Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis/Bab VII

Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis
oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
BAB VII:
BIAYA UNTUK CENTURY
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Edisi Januari 2010

KSSK: Mengambil Aksi atau Tidak Mengambil Aksi Dalam menangani permasalahan Bank Century, tujuan KSSK dalam mengambil aksi atau tidak mengambil aksi adalah bagaimana meminimalisir biaya/risiko yang timbul untuk mencapai hasil yang maksimal.


Diagram 7.1: Untung Rugi Penyelamatan Bank Century

Dengan kondisi faktual dan obyektif yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, terlihat bahwa pada 21 November 2008 yang lalu para pengambil kebijakan, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Gubernur BI, dihadapkan pada pilihan berat.

Pilihannya, mengambil tindakan penyelamatan Bank Century atau tidak ambil tindakan dengan membiarkan Bank Century ditutup. Pilihan tersebut sebenarnya bermuara pada satu tujuan akhir yang sama yaitu pencegahan krisis.

Diagram 7.1 mengilustrasikan perhitungan biaya yang timbul dari dua pilihan yang ada. Dari ilustrasi tersebut, dapat dilihat bahwa baik pilihan menyelamatkan maupun menutup Bank Century, akan mengakibatkan munculnya biaya bagi LPS. Oleh karena itu, dalam menentukan pilihan yang terbaik adalah didasarkan pada pilihan yang biayanya lebih murah. Ongkos dari penyelamatan Bank Century bagi LPS sampai dengan akhir tahun kelima, secara konservatif diperkirakan sekitar Rp 3,7 triliun. Sedangkan apabila Bank Century ditutup, ongkosnya bisa mencapai Rp 5,8 triliun. Ini belum memperhitungkan ongkos apabila terdapat bank lain yang ditutup sehingga LPS harus membayar dana penjaminan (Catatan: DPK yang dijamin LPS per November 2008 sebesar lebih dari Rp 1.000 triliun). Dengan demikian, secara rasional, pilihan yang terbaik pada saat itu adalah menyelamatkan Bank Century.

Andaikan pada saat itu KSSK tidak ambil aksi dan membiarkan Bank Century ditutup, apakah tidak akan terjadi krisis?

Kita tidak tahu. Yang jelas, jika terjadi krisis maka biayanya akan sangat mahal. Jika kita melihat kembali krisis 1997/1998, penutupan 16 bank kecil pada waktu itu memicu ambruknya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan sehingga mengakibatkan krisis yang menelan biaya sangat besar: biaya rekapitalisasi perbankan (sekitar Rp 600 triliun), pertumbuhan negatif 13%, pengangguran yang meningkat hingga 20% angkatan kerja, menciutnya perdapatan per kapita, meningkatnya penduduk miskin, dan terjadinya kekacauan politik.

Jika kita membandingkan biaya yang kita keluarkan dalam rangka pencegahan krisis dengan biaya negara lainnya, biaya tersebut jauh lebih rendah. Sebagai contoh biaya penyelamatan yang dilakukan oleh USA dan UK pada krisis akhir 2008 masing-masing mencapai 1,3 triliun USD dan sekitar 1,2 triliun GBP.


Beberapa kutipan dari media massa terkait keputusan KSSK adalah

Hasil Yang Telah Dicapai

Keputusan KSSK tersebut adalah tepat setelah kita melihat hasil-hasil yang telah kita capai pada saat ini, yaitu: TIDAK TERJADI KRISIS dan STABILITAS SISTEM KEUANGAN TERJAGA. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator keuangan dan ekonomi sebagai berikut :


Kompas, 17 Desember 2009

“Biaya untuk penyelamatan adalah Rp 6,7 triliun dan biaya kalau ditutup adalah Rp 6,4 triliun. Biaya yang relevan sebenarnya adalah sebesar Rp 0,3 triliun. Biaya sebesar Rp 0,3 triliun ini akan dengan mudah dapat di-recovery dari hasil penjualan saham PMS hasil penyelamatan BC (bahkan dengan perhitungan yang konservatif sekalipun). Bandingkan misalnya dengan aset yang dimiliki oleh Robert Tantular yang menyebar di beberapa Negara yang menurut Ketua PPATK mencapai 1.151 juta dolar AS yang terdapat di Hongkong (1.119,5 juta dolar AS), New Jersey (16,5 juta dolar AS), Guernsey (14,8 juta dolar AS), Inggris (USD 55.000 ), Bermuda (USD300.000). Seluruh asset ini harus ditarik dan diselamatkan kembali ke Indonesia. Oleh karena itu, upaya perolehan aset dari pihak yang melakukan kejahatan menjadi perhatian kita semua.”

Tempo 2 Des 2009

“… pilihan penutupan BC akan mengakibatkan potensial 23 peer banks yang setara atau lebih kecil mempunyai masalah likuiditas dan permasalahan lain yang kurang lebih sama dengan Bank Century dengan perkiraan biaya Rp 18 triliun”

Eko B. Supriyanto


1. Penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan rupiah. IHSG naik kembali dari sekitar 1100 pada bulan November 2008 menjadi 2500 pada akhir Desember 2009. Dalam periode yang sama rupiah mengalami apresiasi dari Rp12.100 menjadi Rp 9.500 dengan volatilitas yang relatif stabil.


Grafik 7.1: Indeks Harga Saham Gabungan dan Nilai Tukar Rupiah


Grafik 7.2: Volatilitas Rupiah


2. Credit Default Swap (CDS) Indonesia turun tajam dari 980 bps per November 2008 menjadi sekitar 260 bps per November 2009. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan risiko Indonesia di mata investor, yang secara langsung juga tercermin pada penurunan yield SUN secara tajam pada periode yang sama (lihat grafik 2.3). Penurunan premi risiko ini sangat signifikan untuk mengurangi tekanan beban bunga penerbitan SUN pada APBN.


Grafik 7.3: Credit Default Swap (CDS)

3. Cadangan devisa naik sebesar 31,21% dari USD 50,18 milyar per November 2008 menjadi USD 65,84 per November 2009, yang mengindikasikan adanya arus modal yang masuk kembali sebagai wujud kepercayaan investor asing terhadap stabilitas keuangan nasional.


Grafik 7.4: Cadangan Devisa

4. Kepemilikan SUN oleh investor asing mulai meningkat sejak April 2009 dengan melakukan pembelian SUN yang meningkat cukup signifikan. Pembelian SUN terbesar oleh asing pada bulan Oktober 2009 sebesar Rp8,19 triliun. Indikator ini menunjukkan pemulihan kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia.


Grafik 7.5 : Investor asing kembali membeli SUN

5. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan, namun tetap positif dan jauh lebih baik dibanding negara-negara lain yang mengalami mengalami pertumbuhan negatif. Sementara itu, pendapatan per kapita juga naik dan penciptaan lapangan kerja masih terjadi.


Tabel 7.1: Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara