Weda/Bhagavad Gita

Pustaka Suci Bhagavadgītā dibangun dari 700 untaian sloka yang membentuk delapan belas bab sebagai satu kesatuan pustaka yang utuh. Apabila direkonstuksi, kedelapanbelas bab tersebut terdiri dari tiga bagian. Pertama (bab I-VI) melukiskan dialog tentang hakikat disiplin kerja tanpa mengharapkan hasil kerja itu sendiri dan hakikat eksistensi sifat jiwa yang melekat dalam tubuh manusia. Kedua (bab VII-XII), berisi dialog antara Arjuna dan Kṛṣṇa yang mengeksplanasi tentang hakikat ilmu pengetahuan dan hakikat Brahman sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga (bab XIII-XVIII) dialog antara Arjuna dan Kṛṣṇa menjelaskan simpulan dialog bagian pertama dan kedua yang pada hakikatnya menguraikan doktrin disiplin seluruh jiwa dan raga sebagai landasan kerja yang diabadikan sebagai persembahan kepada Brahman (Tuhan).

Bhagavadgita adalah bagian dari Bhisma Parwa dalam Mahabharata

Dhṛtarāṣṭra berkata: Di lapangan dharma/tempat memperebutkan kebenaran, di lapangan dari keluarga Kuru, mereka yang ingin bertempur telah berkumpul bersama, orang-orangku (putra-putra-ku) dan putra-putra Pāṇḍu, apakah yang telah mereka lakukan, Oh Sañjaya?

Sanjaya berkata: Pada saat itu, setelah melihat formasi pasukan Pāṇḍawa, Raja Duryodana lalu mendekati gurunya (Acarya Droṇa) dan berkata:

Wahai Acarya! Lihatlah pasukan besar dari para putra Pāṇḍu ini, dengan barisan pasukannya yang diatur oleh muridmu yang cerdas yaitu Dhṛṣṭadyumna putra dari Raja Drupada.

Di sini banyak ksatriya dan pemanah tangguh dalam bertempur yang menyamai Arjuna dan Bhima. Juga ada Yuyudhana, Raja Wirata dan Raja Drupada yang tersohor sebagai ahli kereta perang.

Ada pula para pahlawan tangguh seperti Cekitāna putra Raja Dhṛṣṭaketu dan Raja Kāśi yang menjadi sekutu Pāṇḍawa. Juga Purujit, Kuntibhoja serta Śaibya yang merupakan manusiamanusia perkasa.

Dalam pasukan ini juga hadir Yudhāmanyu yang ahli dalam bertempur, juga Uttamauja yang pemberani, serta putra Subhadra (Abhimanyu) dan putra-putra Drupadi (Prativindhya, Sutasoma, Śrutakarma, Śatanika dan Śrutasena), yang semuanya adalah ksatria hebat.

Wahai Brahmana Agung! Ketahuilah mereka, orang-orang hebat yang ada di pasukan kita. Supaya engkau tahu, aku perkenalkan para pimpinan pasukan kita.

Ada paduka sendiri, kakek Bhīṣma, Raja Anga Karṇa, dan Pendeta Kṛpa, yang semuanya selalu unggul dalam peperangan. Kemudian ada Aśvatthāma, Vikarṇa dan juga Putra Raja Somadatta.

Selain itu, masih banyak ksatria lainnya yang siap mengorbankan jiwanya untukku. Mereka bersenjatakan berbagai jenis senjata dan semuanya adalah orang-orang yang ahli dalam pertempuran.

Pasukan kita yang dijaga oleh Kakek Bhīṣma itu kekuatannya tidak terbatas. Sedangkan pasukan mereka, yang dijaga oleh Bhīma kekuatannya bisa dihitung.

Berdiri kokoh di setiap barisan pasukan seperti yang sudah ditentukan, Bhīṣma sajalah yang benar-benar harus kalian lindungi!

Untuk menyemangati Duryodhana, Bhīsma yang Agung, yang tertua di keluarga Kuru, berteriak bagaikan auman singa. Kemudian dengan keras meniup terompet kerangnya.

Setelah itu mereka seketika dengan serempak menyuarakan terompet kerang, genderang, tambur, terompet dari tanduk banteng, dan seketika itu timbulah suara gemuruh yang membahana.

Selanjutnya Kṛṣṇa dan Arjuna yang duduk di kereta perang yang besar menawan dengan ditarik oleh kuda-kuda putih. Mereka berdua meniup kedua terompet dewatanya.

Kṛṣṇa meniup sangka yang bernama Pāñcajanya, Arjuna meniup sangka miliknya yang bernama Devadatta, serta Bhīma yang berperut serigala dan menakutkan, meniup sangka besar miliknya yang bernama Paundra.

Putra sulung Dewi Kunti Maharaja Yudhiṣṭhira meniup sangkanya yang bernama Anantavijaya, sedangkan Nakula serta Sahadeva meniup sangka mereka yang masing-masing bernama Sughoṣa dan Maṇipuṣpaka.

Pemanah ulung Raja Kāśi, ksatria agung Śikhaṇḍī, Dhṛṣṭadyumna, Raja Virāṭa dan Sātyaki yang tidak terkalahkan.

Wahai Raja (Dhṛtarāṣṭra)! Raja Drupada yang berlengan perkasa, putra-putra Drupadi (Pancakumara), dan juga putra Dewi Subhadra (Abhimanyu), semuanya serentak meniup sangkanya masing-masing.

Suara gemuruh itu menggema di bumi hingga angkasa, merobek-robek hati (menjatuhkan mental) putra-putra Dhṛtarāṣṭra.

Kemudian setelah melihat putra-putra Dhṛtarāṣṭra yang telah bersiapsedia dalam barisan, di peperangan saat senjata-senjata berupa anak panah akan dilepaskan, Arjuna yang keretanya berbendera dengan gambar Hanuman, kemudian mengangkat busurnya.

Kemudian inilah kalimat yang disampaikan kepada Kṛṣṇa, o, Maharaja. Arjuna berkata: "Wahai Kṛṣṇa, tempatkanlah keretaku di tengah-tengah kedua pasukan!”

Sejauh ini saya ingin melihat mereka yang ingin bertempur dan telah berdiri dalam barisan pasukannya. Saya ingin mengetahui, siapa sajakah yang nantinya berperang dengan saya dengan segenap usahanya di medan perang ini.

Mereka yang datang ke sini, saya lihat telah siap untuk bertempur di medan perang. Mereka melakukannya karena kecintaannya kepada Duryodhana yang berpikiran jahat itu.

Sañjaya berkata: Wahai Raja Dhṛtarāṣṭra, demikian yang dikatakan oleh Arjuna kepada Kṛṣṇa, setelah menempatkan kereta yang hebat tersebut di tengah-tengah kedua pasukan yang saling berhadapan.

Di hadapan Bhīṣma dan Guru Droṇa serta semua raja yang saling berhadapan, kemudian Kṛṣṇa berkata demikian: “Wahai Arjuna! Lihatlah mereka semua, keluarga Kuru yang telah bekumpul ini”.

Di sana Arjuna melihat seluruh keluarganya sedang berdiri dan bersiap untuk berperang. Mereka adalah para orang tua, kakek, paman-paman dari pihak ibunya, para guru, saudara-saudara, anak-anak, cucu-cucu dan teman-temannya.

Juga para mertua dan sahabat-sahabatnya. Dengan rasa belas kasih yang amat sangat Arjuna menyaksikan mereka, yaitu seluruh keluarganya yang sedang berbaris dan siap untuk berperang.

Arjuna yang sedang bersedih lalu berkata seperti ini. Arjuna berkata: Oh Kṛṣṇa! setelah melihat semua yang hadir di hadapanku, adalah orang-orang yang berkeinginan untuk bertempur.

Seluruh anggota badanku menjadi lemas tak berdaya, mulutku mengering dan aku merasakan bulu-bulu romaku merinding serta sekujur tubuhku bergetar.

Busurku terlepas dari tanganku, kulitku seperti terbakar. Aku tak sanggup untuk berdiri, dan pikiranku terasa kacau.

Wahai Kṛṣṇa, aku melihat ciri-ciri yang tidak baik, sedikitpun aku tidak melihat sisi baiknya setelah membunuh orang-orang sendiri di dalam peperangan ini.

