Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 sudah tidak berlaku lagi karena sudah dicabut atau diganti.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, lihat di sini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 (UU/2014/5)  (2014) 
tentang Aparatur Sipil Negara

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG
APARATUR SIPIL NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
  1. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;
  2. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara;
Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
  2. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
  4. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
  5. Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
  1. Sistem Informasi ASN adalah rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi.
  2. Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah.
  3. Pejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi.
  4. Jabatan Administrasi adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
  5. Pejabat Administrasi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Administrasi pada instansi pemerintah.
  6. Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.
  7. Pejabat Fungsional adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Fungsional pada instansi pemerintah.
  8. Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  10. Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah.
  1. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural.
  2. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
  3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
  4. Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik.
  5. Lembaga Administrasi Negara yang selanjutnya disingkat LAN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pengkajian dan pendidikan dan pelatihan ASN sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  6. Badan Kepegawaian Negara yang selanjutnya disingkat BKN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan Manajemen ASN secara nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  7. Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.


BAB II
ASAS, PRINSIP, NILAI DASAR, SERTA KODE ETIK DAN KODE PERILAKU


Pasal 2
Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas:
  1. kepastian hukum;
  2. profesionalitas;
  3. proporsionalitas;
  4. keterpaduan;
  5. delegasi;
  6. netralitas;
  7. akuntabilitas;
  8. efektif dan efisien;
  9. keterbukaan;
  10. nondiskriminatif;
  11. persatuan dan kesatuan;
  12. keadilan dan kesetaraan; dan
  13. kesejahteraan.

Pasal 3
ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut:
  1. nilai dasar;
  2. kode etik dan kode perilaku;
  3. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik;
  4. kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
  5. kualifikasi akademik;
  1. jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan
  2. profesionalitas jabatan.

Pasal 4
Nilai dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi:
  1. memegang teguh ideologi Pancasila;
  2. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah;
  3. mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia;
  4. menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak;
  5. membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian;
  6. menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif;
  7. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur;
  8. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik;
  9. memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah;
  10. memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun;
  11. mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi;
  12. menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama;
  13. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai;
  14. mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan
  15. meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier.

Pasal 5
  1. Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN.
  2. Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN:
    1. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi;
    2. melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin;
    3. melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan;
    4. melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    5. melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan;
    6. menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara;
    7. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien;
    8. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya;
    9. memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan;
    10. tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain;
  1. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan
  2. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN.
  1. Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB III
JENIS, STATUS, DAN KEDUDUKAN


Bagian Kesatu
Jenis


Pasal 6
Pegawai ASN terdiri atas:
  1. PNS; dan
  2. PPPK.


Bagian Kedua
Status


Pasal 7
  1. PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional.
  2. PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ini.


Bagian Ketiga
Kedudukan


Pasal 8
Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara.

Pasal 9
  1. Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
  2. Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.


BAB IV
FUNGSI, TUGAS, DAN PERAN


Bagian Kesatu
Fungsi


Pasal 10
Pegawai ASN berfungsi sebagai:
  1. pelaksana kebijakan publik;
  2. pelayan publik; dan
  3. perekat dan pemersatu bangsa.


Bagian Kedua
Tugas


Pasal 11
Pegawai ASN bertugas:
  1. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  1. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan
  2. mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Bagian Ketiga
Peran


Pasal 12
Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.


BAB V
JABATAN ASN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 13
Jabatan ASN terdiri atas:
  1. Jabatan Administrasi;
  2. Jabatan Fungsional; dan
  3. Jabatan Pimpinan Tinggi.


Bagian Kedua
Jabatan Administrasi


Pasal 14
Jabatan Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a terdiri atas:
  1. jabatan administrator;
  2. jabatan pengawas; dan
  3. jabatan pelaksana.

