertujuan:
  1. meningkatkan perilaku hidup sehat;
  2. meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan;
  3. meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia yang efektif dan efisien;
  4. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan Kesehatan;
  5. meningkatkan ketahanan Kesehatan dalam menghadapi KLB atau Wabah;
  6. menjamin ketersediaan pendanaan Kesehatan yang berkesinambungan dan berkeadilan serta dikelola secara transparan, efektif, dan efisien;
  7. mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Kesehatan yang berkelanjutan; dan
  8. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi Pasien, Sumber Daya Manusia Kesehatan, dan masyarakat.


BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN


Bagian Kesatu
Hak


Pasal 4
  1. Setiap Orang berhak:
    1. hidup sehat secara fisik, jiwa, dan sosial;
    2. mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab,
    3. mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya;
    4. mendapatkan perawatan Kesehatan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan,
    5. mendapatkan akses atas Sumber Daya Kesehatan,
    6. menentukan sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab,
    7. mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat Kesehatan,
    8. menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap,
    9. memperoleh kerahasiaan data dan informasi Kesehatan pribadinya,
    10. memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya, termasuk tindakan dan pengobatan yangtelah ataupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan; dan
    11. mendapatkan pelindungan dari risiko Kesehatan.
  2. Hak secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang diperlukan dalam keadaan Gawat Darurat dan/atau penanggulangan KLB atau Wabah.
  1. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h tidak berlaku pada:
    1. seseorang yang penyakitnya dapat secara cepat menular kepada masyarakat secara lebih luas,
    2. penanggulangan KLB atau Wabah:
    3. seseorang yang tidak sadarkan diri atau dalam keadaan Gawat Darurat, dan
    4. seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat yang dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan kedaruratan.
  2. Kerahasiaan data dan informasi Kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i tidak berlaku dalam hal:
    1. pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
    2. penanggulangan KLB, Wabah, atau bencana,
    3. kepentingan pendidikan dan penelitian secara terbatas,
    4. upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat,
    5. kepentingan pemeliharaan Kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan Pasien,
    6. permintaan Pasien sendiri,
    7. kepentingan administratif, pembayaran asuransi, atau jaminan pembiayaan Kesehatan, dan/atau
    8. kepentingan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Kewajiban


Pasal 5
  1. Setiap Orang berkewajiban:
    1. mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
    2. menjaga dan meningkatkan derajat Kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya;
    3. menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat;
    4. menerapkan perilaku hidup sehat dan menghormati hak Kesehatan orang lain;
    5. mematuhi kegiatan penanggulangan KLB atau Wabah; dan
    6. mengikuti program jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional.
  2. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. Upaya Kesehatan perseorangan;
    2. Upaya Kesehatan masyarakat; dan
    3. pembangunan berwawasan Kesehatan.
  3. Kewajiban mengikuti program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB III
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH


Pasal 6
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh masyarakat.
  1. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan Upaya Kesehatan dalam rangka meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan.
  2. Peningkatan dan pengembangan Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan penelitian dan pengkajian.
  3. Penelitian dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan kewaspadaan KLB atau Wabah, penanggulangan KLB atau Wabah, dan pasca-KLB atau Wabah.

Pasal 9
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.

Pasal 10
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
  2. Untuk menjamin ketersediaan Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan insentif fiskal dan/atau insentif nonfiskal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dan akses terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta informasi dan edukasi Kesehatan.

Pasal 12
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
  1. pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
  2. perencanaan, pengadaan, serta pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan wilayahnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. kesejahteraan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
  4. pelindungan kepada Pasien dan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Pasal 13
Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap perencanaan, pemenuhan, pendayagunaan, dan kesejahteraan tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan wilayahnya.

Pasal 14
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.

Pasal 15
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tanggung jawabnya dapat menetapkan kebijakan daerah dan wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan Kesehatan yang ditetapkan Pernerintah Pusat.

Pasal 16
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dibantu oleh Konsil dan/atau Kolegium.


BAB IV
PENYELENGGARAAN KESEHATAN


Pasal 17
  1. Penyelenggaraan Kesehatan terdiri atas:
    1. Upaya Kesehatan,
    2. Sumber Daya Kesehatan, dan
    3. pengelolaan Kesehatan.
  2. Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dalam bentuk Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
  3. Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
  4. Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan terhadap Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan.

Pasal 18
  1. Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan Upaya Kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu.
  2. Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan Upaya Kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak pada masyarakat.

Pasal 19
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
  2. Dalam menyelenggarakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat melakukan:
    1. perencanaan strategis nasional;
    2. penetapan kebijakan nasional;
    3. koordinasi program nasional;
    4. pengelolaan sistem rujukan Pelayanan Kesehatan;
    5. penetapan standar Pelayanan Kesehatan;
    6. penyelenggaraan registrasi dan akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    7. penelitian dan pengembangan Kesehatan:
    8. pengelolaan dan pendistribusian Sumber Daya Kesehatan: dan
    9. penerbitan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam menyelenggarakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah melakukan:
    1. penetapan kebijakan daerah dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
    2. perencanaan, pengelolaan, pemantauan, supervisi, dan evaluasi program;
    3. pengelolaan sistem rujukan Pelayanan Kesehatan tingkat daerah;
    4. penelitian dan pengembangan Kesehatan;
    5. pengelolaan dan pendistribusian Sumber Daya Kesehatan; dan
    6. penerbitan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:
  1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
  2. Sumber Daya Manusia Kesehatan;
  3. Perbekalan Kesehatan;
  4. Sistem Informasi Kesehatan;
  5. Teknologi Kesehatan;
  6. pendanaan Kesehatan; dan
  7. sumber daya lain yang diperlukan.

