Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2023
TENTANG KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa pembangunan kesehatan masyarakat
memerlukan upaya kesehatan, sumber daya kesehatan,
dan pengelolaan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
berdasarkan prinsip kesejahteraan, pemerataan,
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembangunan sumber daya manusia yang
berkualitas dan produktif, mengurangi kesenjangan,
memperkuat pelayanan kesehatan bermutu,
meningkatkan ketahanan kesehatan, menjamin
kehidupan yang sehat, serta memajukan kesejahteraan
seluruh warga negara dan daya saing bangsa bagi
pencapaian tujuan pembangunan nasional;
bahwa permasalahan dan gangguan kesehatan pada
masyarakat akan menurunkan produktivitas dan
menimbulkan kerugian bagi negara sehingga diperlukan
transformasi kesehatan untuk tercapainya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat;
bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin
baik dan terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan
mendorong perkembangan industri kesehatan nasional
pada tingkat regional dan global serta mendorong
peningkatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau bagi masyarakat untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat;
bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan
kesehatan diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan
untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan
holistik dalam 1 (satu) undang-undang secara
komprehensif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara
fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas
dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.
Upaya Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat dalam
bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pelayanan Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan
secara langsung kepada perseorangan atau masyarakat
untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan
masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif.
Sumber Daya Kesehatan adalah segala sesuatu yang
diperlukan untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah seseorang yang
bekerja secara aktif di bidang Kesehatan, baik yang
memiliki pendidikan formal Kesehatan maupun tidak,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
dalam melakukan Upaya Kesehatan.
Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional,
pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan
profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang
memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya
Kesehatan.
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap
profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui
pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat dan/atau
alat yang digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan kepada perseorangan ataupun masyarakat
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat.
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama yang menyelenggarakan dan mengoordinasikan
Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mengutamakan
promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
Rumah Sakit adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan
secara paripurna melalui Pelayanan Kesehatan promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan Gawat Darurat.
Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
Upaya Kesehatan.
Sediaan Farmasi adalah Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, termasuk bahan Obat Bahan Alam, kosmetik,
suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin,
peralatan, implan, reagen dan kalibrator in vitro,
perangkat lunak, serta material atau sejenisnya yang
digunakan pada manusia untuk tujuan medis dan tidak
mencapai kerja utama melalui proses farmakologi,
imunologi, atau metabolisme.
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya
disingkat PKRT adalah alat, bahan, dan/atau campuran
bahan untuk pemeliharaan dan perawatan yang
berdampak pada Kesehatan manusia yang ditujukan
pada penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum.
Obat adalah bahan, paduan bahan, termasuk produk
biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan Kesehatan, dan kontrasepsi
untuk manusia.
Bahan Obat adalah bahan yang berkhasiat atau tidak
berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan Obat
dengan standar dan mutu sebagai bahan farmasi.
Obat Bahan Alam adalah bahan, ramuan bahan, atau
produk yang berasal dari sumber daya alam berupa
tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain
dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan
tersebut yang telah digunakan secara turun temurun,
atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu,
digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan
Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau
pemulihan Kesehatan berdasarkan pembuktian secara
empiris dan/atau ilmiah.
Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat, produk,
dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, pencegahan, dan penanganan
permasalahan Kesehatan manusia.
Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang
mengintegrasikan berbagai tahapan pemrosesan,
pelaporan, dan penggunaan informasi yang diperlukan
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan Kesehatan serta mengarahkan tindakan
atau keputusan yang berguna dalam mendukung
pembangunan Kesehatan.
Sistem Informasi Kesehatan Nasional adalah Sistem
Informasi Kesehatan yang dikelola oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan yang mengintegrasikan dan menstandardisasi
seluruh Sistem Informasi Kesehatan dalam mendukung
pembangunan Kesehatan.
Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi layanan
Kesehatan, termasuk Kesehatan masyarakat, layanan
informasi Kesehatan, dan layanan mandiri, melalui
telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan
klinis melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi
digital.
Pasien adalah setiap orang yang memperoleh Pelayanan
Kesehatan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga
Kesehatan.
Gawat Darurat adalah keadaan klinis Pasien yang
membutuhkan tindakan medis dan/atau psikologis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kedisabilitasan.
Konsil adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara
independen dalam rangka meningkatkan mutu praktik
dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan serta memberikan pelindungan dan
kepastian hukum kepada masyarakat.
Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu
Kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut
yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen
dan merupakan alat kelengkapan Konsil.
Registrasi adalah pencatatan resmi Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki sertifikat
kompetensi dan/atau sertifikat profesi.
Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR
adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan praktik.
Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut
Wabah adalah meningkatnya Kejadian Luar Biasa
penyakit menular yang ditandai dengan jumlah kasus
dan/atau kematian meningkat dan menyebar secara
cepat dalam skala luas.
Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan
sebagai sikap tanggap menghadapi kemungkinan
terjadinya Wabah.
Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB
adalah meningkatnya kejadian, kesakitan, kematian,
dan/atau kedisabilitasan akibat penyakit dan masalah
Kesehatan yang bermakna secara epidemiologis di suatu
daerah pada kurun waktu tertentu.
Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu
Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut,
orang, dan/atau barang dari dan ke luar negeri, baik
berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas
batas negara.
Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan dalam urusan karantina Kesehatan untuk
melakukan pengawasan dan tindakan penanggulangan
penyakit dan/atau faktor risiko penyebab penyakit atas
alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan.
Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara
epidemiologis terdapat penyebaran penyakit dan/atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah.
Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan
Kesehatan yang dimiliki setiap alat angkut, orang, dan
barang yang memenuhi persyaratan, baik nasional
maupun internasional.
Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk
korporasi.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa.