Pasal 15
  1. Pejabat dalam jabatan administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
  2. Pejabat dalam jabatan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana.
  3. Pejabat dalam jabatan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Pasal 16
Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi dan kompetensi yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Jabatan Fungsional


Pasal 18
  1. Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.
  2. Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. ahli utama;
    2. ahli madya;
    3. ahli muda; dan
    4. ahli pertama.
  3. Jabatan fungsional keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. penyelia;
    2. mahir;
    3. terampil; dan
    4. pemula.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Jabatan Pimpinan Tinggi


Pasal 19
  1. Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas:
    1. jabatan pimpinan tinggi utama;
    2. jabatan pimpinan tinggi madya; dan
    3. jabatan pimpinan tinggi pratama.
  2. Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada Instansi Pemerintah melalui:
    1. kepeloporan dalam bidang:
      1. keahlian profesional;
      2. analisis dan rekomendasi kebijakan; dan
      3. kepemimpinan manajemen.
    2. pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan
    3. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.
  3. Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20
  1. Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
  2. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari:
    1. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
    2. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  3. Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan tata cara pengisian jabatan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN


Bagian Kesatu
Hak PNS


Pasal 21
PNS berhak memperoleh:
  1. gaji, tunjangan, dan fasilitas;
  2. cuti;
  3. jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
  4. perlindungan; dan
  5. pengembangan kompetensi.


Bagian Kedua
Hak PPPK


Pasal 22
PPPK berhak memperoleh:
  1. gaji dan tunjangan;
  2. cuti;
  3. perlindungan; dan
  4. pengembangan kompetensi.


Bagian Ketiga
Kewajiban Pegawai ASN


Pasal 23
Pegawai ASN wajib:
  1. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;
  2. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
  3. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang;
  4. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;
  6. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan;
  7. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  1. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS, hak PPPK, dan kewajiban Pegawai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VII
KELEMBAGAAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 25
  1. Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN.
  2. Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada:
    1. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN;
    2. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN;
  1. BKN, berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.

Pasal 26
  1. Menteri berwenang menetapkan kebijakan di bidang pendayagunaan Pegawai ASN.
  2. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber daya manusia;
    2. kebijakan umum pembinaan profesi ASN;
    3. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi jabatan ASN, standar kompetensi jabatan Pegawai ASN, kebutuhan Pegawai ASN secara nasional, skala penggajian, tunjangan Pegawai ASN, dan sistem pensiun PNS.
    4. pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan antarinstansi;
    5. pertimbangan kepada Presiden dalam penindakan terhadap Pejabat yang Berwenang dan Pejabat Pembina Kepegawaian atas penyimpangan Sistem Merit dalam penyelenggaraan Manajemen ASN; dan
    6. penyusunan kebijakan rencana kerja KASN, LAN, dan BKN di bidang Manajemen ASN.


Bagian Kedua
KASN


Paragraf 1
Sifat

Pasal 27
KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Paragraf 2
Tujuan

Pasal 28
KASN bertujuan:
  1. menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN;
  2. mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  4. mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan;
  5. menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan
  6. mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.

Paragraf 3
Kedudukan

Pasal 29
KASN berkedudukan di ibu kota negara.

Paragraf 4
Fungsi

Pasal 30
KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.

Paragraf 5
Tugas

Pasal 31
  1. KASN bertugas:
    1. menjaga netralitas Pegawai ASN;
    2. melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; dan
    3. melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.
  2. Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KASN dapat:
    1. melakukan penelusuran data dan informasi terhadap pelaksanaan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah;
  1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa;
  2. menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
  3. melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
  4. melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.

Paragraf 6
Wewenang

Pasal 32
  1. KASN berwenang:
    1. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
    2. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
    3. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
    4. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
  1. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
  1. Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
  2. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti.

Pasal 33
  1. Berdasarkan hasil pengawasan yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), KASN merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. peringatan;
    2. teguran;
    3. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan, dan/atau pengembalian pembayaran;
    4. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    5. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
    1. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan ASN, terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; dan
    2. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 34
KASN melaporkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, termasuk yang berkaitan dengan kebijakan dan kinerja ASN paling kurang 1 (satu) kali pada akhir tahun kepada Presiden.

Paragraf 7
Susunan

Pasal 35
  1. KASN terdiri atas:
    1. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota;
    2. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, dan
    3. 5 (lima) orang anggota.
  2. Dalam hal ketua KASN berhalangan, wakil ketua KASN menjalankan tugas dan wewenang ketua KASN.