Pasal 21
  1. Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa yang dilakukan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat Kesehatan yang setinggi- tingginya.
  2. Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah dalam suatu sistem kesehatan nasional.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB V
UPAYA KESEHATAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 22
  1. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan meliputi:
    1. Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia;
  1. Kesehatan penyandang disabilitas;
  2. Kesehatan reproduksi;
  3. keluarga berencana;
  4. gizi;
  5. Kesehatan gigi dan mulut;
  6. Kesehatan penglihatan dan pendengaran;
  7. Kesehatan jiwa;
  8. penanggulangan penyakit menular dan penanggulangan penyakit tidak menular;
  9. Kesehatan keluarga;
  10. Kesehatan sekolah;
  11. Kesehatan kerja;
  12. Kesehatan olahraga;
  13. Kesehatan lingkungan;
  14. Kesehatan matra;
  15. Kesehatan bencana;
  16. pelayanan darah;
  17. transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika;
  18. pengamanan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT;
  19. pengamanan makanan dan minuman;
  20. pengamanan zat adiktif;
  21. pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum;
  22. Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
  23. Upaya Kesehatan lainnya.
  1. Upaya Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf x ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pembangunan bidang Kesehatan.

Pasal 23
  1. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, nondiskriminatif, dan berkeadilan.
  2. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai sosial budaya, moral, dan etika.

Pasal 24
  1. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan.
  2. Ketentuan mengenai standar Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25
  1. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dalam bentuk Pelayanan Kesehatan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
  2. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui Telekesehatan dan Telemedisin yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
  3. Telekesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pemberian pelayanan klinis dan pelayanan nonklinis.
  4. Pemberian pelayanan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui Telemedisin.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
Upaya Kesehatan dalam bentuk pelayanan diselenggarakan melalui:
  1. Pelayanan Kesehatan primer; dan
  2. Pelayanan Kesehatan lanjutan.

Pasal 27
Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan diselenggarakan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.

Pasal 28
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
  2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dengan mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah.
  3. Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
  4. Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup masyarakat rentan dan bersifat inktusif nondiskriminatif.
  5. Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
    1. pembangunan sarana dan prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut;
    2. pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia, Sediaan Farmasi, dan Alat Kesehatan; dan
    3. peningkatan kemampuan dan cakupan layanan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pasal 29
  1. Masyarakat dapat berpartisipasi untuk pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
  1. Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemenuhan sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan Alat Kesehatan.
  2. Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan Kesehatan di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, termasuk untuk kebutuhan wahana pendidikan.
  3. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat membantu pemenuhan sumber daya manusia untuk pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan Primer


Pasal 30
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pembinaan Pelayanan Kesehatan primer.

Pasal 31
  1. Pelayanan Kesehatan primer menyelenggarakan Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
  2. Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pelayanan Kesehatan yang terdekat dengan masyarakat sebagai kontak pertama Pelayanan Kesehatan.
  3. Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terintegrasi dengan tujuan:
    1. pemenuhan kebutuhan Kesehatan dalam setiap fase kehidupan;
  1. perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang mempengaruhi Kesehatan yang terdiri atas determinan sosial, ekonomi, komersial, dan lingkungan; dan
  2. penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat.
  1. Pelayanan Kesehatan primer secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif untuk setiap fase kehidupan.
  2. Pelayanan preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk pencegahan penyakit termasuk skrining dan surveilans.
  3. Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara strategis memprioritaskan Pelayanan Kesehatan utama/esensial yang ditujukan bagi perseorangan, keluarga, dan masyarakat berdasarkan faktor risiko.
  4. Perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang mempengaruhi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b melibatkan pihak terkait melalui penyusunan kebijakan dan tindakan lintas sektor.
  5. Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c bertujuan untuk mengoptimalkan status Kesehatan dan menguatkan peran mereka sebagai mitra pembangunan Kesehatan dan pemberi asuhan untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
  6. Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memberikan layanan yang berpusat pada perseorangan, berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada masyarakat yang sesuai dengan latar belakang sosial budaya.

Pasal 32
  1. Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan melalui suatu sistem jejaring Pelayanan Kesehatan yang saling berkoordinasi dan bekerja sama.
  1. Puskesmas mengoordinasikan sistem jejaring Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerjanya.
  2. Sistem jejaring Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirancang untuk menjangkau seluruh masyarakat melalui:
    1. struktur jejaring berbasis wilayah administratif;
    2. struktur jejaring berbasis satuan pendidikan;
    3. struktur jejaring berbasis tempat kerja;
    4. struktur jejaring sistem rujukan; dan
    5. struktur jejaring lintas sektor.
  3. Struktur jejaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a memastikan tersedianya Pelayanan Kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan menjamin tersedianya Pelayanan Kesehatan hingga tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
    1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat,
    2. unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan, dan
    3. Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat,
    di dalam wilayah kerja Puskesmas.
  4. Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b mengoordinasikan urusan Kesehatan di desa/kelurahan, termasuk pemberian Pelayanan Kesehatan dan partisipasi masyarakat.
  5. Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal dilaksanakan oleh kader Kesehatan yang ditugasi oleh desa/kelurahan dan Tenaga Kesehatan.
  6. Struktur jejaring berbasis satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b mencakup semua satuan pendidikan di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
  1. Struktur jejaring berbasis tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf ce mencakup semua tempat kerja di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
  2. Struktur jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan melalui rujukan secara vertikal, horizontal, dan rujuk balik.
  3. Struktur jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e mencakup jejaring pemerintah di tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun, rukun warga, rukun tetangga, dan jejaring mitra Kesehatan untuk mengatasi determinan Kesehatan.
  4. Pelayanan Kesehatan primer didukung oleh keterhubungan data pada sistem jejaringnya yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.

Pasal 33
  1. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer didukung oleh laboratorium Kesehatan.
  2. Laboratorium Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laboratorium medis, laboratorium Kesehatan masyarakat, dan laboratorium lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
  3. Laboratorium Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditata secara berjenjang.
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dan menyelenggarakan laboratorium Kesehatan masyarakat.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai laboratorium Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
  1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab terhadap kemandirian dalam Upaya Kesehatan.
  2. Dalam rangka kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.

Pasal 35
  1. Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat merupakan wahana pemberdayaan masyarakat bidang Kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, serta dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa dengan melibatkan sektor lain yang terkait.
  2. Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dapat berupa pos pelayanan terpadu.
  3. Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyelenggarakan pelayanan sosial dasar, termasuk di bidang Kesehatan.
  4. Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kader dan/atau masyarakat.
  5. Dalam rangka pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, dilakukan pembinaan teknis dan peningkatan kemampuan kader oleh unit Kesehatan di desa/kelurahan dan Puskesmas.
  6. Dalam penyelenggaraan pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah Desa memberikan insentif kepada kader.
  7. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan pos pelayanan terpadu.

Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan primer diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Lanjutan


Pasal 37
  1. Pelayanan Kesehatan lanjutan merupakan pelayanan spesialis dan/atau subspesialis yang mengedepankan pelayanan kuratif, rehabilitatif, dan paliatif tanpa mengabaikan promotif dan preventif.
  1. Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
  2. Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai oleh penerima Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan Kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi komersial.

Pasal 38
  1. Dalam pengembangan Pelayanan Kesehatan lanjutan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat mengembangkan pusat pelayanan unggulan nasional yang berstandar internasional.
  2. Pengembangan pusat pelayanan unggulan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan dan menghadapi persaingan regional dan global.

Pasal 39
  1. Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diselenggarakan secara berkesinambungan melalui sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan.
  2. Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan medis Pasien dan kemampuan pelayanan pada setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
  3. Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan mencakup rujukan secara vertikal, horizontal, dan rujuk balik.
  4. Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
  5. Teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat data dan informasi mutakhir mengenai kemampuan pelayanan setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tergabung dalam sistem rujukan secara terintegrasi.
  1. Selain memuat data dan informasi mutakhir mengenai kemampuan pelayanan setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan terhadap proses transfer data dan informasi medis Pasien yang diperlukan untuk proses rujukan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Remaja, Dewasa, dan Lanjut Usia


Paragraf 1
Kesehatan Ibu

Pasal 40
  1. Upaya Kesehatan ibu ditujukan untuk melahirkan anak yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kematian ibu.
  2. Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
  3. Setiap ibu berhak memperoleh akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan Pelayanan Kesehatan ibu yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  5. Upaya Kesehatan ibu menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Kesehatan Bayi dan Anak

Pasal 41
  1. Upaya Kesehatan bayi dan anak ditujukan untuk menjaga bayi dan anak tumbuh dan berkembang dengan sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kedisabilitasan bayi dan anak.
  2. Upaya Kesehatan bayi dan anak dilakukan sejak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun.
  3. Upaya Kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk skrining bayi baru lahir dan skrining kesehatan lainnya.
  4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan bayi dan anak yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.

Pasal 42
  1. Setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan sampai usia 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
  2. Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping. (3) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
  3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.

Pasal 43
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung melakukan jawab menetapkan kebijakan dan pengawasan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu eksklusif.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
  2. Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi untuk memberikan pelindungan dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
  3. Pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat harus mendukung imunisasi kepada bayi dan anak.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi dan jenis imunisasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 45
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin setiap anak yang dilahirkan mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal.

Pasal 46
  1. Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu Kesehatan bayi dan anak.
  2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin terselenggaranya pelindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 47
  1. Pemerintah Pusat menetapkan standar dan/atau kriteria Kesehatan bayi dan anak.
  1. Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai sosial budaya, dan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
  2. Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi sarana pelindungan terhadap risiko Kesehatan agar tidak membahayakan Kesehatan anak.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan bayi dan anak diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Kesehatan Remaja

Pasal 50
  1. Upaya Kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif.
  2. Upaya Kesehatan remaja dilakukan pada masa usia remaja.
  3. Setiap remaja berhak memperoleh akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  4. Upaya Kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk skrining Kesehatan, Kesehatan reproduksi remaja, dan Kesehatan jiwa remaja.
  1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan remaja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Kesehatan Dewasa

Pasal 51
  1. Upaya Kesehatan dewasa ditujukan untuk menjaga agar seseorang tetap hidup sehat dan produktif.
  2. Setiap orang dewasa berhak memperoleh akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  3. Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Pelayanan Kesehatan reproduksi dan skrining berkala untuk deteksi dini penyakit.
  4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan dewasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Kesehatan Lanjut Usia

Pasal 52
  1. Upaya Kesehatan lanjut usia ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat, berkualitas, dan produktif sesuai dengan martabat kemanusiaan.
  2. Upaya Kesehatan lanjut usia dilakukan sejak seseorang berusia 60 (enam puluh) tahun atau usia lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Setiap orang lanjut usia berhak memperoleh akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  2. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan lanjut usia yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan lanjut usia diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima
Kesehatan Penyandang Disabilitas


Pasal 53
  1. Upaya Kesehatan penyandang disabilitas ditujukan untuk menjaga agar penyandang disabilitas tetap hidup sehat, produktif, dan bermartabat.
  2. Upaya Kesehatan penyandang disabilitas dilakukan sepanjang usia penyandang disabilitas.
  3. Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh akses atas Fasilitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
  5. Upaya Kesehatan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan penyandang disabilitas diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi


Pasal 54
  1. Upaya Kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
  2. Upaya Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan;
    2. pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan Kesehatan seksual; dan
    3. Kesehatan sistem reproduksi.