Pasal 2
Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
perikemanusiaan;
keseimbangan;
manfaat;
ilmiah;
pemerataan;
etika dan profesionalitas;
pelindungan dan keselamatan;
penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
keadilan;
nondiskriminatif;
pertimbangan moral dan nilai-nilai agama;
partisipatif;
kepentingan umum;
keterpaduan;
kesadaran hukum;
kedaulatan negara;
kelestarian lingkungan hidup;
kearifan budaya; dan
ketertiban dan kepastian hukum.
Pasal 3
Penyelenggaraan Kesehatan bertujuan:
meningkatkan perilaku hidup sehat;
meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan dan
Sumber Daya Kesehatan;
meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia yang
efektif dan efisien;
memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan
Kesehatan;
meningkatkan ketahanan Kesehatan dalam menghadapi
KLB atau Wabah;
menjamin ketersediaan pendanaan Kesehatan yang
berkesinambungan dan berkeadilan serta dikelola secara
transparan, efektif, dan efisien;
mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan Teknologi
Kesehatan yang berkelanjutan; dan
memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi
Pasien, Sumber Daya Manusia Kesehatan, dan
masyarakat.
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu Hak
Pasal 4
Setiap Orang berhak:
hidup sehat secara fisik, jiwa, dan sosial;
mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab,
mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya;
mendapatkan perawatan Kesehatan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan,
mendapatkan akses atas Sumber Daya Kesehatan,
menentukan sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab,
mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat Kesehatan,
menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap,
memperoleh kerahasiaan data dan informasi Kesehatan pribadinya,
memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya, termasuk tindakan dan pengobatan yangtelah ataupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan; dan
mendapatkan pelindungan dari risiko Kesehatan.
Hak secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang
diperlukan dalam keadaan Gawat Darurat dan/atau
penanggulangan KLB atau Wabah.
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h tidak
berlaku pada:
seseorang yang penyakitnya dapat secara cepat
menular kepada masyarakat secara lebih luas,
penanggulangan KLB atau Wabah:
seseorang yang tidak sadarkan diri atau dalam
keadaan Gawat Darurat, dan
seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat yang
dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan
tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan
kedaruratan.
Kerahasiaan data dan informasi Kesehatan pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i tidak
berlaku dalam hal:
pemenuhan permintaan aparat penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum,
penanggulangan KLB, Wabah, atau bencana,
kepentingan pendidikan dan penelitian secara terbatas,
upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat,
kepentingan pemeliharaan Kesehatan, pengobatan,
penyembuhan, dan perawatan Pasien,
permintaan Pasien sendiri,
kepentingan administratif, pembayaran asuransi,
atau jaminan pembiayaan Kesehatan, dan/atau
kepentingan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Kewajiban
Pasal 5
Setiap Orang berkewajiban:
mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
menjaga dan meningkatkan derajat Kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya;
menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat;
menerapkan perilaku hidup sehat dan menghormati hak Kesehatan orang lain;
mematuhi kegiatan penanggulangan KLB atau Wabah; dan
mengikuti program jaminan kesehatan dalam sistem
jaminan sosial nasional.
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
Upaya Kesehatan perseorangan;
Upaya Kesehatan masyarakat; dan
pembangunan berwawasan Kesehatan.
Kewajiban mengikuti program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 6
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan Upaya
Kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan
terjangkau oleh masyarakat.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab meningkatkan dan mengembangkan Upaya
Kesehatan dalam rangka meningkatkan akses dan mutu
Pelayanan Kesehatan.
Peningkatan dan pengembangan Upaya Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan
berdasarkan penelitian dan pengkajian.
Penelitian dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 8
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan kewaspadaan KLB atau Wabah, penanggulangan KLB atau Wabah, dan pasca-KLB atau Wabah.
Pasal 9
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Pasal 10
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas ketersediaan Sumber Daya Kesehatan yang
adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
Untuk menjamin ketersediaan Sumber Daya Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dapat memberikan insentif fiskal
dan/atau insentif nonfiskal berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dan akses terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta informasi dan edukasi Kesehatan.
Pasal 12
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan;
perencanaan, pengadaan, serta pendayagunaan Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan wilayahnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
kesejahteraan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
pelindungan kepada Pasien dan Sumber Daya Manusia
Kesehatan.
Pasal 13
Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap perencanaan, pemenuhan, pendayagunaan, dan kesejahteraan tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan wilayahnya.
Pasal 14
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
Pasal 15
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tanggung jawabnya dapat menetapkan kebijakan daerah dan wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan Kesehatan yang ditetapkan Pernerintah Pusat.
Pasal 16
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dibantu oleh Konsil dan/atau Kolegium.
BAB IV PENYELENGGARAAN KESEHATAN
Pasal 17
Penyelenggaraan Kesehatan terdiri atas:
Upaya Kesehatan,
Sumber Daya Kesehatan, dan
pengelolaan Kesehatan.
Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditujukan untuk mewujudkan derajat Kesehatan
yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dalam bentuk
Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan
masyarakat.
Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dimanfaatkan untuk mendukung
penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan terhadap Upaya Kesehatan
dan Sumber Daya Kesehatan.
Pasal 18
Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan Upaya Kesehatan
yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu.
Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan Upaya Kesehatan
yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak pada masyarakat.
Pasal 19
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
Dalam menyelenggarakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat melakukan:
perencanaan strategis nasional;
penetapan kebijakan nasional;
koordinasi program nasional;
pengelolaan sistem rujukan Pelayanan Kesehatan;
penetapan standar Pelayanan Kesehatan;
penyelenggaraan registrasi dan akreditasi Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
penelitian dan pengembangan Kesehatan:
pengelolaan dan pendistribusian Sumber Daya
Kesehatan: dan
penerbitan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah melakukan:
penetapan kebijakan daerah dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
perencanaan, pengelolaan, pemantauan, supervisi,
dan evaluasi program;
pengelolaan sistem rujukan Pelayanan Kesehatan
tingkat daerah;
penelitian dan pengembangan Kesehatan;
pengelolaan dan pendistribusian Sumber Daya
Kesehatan; dan
penerbitan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:
Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
Sumber Daya Manusia Kesehatan;
Perbekalan Kesehatan;
Sistem Informasi Kesehatan;
Teknologi Kesehatan;
pendanaan Kesehatan; dan
sumber daya lain yang diperlukan.
Pasal 21
Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (4) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa yang
dilakukan secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat Kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah
dalam suatu sistem kesehatan nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB V UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 22
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan meliputi:
Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia;
Kesehatan penyandang disabilitas;
Kesehatan reproduksi;
keluarga berencana;
gizi;
Kesehatan gigi dan mulut;
Kesehatan penglihatan dan pendengaran;
Kesehatan jiwa;
penanggulangan penyakit menular dan penanggulangan penyakit tidak menular;
Kesehatan keluarga;
Kesehatan sekolah;
Kesehatan kerja;
Kesehatan olahraga;
Kesehatan lingkungan;
Kesehatan matra;
Kesehatan bencana;
pelayanan darah;
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi
berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika;
pengamanan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT;
pengamanan makanan dan minuman;
pengamanan zat adiktif;
pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum;
Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
Upaya Kesehatan lainnya.
Upaya Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf x ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan pembangunan bidang Kesehatan.
Pasal 23
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, nondiskriminatif, dan berkeadilan.
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan harus memperhatikan
fungsi sosial, nilai sosial budaya, moral, dan etika.
Pasal 24
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dilaksanakan sesuai
dengan standar Pelayanan Kesehatan.
Ketentuan mengenai standar Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dalam bentuk
Pelayanan Kesehatan dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
melalui Telekesehatan dan Telemedisin yang terintegrasi
dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
Telekesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas pemberian pelayanan klinis dan pelayanan
nonklinis.
Pemberian pelayanan klinis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan melalui Telemedisin.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Upaya
Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Upaya Kesehatan dalam bentuk pelayanan diselenggarakan melalui:
Pelayanan Kesehatan primer; dan
Pelayanan Kesehatan lanjutan.
Pasal 27
Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan diselenggarakan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
Pasal 28
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan lanjutan di seluruh wilayah
Indonesia.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diutamakan dengan mengoptimalkan peran Pemerintah
Daerah.
Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup masyarakat rentan dan bersifat
inktusif nondiskriminatif.
Penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer dan
Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
pembangunan sarana dan prasarana Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut;
pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia,
Sediaan Farmasi, dan Alat Kesehatan; dan
peningkatan kemampuan dan cakupan layanan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 29
Masyarakat dapat berpartisipasi untuk pembangunan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pemenuhan sumber daya manusia, sarana, prasarana,
dan Alat Kesehatan.
Pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan kebutuhan Pelayanan Kesehatan di
daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, termasuk
untuk kebutuhan wahana pendidikan.
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
membantu pemenuhan sumber daya manusia untuk
pembangunan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut
di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Kedua Pelayanan Kesehatan Primer
Pasal 30
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pembinaan Pelayanan Kesehatan primer.
Pasal 31
Pelayanan Kesehatan primer menyelenggarakan Upaya
Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan
masyarakat.
Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan Pelayanan Kesehatan yang
terdekat dengan masyarakat sebagai kontak pertama
Pelayanan Kesehatan.
Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan secara terintegrasi dengan
tujuan:
pemenuhan kebutuhan Kesehatan dalam setiap fase
kehidupan;
perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang
mempengaruhi Kesehatan yang terdiri atas
determinan sosial, ekonomi, komersial, dan
lingkungan; dan
penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan
masyarakat.
Pelayanan Kesehatan primer secara terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pelayanan
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif
untuk setiap fase kehidupan.
Pelayanan preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan untuk pencegahan penyakit termasuk skrining
dan surveilans.
Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) secara strategis memprioritaskan Pelayanan
Kesehatan utama/esensial yang ditujukan bagi
perseorangan, keluarga, dan masyarakat berdasarkan
faktor risiko.
Perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang
mempengaruhi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b melibatkan pihak terkait melalui
penyusunan kebijakan dan tindakan lintas sektor.
Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
bertujuan untuk mengoptimalkan status Kesehatan dan
menguatkan peran mereka sebagai mitra pembangunan
Kesehatan dan pemberi asuhan untuk diri sendiri dan
untuk orang lain.
Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
memberikan layanan yang berpusat pada perseorangan,
berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada
masyarakat yang sesuai dengan latar belakang sosial
budaya.
Pasal 32
Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan melalui
suatu sistem jejaring Pelayanan Kesehatan yang saling
berkoordinasi dan bekerja sama.
Puskesmas mengoordinasikan sistem jejaring Pelayanan
Kesehatan primer di wilayah kerjanya.
Sistem jejaring Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dirancang untuk menjangkau
seluruh masyarakat melalui:
struktur jejaring berbasis wilayah administratif;
struktur jejaring berbasis satuan pendidikan;
struktur jejaring berbasis tempat kerja;
struktur jejaring sistem rujukan; dan
struktur jejaring lintas sektor.
Struktur jejaring berbasis wilayah administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a memastikan tersedianya Pelayanan Kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan menjamin tersedianya Pelayanan Kesehatan hingga tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat,
unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan, dan
Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat,
di dalam wilayah kerja Puskesmas.
Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b mengoordinasikan urusan Kesehatan di desa/kelurahan, termasuk pemberian Pelayanan Kesehatan dan partisipasi masyarakat.
Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal dilaksanakan oleh kader Kesehatan yang ditugasi oleh desa/kelurahan dan Tenaga Kesehatan.