Pasal 36
  1. KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan.
  2. Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN berdasarkan persetujuan rapat anggota KASN.
  3. Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari PNS maupun non-PNS yang memiliki kualifikasi akademik paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen publik, manajemen sumber daya manusia, psikologi, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.
  4. Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sedang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, tidak merangkap jabatan, serta diseleksi secara terbuka dan kompetitif dengan memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas, dan integritas moral.
  5. Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki dan melaksanakan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku serta diawasi oleh anggota KASN.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian, kode etik dan kode perilaku, dan pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab asisten KASN diatur dengan Peraturan KASN.

Pasal 37
  1. KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat.
  1. Kepala sekretariat berasal dari PNS.
  2. Kepala sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN.
  3. KASN dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.

Paragraf 8
Keanggotaan

Pasal 38
  1. Anggota KASN terdiri dari unsur pemerintah dan/atau nonpemerintah.
  2. Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. warga negara Indonesia;
    2. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    3. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;
    4. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik;
    5. mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;
    6. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia;
    7. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;
  1. tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan
  2. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
  1. Anggota KASN yang berasal dari PNS diberhentikan sementara dari jabatan ASN.
  2. Anggota KASN yang berasal dari PPPK diberhentikan statusnya dari PPPK.
  3. Anggota KASN yang berasal dari non-pegawai ASN harus mengundurkan diri sementara dari jabatan dan profesinya.

Paragraf 9
Seleksi Anggota KASN

Pasal 39
  1. Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang dibentuk oleh Menteri.
  2. Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri dan melakukan tugas selama 3 (tiga) bulan sejak pengangkatan.
  3. Anggota tim seleksi harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas moral, dan netralitas.
  4. Tim seleksi melakukan proses seleksi anggota KASN dengan mengumumkan secara terbuka lowongan tersebut kepada masyarakat secara luas, melakukan penilaian pengetahuan, kompetensi, integritas moral, rekam jejak calon, dan uji publik.
  5. Tim seleksi menyampaikan 2 (dua) kali jumlah anggota KASN untuk dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan tata cara pembentukan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 10
Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 40
  1. Presiden menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota KASN dari anggota KASN terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5).
  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN, untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
  3. Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh Presiden pada masa jabatannya, apabila:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri;
    3. tidak mampu jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai anggota KASN;
    4. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana umum; atau
    5. menjadi anggota partai politik dan/atau menduduki jabatan negara.

Pasal 41
  1. Anggota KASN yang berhenti pada masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) digantikan oleh calon anggota yang diusulkan oleh tim seleksi.
  2. Dalam hal Presiden tidak menyetujui atau yang bersangkutan tidak bersedia, Menteri membentuk tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota pengganti.
  3. Presiden mengesahkan anggota pengganti yang diusulkan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  4. Masa tugas anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meneruskan sisa masa kerja anggota yang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  5. KASN memiliki dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku.
  6. Dalam hal terjadi pelangggaran kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Presiden membentuk majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku.
  7. Majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas 5 (lima) orang yang berasal dari luar KASN dan memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kompetensi di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas moral, dan netralitas, serta berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.

Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab sekretariat, tata kerja, sistem dan manajemen sumber daya manusia, serta tanggung jawab dan pengelolaan keuangan KASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Presiden.


Bagian Ketiga
LAN


Paragraf 1
Fungsi dan Tugas

Pasal 43
LAN memiliki fungsi:
  1. pengembangan standar kualitas pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN;
  2. pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial Pegawai ASN;
  3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial Pegawai ASN baik secara sendiri maupun bersama-sama lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya;
  4. pengkajian terkait dengan kebijakan dan Manajemen ASN; dan
  5. melakukan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN, baik sendiri maupun bersama lembaga pemerintah lainnya.

Pasal 44
LAN bertugas:
  1. meneliti, mengkaji, dan melakukan inovasi Manajemen ASN sesuai dengan kebutuhan kebijakan;
  2. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN berbasis kompetensi;
  3. merencanakan dan mengawasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN secara nasional;
  4. menyusun standar dan pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan penjenjangan tertentu, serta pemberian akreditasi dan sertifikasi di bidangnya dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait;
  5. memberikan sertifikasi kelulusan peserta pendidikan dan pelatihan penjenjangan;
  6. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan analis kebijakan publik; dan
  7. membina Jabatan Fungsional di bidang pendidikan dan pelatihan.