Pasal 55
Setiap Orang berhak:
  1. menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama;
  2. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai Kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan; dan
  3. menerima pelayanan dan pemulihan Kesehatan akibat tindak pidana kekerasan seksual.

Pasal 56
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.

Pasal 57
  1. Setiap Pelayanan Kesehatan reproduksi, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan bermutu dengan memperhatikan aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
  2. Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58
Reproduksi dengan bantuan hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
  1. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
  2. dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan; dan
  3. dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu.

Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 60
  1. Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.
  2. Pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan:
    1. oleh Tenaga Medis dan dibantu Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan;
    2. pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; dan
  1. dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.

Pasal 61
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi yang tidak aman serta bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh
Kesehatan Keluarga Berencana


Pasal 63
  1. Upaya Kesehatan keluarga berencana ditujukan untuk mengatur kehamilan, membentuk generasi yang sehat, cerdas, dan berkualitas, serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
  2. Upaya Kesehatan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada usia subur.
  3. Setiap Orang berhak memperoieh akses ke pelayanan keluarga berencana.
  4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan keluarga berencana yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  5. Pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedelapan
Gizi


Pasal 64
  1. Upaya pemenuhan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
  2. Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
    1. perbaikan pola konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;
    2. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
    3. peningkatan sistem kewaspadaan dan peringatan dini terhadap kerawanan pangan dan gizi.
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung

    jawab terhadap ketersediaan bahan makanan secara merata dan terjangkau sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan.
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar mutu gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
  5. Penyediaan bahan makanan yang memenuhi standar mutu gizi dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota.

Pasal 65
  1. Upaya pemenuhan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia.
  2. Upaya pemenuhan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan perhatian khusus kepada:
    1. ibu hamil dan menyusui;
    2. bayi dan balita; dan
    3. remaja perempuan.
  1. Dalam rangkat upaya pemenuhan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat menetapkan standar angka kecukupan gizi dan standar pelayanan gizi.
  2. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemenuhan gizi keluarga miskin dan dalam situasi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
  4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat melakukan upaya bersama untuk mencapai status gizi yang baik.

Pasal 66
  1. Upaya perbaikan gizi dilakukan melalui surveilans gizi, pendidikan gizi, tata laksana gizi, dan suplementasi gizi.
  2. Surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah gizi dan indikator pembinaan gizi agar dapat dilakukan respons dan penanggulangan secara efektif dan efisien terhadap masalah gizi.
  3. Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka menetapkan perilaku gizi seimbang.
  4. Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, stunting, gizi berlebih, dan defisiensi mikronutrien serta masalah gizi akibat penyakit.
  5. Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi masyarakat dengan prioritas kepada bayi dan balita, anak sekolah, remaja perempuan, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan pekerja wanita.

Pasal 67
  1. Dalam rangkat keterpaduan dan akselerasi percepatan pemenuhan gizi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan intervensi dalam rangkat pemenuhan dan perbaikan gizi.
  2. Intervensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan pemangku kepentingan.

Pasal 68
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.

Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai gizi diatur dengan Peraturan Pemerintah


Bagian Kesembilan
Kesehatan Gigi dan Mulut


Pasal 70
  1. Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat.
  2. Pelayana Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk peningkatan Kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan Kesehatan gigi.
  3. Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
  1. Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui unit Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dan/atau usaha Kesehatan sekolah.


Bagian Kesepuluh
Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran


Pasal 71
  1. Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran ditujukan untuk meningkatkan derajat Kesehatan penglihatan dan pendengaran masyarakat serta menurunkan angka disabilitas.
  2. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
  3. Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat.

Pasal 72
  1. Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan.
  2. Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah.

Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesebelas
Kesehatan Jiwa


Pasal 74
  1. Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fsik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
  2. Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk:
    1. menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan jiwa; dan
    2. menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan dan potensi psikologis lainnya.

Pasal 75
  1. Upaya Kesehatan jiwa diberikan secara proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia bagi orang yang berisiko, orang dengan gangguan jiwa, dan masyarakat.
  2. Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk upaya pencegahan bunuh diri melalui pencegahan faktor risiko bunuh diri, pencegahan timbulnya pemikiran tentang menyakiti diri sendiri, dan pencegahan percobaan bunuh diri.

Pasal 76
  1. Setiap Orang berhak mendapatkan:
    1. akses Pelayanan Kesehatan jiwa yang aman, bermutu, dan terjangkau; dan
    2. informasi dan edukasi tentang Kesehatan jiwa.
  1. Setiap Orang dilarang melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap orang yang berisiko atau orang dengan gangguan jiwa, atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa.
  2. Orang yang berisiko dan orang dengan gangeuan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Pasal 77
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
    1. menciptakan kondisi Kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas mutu, dan pemerataan Upaya Kesehatan jiwa;
    2. memberi pelindungan dan menjamin Pelayanan Kesehatan jiwa bagi orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa berdasarkan pada hak asasi manusia;
    3. memberikan kesempatan kepada orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa untuk dapat memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia;
    4. melakukan penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa yang telantar, menggelandang, dan mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain;
    5. menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Kesehatan jiwa, baik di tingkat pertama maupun tingkat lanjut di seluruh wilayah Indonesia, termasuk layanan untuk Pasien narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
    6. mengembangkan Upaya Kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari Upaya Kesehatan jiwa keseluruhan;
    7. melakukan pengawasan terhadap fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan Upaya Kesehatan jiwa berbasis masyarakat; dan
Halaman:UU 17 2023.pdf/41 Halaman:UU 17 2023.pdf/42 Halaman:UU 17 2023.pdf/43 Halaman:UU 17 2023.pdf/44 Halaman:UU 17 2023.pdf/45 Halaman:UU 17 2023.pdf/46 Halaman:UU 17 2023.pdf/47 Halaman:UU 17 2023.pdf/48 Halaman:UU 17 2023.pdf/49 Halaman:UU 17 2023.pdf/50 Halaman:UU 17 2023.pdf/51 Halaman:UU 17 2023.pdf/52 Halaman:UU 17 2023.pdf/53 Halaman:UU 17 2023.pdf/54 Halaman:UU 17 2023.pdf/55 Halaman:UU 17 2023.pdf/56 Halaman:UU 17 2023.pdf/57 Halaman:UU 17 2023.pdf/58 Halaman:UU 17 2023.pdf/59 Halaman:UU 17 2023.pdf/60 Halaman:UU 17 2023.pdf/61 Halaman:UU 17 2023.pdf/62 Halaman:UU 17 2023.pdf/63 Halaman:UU 17 2023.pdf/64 Halaman:UU 17 2023.pdf/65 Halaman:UU 17 2023.pdf/66 Halaman:UU 17 2023.pdf/67 Halaman:UU 17 2023.pdf/68 Halaman:UU 17 2023.pdf/69 Halaman:UU 17 2023.pdf/70 Halaman:UU 17 2023.pdf/71 Halaman:UU 17 2023.pdf/72 Halaman:UU 17 2023.pdf/73 Halaman:UU 17 2023.pdf/74 Halaman:UU 17 2023.pdf/75 Halaman:UU 17 2023.pdf/76 Halaman:UU 17 2023.pdf/77 Halaman:UU 17 2023.pdf/78 Halaman:UU 17 2023.pdf/79 Halaman:UU 17 2023.pdf/80 Halaman:UU 17 2023.pdf/81 Halaman:UU 17 2023.pdf/82 Halaman:UU 17 2023.pdf/83 Halaman:UU 17 2023.pdf/84 Halaman:UU 17 2023.pdf/85 Halaman:UU 17 2023.pdf/86 Halaman:UU 17 2023.pdf/87 Halaman:UU 17 2023.pdf/88 Halaman:UU 17 2023.pdf/89 Halaman:UU 17 2023.pdf/90 Halaman:UU 17 2023.pdf/91 Halaman:UU 17 2023.pdf/92 Halaman:UU 17 2023.pdf/93 Halaman:UU 17 2023.pdf/94 Halaman:UU 17 2023.pdf/95 Halaman:UU 17 2023.pdf/96 BUK INDONESIA

-97 -

(2)

(3)

Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kebijakan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205. Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan masa pengabdian pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk setelah menyelesaikan pendidikan.

(4) Tenaga Medis dan Tenaga

Kesehatan yang menerima bantuan pendanaan pendidikan tidak melaksanakan masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan STR. Pasal 225

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan

untuk

mengembangkan

keprofesiannya. Pasal 226

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam PasaL 2O7 sampai dengan Pasal 225 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

Paragraf Umum

1

Pasal 227

(1)

Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dalam rangka pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203.

(21 Pendayagunaan

SK No 187097A Halaman:UU 17 2023.pdf/98 Halaman:UU 17 2023.pdf/99 Halaman:UU 17 2023.pdf/100 Halaman:UU 17 2023.pdf/101 Halaman:UU 17 2023.pdf/102 Halaman:UU 17 2023.pdf/103 Halaman:UU 17 2023.pdf/104 Halaman:UU 17 2023.pdf/105 Halaman:UU 17 2023.pdf/106 Halaman:UU 17 2023.pdf/107 Halaman:UU 17 2023.pdf/108 Halaman:UU 17 2023.pdf/109 Halaman:UU 17 2023.pdf/110 Halaman:UU 17 2023.pdf/111 Halaman:UU 17 2023.pdf/112 Halaman:UU 17 2023.pdf/113 Halaman:UU 17 2023.pdf/114 Halaman:UU 17 2023.pdf/115 Halaman:UU 17 2023.pdf/116 Halaman:UU 17 2023.pdf/117 Halaman:UU 17 2023.pdf/118 Halaman:UU 17 2023.pdf/119 Halaman:UU 17 2023.pdf/120 Halaman:UU 17 2023.pdf/121 Halaman:UU 17 2023.pdf/122 Halaman:UU 17 2023.pdf/123 Halaman:UU 17 2023.pdf/124 Halaman:UU 17 2023.pdf/125 Halaman:UU 17 2023.pdf/126 Halaman:UU 17 2023.pdf/127 Halaman:UU 17 2023.pdf/128 Halaman:UU 17 2023.pdf/129 Halaman:UU 17 2023.pdf/130 Halaman:UU 17 2023.pdf/131 Halaman:UU 17 2023.pdf/132 Halaman:UU 17 2023.pdf/133 Halaman:UU 17 2023.pdf/134 Halaman:UU 17 2023.pdf/135 Halaman:UU 17 2023.pdf/136 Halaman:UU 17 2023.pdf/137
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB IX
KETAHANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


Pasal 322
  1. Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat, memenuhi ketentuan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan Kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
  2. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk meneliti, mengembangkan, memproduksi, mengedarkan, meningkatkan, dan menggunakan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
  3. Penelitian, pengembangan, produksi, peredaran, peningkatan, serta penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin pelaksanaan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan bahan baku Alat Kesehatan yang berasal dari alam dengan tetap menjaga kelestariannya.