Struktur jejaring berbasis satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b mencakup semua satuan pendidikan di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
Struktur jejaring berbasis tempat kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf ce mencakup semua tempat
kerja di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
Struktur jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d dilakukan melalui rujukan secara
vertikal, horizontal, dan rujuk balik.
Struktur jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf e mencakup jejaring pemerintah di
tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun, rukun
warga, rukun tetangga, dan jejaring mitra Kesehatan
untuk mengatasi determinan Kesehatan.
Pelayanan Kesehatan primer didukung oleh
keterhubungan data pada sistem jejaringnya yang
terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
Pasal 33
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer didukung
oleh laboratorium Kesehatan.
Laboratorium Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi laboratorium medis, laboratorium
Kesehatan masyarakat, dan laboratorium lainnya yang
ditetapkan oleh Menteri.
Laboratorium Kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditata secara berjenjang.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan dan menyelenggarakan laboratorium
Kesehatan masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai laboratorium Kesehatan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah
Desa bertanggung jawab terhadap kemandirian dalam
Upaya Kesehatan.
Dalam rangka kemandirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
Pemerintah Desa mendorong terbentuknya Upaya
Kesehatan bersumber daya masyarakat.
Pasal 35
Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat merupakan wahana pemberdayaan masyarakat bidang Kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, serta dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa dengan melibatkan sektor lain yang terkait.
Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dapat
berupa pos pelayanan terpadu.
Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyelenggarakan pelayanan sosial dasar, termasuk di bidang Kesehatan.
Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kader dan/atau masyarakat.
Dalam rangka pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, dilakukan pembinaan teknis dan peningkatan kemampuan kader oleh unit Kesehatan di desa/kelurahan dan Puskesmas.
Dalam penyelenggaraan pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah Desa memberikan insentif kepada kader.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan pos pelayanan terpadu.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan primer diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pelayanan Kesehatan Lanjutan
Pasal 37
Pelayanan Kesehatan lanjutan merupakan pelayanan spesialis dan/atau subspesialis yang mengedepankan pelayanan kuratif, rehabilitatif, dan paliatif tanpa mengabaikan promotif dan preventif.
Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
lanjut.
Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didanai oleh penerima Pelayanan Kesehatan
atau melalui penjaminan Kesehatan dalam sistem
jaminan sosial nasional dan/atau asuransi komersial.
Pasal 38
Dalam pengembangan Pelayanan Kesehatan lanjutan,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
dapat mengembangkan pusat pelayanan unggulan
nasional yang berstandar internasional.
Pengembangan pusat pelayanan unggulan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan dan
menghadapi persaingan regional dan global.
Pasal 39
Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan
lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
diselenggarakan secara berkesinambungan melalui
sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan.
Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kebutuhan medis Pasien dan kemampuan
pelayanan pada setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
mencakup rujukan secara vertikal, horizontal, dan rujuk
balik.
Sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan
didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi
yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan
Nasional.
Teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memuat data dan informasi
mutakhir mengenai kemampuan pelayanan setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tergabung dalam
sistem rujukan secara terintegrasi.
Selain memuat data dan informasi mutakhir mengenai
kemampuan pelayanan setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan terhadap
proses transfer data dan informasi medis Pasien yang
diperlukan untuk proses rujukan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan
Pelayanan Kesehatan perseorangan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Remaja, Dewasa, dan Lanjut Usia
Paragraf 1 Kesehatan Ibu
Pasal 40
Upaya Kesehatan ibu ditujukan untuk melahirkan anak
yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan
angka kematian ibu.
Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada masa sebelum hamil, masa
kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
Setiap ibu berhak memperoleh akses ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang
sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan Pelayanan Kesehatan ibu yang sesuai
dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Upaya Kesehatan ibu menjadi tanggung jawab dan
kewajiban bersama bagi keluarga, masyarakat,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan ibu
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2 Kesehatan Bayi dan Anak
Pasal 41
Upaya Kesehatan bayi dan anak ditujukan untuk
menjaga bayi dan anak tumbuh dan berkembang dengan
sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka
kesakitan, kematian, dan kedisabilitasan bayi dan anak.
Upaya Kesehatan bayi dan anak dilakukan sejak masih
dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai
sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Upaya Kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) termasuk skrining bayi baru lahir dan
skrining kesehatan lainnya.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Upaya Kesehatan bayi dan anak yang sesuai dengan
standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Pasal 42
Setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu eksklusif
sejak dilahirkan sampai usia 6 (enam) bulan, kecuali atas
indikasi medis.
Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia
2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping.
(3) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.
Pasal 43
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
melakukan jawab menetapkan kebijakan dan pengawasan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu eksklusif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai air susu ibu eksklusif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab untuk memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak.
Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi
untuk memberikan pelindungan dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
Pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat harus mendukung imunisasi kepada
bayi dan anak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi
dan jenis imunisasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin setiap anak yang dilahirkan mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal.
Pasal 46
Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan
yang dapat mengganggu Kesehatan bayi dan anak.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban
menjamin terselenggaranya pelindungan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan
Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 47
Pemerintah Pusat menetapkan standar dan/atau kriteria Kesehatan bayi dan anak.
Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai sosial budaya, dan didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan tempat dan sarana lain yang
diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan
anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta
mampu bersosialisasi secara sehat.
Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi sarana
pelindungan terhadap risiko Kesehatan agar tidak
membahayakan Kesehatan anak.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan bayi dan anak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Kesehatan Remaja
Pasal 50
Upaya Kesehatan remaja ditujukan untuk
mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang
sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif.
Upaya Kesehatan remaja dilakukan pada masa usia
remaja.