Paragraf 2
Kewenangan

Pasal 45
LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 berwenang:
  1. mencabut izin penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai ASN yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. memberikan rekomendasi kepada Menteri dalam bidang kebijakan dan Manajemen ASN; dan
  1. mencabut akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN yang tidak memenuhi standar akreditasi.

Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Presiden.


Bagian Keempat
BKN


Paragraf 1
Fungsi dan Tugas

Pasal 47
BKN memiliki fungsi:
  1. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN;
  2. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan teknis formasi, pengadaan, perpindahan antarinstansi, persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan
  3. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan oleh Instansi Pemerintah serta bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi ASN.

Pasal 48
BKN bertugas:
  1. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN;
  1. membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi serta mengevaluasi pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai ASN oleh Instansi Pemerintah;
  2. membina Jabatan Fungsional di bidang kepegawaian;
  3. mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi kearsipan yang komprehensif;
  4. menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN;
  5. menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan
  6. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, dan prosedur manajemen kepegawaian ASN.

Paragraf 2
Kewenangan

Pasal 49
BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berwenang mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.

Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB VIII
MANAJEMEN ASN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 51
Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit.

Pasal 52
Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan Manajemen PPPK.


Bagian Kedua
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang


Paragraf 1
Pejabat Pembina Kepegawaian

Pasal 53
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada:
  1. menteri di kementerian;
  2. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
  3. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural;
  4. gubernur di provinsi; dan
  5. bupati/walikota di kabupaten/kota.

Paragraf 2
Pejabat yang Berwenang

Pasal 54
  1. Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota.
  2. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
  3. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
  4. Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.


Bagian Ketiga
Manajemen PNS


Pasal 55
  1. Manajemen PNS meliputi:
    1. penyusunan dan penetapan kebutuhan;
    2. pengadaan;
    3. pangkat dan jabatan;
  1. pengembangan karier;
  2. pola karier;
  3. promosi;
  4. mutasi;
  5. penilaian kinerja;
  6. penggajian dan tunjangan;
  7. penghargaan;
  8. disiplin;
  9. pemberhentian;
  10. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan
  11. perlindungan.
  1. Manajemen PNS pada Instansi Pusat dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 1
Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan

Pasal 56
  1. Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.
  2. Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
  1. Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional.

Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan penetapan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Pengadaan

Pasal 58
  1. Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah.
  2. Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3).
  3. Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS.

Pasal 59
Setiap Instansi Pemerintah merencanakan pelaksanaan pengadaan PNS.

Pasal 60
Setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS.

Pasal 61
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 62
  1. Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS oleh Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan.
  2. Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang.

Pasal 63
  1. Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 diangkat menjadi calon PNS.
  2. Pengangkatan calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.
  3. Calon PNS wajib menjalani masa percobaan.

Pasal 4
  1. Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang.

Pasal 64
  1. Masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun.
  2. Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan.

Pasal 65
  1. Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan:
    1. lulus pendidikan dan pelatihan; dan
    2. sehat jasmani dan rohani.
  2. Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Calon PNS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sebagai calon PNS.

Pasal 66
  1. Setiap calon PNS pada saat diangkat menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah/janji.
  2. Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
    "Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/berjanji:
    bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah;
    bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
    bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
    bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
    bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara".

Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS dan tata cara sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 66 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Pangkat dan Jabatan

Pasal 68
  1. PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah.
  2. Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.
  3. Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja.
  4. PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.
  5. PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  6. PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pangkat atau jabatan disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pangkat, tata cara pengangkatan PNS dalam jabatan, kompetensi jabatan, klasifikasi jabatan, dan tata cara perpindahan antar Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Pengembangan Karier

Pasal 69
  1. Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah.
  2. Pengembangan karier PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas.
  3. Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
    1. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis;
    2. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan
    3. kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
  4. Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari kejujuran, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kemampuan bekerja sama, dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara.
  5. Moralitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari penerapan dan pengamalan nilai etika agama, budaya, dan sosial kemasyarakatan.

Pasal 70
  1. Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi.
  2. Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran.
  3. Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan karier.
  4. Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing-masing.
  5. Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan untuk melakukan praktik kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN.
  6. Selain pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN.

Paragraf 5
Pola Karier

Pasal 71
  1. Untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan perlu disusun pola karier PNS yang terintegrasi secara nasional.
  2. Setiap Instansi Pemerintah menyusun pola karier PNS secara khusus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pola karier nasional.

Paragraf 4
Promosi

Pasal 72
  1. Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerja sama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan.
  2. Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.
  3. Promosi Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional PNS dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah.
  4. Tim penilai kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang.

Paragraf 7
Mutasi

Pasal 73
  1. Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.
  2. Mutasi PNS dalam satu Instansi Pusat atau Instansi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
  3. Mutasi PNS antarkabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN.
  4. Mutasi PNS antarkabupaten/kota antarprovinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN.
  5. Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN.
  6. Mutasi PNS antar-Instansi Pusat ditetapkan oleh kepala BKN.
  7. Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan.
  8. Pembiayaan sebagai dampak dilakukannya mutasi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk Instansi Daerah.

Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 8
Penilaian Kinerja

Pasal 75
Penilaian kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.

Pasal 76
  1. Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS.
  2. Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.

Pasal 77
  1. Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.
  2. Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS.
  1. Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya.
  2. Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai kinerja PNS.
  3. Hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
  4. PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 9
Penggajian dan Tunjangan

Pasal 79
  1. Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.
  2. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai dengan beban kerja, tanggungjawab, dan resiko pekerjaan.
  3. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
  1. Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
  2. Gaji PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 80
  1. Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, PNS juga menerima tunjangan dan fasilitas.
  2. Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan.
  3. Tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan sesuai pencapaian kinerja.
  4. Tunjangan kemahalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan sesuai dengan tingkat kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing.
  5. Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
  6. Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji, tunjangan kinerja, tunjangan kemahalan, dan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan Pasal 80 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 10
Penghargaan

Pasal 82
PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan.

Pasal 83
Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dapat berupa pemberian:
  1. tanda kehormatan;
  2. kenaikan pangkat istimewa;
  3. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau
  4. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.

Pasal 84
PNS yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan terhadap PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 11
Disiplin

Pasal 86
  1. Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS.
  2. Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan disiplin.
  3. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 12
Pemberhentian

Pasal 87
  1. PNS diberhentikan dengan hormat karena:
    1. meninggal dunia;
    2. atas permintaan sendiri;
    3. mencapai batas usia pensiun;
    4. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
    5. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
  1. PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
  2. PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.
  3. PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:
    1. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum;
    3. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
    4. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Pasal 88
  1. PNS diberhentikan sementara, apabila:
    1. diangkat menjadi pejabat negara;
    2. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; atau
    3. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
  1. Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian, pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 90
Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c yaitu:
  1. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi;
  2. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi;
  3. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional.

Paragraf 13
Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua

Pasal 91
  1. PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. PNS diberikan jaminan pensiun apabila:
    1. meninggal dunia;
    2. atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu;
  1. mencapai batas usia pensiun;
  2. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
  3. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
  1. Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS.
  2. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional.
  3. Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS yang bersangkutan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 14
Perlindungan

Pasal 92
  1. Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
    1. jaminan kesehatan;
    2. jaminan kecelakaan kerja;
    3. jaminan kematian; dan
    4. bantuan hukum.
  1. Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional.
  2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Manajemen PPPK


Paragraf 1
Umum

Pasal 93
Manajemen PPPK meliputi:
  1. penetapan kebutuhan;
  2. pengadaan;
  3. penilaian kinerja;
  4. penggajian dan tunjangan;
  5. pengembangan kompetensi;
  6. pemberian penghargaan;
  7. disiplin;
  8. pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan
  9. perlindungan.

Paragraf 2
Penetapan Kebutuhan

Pasal 94
  1. Jenis jabatan yang dapat diisi oleh PPPK diatur dengan Peraturan Presiden.
  2. Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.
  3. Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
  4. Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 3
Pengadaan

Pasal 95
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 96
  1. Pengadaan calon PPPK merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pada Instansi Pemerintah.
  1. Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan menjadi PPPK.

Pasal 97
Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan.

Pasal 98
  1. Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.
  2. Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja.

Pasal 99
  1. PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS.
  2. Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Penilaian Kinerja

Pasal 100
  1. Penilaian kinerja PPPK bertujuan menjamin objektivitas prestasi kerja yang sudah disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara Pejabat Pembina Kepegawaian dengan pegawai yang bersangkutan.
  2. Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi dengan memperhatikan target, sasaran, hasil, manfaat yang dicapai, dan perilaku pegawai.
  3. Penilaian kinerja PPPK dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
  4. Penilaian kinerja PPPK berada di bawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.
  5. Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PPPK.
  6. Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya.
  7. Hasil penilaian kinerja PPPK disampaikan kepada tim penilai kinerja PPPK.
  8. Hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk menjamin objektivitas perpanjangan perjanjian kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan kompetensi.
  1. PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK tidak mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerja diberhentikan dari PPPK.

Paragraf 5
Penggajian dan Tunjangan

Pasal 101
  1. Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPPK.
  2. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan.
  3. Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara untuk PPPK di Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk PPPK di Instansi Daerah.
  4. Selain gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPPK dapat menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6
Pengembangan Kompetensi

Pasal 102
  1. PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi.
  2. Kesempatan untuk pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direncanakan setiap tahun oleh Instansi Pemerintah.
  1. Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk perjanjian kerja selanjutnya.

Paragraf 7
Pemberian Penghargaan

Pasal 103
  1. PPPK yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan.
  2. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian:
    1. tanda kehormatan;
    2. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau
    3. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.
  3. PPPK yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa pemutusan hubungan perjanjian kerja tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini.

Paragraf 8
Disiplin

Pasal 104
  1. Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PPPK wajib mematuhi disiplin PPPK.
  1. Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin terhadap PPPK serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan disiplin.
  2. PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin.

Paragraf 9
Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja

Pasal 105
  1. Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan hormat karena:
    1. jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
    2. meninggal dunia;
    3. atas permintaan sendiri;
    4. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK; atau
    5. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati.
  2. Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena:
    1. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan tidak berencana;
    2. melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau
  1. tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian kerja.
  1. Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak dengan hormat karena:
    1. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum;
    3. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
    4. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana.

Paragraf 10
Perlindungan

Pasal 106
  1. Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
    1. jaminan hari tua;
    2. jaminan kesehatan;
    3. jaminan kecelakaan kerja;
    4. jaminan kematian; dan
    5. bantuan hukum.
  1. Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional.
  2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB X
PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 108
  1. Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat nasional.
  1. Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

Pasal 109
  1. Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
  2. Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
  3. Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 110
  1. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah.
  2. Dalam membentuk panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan KASN.
  3. Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
  4. Panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kompetensi, rekam jejak, integritas moral, dan netralitas melalui proses yang terbuka.
  5. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan seleksi dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, integritas, dan penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian (assesment center) atau metode penilaian lainnya.
  6. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi pengisian jabatan terbuka untuk masa tugas yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.

Pasal 111
  1. Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 109, dan Pasal 110 dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN dengan persetujuan KASN.
  1. Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk mendapatkan persetujuan baru.


Bagian Kedua
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat


Pasal 112
  1. Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
  2. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
  3. Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden.
  4. Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya.

Pasal 113
  1. Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
  2. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
  1. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.
  2. Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama.


Bagian Ketiga
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Daerah


Pasal 114
  1. Pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
  2. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memili 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
  3. Tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
  4. Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
  5. Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya.

Pasal 115
  1. Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
  2. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
  3. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.
  4. Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama.
  5. Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin sekretariat daerah kabupaten/kota sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota dikoordinasikan dengan gubernur.


Bagian Keempat
Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi


Pasal 116
  1. Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
  1. Penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden.

Pasal 117
  1. Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN.

Pasal 118
  1. Pejabat Pimpinan Tinggi harus memenuhi target kinerja tertentu sesuai perjanjian kinerja yang sudah disepakati dengan pejabat atasannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak memenuhi kinerja yang diperjanjikan dalam waktu 1 (satu) tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan selama 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerjanya.
  3. Dalam hal Pejabat Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunjukan perbaikan kinerja maka pejabat yang bersangkutan harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi kembali.
  4. Berdasarkan hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pejabat Pimpinan Tinggi dimaksud dapat dipindahkan pada jabatan lain sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Pejabat Pimpinan Tinggi yang Mencalonkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota


Pasal 119
Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.