Pasal 323
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong dan mengarahkan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
  2. Penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dilakukan dengan memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, sumber daya alam, norma agama, dan sosial budaya.
Halaman:UU 17 2023.pdf/139 Halaman:UU 17 2023.pdf/140 Halaman:UU 17 2023.pdf/141 Halaman:UU 17 2023.pdf/142 Halaman:UU 17 2023.pdf/143 Halaman:UU 17 2023.pdf/144 Halaman:UU 17 2023.pdf/145 Halaman:UU 17 2023.pdf/146 Halaman:UU 17 2023.pdf/147 Halaman:UU 17 2023.pdf/148 Halaman:UU 17 2023.pdf/149 Halaman:UU 17 2023.pdf/150 Halaman:UU 17 2023.pdf/151 Halaman:UU 17 2023.pdf/152 Halaman:UU 17 2023.pdf/153 Halaman:UU 17 2023.pdf/154 Halaman:UU 17 2023.pdf/155 Halaman:UU 17 2023.pdf/156 Halaman:UU 17 2023.pdf/157 Halaman:UU 17 2023.pdf/158 Halaman:UU 17 2023.pdf/159 Halaman:UU 17 2023.pdf/160
  1. Dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat merekomendasikan penutupan Pintu Masuk kepada Presiden.

Pasal 362
Setiap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
  1. datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
  2. datang dari Daerah Terjangkit,

berada dalam pengawasan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.


Pasal 363
  1. Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi pada saat kedatangan atau melewati pos lintas batas negara wajib menginformasikan apabila terdapat orang sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah kepada Petugas Karantina Kesehatan.
  2. Penyampaian informasi oleh nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan dokumen deklarasi kesehatan untuk kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina Kesehatan.
  3. Nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 364
  1. Terhadap alat angkut yang terdapat orang sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan berwenang melakukan melakukan pemeriksaan dan tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (5).
  1. Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan dan tindakan penanggulangan terhadap kendaraan darat di pos lintas batas negara diatur melalui perjanjian antara kedua negara.

Pasal 365
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 366
  1. Setiap alat angkut, orang, dan/atau barang yang:
    1. datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
    2. datang dari atau berangkat ke daerah/negara endemis atau terjangkit,

    harus dilengkapi dengan Dokumen Karantina Kesehatan.

  2. Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan sebagai alat pengawasan dan pencegahan masuk dan/atau keluarnya penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.

Pasal 367
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan, penerbitan, dan pembatalan Dokumen Karantina Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Daerah Wabah

Pasal 368
  1. Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah.
  2. Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek:
Halaman:UU 17 2023.pdf/163 Halaman:UU 17 2023.pdf/164 Halaman:UU 17 2023.pdf/165 Halaman:UU 17 2023.pdf/166 Halaman:UU 17 2023.pdf/167 Halaman:UU 17 2023.pdf/168 Halaman:UU 17 2023.pdf/169

Pasal 387
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf a merupakan Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 388
  1. Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib ikut serta dalam kegiatan penanggulangan KLB dan Wabah.
  2. Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 389
  1. Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf b berupa penerapan dan pengembangan:
    1. teknologi tepat guna;
    2. metode uji laboratorium;
    3. metode pengobatan;
    4. teknologi manajemen informasi dan komunikasi; dan
    5. penelitian.
  2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diutamakan penelitian yang berbasis pelayanan.

Pasal 390
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf c berupa seluruh fasilitas yang diperlukan untuk mendukung kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, dan pasca-KLB dan pasca-Wabah.

Pasal 391
Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf d meliputi Alat Kesehatan, Obat, vaksin, bahan medis habis pakai, dan bahan/alat pendukung lainnya yang diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, serta pasca-KLB dan pasca-Wabah.


Bagian Ketujuh
Hak, Kewajiban, dan Larangan


Paragraf 1
Hak

Pasal 392
Setiap orang yang sakit atau diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang menyebabkan KLB atau akibat penyakit yang menyebabkan Wabah yang telah ditetapkan status KLB atau Wabah berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang pendanaannya bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 393
  1. Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya penanggulangan KLB dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugasnya.
  2. Pelindungan hukum dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelindungan yang diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan kegiatan investigasi dan memasuki wilayah atau mendapatkan akses kepada masyarakat tertentu yang diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB, atau akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
  3. Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk mendapatkan pelindungan diri dari risiko penularan.
Halaman:UU 17 2023.pdf/172 Halaman:UU 17 2023.pdf/173 Halaman:UU 17 2023.pdf/174 Halaman:UU 17 2023.pdf/175
  1. penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan, dan
  2. program Kesehatan strategis lainnya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional di sektor Kesehatan.
  1. Pendanaan untuk seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 404
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pendanaan pemeriksaan dan Pelayanan Kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum.

Pasal 405
  1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau pihak swasta terkait bertanggung jawab terhadap pendanaan yang timbul dalam hal terdapat kejadian ikutan pascapemberian Obat pencegahan massal dan imunisasi dalam penanggulangan penyakit, termasuk penanggulangan KLB dan Wabah.
  2. Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) paling sedikit digunakan untuk:
    1. audit kausalitas;
    2. Pelayanan Kesehatan, termasuk rehabilitasi medis; dan
    3. santunan terhadap korban.

Pasal 406
Pendanaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah Pusat, anggaran Pemerintah Daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 407
  1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan pendanaan dalam rangka peningkatan dan pemberian Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat.
  2. Bantuan pendanaan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 408
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan pendanaan Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 409
  1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota memprioritaskan anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
  2. Anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggaran selain untuk gaji dalam lingkup peningkatan Pelayanan Kesehatan bagi masyarakat dengan tetap memperhatikan kesejahteraan bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan.
  3. Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran Kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
  4. Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran Kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kebutuhan Kesehatan daerah yang mengacu pada program Kesehatan nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
  1. Pengalokasian anggaran Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan Kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.
  2. Dalam penyusunan anggaran Kesehatan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat berwenang untuk menyinkronkan kebutuhan alokasi anggaran untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403.

Pasal 410
  1. Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan Kesehatan, Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan capaian kinerja program dan Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Pemberian insentif atau disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 411
  1. Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan.
  2. Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh penduduk.
  3. Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk menjamin agar masyarakat memperoleh manfaat pemeliharaan dan pelindungan Kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasar Kesehatan.
  4. Kebutuhan dasar Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kebutuhan esensial yang menyangkut Pelayanan Kesehatan perseorangan, baik promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun paliatif sesuai dengan siklus hidup dan epidemiologi tanpa melihat sosial ekonomi dan penyebab masalah Kesehatan.
  1. Penduduk yang ingin mendapat manfaat tambahan dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan dan/atau membayar secara pribadi.
  2. Manfaat tambahan melalui asuransi kesehatan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dibayarkan oleh pemberi kerja dan/atau dibayar secara pribadi, yang dilaksanakan dengan koordinasi antar penjamin kesehatan lainnya.

Pasal 412
Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XV
KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENGUATAN SISTEM KESEHATAN


Pasal 413
  1. Dalam rangka pembangunan Kesehatan diperlukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Kesehatan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait.
  2. Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tujuan untuk:
    1. melaksanakan pencegahan dan penanganan permasalahan kebijakan di bidang Kesehatan;
    2. menyinergikan dan mengonsolidasikan pelaksanaan kebijakan di bidang Kesehatan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait, dan
    3. mengakselerasikan pembangunan dan menguatkan sistem Kesehatan.

Pasal 414
Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 dilakukan dengan memperhatikan transparansi, kontinuitas, akuntabilitas, keprofesionalan, dan keterpaduan pelayanan serta mengedepankan kepentingan masyarakat.

Pasal 415
Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 paling sedikit dilaksanakan melalui:
  1. penelaahan terhadap berbagai informasi dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses akselerasi pembangunan Kesehatan,
  2. penyusunan strategi pencapaian dan prioritas program dan kegiatan pembangunan Kesehatan,
  3. penetapan kriteria dan indikator untuk penilaian pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan Kesehatan:
  4. penilaian terhadap kondisi stabilitas dan ketahanan sistem Kesehatan:
  5. penetapan langkah koordinasi untuk mencegah krisis Kesehatan dan memperkuat ketahanan sistem Kesehatan, dan
  6. koordinasi peningkatan program Kesehatan masyarakat, terutama yang bersifat promotif dan preventif.

Pasal 416
Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi dan sinkronisasi penguatan sistem Kesehatan diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB XV
PARTISIPASI MASYARAKAT


Pasal 417
  1. Masyarakat berpartisipasi, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan Kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
  2. Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengoordinasikan partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Bagian Kesatu
Pembinaan


Pasal 418
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
  2. Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (t) termasuk kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, serta kegiatan pasca- KLB dan pasca-Wabah secara terpadu dan berkesinambungan.

Pasal 419
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 diarahkan untuk:
  1. meningkatkan akses dan memenuhi kebutuhan Setiap Orang terhadap Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan,
  2. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan,
  3. meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan serta kemampuan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, dan
  4. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi Kesehatan.
  1. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilaksanakan melalui:
    1. komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat,
    2. sosialisasi dan advokasi,
    3. penguatan kapasitas dan bimbingan teknis;
    4. konsultasi, dan/atau
    5. pendidikan dan pelatihan.

Pasal 420
  1. Dalam rangka pembinaan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan pembangunan Kesehatan, termasuk kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, serta pasca-KLB dan pasca-Wabah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Bagian Kedua
Pengawasan


Pasal 421
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap setiap penyelenggaraan Kesehatan.
  2. Lingkup pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
    2. ketaatan terhadap standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, serta etika dan disiplin profesi,
  1. dampak Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan;
  2. evaluasi penilaian kepuasan masyarakat;
  3. akuntabilitas dan kelayakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan; dan
  4. objek pengawasan lain sesuai dengan kebutuhan.
  1. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan masyarakat.

Pasal 422
Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat dibantu tenaga pengawas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 423
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XVII
PENYIDIKAN


Pasal 424
  1. Pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang dan bertanggung jawab melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  2. Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan.
  1. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:
    1. menerima laporan dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang Kesehatan:
    2. memanggil, memeriksa, atau melakukan penggeledahan terkait dugaan tindak pidana di bidang Kesehatan,
    3. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,
    4. melarang Setiap Orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan,
    5. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Kesehatan:
    6. memeriksa identitas orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Kesehatan:
    7. mencari dan meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kesehatan:
    8. menahan, memeriksa, serta menyita surat, dokumen, dan/atau bahan/barang bukti lainnya dalam perkara tindak pidana di bidang Kesehatan,
    9. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana di bidang Kesehatan,
    10. memanggil seseorang untuk diperiksa dan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi:
    11. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan,
    12. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang Kesehatan, dan
  1. melakukan tindakan lain setelah berkoordinasi dalam rangka meminta bantuan penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirimkan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
  3. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil berada di bawah koordinasi dan pengawasan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 425
Dalam hal dugaan tindak pidana bidang Kesehatan dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia atau anggota Tentara Nasional Indonesia bersama dengan masyarakat sipil, penyidikan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 426
Persyaratan, tata cara pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan administrasi penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA


Pasal 427
Setiap perempuan yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan kriteria yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 428
  1. Setiap Orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 terhadap seorang perempuan:
    1. dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
    2. tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
  2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan kematian perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
  3. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan kematian perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 429
  1. Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428 pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
  2. Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu yaitu:
    1. hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; dan/atau
    2. hak menjalankan profesi tertentu.
  3. Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 tidak dipidana.

Pasal 430
Setiap Orang yang menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 431
Setiap Orang yang memperjualbelikan darah manusia dengan alasan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.600,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 432
  1. Setiap Orang yang mengomersialkan atas pelaksanaan transplantasi organ atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Setiap Orang yang memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan alasan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 433
Setiap Orang yang melakukan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan ditujukan untuk mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 434
Setiap Orang yang melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi penderita gangguan jiwa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp10.000.090,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 435
Setiap Orang yang memproduksi atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 436
  1. Setiap Orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (l) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  2. Dalam hal terdapat praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yang terkait dengan Sediaan Farmasi berupa Obat keras dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,06 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 437
  1. Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau mengedarkan dengan tidak mencantumkan peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.600,06 (lima ratus juta rupiah).
  1. Setiap Orang yang melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 438
  1. Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap Pasien yang dalam keadaan Gawat Darurat pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,060 (dua ratus juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) mengakibatkan terjadinya kedisabilitasan atau kematian, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling Denga Rp2.000.000.600,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 439
Setiap orang yang bukan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki SIP dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 440
  1. Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
  2. Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 441
  1. Setiap Orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat yang bersangkutan adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Setiap Orang yang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan yang bersangkutan merupakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.060.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 442
Setiap Orang yang mempekerjakan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 443
Nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi kendaraan darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan Wabah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 444
Setiap Orang yang melakukan pemalsuan Dokumen Karantina Kesehatan atau menggunakan Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 yang isinya tidak benar atau yang dipalsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 445
Setiap Orang yang melakukan kegiatan menyebarluaskan bahan yang mengandung penyebab penyakit dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 446
Setiap Orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 dipidana dengan pidana denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 447
  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428, Pasal 430 sampai dengan Pasal 435, Pasal 437, Pasal 442, Pasal 444, Pasal 445, dan Pasal 446 dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.
  2. Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak:
  1. Rp2.000.000.000,06 (dua miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun:
  2. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun: atau
  3. Rp50.006.060.060,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
  1. Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
  2. Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak pidana:
    1. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
    2. diterima sebagai kebijakan korporasi; dan/atau
    3. digunakan untuk menguntungkan korporasi secara melawan hukum.

Pasal 448
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428, Pasal 430 sampai dengan Pasal 435, Pasal 437, Pasal 442, Pasal 444, Pasal 445, dan Pasal 446 dilakukan oleh korporasi, selain dikenai pidana denda, korporasi juga dikenai pidana tambahan berupa:
  1. pembayaran ganti rugi,
  2. pencabutan izin tertentu, dan/atau
  1. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi.


BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 449
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP yang sudah terbit dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP:
  2. penerbitan STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP yang telah selesai diproses verifikasi dan memenuhi persyaratan diselesaikan segera dan dinyatakan berlaku sampai dengan berakhirnya STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP, dan
  3. penerbitan STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP yang masih dalam proses awal sebelum proses verifikasi disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 450
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Konsil Kedokteran Indonesia, Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Gigi, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia, sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan/atau wewenang sampai dengan terbentuknya Konsil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 dan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 451
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 452
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pengaduan atas pelanggaran disiplin terhadap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang masih:
  1. dalam proses di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan telah selesai proses verifikasi, klarifikasi, dan/atau pemeriksaan, diselesaikan berdasarkan prosedur yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan; dan
  2. awal proses di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan belum dilakukan proses verifikasi, klarifikasi, dan/atau pemeriksaan, diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


BAB XX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 453
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
  1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
  3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5434);
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571);
  6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607),
  7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612);
  8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236), dan
  9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325),

dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


Pasal 454
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras (Staatsblad 1949 Nomor 419):
  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273):
  3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431):
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063),
  5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072),
  6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5434),
  7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571);
  8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607),
  9. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612);
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236): dan
  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 455
Ketentuan dalam Pasal 427, Pasal 428, Pasal 429, Pasal 431, dan Pasal 432 berlaku sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842).

Pasal 456
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 457
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan dewan terkait.

Pasal 458
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2023

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2023

MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

PRATIKNO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1O5

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Deputi Bidang Perundang-undangan dan
Administrasi Hukum,


cap dan ttd.

Lydia Silvanna Djaman