Setiap remaja berhak memperoleh akses ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang
sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Upaya Kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), termasuk skrining Kesehatan, Kesehatan
reproduksi remaja, dan Kesehatan jiwa remaja.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Upaya Kesehatan remaja yang sesuai dengan standar,
aman, bermutu, dan terjangkau.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan
remaja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4 Kesehatan Dewasa
Pasal 51
Upaya Kesehatan dewasa ditujukan untuk menjaga agar
seseorang tetap hidup sehat dan produktif.
Setiap orang dewasa berhak memperoleh akses ke
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan
yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan
terjangkau.
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) termasuk Pelayanan Kesehatan reproduksi dan
skrining berkala untuk deteksi dini penyakit.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Upaya Kesehatan dewasa yang sesuai dengan standar,
aman, bermutu, dan terjangkau.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan
dewasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5 Kesehatan Lanjut Usia
Pasal 52
Upaya Kesehatan lanjut usia ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat, berkualitas, dan produktif sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Upaya Kesehatan lanjut usia dilakukan sejak seseorang
berusia 60 (enam puluh) tahun atau usia lain yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Setiap orang lanjut usia berhak memperoleh akses ke
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan
yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan
terjangkau.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Upaya Kesehatan lanjut usia yang sesuai dengan
standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan lanjut
usia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Kesehatan Penyandang Disabilitas
Pasal 53
Upaya Kesehatan penyandang disabilitas ditujukan
untuk menjaga agar penyandang disabilitas tetap hidup
sehat, produktif, dan bermartabat.
Upaya Kesehatan penyandang disabilitas dilakukan
sepanjang usia penyandang disabilitas.
Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh akses
atas Fasilitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan
Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu,
dan terjangkau.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin
penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama
sebagai warga negara.
Upaya Kesehatan penyandang disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan
penyandang disabilitas diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keenam Kesehatan Reproduksi
Pasal 54
Upaya Kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga
dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi
pada laki-laki dan perempuan.
Upaya Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan,
dan pascapersalinan;
pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan
Kesehatan seksual; dan
Kesehatan sistem reproduksi.
Pasal 55
Setiap Orang berhak:
menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat,
aman, serta bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau
kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak
merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma
agama;
memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
Kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan; dan
menerima pelayanan dan pemulihan Kesehatan akibat
tindak pidana kekerasan seksual.
Pasal 56
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Pasal 57
Setiap Pelayanan Kesehatan reproduksi, termasuk
reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan
bermutu dengan memperhatikan aspek yang khas,
khususnya reproduksi perempuan.
Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 58
Reproduksi dengan bantuan hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana
ovum berasal;
dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian
dan kewenangan; dan
dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan
kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan
dalam kitab undang-undang hukum pidana.
Pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan:
oleh Tenaga Medis dan dibantu Tenaga Kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan;
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh Menteri; dan
dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.
Pasal 61
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi yang tidak aman serta bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh Kesehatan Keluarga Berencana
Pasal 63
Upaya Kesehatan keluarga berencana ditujukan untuk
mengatur kehamilan, membentuk generasi yang sehat,
cerdas, dan berkualitas, serta menurunkan angka
kematian ibu dan bayi.
Upaya Kesehatan keluarga berencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada usia subur.
Setiap Orang berhak memperoieh akses ke pelayanan
keluarga berencana.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab atas penyelenggaraan keluarga
berencana yang sesuai dengan standar, aman, bermutu,
dan terjangkau.
Pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan Gizi
Pasal 64
Upaya pemenuhan gizi ditujukan untuk peningkatan
mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
perbaikan pola konsumsi makanan yang beragam,
bergizi seimbang, dan aman;
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
peningkatan sistem kewaspadaan dan peringatan
dini terhadap kerawanan pangan dan gizi.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab terhadap ketersediaan bahan makanan secara
merata dan terjangkau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar
mutu gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Penyediaan bahan makanan yang memenuhi standar
mutu gizi dilakukan secara lintas sektor dan
antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota.
Pasal 65
Upaya pemenuhan gizi dilakukan pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
usia.
Upaya pemenuhan gizi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan memberikan perhatian khusus
kepada:
ibu hamil dan menyusui;
bayi dan balita; dan
remaja perempuan.
Dalam rangkat upaya pemenuhan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat menetapkan standar angka kecukupan gizi dan standar pelayanan gizi.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemenuhan gizi keluarga miskin dan dalam situasi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, dan masyarakat melakukan upaya bersama untuk mencapai status gizi yang baik.
Pasal 66
Upaya perbaikan gizi dilakukan melalui surveilans gizi, pendidikan gizi, tata laksana gizi, dan suplementasi gizi.
Surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah gizi dan indikator pembinaan gizi agar dapat dilakukan respons dan penanggulangan secara efektif dan efisien terhadap masalah gizi.
Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka menetapkan perilaku gizi seimbang.
Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, stunting, gizi berlebih, dan defisiensi mikronutrien serta masalah gizi akibat penyakit.
Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi masyarakat dengan prioritas kepada bayi dan balita, anak sekolah, remaja perempuan, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan pekerja wanita.
Pasal 67
Dalam rangkat keterpaduan dan akselerasi percepatan pemenuhan gizi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan intervensi dalam rangkat pemenuhan dan perbaikan gizi.
Intervensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan pemangku kepentingan.
Pasal 68
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai gizi diatur dengan Peraturan Pemerintah
Bagian Kesembilan Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 70
Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat.
Pelayana Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk peningkatan Kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan Kesehatan gigi.
Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui unit Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut dan/atau usaha Kesehatan sekolah.
Bagian Kesepuluh Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran
Pasal 71
Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran ditujukan untuk meningkatkan derajat Kesehatan penglihatan dan pendengaran masyarakat serta menurunkan angka disabilitas.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat.
Pasal 72
Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas Kesehatan Jiwa
Pasal 74
Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fsik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk:
menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan jiwa; dan
menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan dan potensi psikologis lainnya.
Pasal 75
Upaya Kesehatan jiwa diberikan secara proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia bagi orang yang berisiko, orang dengan gangguan jiwa, dan masyarakat.
Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk upaya pencegahan bunuh diri melalui pencegahan faktor risiko bunuh diri, pencegahan timbulnya pemikiran tentang menyakiti diri sendiri, dan pencegahan percobaan bunuh diri.
Pasal 76
Setiap Orang berhak mendapatkan:
akses Pelayanan Kesehatan jiwa yang aman, bermutu, dan terjangkau; dan
informasi dan edukasi tentang Kesehatan jiwa.
Setiap Orang dilarang melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap orang yang berisiko atau orang dengan gangguan jiwa, atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa.
Orang yang berisiko dan orang dengan gangeuan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
Pasal 77
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
menciptakan kondisi Kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas mutu, dan pemerataan Upaya Kesehatan jiwa;
memberi pelindungan dan menjamin Pelayanan Kesehatan jiwa bagi orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa berdasarkan pada hak asasi manusia;
memberikan kesempatan kepada orang yang berisiko dan orang dengan gangguan jiwa untuk dapat memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia;
melakukan penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa yang telantar, menggelandang, dan mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain;
menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Kesehatan jiwa, baik di tingkat pertama maupun tingkat lanjut di seluruh wilayah Indonesia, termasuk layanan untuk Pasien narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
mengembangkan Upaya Kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari Upaya Kesehatan jiwa keseluruhan;
melakukan pengawasan terhadap fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan Upaya Kesehatan jiwa berbasis masyarakat; dan
Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kebijakan
perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205.
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menerima
bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib melaksanakan masa pengabdian pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk setelah
menyelesaikan pendidikan.
(4) Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan yang menerima
bantuan pendanaan pendidikan tidak melaksanakan
masa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa pencabutan STR.
Pasal 225
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan meningkatkan
kompetensi secara berkelanjutan
untuk
mengembangkan
keprofesiannya.
Pasal 226
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
PasaL 2O7 sampai dengan Pasal 225 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Paragraf
Umum
1
Pasal 227
(1)
Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dalam rangka
pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat
Bahan Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX KETAHANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Pasal 322
Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam semesta
dan sudah terbukti berkhasiat, memenuhi ketentuan
jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta
pemeliharaan Kesehatan tetap harus dijaga
kelestariannya.
Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk meneliti, mengembangkan, memproduksi,
mengedarkan, meningkatkan, dan menggunakan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Penelitian, pengembangan, produksi, peredaran,
peningkatan, serta penggunaan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
pelaksanaan penelitian dan pengembangan Sediaan
Farmasi dan bahan baku Alat Kesehatan yang berasal
dari alam dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pasal 323
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong
dan mengarahkan penelitian dan pengembangan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan dengan memanfaatkan
potensi nasional yang tersedia.
Penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan dilakukan dengan memperhatikan dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup, sumber daya
alam, norma agama, dan sosial budaya.
Dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat merekomendasikan penutupan Pintu Masuk kepada Presiden.
Pasal 362
Setiap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
datang dari Daerah Terjangkit,
berada dalam pengawasan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 363
Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi pada
saat kedatangan atau melewati pos lintas batas negara
wajib menginformasikan apabila terdapat orang sakit
dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah kepada Petugas Karantina
Kesehatan.
Penyampaian informasi oleh nakhoda, kapten penerbang,
atau pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menyerahkan dokumen deklarasi
kesehatan untuk kapal, pesawat udara, dan kendaraan
darat pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina
Kesehatan.
Nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang
sebelum mendapat surat persetujuan dari kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 364
Terhadap alat angkut yang terdapat orang sakit dan/atau
meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan
berwenang melakukan
melakukan pemeriksaan dan tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
ayat (5).
Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan dan tindakan
penanggulangan terhadap kendaraan darat di pos lintas batas negara diatur melalui perjanjian antara kedua negara.
Pasal 365
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 366
Setiap alat angkut, orang, dan/atau barang yang:
datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
datang dari atau berangkat ke daerah/negara endemis atau terjangkit,
harus dilengkapi dengan Dokumen Karantina Kesehatan.
Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan sebagai alat pengawasan dan pencegahan masuk dan/atau keluarnya penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
Pasal 367
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan, penerbitan, dan pembatalan Dokumen Karantina Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5 Daerah Wabah
Pasal 368
Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah.
Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek:
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf a merupakan Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 388
Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib ikut serta dalam kegiatan penanggulangan KLB dan Wabah.
Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mobilisasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 389
Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf b berupa penerapan dan pengembangan:
teknologi tepat guna;
metode uji laboratorium;
metode pengobatan;
teknologi manajemen informasi dan komunikasi; dan
penelitian.
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diutamakan penelitian yang berbasis pelayanan.
Pasal 390
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf c berupa seluruh fasilitas yang diperlukan untuk mendukung kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, dan pasca-KLB dan pasca-Wabah.
Pasal 391
Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 huruf d meliputi Alat Kesehatan, Obat, vaksin, bahan medis habis pakai, dan bahan/alat pendukung lainnya yang diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, serta pasca-KLB dan pasca-Wabah.
Bagian Ketujuh Hak, Kewajiban, dan Larangan
Paragraf 1 Hak
Pasal 392
Setiap orang yang sakit atau diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang menyebabkan KLB atau akibat penyakit yang menyebabkan Wabah yang telah ditetapkan status KLB atau Wabah berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang pendanaannya bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 393
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya penanggulangan KLB dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugasnya.