Bagian Keenam
Pengawasan dalam Proses Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi


Pasal 120
  1. Dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Pejabat Pembina Kepegawaian memberikan laporan proses pelaksanaannya kepada KASN.
  2. KASN melakukan pengawasan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian maupun atas inisiatif sendiri.
  3. Dalam melakukan pengawasan proses pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan jabatan pimpinan tinggi madya di Instansi Pusat dan jabatan pimpinan tinggi madya di Instansi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114, KASN berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal:
  1. pembentukan panitia seleksi;
  2. pengumuman jabatan yang lowong;
  3. pelaksanaan seleksi; dan
  4. pengusulan nama calon.
  1. Dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama di Instansi Pusat dan Instansi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dan Pasal 115, KASN berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal:
    1. pembentukan panitia seleksi;
    2. pengumuman jabatan yang lowong;
    3. pelaksanaan seleksi;
    4. pengusulan nama calon;
    5. penetapan calon; dan
    6. pelantikan.
  2. Rekomendasi KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) bersifat mengikat.
  3. KASN menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden.


BAB X
PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA


Pasal 121
Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara.

Pasal 122
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
  4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
  5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
  6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
  7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
  9. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
  10. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
  11. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
  12. Gubernur dan wakil gubernur;
  13. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
  14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Pasal 123
  1. Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS.
  2. Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.
  3. Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Pasal 124
  1. PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan.
  2. Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, pemberhentian, pengaktifan kembali, dan hak kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara dan pimpinan atau anggota lembaga nonstruktural diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XI
ORGANISASI


Pasal 126
  1. Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia.
  2. Korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia memiliki tujuan:
    1. menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN; dan
    2. mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa.
  3. Dalam mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) korps profesi ASN Republik Indonesia memiliki fungsi:
    1. pembinaan dan pengembangan profesi ASN;
    2. memberikan perlindungan hukum dan advokasi kepada anggota korps profesi ASN Republik Indonesia terhadap dugaan pelanggaran Sistem Merit dan mengalami masalah hukum dalam melaksanakan tugas;
    3. memberikan rekomendasi kepada majelis kode etik Instansi Pemerintah terhadap pelanggaran kode etik profesi dan kode perilaku profesi; dan
  1. menyelenggarakan usaha untuk peningkatan kesejahteraan anggota korps profesi ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai korps profesi Pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XII
SISTEM INFORMASI ASN


Pasal 127
  1. Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN.
  2. Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi antar-Instansi Pemerintah.
  3. Untuk menjamin keterpaduan dan akurasi data dalam Sistem Informasi ASN, setiap Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memutakhirkan data secara berkala dan menyampaikannya kepada BKN.
  4. Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbasiskan teknologi informasi yang mudah diaplikasikan, mudah diakses, dan memiliki sistem keamanan yang dipercaya.

Pasal 128
  1. Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) memuat seluruh informasi dan data Pegawai ASN.
  1. Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat:
    1. data riwayat hidup;
    2. riwayat pendidikan formal dan non formal;
    3. riwayat jabatan dan kepangkatan;
    4. riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan;
    5. riwayat pengalaman berorganisasi;
    6. riwayat gaji;
    7. riwayat pendidikan dan latihan;
    8. daftar penilaian prestasi kerja;
    9. surat keputusan; dan
    10. kompetensi.


BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA


Pasal 129
  1. Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif.
  2. Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari keberatan dan banding administratif.
  3. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.
  4. Banding administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada badan pertimbangan ASN.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif dan badan pertimbangan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 130
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906) dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sampai ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yang mengatur mengenai program pensiun PNS.

Pasal 131
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan:
  1. jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah nonkementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
  2. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;
  3. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama;
  4. jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
  1. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
  2. jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana,

sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan mengenai Jabatan ASN dalam Undang Undang ini.


BAB XV
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 132
Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan daerah tertentu dan warga negara dengan kebutuhan khusus.

Pasal 133
Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 128 paling lama tahun 2015 dilaksanakan secara nasional.

Pasal 134
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 135
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, PNS Pusat dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN.

Pasal 136
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 137
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Kepegawaian Daerah yang diatur dalam Bab V Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 138
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kode etik dan penyelesaian pelanggaran terhadap kode etik bagi jabatan fungsional tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 139
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 140
KASN dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 141
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 6

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


cap dan ttd.

Wisnu Setiawan

Lihat Juga

sunting

Keterangan

  Status: Dicabut
Menggantikan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974
Tanggal diundangkan: 15 Januari 2014
Digantikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 (31 Oktober 2023)
  Peraturan terkait
Belum ada peraturan terkait
  Sejarah
Belum ada riwayat sejarah