Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009/Penjelasan
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
I. | UMUM |
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang- Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang- Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27 (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi. |
Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antar daerah. Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. |
Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. |
Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. |
Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. |
II | PASAL DEMI PASAL |
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
|
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
|
:Ayat (3)
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
|
:Ayat (3)
Pasal 18
Pasal 19
|
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
|
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
|
Pasal 27
Pasal 28
|
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
|
Pasal 32
|
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
|
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
|
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 72
Pasal 73
Pasal 74
Pasal 75
|
Pasal 76
Pasal 77
|
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 81
|
Pasal 82
Pasal 83
Pasal 84
Pasal 85
|
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
|
Pasal 96
Pasal 97
|
|
|
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
Pasal 104
Pasal 105
Pasal 106
Pasal 107
|
Pasal 108
Pasal 109
Pasal 110
Pasal 111
Pasal 112
Pasal 113
Pasal 114
Pasal 115
Pasal 116
Pasal 117
|
Pasal 118
Pasal 119
Pasal 120
Pasal 121
Pasal 122
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125
Pasal 126
Pasal 127
Pasal 128
|
Pasal 129
Pasal 130
Pasal 131
Pasal 132
Pasal 133
Pasal 134
Pasal 135
Pasal 136
Pasal 137
Pasal 138
Pasal 139
|
Pasal 140
Pasal 141
Pasal 142
Pasal 143
Pasal 144
Pasal 145
Pasal 146
Pasal 147
Pasal 148
Pasal 149
Pasal 150
Pasal 151
|
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154
Pasal 155
Pasal 156
Pasal 157
|
Pasal 158
Pasal 159
Pasal 160
Pasal 161
Pasal 162
Pasal 163
Pasal 164
Pasal 165
Pasal 166
Pasal 167
|
Pasal 168
Pasal 169
Pasal 170
Pasal 171
Pasal 172
Pasal 173
Pasal 174
Pasal 175
Pasal 176
|
Pasal 177
Pasal 178
Pasal 179
Pasal 180
Pasal 181
Pasal 182
Pasal 183
Pasal 184
Pasal 185
|