Pelindungan hukum dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelindungan yang diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan kegiatan investigasi dan memasuki wilayah atau mendapatkan akses kepada masyarakat tertentu yang diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB, atau akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk mendapatkan pelindungan diri dari risiko penularan.
penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang
Kesehatan, dan
program Kesehatan strategis lainnya sesuai dengan
prioritas pembangunan nasional di sektor
Kesehatan.
Pendanaan untuk seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 404
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pendanaan pemeriksaan dan Pelayanan Kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum.
Pasal 405
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau pihak swasta terkait bertanggung jawab terhadap pendanaan yang timbul dalam hal terdapat kejadian ikutan pascapemberian Obat pencegahan massal dan imunisasi dalam penanggulangan penyakit, termasuk
penanggulangan KLB dan Wabah.
Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) paling
sedikit digunakan untuk:
audit kausalitas;
Pelayanan Kesehatan, termasuk rehabilitasi medis; dan
santunan terhadap korban.
Pasal 406
Pendanaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah Pusat, anggaran Pemerintah Daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 407
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat dapat memberikan bantuan pendanaan
dalam rangka peningkatan dan pemberian Pelayanan
Kesehatan kepada masyarakat.
Bantuan pendanaan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 408
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan pendanaan Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 409
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota memprioritaskan
anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan dalam
penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
anggaran selain untuk gaji dalam lingkup peningkatan
Pelayanan Kesehatan bagi masyarakat dengan tetap
memperhatikan kesejahteraan bagi Sumber Daya
Manusia Kesehatan.
Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran Kesehatan
dari anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai
dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan
dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan
memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran Kesehatan
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai
dengan kebutuhan Kesehatan daerah yang mengacu
pada program Kesehatan nasional yang dituangkan
dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan
memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Pengalokasian anggaran Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan Kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.
Dalam penyusunan anggaran Kesehatan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat berwenang untuk menyinkronkan kebutuhan alokasi anggaran untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403.
Pasal 410
Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan
Kesehatan, Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif
atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah sesuai
dengan capaian kinerja program dan Pelayanan
Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberian insentif atau disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 411
Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan.
Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh penduduk.
Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan untuk menjamin agar
masyarakat memperoleh manfaat pemeliharaan dan
pelindungan Kesehatan guna memenuhi kebutuhan
dasar Kesehatan.
Kebutuhan dasar Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) merupakan kebutuhan esensial yang
menyangkut Pelayanan Kesehatan perseorangan, baik
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun paliatif
sesuai dengan siklus hidup dan epidemiologi tanpa
melihat sosial ekonomi dan penyebab masalah
Kesehatan.
Penduduk yang ingin mendapat manfaat tambahan dapat
mengikuti asuransi kesehatan tambahan dan/atau
membayar secara pribadi.
Manfaat tambahan melalui asuransi kesehatan
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
dibayarkan oleh pemberi kerja dan/atau dibayar secara
pribadi, yang dilaksanakan dengan koordinasi antar
penjamin kesehatan lainnya.
Pasal 412
Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENGUATAN SISTEM KESEHATAN
Pasal 413
Dalam rangka pembangunan Kesehatan diperlukan
koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang
Kesehatan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait.
Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tujuan untuk:
melaksanakan pencegahan dan penanganan
permasalahan kebijakan di bidang Kesehatan;
menyinergikan dan mengonsolidasikan pelaksanaan
kebijakan di bidang Kesehatan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait, dan
mengakselerasikan pembangunan dan menguatkan
sistem Kesehatan.
Pasal 414
Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 dilakukan dengan memperhatikan transparansi, kontinuitas, akuntabilitas, keprofesionalan, dan keterpaduan pelayanan serta mengedepankan kepentingan masyarakat.
Pasal 415
Koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 paling sedikit dilaksanakan melalui:
penelaahan terhadap berbagai informasi dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses akselerasi
pembangunan Kesehatan,
penyusunan strategi pencapaian dan prioritas program
dan kegiatan pembangunan Kesehatan,
penetapan kriteria dan indikator untuk penilaian
pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan
Kesehatan:
penilaian terhadap kondisi stabilitas dan ketahanan
sistem Kesehatan:
penetapan langkah koordinasi untuk mencegah krisis
Kesehatan dan memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan, dan
koordinasi peningkatan program Kesehatan masyarakat,
terutama yang bersifat promotif dan preventif.
Pasal 416
Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi dan sinkronisasi penguatan sistem Kesehatan diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XV PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 417
Masyarakat berpartisipasi, baik secara perseorangan
maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan Kesehatan dalam rangka membantu
mempercepat pencapaian derajat Kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mengoordinasikan partisipasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 418
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan terhadap masyarakat dan setiap
penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan
Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (t)
termasuk kewaspadaan KLB dan Wabah,
penanggulangan KLB dan Wabah, serta kegiatan pasca-
KLB dan pasca-Wabah secara terpadu dan
berkesinambungan.
Pasal 419
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 diarahkan untuk:
meningkatkan akses dan memenuhi kebutuhan
Setiap Orang terhadap Sumber Daya Kesehatan dan
Upaya Kesehatan,
menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
Upaya Kesehatan,
meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan serta
kemampuan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, dan
melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
Kesehatan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
dilaksanakan melalui:
komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat,
sosialisasi dan advokasi,
penguatan kapasitas dan bimbingan teknis;
konsultasi, dan/atau
pendidikan dan pelatihan.
Pasal 420
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan
kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap
kegiatan mewujudkan tujuan pembangunan Kesehatan,
termasuk kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah,
penanggulangan KLB dan Wabah, serta pasca-KLB dan
pasca-Wabah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 421
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan
pengawasan terhadap setiap penyelenggaraan Kesehatan.