Wahai Kṛṣṇa, saya tak menginginkan kemenangan, kerajaan ataupun berbagai kenikmatan. Oh Govinda! Kerajaan, berbagai kenikmatan, apakah manfaatnya kehidupan bagi kita?

Mereka, demi kepentingan kita, yang menginginkan kerajaan, kenikmatan, dan kesenangan. Mereka ini telah siap siaga dan bersedia mempertaruhkan kekayaan dan kehidupannya di dalam peperangan.

Mereka ini adalah para guru, para ayah, para putra, para kakek, para paman, para mertua, para cucu, para ipar, begitu juga para kerabat.

Wahai Kṛṣṇa! Aku tidak ingin membunuh mereka, meskipun aku terbunuh oleh mereka. Meskipun demi untuk kekuasaan di ketiga dunia, apalagi hanya karena kekuasaan di bumi ini saja.

Oh Kṛṣṇa! Kepuasan apa kira-kira akan kita dapatkan setelah membunuh putra-putra Dhṛtarāṣṭra ini? Membunuh mereka ini hanyalah mendatangkan dosa pada kita.

Oleh karena itu tidak sepantasnya kita membunuh para Kaurava yang merupakan keluarga kita sendiri. Oh Kṛṣṇa! Bagaimana kita bisa berbahagia setelah membunuh orangorang kita sendiri?

Walaupun mereka ini berpikiran tamak dan jahat yang tidak melihat (menyadari) kesalahan dan dosa serta perilaku untuk menghancurkan keluarga saat bertengkar dengan teman.

Tetapi, kita yang telah menyadari bahwa perbuatan menghancurkan keluarga adalah dosa, mengapa kita tidak mempunyai kebijaksanaan untuk berpaling dari perbuatan dosa ini, Oh Kṛṣṇa?

Dalam keluarga yang dibinasakan, kebenaran (tradisi) keluarganya menjadi hancur. Di dalam tatanan keluarga yang sudah hancur maka seluruh (anggota) keluarga akan diliputi ketidakbenaran (kejahatan).

Jika sudah diselimuti adharma, oh Kṛṣṇa! Maka para kaum wanita di keluarga menjadi jatuh moralnya dan bila para wanita moralnya jatuh, oh Kṛṣṇa! Maka timbullah kekacauan masyarakat.

Kekacauan masyarakat ini, sebenarnya adalah alam neraka bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya karena, roh para leluhur mereka tidak ada yang menghaturi sesajen.

Dikarenakan dosa-dosa mereka ini yang merusak keluarga dan tatanan masyarakat, maka tatanan keturunan dan keluarga mereka akan hancur untuk selamanya.

Oh Kṛṣṇa! Kita telah mendengar bahwa mereka atau orangorang yang tatanan keluarganya telah hancur akan selamanya tinggal di alam penderitaan/neraka.

Ya ampun, alangkah besar dosa yang kita akan perbuat dengan mengambil keputusan untuk membunuh orang-orang sendiri disebabkan oleh rasa tamak akan kerajaan/kekuasaan dan kesenangan.

Walaupun seandainya para putra Dhṛtarāṣṭra dengan senjata di tangan membunuh diriku yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan di pertempuran, maka itu akan lebih baik bagiku.

Sanjaya berkata: Setelah (Arjuna) berkata demikian di medan perang, lalu perasaannya dilanda kesedihan. Ia lalu terhenyak di atas tempat duduk keretanya sambil membuang panah dan busurnya.

Sañjaya berkata: Kepada ia yang diliputi oleh perasaan gundah dan sedih yang teramat sangat, yang berlinangan air mata, oleh karena itu Kṛṣṇa dengan belas kasihan bersabda demikian.

Śrī Bhagavān bersabda: Pada saat sulit seperti ini dari manakah datangnya perasaan yang melemahkan jiwa seperti kepengecutan, tak terpuji, yang justru menjauhkanmu dari surga ini hadir padamu, oh Arjuna?

Janganlah dikalahkan oleh sifat yang tak patut dianut oleh seorang lelaki, oh Arjuna, karena sifat itu tak pantas bagimu. Buanglah perasaan rendah yang melemahkan hati ini dan bangkitlah, oh Arjuna.

Oh, Kṛṣṇa bagaimanakah dipeperangan ini saya akan menyerang balik kakek Bhīṣma dan Guru Droṇa dengan anakanak panah saya, karena sebenarnya keduanya sangat saya hormati? Oh, Kṛṣṇa.

Daripada di dunia ini hidup dengan berlumuran darah (tercemar) karena membunuh para guru hanya karena kenikmatan dan kepuasan, lebih baik (saya didunia ini) makan dari hasil hidup sebagai mengemis, dari pada hidup setelah membunuh para guru yang sangat terhormat ini.

Pada dasarnya kita tidak ingin hidup setelah membunuh mereka yaitu para putra Dhṛṭarāṣṭra yang sudah siap sedia berhadapan dengan kita. Begitu pula tiada kepastian dalam peperangan ini, bisa saja kita yang menang atau mungkin saja sebaliknya. Pastinya kita tidak mengetahui ini, apa yang terbaik yang harus dilakukan.

Oleh karena itu diriku yang penuh kesalahan karena rasa sayang yang berlebihan, yang karakternya telah hancur, yang kecerdasannya lemah dalam pemahaman tentang dharma, katakanlah kepadaku dengan tegas, mana yang terbaik yang harus dilakukan. Aku adalah muridmu. Ajarkanlah padaku, yang mencari perlindungan kepadamu.

Sesungguhnya aku tidak melihat sesuatu apapun yang dapat menghapuskan dukacita akibat pengaruh indria-indria ini, meskipun aku mendapat kekayaan yang berlimpah, kerajaan tak terbandingi, bahkan surga maupun kekuasaan sekalipun.

Wahai Maharaja Dhṛṭarāṣṭra! Setelah berkata seperti itu pada Kṛṣṇa, kemudian Arjuna berkata kepada Kṛṣṇa “Aku tidak akan bertempur” demikian lalu diam membisu

Kepada dia yang sedang berduka cita di tengah-tengah kedua pasukan itu, Oh Bhārata (Dhṛṭarāṣṭra) Kṛṣṇa sambil seolah-olah tersenyum bersabda sebagai berikut.

Engkau bersedih hati kepada mereka yang tak patut disedihkan, juga engkau berbicara dengan kata-kata yang penuh mengandung pengetahuan. Orang yang bijaksana tak bersedih pada mereka yang mati atau pada yang hidup.

Tidak pernah ada kapanpun waktu di mana Aku tidak ada dulu, tidak juga kau, pun juga tidak raja-raja ini, tidak juga pada waktu yang akan datang kita akan menjadi tiada, juga untuk selanjutnya.

Seperti jiwa yang ada di dalam badan ini, pada masa anak-anak, masa muda dan masa tua, seperti itu juga saat mendapatkan badan yang lain, orang bijaksana tidak tertipu dengan proses ini.

Hubungan dengan segala sesuatu Oh Arjuna akan menimbulkan dingin dan panas, senang dan sedih. keadaan ini tidaklah kekal, ia muncul dan menghilang, untuk itu engkau bersabarlah, Oh Arjuna.

Orang yang bijaksana, yang merasakan sama di dalam penderitaan dan kesenangan, dia yang tidak terganggu oleh keadaan-keadaan ini, dia sajalah yang pantas mendapat kekalan (moksa), Oh Arjuna! Orang terhebat di antara para manusia.

Dari ketidakbenaran tidak akan ada keberadaan, begitu juga dari kebenaran tidak akan ada ketidakberadaan, ujung kesimpulan dari kedua keadaan ini telah diketahui oleh mereka yang berpengetahuan brahman. Apa yang tidak ada tidak pernah akan ada, apa yang ada tidak pernah akan tidak ada. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang kebenaran (Brahman) mengetahui kepastian kesimpulan dari kedua keadaan ini.

Ketahuilah bahwa itu yang meresap pada segalanya tak dapat dihancurkan. Tak seorang pun mampu menghancurkan yang kekal abadi ini.

Badan-badan wadag ini merupakan milik dari jiwa yang abadi, yang tak terhancurkan dan tak terbatas, dipahami sebagai badan yang fana yang suatu saat pasti akan hancur. Oleh karena itu berperanglah Oh Bhārata!

Ia yang mengetahui bahwa jiwa adalah pembunuh dan ia yang berpikir bahwa jiwa dapat dibunuh; mereka berdua ini tak mengetahui kebenarannya. Jiwa ini tidak membunuh pun tidak dapat dibunuh.

Ia (jiwa) tidak pernah lahir pun juga tidak pernah mati kapanpun, apakah akan ada lagi setelah muncul atau tidak. Sebab ia tidak terlahirkan, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak terbunuh walau ada pada badan yang dapat binasa.

Ia yang mengetahui bahwa ini adalah tidak dapat dimusnahkan dan abadi, tidak diciptakan dan tidak berubah, bagaimana orang itu menyebabkan terbunuh, oh Arjuna, atau membunuh siapa?

Seperti seseorang menanggalkan baju-baju usangnya kemudian mengambil baju-baju baru lainnya, seperti itu pula sang jiwa meninggalkan badan-badannya yang usang kemudian mendapatkan badan-badan baru lainnya.

Senjata-senjata tidak bisa melukai Jiwa ini, api tak bisa membakarnya, juga air tidak bisa membasahinya begitu pula angin tak bisa mengeringkannya.

Sang Jiwa ini sesungguhnya adalah yang tak terlukai, tak terbakar, tak terbasahi, tak terkeringkan dan juga tak terkeringkan. Ia kekal, ada di mana-mana, tak berubah, tak bergerak juga kekal abadi.

Ia (jiwa ini) dikatakan tidak terwujud, tidak terpikirkan, tidak berobah. Oleh karena itu, mengetahui dia demikian, engkau seharusnya tidak turut bersedih hati.

Meskipun jika engkau berpikir bahwa jiwa ini adalah jiwa yang selalu lahir dan selalu mati, oh Arjuna, tetapi engkau seharusnya tidak bersedih seperti ini.

Karena pada apa yang lahir, kematian adalah pasti dan pasti pula kelahiran pada yang mati. Oleh karena itu pada apa yang tidak dapat dielakkan, engkau seharusnya tidak bersedih hati.

Makhluk hidup adalah tidak berwujud pada awalnya, terwujudnya di tengah-tengah dan tidak terwujud lagi pada akhirnya, oh Arjuna, seperti itu keadaanya lalu apa yang harus ditangisi?

Orang melihat Dia ini sebagai sesuatu yang menakjubkan; begitu pun juga yang lainnya menyebut tentang Dia ini sebagai yang menakjubkan; yang lainnya mendengar tentang Dia ini sebagai sesuatu yang menakjubkan dan setelah mendengarkannya pun, tidak seorang pun yang dapat mengetahui Dia ini.

Jiwa yang ada di dalam badan wahai Arjuna, adalah kekal dan tidak akan dapat dibinasakan. Oleh karena itu engkau seharusnya tidak bersedih hati pada makhluk apapun.

Selanjutnya dengan setia pada kewajibanmu, hendaknya engkau jangan ragu-ragu, karena sesungguhnya tidak ada kebaikan yang lebih besar lainya dari seorang Ksatrya daripada peperangan yang dilakukan demi prinsip kewajiban.

Berbahagialah para ksatriya yang dapat kesempatan untuk berperang seperti ini, yang muncul tanpa dicari, Oh Pārtha (Arjuna) karena hal itu tidak ada bedanya dengan terbukanya pintu ke surga baginya.

Selanjutnya bila engkau tidak melaksanakan perang dengan prinsip dharma ini, maka engkau akan berdosa karena ingkar pada kewajiban dan kehormatanmu

Di samping itu orang-orang akan selalu membicarakan keburukanmu dan bagi ia yang telah mendapat kehormatan, keburukan adalah lebih hina dari kematian

Para ksatriya kereta besar akan berpikir bahwa engkau telah lari dari peperangan disebabkan karena ketakutan dan mereka yang dahulunya menyanjungmu akan meremehkanmu.

Juga musuh-musuhmu, mengecam akan kemampuannmu dan akan mengatakan mengenai dirimu (sesuatu) yang tidak pantas diucapkan. Hal apakah yang lebih menyedih-kan dari ini?

Jika terbunuh di medan perang engkau akan ke Sorga; jika menang engkau akan menikmati dunia ini; Oleh karena itu bangkitlah, oh Arjuna, putuskanlah untuk berperang.

Dengan memandang sama, kedukaan dan kebahagiaan, keuntungan dan kerugian kemenangan dan kekalahan, berperanglah. Dengan demikian engkau tidak akan berdosa.

Inilah kebijaksanaan ajaran Sāṅkhya yang telah dijelaskan padamu. Sekarang dengarkan tentang Yoga, jika engkau layak memahami dengan kecerdasanmu engkau akan dibebaskan dari ikatan karma.

Di dalam hal ini; tidak ada usaha yang gagal dan tidak ada halangan yang merintangi, meski pun bagian kecil saja dari dharma ini, akan dapat menyelamatkan dirimu dari ketakutan.

Di sini, oh keturunan Kuru (Arjuna), hanya ada keputusan pikiran yang tunggal; akan tetapi sesungguhnya pikirkan orangorang yang ragu-ragu mempunyai banyak cabang dan tiada batas akhirnya.

Mereka yang mengucapkan kata-kata veda, yang penuh keinginan, yang mengatakan surga sebagai tujuan tertinggi tidak ada yang lain demikian orang-orang yang tidak bijaksana dengan kata-kata muluknya mengatakan melakukan berbagai macam yajña yang spesial yang mengantarkan kepada kenikmatan dan kekuasaan yang justru menyebabkan dia yang terbius oleh kata-kata indah yang mekar dari mulut mereka ini harus lahir kembali untuk menikmati hasil karmanya.

Yang terlena oleh itu (kata-kata muluk) yang memiliki ambisi terhadap kenikmatan dan kekuasaan kapanpun pikiran mantapnya tak akan bisa terpusat dalam samadhi.

Veda mengatakan mengenai triguna (sattvam, rajah, tamah). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna, dari triguṇa dan dua pasangan yang bertentangan (dualisme), tetapkanlah diri dalam kesucian, tidak menghiraukan kepentingan diri, serta satukan diri dengan kesadaran ātma.

Seperti halnya air yang berlipah di mana-mana untuk memenuhi setiap keperluan, seperti itu gunanya hasil yang ada pada setiap veda yang memberikan kebahagiaan bagi brahmana yang berpengetahuan yang mempraktekannya.

Engkau hanya memegang kendali pada perbuatanmu, dan tidak sama sekali pada hasilnya. Janganlah hasil dari pekerjaan itu menjadi alasanmu; pun juga jangan biarkan dirimu untuk tidak melaksanakan suatu pekerjaan apapun.

Jadilah yang mantap dalam yoga, oh Arjuna; bebaskanlah dirimu dari ikatan dengan pikiran yang sama dalam sukses dan kegagalan lakukanlah pekerjaamu, karena keseimbangan dalam pikiran dikatakan yoga.

Sesungguhnya rendah melakukan perbuatan dengan mengindahkan (jauh) kebijaksanaan yoga, maka berlindunglah pada yoga wahai Arjuna, mereka yang terikat dengan hasil perbuatannya adalah orang-orang kikir.

Dalam hidup ini Ia yang bijaksana membebaskan dirinya dari kedua unsur baik atau pun buruk. Oleh karena itu satukan dirimu untuk yoga. sebab sempurna dalam setiap perbuatan adalah yoga.

Sesungguhnya Orang-orang yang bijaksana penuh pengetahuan, yang telah mencapai keseimbangan pikiran ini tidak mengikatkan diri pada hasil dari pekerjaannya, mereka terbebas bebas dari ikatan-ikatan kelahiran selanjutnya mencapai tempat yang abadi, bebas dari penderitaan.

Ketika pikiranmu mampu mecapai kemantapan dan tak bingung lagi, maka akan mencapai ketidak terikatan terhadap apa yang harus didengar dan apa yang sudah didengar.

Ketika pikiranmu diombang-ambingkan oleh perbedaanperbedaan pendapat dari veda, tidak berubah-ubah dan jiwa tetap teguh dalam samādhi, maka engkau akan mencapai yoga.

Bagaimana ciri-ciri dari seseorang yang mencapai kebijaksanaan yang mantap dan tenang, bersatu dalam Samādhi? Bagaimana ia yang mempunyai kebijaksanaan yang mantap atau tenang ini berbicara, bagaimana ia duduk, bagaimana ia berjalan?

Ketika seorang meninggalkan semua keinginan-keinginan dari pikirannya, oh Arjuna, jiwanya hanya puas dalam kesadaran ātma maka ia disebut orang yang bijaksana.

Ia yang pikirannya tidak digoncangkan di dalam keadaan dukacita dan bebas dari keinginan-keinginan di tengah tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi kemelekatan, ketakutan dan kemarahan, ia disebut seorang yang tenang dan bijaksana.

Ia yang bebas dari perasaan kemelekatan pada apapun, berhati tenang, tidak bersenang dan tidak membeci apapun baik ataupun yang buruk ia disebut orang yang teguh bijaksana.

Ia yang dapat menarik indria dari obyek-obyek indria-nya setiap saat, seperti kura-kura yang menarik seluruh anggota ke dalam badannya, itulah orang yang teguh bijaksana.

Yang berpantang diri tiada keinginan menikmati obyek-obyek indria, tetapi ikatan rasa kemauan masih tetap ada. Akan tetapi rasa ini juga menghilang setelah melihat yang lebih tinggi yaitu Tuhan.

Meskipun seorang berjuang keras untuk mencapai samadhi, Oh Putra Kunti (Arjuna) dia yang bijaksana yang nafsu-nafsunya bergelora akan dapat menyesatkan pikirannya dengan paksaan.

Setelah menguasai seluruh indrianya, ia yang bijaksana yang tetap teguh dalam Yoga padaku; karena ia yang dapat mengedalikan indria-indrianya adalah orang yang memiliki bijaksanaan yang mantap.

Bila seseorang selalu merenungkan objek-objek indria, ia akan terikat kepadanya. Dari ikatan ini berkembang menjadi keinginan dan dari keinginan menjadi kemarahan.

Dari kemarahan muncullah kebingungan dalam diri sendiri, dari kebingungan lalu kehilangan ingatan, dari kehilangan ingatan muncul kehancuran dari kebijaksanaan dan dari kehancuran kebijaksanaan kehidupannya akan hancur sendiri.

Akan tetapi ia yang dapat mengendalikan pikirannya, ditengahtengah benda-benda duniawi, dengan dapat menguasai indrianya, bebas dari ikatan dan kebencian, ia mencapai kebahagiaan.

Di dalam ketenangan maka berakhirlah semua kesusahannya dan sesungguhnya bagi orang yang telah mendapatkan ketenangan pikiran kebijaksaannya segera menjadi tak tergoyahkan.

Bagi ia yang tidak menguasai yoga tidak memiliki kebijaksanaan, pun juga tidak ada kekuatan untuk pemusatan pikiran, tanpa pemusatan pikiran tidak ada ketenangan dan bagi yang tidak ada ketenangan, bagaimana ia mencapai kebahagiaan?

Bagi ia yang tidak menguasai yoga tidak memiliki kebijaksanaan, pun juga tidak ada kekuatan untuk pemusatan pikiran, tanpa pemusatan pikiran tidak ada ketenangan dan bagi yang tidak ada ketenangan, bagaimana ia mencapai kebahagiaan?

Oleh karena itu, oh Arjuna yang perkasa, ia yang dapat mengendalikan indrianya dari pengaruh nafsu-nafsunya dan objek-objek indranya, ia adalah orang memiliki kebijaksanaan yang mantap.

Apa yang dikatakan gelap (malam) bagi semua makhluk adalah saat sadar bagi seorang yogi dan waktu sadar bagi semua makhluk adalah gelap (malam) bagi orang yang bijaksana.

Seperti lautan yang selalu tenang walaupun air masuk dari segala arah untuk memenuhinya seperti itu pula ia yang bijaksana akan selalu tenang walaupun berbagai kenikmatan dunia mendekatinya dan tidak bagi mereka yang bernafsu.

Seseorang yang yang melepaskan semua nafsunya dan hidup bebas dari keinginan, tanpa ada rasa kepemilikan dan keakuan, ia mencapai kebahagiaan.

Wahai Pārtha, ini adalah keadaan kesadaran Brahma (Tuhan), setelah mencapai keadaan ini orang tidak lagi kebingungan, menetap dalam keadaan ini pada saat ajal tiba, orang akan mencapai kebahagiaan yang kekal, brahmanirwana.