Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 saat ini telah disahkan dan berlaku aktif. Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009, lihat di sini.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2009
TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam sistem hukum nasional;
bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar pembentukannya ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan undang-undang yang baru;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 4
Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
BAB III KEWENANGAN
Pasal 5
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 6
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
tindak pidana korupsi;
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Pasal 7
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.
BAB IV SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 8
Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas:
pimpinan;
Hakim; dan
panitera.
Bagian Kedua Pimpinan
Pasal 9
Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Ketua dan wakil ketua pengadilan negeri karena jabatannya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada wakil ketua.
Bagian Ketiga Hakim
Pasal 10
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 11
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;
berpengalaman menangani perkara pidana;
jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;
tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara pidana;
memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan
telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
warga negara Republik Indonesia;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
sehat jasmani dan rohani;
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik;
tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
melaporkan harta kekayaannya;
bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.
Pasal 13
Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan transparan.
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 14
Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh:
Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada pengadilan tinggi;
Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Sumpah: ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji: “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 15
Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi:
pelaksana putusan pengadilan;
wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
pimpinan atau anggota lembaga negara;
kepala daerah;
advokat;
notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah;
jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau
pengusaha.
Pasal 16
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.
Bagian Keempat Pemberhentian Hakim
Pasal 17
Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
permintaan sendiri;
sakit jasmani atau rohani selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
terbukti tidak cakap dalam menjalankan tugas;
telah memasuki masa pensiun, bagi Hakim Karier; atau
telah selesai masa tugasnya, bagi Hakim ad hoc.
Pasal 18
Hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
melanggar sumpah atau janji jabatan; atau
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 19
Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, diberhentikan sementara dari jabatannya oleh:
Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi;
Presiden atas usul Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung.
Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan apabila Hakim yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian maka pemberhentian sementara harus dicabut.
Hakim yang diberhentikan sementara dilarang menangani perkara.
Pasal 20
Tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak Hakim yang dikenakan pemberhentian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima Hak Keuangan dan Administratif Hakim
Pasal 21
Hakim mempunyai hak keuangan dan administratif.
Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanpa membedakan kedudukan Hakim.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam Panitera
Pasal 22
Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin oleh seorang panitera.
Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan pengangkatan, dan pemberhentian pada jabatan kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
BAB V TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Pasal 24
Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penyelenggaraan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan informasi yang bersifat terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
BAB VI HUKUM ACARA
Bagian Kesatu Umum
Pasal 25
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 26
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua) dan dalam hal majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu).
Penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus.
Ketentuan mengenai kriteria dalam penentuan jumlah dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Bagian Kedua Penetapan Hari Sidang
Pasal 27
Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan susunan majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan berkas perkara.
Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan majelis Hakim.
Bagian Ketiga Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 28
Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa.
Pasal 29
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 30
Pemeriksaan tingkat banding Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Pasal 31
Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Pasal 32
Dalam hal putusan pengadilan dimintakan peninjauan kembali, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB VII PEMBIAYAAN
Pasal 33
Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan pada anggaran Mahkamah Agung yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Mahkamah Agung setiap tahun wajib menyusun rencana kerja dan anggaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang sedang diperiksa pada setiap tingkat pemeriksaan, tetap diperiksa dan diadili sampai perkara tindak pidana korupsi tersebut diputus sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh pengadilan negeri atau yang sedang diperiksa pada setiap tingkat pemeriksaan, tetap diperiksa dan diadili sampai perkara tindak pidana korupsi tersebut diputus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
Dengan Undang-Undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi.
Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan.
Khusus untuk Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 36
Sebelum terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum, diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetap bertugas sampai dengan berakhirnya masa jabatan Hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Dalam hal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 35 tidak tersedia Hakim ad hoc yang mempunyai keahlian yang diperlukan dalam pemeriksaan perkara, ketua pengadilan negeri dapat meminta Hakim ad hoc pada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum pengadilan tinggi lainnya.
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62 dari Bab VII mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 155