Lingkup pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
ketaatan terhadap standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, serta etika dan disiplin profesi,
dampak Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan;
evaluasi penilaian kepuasan masyarakat;
akuntabilitas dan kelayakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan; dan
objek pengawasan lain sesuai dengan kebutuhan.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 422
Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat dibantu tenaga pengawas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 423
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVII PENYIDIKAN
Pasal 424
Pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang dan bertanggung jawab melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
Kesehatan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:
menerima laporan dan melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang Kesehatan:
memanggil, memeriksa, atau melakukan
penggeledahan terkait dugaan tindak pidana di
bidang Kesehatan,
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,
melarang Setiap Orang meninggalkan atau
memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan,
menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang Kesehatan:
memeriksa identitas orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang Kesehatan:
mencari dan meminta keterangan dan bahan bukti
dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Kesehatan:
menahan, memeriksa, serta menyita surat,
dokumen, dan/atau bahan/barang bukti lainnya
dalam perkara tindak pidana di bidang Kesehatan,
melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana di
bidang Kesehatan,
memanggil seseorang untuk diperiksa dan didengar
keterangannya sebagai tersangka atau saksi:
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang
Kesehatan,
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang Kesehatan, dan
melakukan tindakan lain setelah berkoordinasi
dalam rangka meminta bantuan penyidikan kepada
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirimkan
pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan dan
penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum
melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 425
Dalam hal dugaan tindak pidana bidang Kesehatan dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia atau anggota Tentara Nasional Indonesia bersama dengan masyarakat sipil, penyidikan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 426
Persyaratan, tata cara pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan administrasi penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVIII KETENTUAN PIDANA
Pasal 427
Setiap perempuan yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan kriteria yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 428
Setiap Orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 terhadap seorang perempuan:
dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan kematian perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan kematian perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 429
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428 pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu yaitu:
hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; dan/atau
hak menjalankan profesi tertentu.
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 tidak dipidana.
Pasal 430
Setiap Orang yang menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 431
Setiap Orang yang memperjualbelikan darah manusia dengan alasan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.600,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 432
Setiap Orang yang mengomersialkan atas pelaksanaan
transplantasi organ atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Setiap Orang yang memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan alasan apa pun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 433
Setiap Orang yang melakukan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan ditujukan untuk mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 434
Setiap Orang yang melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi penderita gangguan jiwa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp10.000.090,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 435
Setiap Orang yang memproduksi atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 436
Setiap Orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (l) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam hal terdapat praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) yang terkait dengan Sediaan
Farmasi berupa Obat keras dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,06 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 437
Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan rokok ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan/atau mengedarkan dengan tidak mencantumkan
peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.600,06 (lima
ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 438
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis,
dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap Pasien yang dalam
keadaan Gawat Darurat pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan
Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,060 (dua ratus juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) mengakibatkan terjadinya kedisabilitasan atau
kematian, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling Denga
Rp2.000.000.600,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 439
Setiap orang yang bukan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan melakukan praktik sebagai Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki SIP dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 440
Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang
melakukan kealpaan yang mengakibatkan Pasien luka
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau
Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 441
Setiap Orang yang menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat yang bersangkutan adalah Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR
dan/atau SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang menggunakan alat, metode, atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang menimbulkan kesan yang bersangkutan merupakan
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
STR dan/atau SIP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 312 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp500.060.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 442
Setiap Orang yang mempekerjakan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 443
Nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi kendaraan darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan Wabah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 444
Setiap Orang yang melakukan pemalsuan Dokumen Karantina Kesehatan atau menggunakan Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 yang isinya tidak benar atau yang dipalsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 445
Setiap Orang yang melakukan kegiatan menyebarluaskan bahan yang mengandung penyebab penyakit dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 446
Setiap Orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 dipidana dengan pidana denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 447
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 428, Pasal 430 sampai dengan Pasal 435, Pasal 437, Pasal 442, Pasal 444, Pasal 445, dan Pasal 446 dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.
Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap
pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak:
Rp2.000.000.000,06 (dua miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun:
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun: atau
Rp50.006.060.060,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak pidana:
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
diterima sebagai kebijakan korporasi; dan/atau
digunakan untuk menguntungkan korporasi secara
melawan hukum.
Pasal 448
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428, Pasal 430 sampai dengan Pasal 435, Pasal 437, Pasal 442, Pasal 444, Pasal 445, dan Pasal 446 dilakukan oleh korporasi, selain dikenai pidana denda, korporasi juga dikenai pidana tambahan berupa:
pembayaran ganti rugi,
pencabutan izin tertentu, dan/atau
penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan korporasi.
BAB XIX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 449
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP yang sudah
terbit dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan
SIP:
penerbitan STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP
yang telah selesai diproses verifikasi dan memenuhi
persyaratan diselesaikan segera dan dinyatakan berlaku
sampai dengan berakhirnya STR, STR Sementara, STR
Bersyarat, dan SIP, dan
penerbitan STR, STR Sementara, STR Bersyarat, dan SIP
yang masih dalam proses awal sebelum proses verifikasi
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 450
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Konsil Kedokteran Indonesia, Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Gigi, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia, sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan/atau wewenang sampai dengan terbentuknya Konsil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 dan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 451
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 452
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pengaduan atas pelanggaran disiplin terhadap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang masih:
dalam proses di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan telah selesai proses verifikasi, klarifikasi, dan/atau pemeriksaan, diselesaikan berdasarkan prosedur yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan; dan
awal proses di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia atau konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
dan belum dilakukan proses verifikasi, klarifikasi,
dan/atau pemeriksaan, diselesaikan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 453
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3273);
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5434);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607),
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236), dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3273):
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431):
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063),
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072),
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5434),
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5571);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607),
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5612);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236): dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 455
Ketentuan dalam Pasal 427, Pasal 428, Pasal 429, Pasal 431, dan Pasal 432 berlaku sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842).
Pasal 456
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 457
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan dewan terkait.
Pasal 458
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1O5
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum,