Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara/Bab 2

Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara
Bab 2Adat Istiadat Daerah Gurun Talo

BAB II.
ADAT ISTIADAT DAERAH GORONTALO

I. IDENTIFIKASI.

A. LOKASI DAN LINGKUNGAN ALAM.

1. Letak keadaan geografis.

Daerah Gorontalo mempunyai batas-batas sebagai berikut :

  1. Sebelah Utara dengan laut Sulawesi.
  2. Sebelah Timur dengan daerah Bolaang Mongondow.
  3. Sebelah Selatan dengan Teluk Tomini (Teluk Gorontalo).
  4. Sebelah Barat dengan Propinsi SulawesiTengah.

Pada bagian Selatan daerah ini terbentang dataran rendah yang luas dan pada bahagian Utara sebaliknya terbentang daerah pegunungan yang ditandai oleh gunung-gunung yang tinggi seperti gunung Ile-ile, Teplomatinau, Pontalo, Buliohuta, dan gunung Tilongkabila.

Terletak diantara 0° 28'30" Lintang Utara dan 123° 12'30" Bujur Timur.

Keadaan Tanah

Selain daerah ini terdiri dari daerah dataran rendah dan daerah pegunungan, dijumpai juga sungai-sungai seperti sungai Kwandang, Mololahu, Bone dan sungai Bolango. Dengan demikian daerah ini merupakan daerah pertanian yang utama baik perladangan maupun persawahan.

Sebahagian besar dari sawah-sawah pengairannya masih tergantung pada air hujan. Kecuali daerah persawahan di kecamatan Tapa dan Kota Utara sudah teratur pengairannya (sungai Bolango).

I k l i m

Daerah Gorontalo dipengaruhi oleh iklim muson yang bertiup sepanjang waktu. Hujan jatuh tidak tetap. Pada musim panas udara tidak terlalu panas (32°C), pada musim dingin udara tidak terlalu dingin (20°C). Bilamana hujan lebat turun daerah Kotamadya digenangi air sampai 1 meter tingginya. Curah hujan pertahun : 1.205 mm dan per bulan 50 mm (monografi daerah Sulawesi Utara 1972.

Flora dan Fauna

Jenis tumbuh-tumubuhan yang terdapat di daerah Gorontalo ialah : kayu besi, kayu jati, kayu putih (yang digunakan untuk ramuan rumah, gedung-gedung). Buah-buahan seperti : manggis, langsat, rambutan, durian, jeruk, jambu. Jenis pohon palm seperti : kelapa, seho, enau nipah, pinang, rumbia dan jenis-jenis tumbuhan lain seperti : bambu, rotan, damar (yang digunakan untuk ramuan berupa perabot-perabot rumah tangga). Sedangkan jenis-jenis binatang yang ada seperti : babi hutan, anoa, kera, anjing hutan, buaya, biawak, ular, kura - kura, angsa, itik, ayam, merpati, bangau, gagak, dan lain-lain.

2. Pola perkampungan

Istilah desa di daerah Gorontalo disebut Kambungu. Pada mulanya kelompok manusia yang belum menetap, hidupnya berpindah-pindah disebut kelompok ambua. Kelompok ambua kemudian menetap terjadilah linula yang sudah merupakan gabungan dari beberapa ambua. Kelompok ini dikepalai oleh tauwa lo linula. Lama kelamaan ambua menjadi kelompok besar sehingga menjadi kambungu atau desa (community) yang dikepalai oleh Taudaa.

Pada umumnya desa-desa terletak di dataran rendah dan hanya sebahagian kecil saja yang terletak pada sepanjang sungai, karena pada umumnya penduduk dimana raja mereka membangun desa mudah sekali mendapatkan air dengan menggali sumur. Setiap desa mempunyai mesjid dan langgar dan balai desa sendiri yang merupakan ciri dari pada suatu desa. Yang menonjol ialah bangunan mesjid atau langgar. Masing-masing desa mempunyai satu sampai tiga buah mesjid atau langgar dan letaknya sepanjang jalan desa sesuai dengan letak rumah-rumah desa. Antara rumah yang satu dengan yang lain dibatasi pekarangan-pekarangan yang luas, rata-rata berjarak 50 meter (ada yang berjarak 10 meter dan ada yang 200 meter), sehingga desa-desa tidak mengelompok padat. Kecuali desa-desa dibahagian Kotamadyanya. Pada umumnya dibelakang rumah-rumah desa sudah merupakan daerah perkebunan/ladang atau sawah.

Bentuk-bentuk rumah empat persegi panjang ada yang setengah rumah panggung yang tingginya satu meter atau setengah meter. Bahan yang digunakan untuk dinding dan lantai adalah buluh yang dianyam, atapnya dibuat dari daun rumbia atau daun kelapa. Ruangan-ruangan rumah terdiri dari : bahagian depan tempat menerima tamu, kamar-kamar tidur bahagian tengah, dapur di bahagian belakang dan tempat menyimpan barang adalah dibahagian atas loteng.

B. GAMBARAN UMUM TENTANG DEMOGRAFI.

Penduduk asli daerah Gorontalo menurut J.G.F. Riedel adalah termasuk ras Polinesia yang datang dari sebelah Utara (J.G.F. Riedel, 1870, hal. 64). Akan tetapi sebelum kedatangan mereka daerah ini sudah ada penduduk yang mendiaminya yang masuknya dari sebelah Barat. Oleh orang-orang Gorontalo mereka disebut Hololontalangi (pengembara). Kemudian

12

mereka bercampur dengan ras polinesia. Pada mulanya mereka hidup mengelompok didaerah pegunungan Tilongkabila, karena dataran rendah pada bahagian Selatan daerah ini masih tergenang air. Barulah pada abad XI penduduk didaerah pegunungan turun, berpindah ke dataran rendah itu, karena air telah surut. Merekalah sebenarnya penduduk asli daerah Gorontalo, yang membangun perkampungan di daerah Suwawa. Mereka makin lama makin bertambah, sehingga pada abad ke XV sudah ada dua kerajaan di daerah ini ialah kerajaan Suwawa, yang pertama (yang tertua) dan kerajaan Limboto.

Penduduk-penduduk yang berasal dari daerah lain sudah mulai berdatangan yaitu seperti orang-orang Tomini, Loinaus, Bugis, Makassar, Ternate. Terutama pada abad XV, XVI, XVII, penduduk dari daerah-daerah kerajaan Islam : Ternate, Bugis, Bugis dan Makassarlah yang paling banyak berpindah ke daerah Gorontalo, sehingga penduduk Gorontalo yang sekarang, merupakan percampuran dari :

  1. Penduduk asli (pengembara = hulontalangi)
  2. Ras Polinesia dari Utara.
  3. Penduduk daerah Tomini (suku) dari Barat.
  4. Suku Ternate, Bugis, Makassar (pembawa agama Islam).

Ditambah lagi penduduk bangsa Cina, Arab, Belanda, Burgers (campuran Belanda dan penduduk asli). Akan tetapi mereka merupakan penduduk asing minoritas. Gambaran penduduk daerah Gorontalo menurut sensus 1930 adalah :

Tabel I, Sensus 1930

Penduduk Laki2 Perempuan Jumlah

Penduduk asli 100.848 105.262 206.110
Eropah 149 140 289
C i n a 1.126 841 1.967
Orang Timur Asing 737 709 1.446

Jumlah seluruh 102.860 106.952 209.812


Tabel II, Sensus 1961

Penduduk Laki2 Perempuan Jumlah

Kabupaten Gorontalo 156.110 156.360 312.470
Kotapraja Gorontalo 33.936 37.442 71.378

Jumlah seluruh 190.046 193.802 383.848
========================================

14

Tabel III, Sensus 1971

No. Kecamatan Anak-anak Dewasa Jumlah Jumlah
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
1. Bone Pantai 5.073 4.848 5.391 5.114 10.464 9.962 20.426
2. Suwawa 3.016 2.998 3.249 3.571 6.265 6.569 12.834
3. Kabila 6.405 6.414 6.451 7.433 12.856 13.847 26.703
4. Tapa 5.176 4.851 5.173 5.989 10.349 10.840 21.189
5. Telaga 10.089 9.899 9.898 11.554 19.287 21.453 41.440
6. Batudaa 14.196 13.760 12.909 13.640 27.105 27.400 54.505
7. Limboto 9.240 8.764 8.912 9.690 18.152 18.554 36.606
8. Timbawa 11.012 10.367 9.992 10.424 21.004 20.791 41.795
9. Kwandang 7.428 7.443 7.567 7.401 14.995 14.844 29.839
10. Atinggola 2.346 2.260 2.423 2.291 4.769 4.551 9.320
11. Sumalata 3.365 3.147 3.765 3.280 7.130 6.427 13.557
12. Panguyaman 7.113 6.874 6.819 6.506 13.932 13.380 27.312
13. Tilamuta 6.304 6.282 5.925 6.079 12.229 12.361 24.590
14. Paguat 4.195 4.126 4.113 4.015 8.308 8.141 16.449
15. Marisa 4.121 3.716 3.576 3.358 7.697 7.074 14.771
16. Popayato 4.371 4.126 4.437 3.976 8.808 8.102 16.910
Jumlah 103.453 99.895 100.600 104.301 204.050 204.196 408.245
Sumber : Kantor Sensus dan Statistik Kabupaten Daerah Tingkat II Gorontalo 76
Tabel IV
Padat Penduduk Daerah Gorontalo

Tahun Penduduk Luas Daerah
per Km2
Padat Penduduk

1856 24.146 11.096 2,1
1866 70.775 idem 6,3
1899 89.236 idem 8,4
1920 134.487 idem 12,1
1930 209.812 idem 18,9
1961 383.748 idem 34,6
1971 408.435 idem 36,8
1976 464.992 idem 41,9







16

Tabel V.
Penduduk Kodya Gorontalo, Sensus 1971.
Kecamatan Jumlah desa Umur dan kelamin Kewarganegaraan
0-4 th 5-14 th 15-24 th 25 keatas W.N.I. W.N.I
L P L P L P L P L P L
Kota Utara 11 2124 2152 3218 3159 1893 2406 3735 4114 10697 11853 3
Kota Barat 11 1604 1523 2328 2414 1676 1855 2577 2947 8185 8739 -
Kota Selatan 17 3893 3615 6367 6202 4323 5782 7264 8480 21381 23688 466
Kotamadya Gorontalo. 39 7621 7290 11913 11775 7892 19043 13576 15571 40533 44285 469
Kabupaten Gorontalo 16 Kecamatan. 42627 43876 60434 55945 32654 38684 64101 65249 203348 203712 68

Sumber: Monografi Daerah Sultara, 1972, hal. 40.

C. LATAR BELAKANG HISTORIS
  1. Nama asli dari Gorontalo adalah Hulontalo, yang berasal dari kata Hulontalangi yang berarti pengembara yang turun dari langit. Pengembara ini pada mulanya mengambil tempat di kaki gunung Tilongkabila, karena pada waktu itu dataran rendah yang sekarang didiami oleh penduduk Gorontalo masih merupakan lautan. Sekali peristiwa pengembara ini kedatangan delapan orang yang berperahu, sehingga ia bersyukur kepada dewata karena sudah mempunyai kawan untuk hidup bersama-sama. Mulailah mereka bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya dibawah pimpinan Hulontalangi. Sejak itu pulalah air laut mulai surut dan daratan makin lama makin melebar. Kemudian datang lagi rombongan lain yang datangnya dari arah sebelah Barat dan hidup menetap disekitar kaki gunung Tilongkabila. Terjadilah kawin mawin dikalangan mereka dengan kelompok Hulontalangi. Dari keturunan-keturunan merekalah penduduk Gorontalo yang sekarang berasal (Buletin Daerah Gorontalo 1969).
Menurut J.G.F Riedel seorang sarjana Antropologi bangsa Belanda, penduduk Gorontalo termasuk ras malayu Polinesia yang datang dari bahagian Utara. Pada waktu mereka masuk di daerah Gorontalo, daerah ini sudah ada penduduk asli yang mendiaminya, kemudian terjadilah percampuran dikalangan mereka. Selain itu datang pula penduduk berasal dari sebelah Timur yakni dari Ternate, Tidore, dan dari Selatan seperti Bugis dan Makassar. Dengan demikian, terjadilah percampuran penduduk terus menerus, sehingga oleh bangsa Belanda mereka disebut Gorontalone-
ese, (Riedel, 1870, hal, 64).
Sebelum kedatangan orang-orang Ternate, Tidore, Bugis, Makassar, rupanya penduduk asli Gorontalo adalah percampuran penduduk asli dan bangsa Melayu. Mereka hidup dari bertani, berburu, meramu dan menangkap ikan. Agamanya masih bersifat animisme dan dinamisme yang oleh penduduk disebut Alifuru. Nanti kemudian mereka menganut agama Islam setlah kedatangan orang-orang Ternate, Bugis, dan Makassar. Rupa-nya agama ini diterima baik oleh penduduk asli sehingga penduduk Gorontalo sekarang ini 100% penganut agama Islam. Sehingga kebudayaan Islam dan suku-suku bangsa terakhir inilah yang mendominir kebudayaan ini.
Pengaruh ini dapat dilihat didalam pedoman hidup penduduk Gorontalo yaitu "adat bersendikan syarat dan syarar' bersendirikan kitabullah". Dan pengaruh suku bangsa Bugis Makassar dapat dilihat dalam pakaian adat mereka seperti daster (payungu), celana panjang yang dipakai bersama kain sarung keris atau pisau yang selalu dibawa serta sebagai teman hidup, dan lain-lain.
Kedatangan bangsa Portugis dan bangsa Belanda waktu mereka menguasai daerah ini, hanya sedikit saja mempengaruhi kebudayaan mereka. Karena mereka berpegang teguh kepada adat bersendikan syara' dan Syarar' bersendikan Kitabullah dan barang siapa yang memperlihatkan tingkah laku dan perbuatan yang bertentangan dengan pedoman itu akan mendapat kutukan dari Tuhan dan nenek moyang.
2. Suatu daerah yang sangat erat hubungan kebudayaan dengan Gorontalo ialah daerah Bolaang Mongondow. Sejak dahulu sudah terjadi hubungan yang baik antara kerajaan Suwawa Bone Gorontalo dan kerajaan Bintauna Kandipau di Bolaang-

Mongondow. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pemakaian bahasa dimana bahasa-bahasa Suwawa-Bone banyak persamaannya dengan bahasa-bahasa Bintauna-Kandipau. Apalagi waktu kedatangan Belanda sehingga kerajaan ini menyingkir/hijrah ke Bolang Mongondow yaitu di daerah Molibagu. Sehingga bahasa Bolange/Tapa asli sama dengan bahasa yang digunakan di daerah Mulabagu Bolaang Mongondow. Hubungan kedua daerah ini mudah terjadi karena faktor geografis yang memungkinkannya. Keduanya terletak diatas daratan yang satu seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Karena itu sudah sejak dahulu sampai sekarang terjadi kontak antara kedua suku bangsa ini.

Demikian pula sebaliknya dengan daerah-daerah sebelah Barat Gorontalo seperti daerah Toli-toli dan Buol sudah terjadi kontak antara kerajaan-kerajaan yang terletak diatas satu dataran. Sehingga dapat dibuktikan dengan adanya persamaan bahasa, adat istiadat dan kesenian.

C. BAHASA DAN TULISAN
Didaerah Gorontalo terdapat tiga macam dialek bahasa, yaitu dialek Suwawa, Bolango dan Gorontalo. Antara orang-orang Suwawa, Polango dan orang-orang Gorontalo tidak dapat saling mengerti kalau mereka menggunakan bahasanya masing-masing. Artinya orang-orang Suwawa tidak mengerti bahasa Bolango, demikian pula sebaliknya orang-orang Bolango tidak mengerti bahasa Suwawa.

Begitu pula orang-orang Gorontalo tidak mengerti bahasa Suwawa dan bahasa Bolango. Akan tetapi yang menarik ialah orang-orang Suwawa, Bolango dapat berbahasa Gorontalo dengan lancar. Rupanya bahasa Gorontalo ini merupakan bahasa

persatuan dari penduduk daerah Gorontalo, merupakan bahasa pergaulan sehari-hari. Kecuali antara orang Suwawa dengan orang Suwawa bertemu atau dalam kalangan sendiri, mereka berbahasa Suwawa. Akan tetapi sesudah mereka berada diluar kalangan sendiri, atau diluar daerah mereka menggunakan bahasa Gorontalo sebagai bahasa persatuan. Begitu pula orang-orang Bobango. Orang-orang Bolango dewasa ini terutama di kalangan generasi muda sudah tidak mengerti lagi bahasa Bolango. Yang masih menggunakan bahasa ini terbatas di kalangan orang tua saja. Sebab rupanya yang mendominir penggunaan bahasa di Bolango ialah bahasa Gorontalo. Sebahagian terbesar penduduk Bolango sekarang adalah orang-orang Gorontalo, sehingga bahasa Bolango asli sudah makin terdesak. Hal ini disebabkan juga sebahagian terbesar penghuni kerajaan Bolango dizaman penjajahan Belanda dahulu dibawah pemimpinan raja Habibullah Jusuf menyingkir ke daerah Bolango Mongondow, akibat tidak mau menerima Belanda.

Dibawah ini dapat dilihat bahasa daerah Gorontalo yang merupakan salah satu kelompok bahasa di Sulawesi Utara.

  1. Bahasa Gorontalo yan digunakan dibahagian wilayah sebelah Timur ialah:
  1. Dialek Bolaung Uki (Atinggola, Diu).
  2. Dialek Kaidipang (Dio).
  1. Bahasa Gorontalo yang digunakan dibahagian wilayah sebelah Barat ialah :
  1. Dialek Gorontalo yang terdiri dari sub dialek Gorontalo, Limboto, Tilamuta, Kwandang, Sumalata.
  2. Dialek Bone (Suwawa, Bonda)
  3. Dialek Buol (Bwo-ol-Dio).
(Monogradi Daerah SUlawesi Utara, 1972, hal 180.)

Dengan demikian bahasa Gorontalo terdiri dari lima dialek bahasa yaitu : Bolaang Uki, Kaidipang, Gorontalo, Bone (Suwawa) dan Buol. Akan tetapi bahasa persatuan seluruh penduduk daerah Gorontalo ialah bahasa Gorontalo (dialek Gorontalo), seperti dijelaskan di atas. Kecuali mereka yang sudah tidak termasuk penduduk daerah Gorontalo secara administratif seperti Kaidipang dan Buol yang sudah masuk wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Buol Tolo-toli. Karena itu mereka yang masuk wilayah Gorontalo hanya tiga dialek saja yaitu Gorontalo, Bolango dan Suwawa. Bolango (Tapa), penduduknya menyingkir ke Bolaang Mongondow yang sekarang bernama Bolaang Uki yang bahasanya sama dengan bahasa Bolango (Tapa) di Gorontalo.

Baik bahasa Bolango, Suwawa maupun bahasa Gorontalo sebagai bahasa persatuan di daerah ini, sudah tidak mengenal tulisan. Atau mungkin sejak dahulu kala mereka ini tidak mengenal tulisan. Ternyata sampai sekarang belum diketemukan adanya tulisan mengenai bahasa-bahasa tersebut. Peninggalan-peninggalan zaman dahulu sebelum masuknya islam didaerah ini sudah tidak ada buktu-buktinya ini. Begitu mereka menerima agama Islam, ajaran ini disatukan dengan adat istiadat yang menguasai seluruh kehidupan mereka.

Buktinya yang dikenal oleh mereka ialah tulisan Arab yang tidak bergaris (huruf Arab Pegm). Buku-buku sejarah yang tertua di daerah ini yang ditulis abad 16 ditulis dengan huruf Arab Pegm. Kesenian-kesenian, ungkapan-ungkapan, cerita-cerita rakyat ditulis dengan huruf Arab yang berbahasa Gorontalo, sedangkan tulisan asli bahasa Gorontalo, Suwawa dan Bolanago tidak dikenal.

II. SISTIM MATA PENCAHARIAN HIDUP.

A. BERBURU.

Daerah-daerah tempat berburu ialah Suwawa, Kabila, Tapa, Kwandang, Sumalata, Paguat, Marisa, Popayato. Jenis-jenis binatang yang diburu seperti rusa, sapi hutan, jenis-jenis burung dan babi hutan bagi orang-orang kristen yang tinggal di Kotamadya. Mereka pergi berburu pada hari-hari libur, hari-hari dekat hari raya dan sebulan sekali untuk berburu rusa secara pemerintah setempat. Berburu rusa secara besar-besaran disebut Malumolilo(menurut kepercayaan binatang rusa bila berpindah tempat dipimpin oleh raja rusa yang bertanduk cabang).

Tenaga pelaksanaannya ialah laki-laki dan bekerja sama antara 10 sampai 20 orang. Hasilnya dibagi dua yakni untuk tenaga pelaksana utama 2/3 bagian dan tenaga pembantu 1/3 bagian. Mereka juga menggunakan anjing sebagai pembantu dan mendapat bagian dari daging rusa.

Alat-alat yang dipakai untuk berburu ialah : bedil, tombak besi, tombak dari bulu, tuhiango (menggali lubang/ talongo sebagai perangkap yang sudah diberi patok dari bulu/besi yang tajam) potilo (tali yang diikat pada kayu yang melenting dan bilamana disentuh oleh binatang dengan kepala atau kakinya pasti akan terjerat), dan tolele (perangkap berupa pagar yang berkelok-kelok sehingga bila binatang masuk pasti tidak dapat keluar lagi). Hasil dari pada buruan mereka, dijual dipasaran dan untuk dimakan sendiri/kebutuhan sendiri.

B. MERAMU

Tempat penduduk untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan sebagai mata pencaharian ialah didaerah Tapa, Suwawa, Popayato, Panguyaman, Paguat, Sumalata. Yang diramu seperti kayu, damar, rotan, tali, pohon enau. Tenaga-tenaga pelaksana ia -

lah laki-laki yang bekerja baik perorangan maupun kelompok ( 5 - 10 orang ).

Cara pelaksanaan kegiatan meramu ini masih secara tradisionil yakni sebelum melaksanakan pekerjaan itu penduduk pertama-tama mengadakan mohile dua artinya upacara meminta doa kepada setan penjaga hutan yang disebut pulohuta. Upacara ini dipimpin oleh telenga atau orang yang paham mengadakan hubungan dengan makluk halus. Didalam upacara ini disajikan sirih pinang, tembakau, nasi kuning, nasi merah. Maksudnya mereka minta izin dengan memberi makan kepada penjaganya agar supaya mereka yang meramu itu tidak mendapat gangguan/kecelakaan. Menurut kepercayaan rakyat, bilamana mereka tidak melakukan upacara ini dan langsung pergi menebang atau menarik rotan, kayu yang sudah ditebang tidak akan roboh dan rotan tidak akan dapat ditarik. Hal ini berarti pulohuta atau setan hutan tidak mengizinkannya.

Kegunaan hasil-hasil ramuan ialah kayu untuk bangunan rumah, gedung, jembatan dll. Damar untuk menyamak kulit, piring, dan untuk dieksport. Sedangkan rotan dibuat kursi, tali, keranjang, sangkar burung, buitan anak dan lain-lain. Hasil kerajinan ini dijual kepada penduduk, sehingga hampir setiap rumah memiliki sepasang kursi rotan. Yang lain di export ke luar daerah seperti ke Minahasa/Menado.
C. PERIKANAN.

1. Perikanan darat.

Tempat-tempat perikanan darat ialah di daerah Bulotalangi, Huntu, Talumopatu, Kwandang , Batudaa, Isimu, Suwawa, Molosifat. Jenis ikan : ikan mas, ikan Balangga, ikan

Mujair, tawes, gabus dan ikan nilem.

Jenis ikan danau seperti payangga, hele, hulu'u manggabar, dumbaya dan lain-lain yang ditangkap didanau Limboto dan sungai-sungai.

Tenaga pelaksana adalah laki-laki baik perorangan maupun secara kelompok. Pemeliharaan ikan mas dalam tambak-tambak (belangga) secara besar-besaran di daerah Kwandang, Isimu, Tapa, Kotamadya, sudah meliputi puluhan ribu ekor. Lamanya pemeliharaan satu sampai dua tahun. Untuk menangkap ikan dalam tambak-tambak (belangga) ialah dengan jalan mengeringkan airnya dan setelah ditangkap kemudian dimasukkan lagi air didalamnya. Ikan- ikan ini selain untuk kebutuhan sendiri, dijual di pasaran terutama di Kotamadya Gorontalo.
Cara penangkapan ikan di danau Limboto oleh nelayan-nelayan yang berdiam sekitar danau, ialah dengan menggunakan dudayahu (jala), lilito (pagar bulu), pombalo (sero kecil), puoto (pukat), dayilo (kail), titiopo (bulu ayam), totobongo (tombak). Hasilnya selain untuk dimakan sendiri, juga untuk dijual.
2. Perikanan laut.

Penangkapan ikan di laut dilakukan oleh nelayan-nelayan yang berdiam sepanjang pantai bagian selatan. Mereka melakukannya baik perorangan maupun secara kelompok. Tenaga-tenaga pelaksana adalah laki-laki. Penangkapan pada siang hari dengan jalan mengail diatas perahu layar dan perahu tanpa layar. Pada malam hari dilakukan penangkapan dengan sero (olete) secara berkelompok-kelompok. Para nelayan membawa lampu gas (petromaks) diatas perahu menuju agak ketengah laut. Ikan-ikan berkerumun melihat cahaya lampu, kemudian sero diturunkan dari pe - perahu untuk mengepung ikan yang sudah berkerumun. Secara beramai-ramai para nelayan menarik sero yang penuh dengan ikan ke pantai. Penangkapan yang membawa hasil yang besar ialah pada malam bulan gelap. Kalau pemilik sero itu terdiri dari dua, tiga orang, hasilnya dibagi tiga sama banyak. Mereka yang menolong saja menarik sero ke pinggir pantai mendapat hadiah ikan dari pemilik. Para nelayan menjual ikan-ikan ini kepada tengkulak dan para tengkulak menjualnya kepasar-pasar.

D. PERTANIAN.

1.Pertanian di ladang.

Pada zaman kerajaan dahulu, tanah - tanah pertanian adalah milik kerajaan. Setiap penduduk yang ingin mendapatkan tanah-tanah pertanian, meminta izin kepada raja atau pembesar-pembesar kerajaan (Adatrecht Bundels 1919, hal. 121). Menurut Staatsblad No. 94, pemerintah Belanda menghapuskan semua tanah-tanah yang belum diusahakan dan tanah-tanah yang diolah penduduk berdasarkan surat izin, yang menjadi milik kerajaan. Semua tanah-tanah ini menjadi milik distrik (pemerintah Belanda). Pada waktu itu pemerintah Belanda memberi kesempatan kepada penduduk untuk membeli tanah-tanah pertanian yang akan menjadi miliknya (Kaluku, K.1965-26).
Tanah - tanah pertanian diolah oleh laki-laki dengan bajak (popadeo) garu(huhaidu) dan pacul (popate). Selesai diolah para wanita menanaminya dengan jagung, kacang, ubi-ubian. Sayur-sayuran, tomat, cabe, merica ditanam pada sekeliling ladang.
Empat sampai lima bulan lamanya ditanami, laki -laki, wanita dan anak -anak beramai-ramai menuai hasilnya secara huyula (gotong royong ) Terutama sistim huyula ini dilakukan oleh kelompok-kelompok kerabat yang disebut ungala'a (keluarga luas). Jagung dan kacang merupakan hasil utama di daerah Gorontalo dan biasanya diexpor ke luar daerah seperti ke Jawa, Manada.

2.Pertanian di sawah

Bagi mereka yang tidak nemiliki tanah pertanian (sawah-ladang) dapat mengerjakan tanah mengolah sawah dengan sistim bagi hasil (mosawala). Artinya bila seorang petani mengolah sawah milik orang lain, maka hasilnya dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Seseorang juga dapat memiliki sawah /ladang dengan jalan warisan. Tanah-tanah ini diwariskan turun temurun kepada anak cucu, cece dan akhirnya tanah tersebut tidak dapat dibagi lagi, karena sudah terlalu sempit.
Timbullah sawah/ladang-ladang yang disebut miliki atau budel yang menjadi milik kelompok ungola'a (keluarga luas). Masing-masing anggota ungola'a berhak mengolahnya secara bergilir.

Daerah-daerah persawahan dapat dijumpai pada bahagian Selatan, seperti Kabila, Tamalate, Limnoto, Batuda'a, Bongomeme, Isimu , Dulumo, Tambo'o, Kota Utara, Bone Pantai dll .Sebahagian terbesar dari sawah-sawah ini adalah sawah tadah hujan. Pengairan yang ada dan sudah teratur hanya di daerah Tapa, Kota Utara, sebagian di Suwawa. Penduduk mengolah sawahnya dua kali setahun. Sawah-sawah yang sudah ada airnya pada mulanya digaru (huheidu) yang ditarik oleh sepasang kerbau atau sapi, untuk meratakan rumput-rumputan atau sisa-sisa potongan batang padi. Bersamaan dengan ini dikerjakan sebidang sawah untuk pesemaian (huayadu). Setelah berumur 40 hari padi yang disemaikan dicabut dan ditanamkan.
Petak-petak sawah yang hendak ditanami sesudah digaru,,kemudian dibajak. 10 sampai 15 hari dibiarkan terendam air, maksudnya agar rumput-rumputan menjadi busuk. Kemudian digaru lagi untuk kedua kalinya, dan dibiarkan terendam air selama 10 sampai 15 hari. Yang terakhir ialah dibajak lagi dan digaru terus menerus sampai menjadi becek dan rata. Kini tibalah saatnya untuk menanam padi yang sudah dicabut dari pesemaian. Penanaman dilakukan oleh kaum wanita baik secara huyula (gotong-royong ) maupun dengan sistim upahan. Dewasa ini sistim upahan sudah mendesak sistim gotong royong. Setiap orang yang menanam padi untuk satu hari dibayar Rp. 500,- sampai Rp. 700,-

Padi yang sudah berumur 20 hari disiangi, yaitu dibersihkan dari ulat-ulat yang memakan daun padi. Tugas yang paling berat bagi petani ialah memberantas walang sangit dan mengusir burung pada waktu padi sudah berisi sampai dengan memuainya. Yang menuai padi (mongotolo) dikerjakan oleh laki-laki dan wanita secara gotong royong dikalangan ngola'a dan ungola'a (keluarga batih dan keluarga luas), dengan jalan mengundang mereka (motiayo). Menurut adat yang berlaku di daerah Gorontalo masih dijumpai para petani mengadakan upacara mopoa huta (memberi makan kepada tanah), baik sebelum menanam dan sesudah menuai. Maksudnya untuk menghormati tanah dengan memberikan sedekah bumi (Dungga, H, 1965 , hal. 56). Upacara ini dipimpin oleh Talenga (dukun) dengan sesajian berupa nasi kuning, nasi merah, telur rebus, daging, pisang. Talenga atau Pangggoba membawa sajian bersama kemenyan dan api ketengah sawah/ladang. Dan mulailah ia membaca mantera sambil membakar kemenyan untuk memberi makan kepada tanah (mopoa huta). Ada suatu upacara lagi yang diadakan pada waktu padi (palelo tuhelo) sedang mulai berisi (bunting), diundangkanlah penggoba membawa dupa (kemenyan) dan api atau membakar dupa sambil membaca mantara mengelilingi petak sawah. Maksudnya agar buah padi tidak mendapat gangguan binatang sehingga dapat berbuah dengan baik. Kemudian padi yang akan dimakan oleh pemilik sesudah panen, untuk pertama kali ditumbuk dan dimasak. Yang harus makan pertama kali ialah anak-anak yang diberi suap oleh panggoba agar anak-anak tidak mendapat penyakit sekaligus seluruh penghuni rumah.

E. PETERNAKAN.

Jenis-jenis ternak yang dipelihara oleh penduduk seperti sapi, kuda, kerbau, ayam, itik,dan kambing. Terutama sapi, itik dan ayam merupakan ternak yang paling banyak dipelihara dan diexport keluar daerah (Daging dan telur). Sapi, kuda dan kerbau sebagai tenaga pembantu utama dalam pertanian (ladang, sawah) dan tenaga transport untuk pengangkutan (pedati, bendi, tunggang, beban). Pemilik-pemilik ternak pada umumnya mempunyai tanah-tanah luas yang digunakan untuk melepaskan hewan (sapi) yang sudah dipagari sekelilingnya, baik berupa padang rumput maupun berupa kebun kelapa. Didalamnya sudah dibangun tempat perlindungan dari ternak sapi bila hari sudah malam atau hari hujan. Cara beternak semacam tidak banyak memberi makan, mengawasinya karena ternak itu dibiarkan saja mencari makan minum sendiri didalam padang rumput itu. Dan ada yang dilepas didalam desa dengan tidak mendapat pengawasan terutama disekitar danau Limboto.

Mereka yang beternak itik, dengan jalan mengusir mereka di tengah sawah pada siang hari dan pada malam hari digiring masuk kandang. Tetapi ada yang mengurungnya dengan membuat kandang dan hanya diberi makan setiap hari. Demikian pula halnya dengan ayam, ada yang dilepas di kebun dan ada yang dipelihara dalam kandang. Tenaga-tenaga pelaksanaannya terutama laki-laki, kecuali itik, ayam, dibantu tenaga-tenaga wanita.

F. KERAJINAN.

Jenis kerajinan penduduk ialah membuat kursi rotan, kursi batang kelapa, songkok rotan, keranjang, kerawang, terompak, tali, sangkar burung, menenun dan menganyam tikar tutup makan, periuk belanga. Kerajinan-kerajinan ini dapat dijumpai di daerah Tibawa, Datuhu, Taidito, Tapa, Batuda'a, Kotamadya, Kabila, Limboto, Balituanggu.
Bahan-bahan kerajinan penduduk ialah rotan, batang kelapa, buluh, serat kayu, serat pandan, tanah liat, kayu, daun rumbia.
Teknik membuat/kerajinan tersebut masih secara transisionil yaitu dikerjakan dengan tangan (tenaga manusia. Tenaga-tenaga pelaksanaannya adalah laki-laki perempuan dan anak-anak sebagai pembantu, baik secera perorangan maupun secara kelompok. Misalnya kerajinan pembuatan kursi. Di depan rumah atau di samping rumah penduduk dibangun tempat usaha kerajinan.
Sejenis pondok yang luasnya 100 m2 dan tidak berdinding. Lima orang atau tujuh orang masing-masing memberikan modal Rp 5.000,- dan bersama-sama membeli rotan. Bersama-sama pula mereka membuat kursi dan hasilnya dijual, uang yang diperoleh dari penjualan kursi dibagi sama banyak/sama rata.

Hasil kerajinan penduduk adalah untuk kebutuhan sendiri dan dijual. Terutama hasil ke- rajinan kursi, songkok, karawang, tikar, diexport keluar daerah (Monografi Daerah Sultara 1972,hal 162)

III. SISTEM TEKNOLOGI DAN PERLENGKAPAN HIDUP.

A. ALAT-ALAT PRODUKSI.

1. Alat-alat rumah tangga :

- totalu'o= sendok ikan yang dibuat dari tempurung.
- o'ahu= sendok nasi yang dibuat dari buluh
- bilanga= tempat makan ikan dari tanah liat
- bebu= tempat minyak dari buah sagana
- popalua= anglo = tungku
- buawu= tempat minum dari tempurung.
- ulongo= belanga dari tanah liat.
- porono= tempat membakar kue dari tanah liat.
- bulonggo= belanga goreng dari tanah liat.
2. Alat-alat pertanian.
- popade'o= bajak dibuat dari kayu
- huhegidu= garu dibuat dari kayu.
- popati= cangkul
- sikopu= bakop
- i'i= kuda-kuda dibuat dari kayu.
3. Alat perburuan.
- totobu'o= tombak dibuat dari buluh tipis.
- tuhiango= melobangi tanah dan diberi ranjau dari bambu runcing.
- talele= pagar dari bambu yang berkelok-kelok.
- popotilo= umpan dari tali yang bila terinjak oleh binatang akan terikat dengan sendirinya.
4. Alat-alat perikanan.
- titi'apo= penangkap ikan yang dibuat dari bambu berbentuk kurungan ayam.
- o'ayilo= kail
- budoyahu= jala, dibuat dari benang.
- eputo= lukah, dibuat dari bambu
- eyambu= sero, dibuat dari benang.
- olate= pagar dari bambu yang dianyam dan ditancapkan di tengah danau.
- tapilo= kail-kail yang diikatkan diatas air/terapung.
- tobong= tombak dari bambu runcing
5. Alat-alat peternakan.
- buatulo= tali dari ijuk pohon enau
- ulunga= kandang dari bambu.
- urungi= kurungan ayam
- lumunga= tempat bertelur.
6. Alat Kerajinan.
- pito= pisau
- sabele= parang.
- dudetu= jarum untuk kerajinan kerawang.
- popadu= alat pengontrol tenunan.
- dupa, tanggulongo, biheto, bubilo, = Alat penganyam.
- utalia, huhuta, huheidu,
7. Alat-alat peperangan.
- banggo = pedang.
- totobu'o = tombak.
- bitu'o = keris.
- bubohu = pemukul dari kayu besi.
B. ALAT-ALAT DISTRIBUSI DAN TRANSPORT
1. Alat-Alat perhubungan di darat.
- roda = pedati
- bendi = delman
- dokali = dokar
- wadala = kuda tunggang.
- rasipade = sepeda/kereta angin.
- kokohinga = alat penarik kayu ramuan (pulangan).
2. Alat perhubungan di laut.
- bulotu = perahu dari kayu
- heita = rakit dari bambu.
C. WADAH-WADAH ATAU ALAT-ALAT UNTUK MENYIMPAN.
1. Penyimpan hasil produksi.
- ibungo = lumbung padi.
- loto = bakul
- hudungu = gudang.
- pahu = loteng.
- buluwa = kotak/peti.
- kado = karung.
2. Penyimpanan kebutuhan sehari-hari.
- loyangi = loyang.
- emberi= ember

- adidi= tempat air dari daun hidung.
- tania= tempat rempah-rempah.
- para lopingge= tempat piring dari bambu.
- geteli= ceret air minum

3. Wadah dalam rumah tangga.
- lemari= lemari pakaian.
- kasi= lemari makan
- bulonggo= belanga goreng.
- ombari= tempat air.
- tania= tempat rempah-rempah.

D. MAKANAN DAN MINUMAN.
1. Makanan utama  :
a. Jagung dibuat binte biluhuta.
b. Jagung dibuat ba'alobinte (nasi).
c. Jagung dibuat biloti (gonseng).
d. Padi dibuat nasi.

2. Makanan sampingan :
Ubi, ketela pohon.

3. Makanan dan minuman khusus.
- binte biluhuta dari jagung.
- minuman khusus bohito (air nira).

E. PAKAIAN DAN PERHIASAN
1. Pakaian sehari-hari
Bahan mentah dari kapan (molinggolo) dipintal menjadi benang, dan ditenun (mohewo).
Pola  : Pakaian perempuan berbentuk kebaya dan laki-laki kemeja berlengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai

oleh laki-laki maupun perempuan.

Motif : Kebaya tidak bermotif.

Kain sarung bermotif kotak-kotak atau bergaris-garis lurus dari atas kebawah dan bergaris melintang. Akan tetapi sekarang tenunan kain sarung ini sudah makin menghilang, karena pemasukan kain sarung dari Jawa dan Sulawesi Selatan makin mendesak (menguasai pasaran), sehingga penduduk pada umumnya lebih suka membeli dan memakai kain sarung buatan dari luar daerah.

2. Pakaian-pakaian upacara.

Bahannya kapas dan serat kayu (bulahu). Kapas dan serat kayu dipintal dan dianyam pada suatu alat anyaman yang disebut Pohewolalo.
Peralatannya terdiri dari -dupa (kayu penahan alat anyaman yang diikat pada pinggang si penganyam.
- huheidu, sisir dibuat dari pelepah pohon sagu untuk mengatur benang agar menjadi rapih.
- biheto, tongkat kecil yang dibuat dari pohon enau yang digunakan untuk memasukkan benang.
- utolia, semacam lidi yang dibuat dari bambu yang digunakan menggulung benang yang berfungsi sebagai jarum.
- huhuluta, bambu suling yang digunakan untuk memasukkan utolia kedalam lobang agar jalannya benang lancar.
Pakaian-pakaian upacara berfungsi untuk melihat status seseorang dalam upacara adat. Misalnya pemangku adat (bate-bate) dapat dibedakan dengan petugas keamanan, serada'a (pegawai syara') karena pakaian upacara mereka berbeda.
Pola dan motifnya berwarna-warna; Bentuk keme-

ja kurung, celana pendek sampai kebetis kaki (batik) yang disebut talola bate dipakai oleh pemangku-pemangku adat (bate-bate). Jubah putih (sandaria) dipakai oleh pemimpin agama. Jas hitam, celana hitam dipakai oleh pejabat keamanan (mayulu lokado).
Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju kurung, celana putih pakai sarung dan ikat kepala (payungu), menandakan bahwa mereka siap menerima dan menurut perintah atasan (mahiya pade waumatihinanga motubuhe tahilio lo ito Eya)

Selain pakaian-pakaian tersebut, ada perlengkapan lain yaitu keris. Keris, dipakai dalam pelantikan (upacara) yang berfungsi sebagai :

- lambang kepemimpinan.
- menunjukkan kewibawaan.
- kerelaan berkorban demi tugas/perang.
Dalam upacara perkawinan, keris dipakai oleh pengantin laki-laki sebagai lambang pemimpin rumah tangga.
  1. Pakaian dan perhiasan adat upacara perkawinan. Dilihat dari segi warna, pakaian upacara ini dapat dipakai berwarna-warna yang masing-masing warna mempunyai arti seperti : warna merah sebagai lambang kesungguhan hati, tekad yang membaja. Warna hijau muda sebagai lambang kehalusan budi, warna kuning sebagai lambang kesaktian. Pakaian adat upacara perkawinan dinamakan uradipungu yang terdiri dari :
  1. Kebaya pengantin perempuan yang dibuat dari kain satin dan diberi hiasan perak sepuhan, dipakai pada upacara akad nikah. Pakaian pengantin laki-laki semacam kemeja kurung dari bahan yang sama dengan kebaya yang disebut kimunu.
  1. Paluala, penutup kepala pengantin wanita yang dibuat dari kain satin dan diberi hiasan sunting atau biliu yang dibuat dari perak. Pada laki-laki disebut payungu, dari bahan yang sama.
  2. Kucubu, kain beledru yang diberi hiasan perak dan digantungkan pada leher pengantin wanita. Kucubu juga semacam gelang lebar yang dibuat dari perak yang dipakai pengantin wanita.
  3. Ngante-ngante atau anting-anting dari emas yang dipakai pengantin wanita.
  4. Luobo, semacam kuku buatan yang dibuat dari perak yang dipakai pengantin wanita.
  5. Kain sarung yang dipakai kedua pengantin dibuat dari kain satin seperti kebaya. Perhiasan sehari-hari sudah tidak ada yang menggunakannya.
4. Perhiasan-perhiasan upacara :
  1. Dalam adat perkawinan.
- hiasan buah-buahan, melambangkan kebahagiaan kedua pengantin.
- mulut buaya, melambangkan supaya selalu berhati-hati (waspada) yang dibuat dari bambu.
- daun kelapa muda yang sudah dikeluarkan lidinya, untuk menjauhkan angin jahat yang datang.
- keris yang dipakai pengantin laki-laki, ini memperlihatkan sebagai pemimpin rumah tangga.
  1. Dalam adat upacara penobatan.
- hiasan buah pinang (batangnya, mayangnya),
disimbolkan kejujuran, lurus hati. Hal ini ditujukan kepada pejabat yang dilantik (camat, bupati) agar berlaku jujur dalam menjalankan pemerintahan.
- hiasan tangga bambu yang dianyam, menunjukkan persatuan antara yang diperintah dan yang memerintah, selalu memelihara persatuan dengan musyawarah dan mufakat.
- hiasan berupa jenis buah-buahan melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
  1. Adat upacara naik rumah baru.
- hiasan pisang yang bertundun-tundun di depan rumah, sebagai lambang rejeki, agar tuan rumah selalu murah rejeki dalam rumah tangga.
- hiasan uang logam, menandakan murah rejeki
  1. Adat upacara gunting rambut, diberi hiasan mayang pinang sebagai lambang kesuburan (rambut dan tubuh si anak tumbuh subur).
F. TEMPAT PERLINDUGAN DAN PERUMAHAN.
1. Tempat perlindungan :
- Pondok-pondok yang dibangun di ladang, yang dibuat dari bambu berbentuk segi empat disebut wombohe. Luasnya 4 m2 sampai 9 m2. Atapnya dari daun kelapa atau daun rumbia. Wombobe di ladang bentuknya seperti rumah biasa, sedang wombohe disawah didirikan di atas tiang yang tingginya 1 m atau 1,5 m. dan tidak berdinding, karena dibuat untuk tempat mengusir burung. Pembuatannya tidak melalui upacara.
- Balai desa (bandayo). Bentuknya empat persegi panjang, yang dibuat dari bambu dan beratapkan daun rumbia atau daun kelapa. Luasanya sesuai dengan kebutuhan, misalnya ada yang 48 m2, 60 m2. Letaknya melekat diatas tanah.
2. - Laihe, rumah kecil diatas danau (ditepi). Bentuk persegi panjang dibuat dari bambu dan baratapkan rumbia. Ukuran 4 x 5 m = 20 m2. atau 5 x 5 m = 25 m2 ditambah dapurnya. Didirikan diatas air dengan tiang-tiang yang tingginya 3 m diatas tanah.
- Rumah penduduk (hale) sebagai tempat tinggal pada umumnya. Bentuknya empat persegi panjang berukuran 6 x 9 m = 54 m2 yang besar; yang kecil 4 x 5 m = 20 m2. Dibuat dari bambu dan dari kayu. Didirikan diatas tiang (rumah panggung) yang tingginya 1 m. Atapnya dari rumbia. Ruangan terdiri dari dua kamar tidur, ruangan tamu dan dapur. Dindingnya dari bambu yang dianyam, loteng dari bambu atau papan. Kalau rumah dari kayu, semua bahannya dari kayu
Dewasa ini rumah-rumah penduduk sudah dibuat dari tembok beratap seng dan meliputi 60 - 70% rumah tembok.
Sedang rumah-rumah asli seperti diatas sudah makin kurang, meliputi 30 - 40% saja. Akan tetapi di Kotamadya Gorontalo, ada bentuk-bentuk rumah asli dibuat dari tembok dan kayu/papan dan ukurannya sudah diperbesar (10 x 15 m2). Didirikan diatas tanah yang tingginya 1 m dan mempunyai dua tangga di depan Ramuannya pada umumnya dari kayu besi.

Rumah-rumah adat dewasa ini sudah tidak ada

lagi, kecuali rumah adat tempat- tempat upacara pelantikan sekarang yang disebut yiladia. Yiladia dibuat dari kayu besi, papan dari kayu besi, beratap seng. Didirikan diatas tanah yang tingginya 1 m. Ukuran luas 20 x 20 m = 400 m2. Pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu rumah ini merupakan rumah istana (rumah-rumah raja).
Untuk membangun rumah baru penduduk masih mengenal upacara-upacara adat. Upacara dipimpin oleh talenga atau panggoba. Sesudah digali tempat mendirikan rumah diberikan sajian seperti : gula merah, kelapa cukur, uang logam, diletakkan di bawah alas batu, dengan maksud agar keluarga yang bersangkutan hidup bahagia. Setelah rumah selesai dikerjakan, dipanggillah pegawai urusan agama (kasisi) untuk tidur semalam sambil berdoa. Keesokan harinya mereka menaburkan air yang sudah dibacakan doa, untuk kesempatan bagi para penghuninya. Waktu tuan rumah masuk pertama kali dalam rumah, harus memetik pisang yang sudah digantungkan diatas pintu masuk yang terdiri dari 9 tandan. Maksudnya agar tuan rumah murah dapat rezeki. Perkakas/alat rumah tangga yang pertama masuk dalam rumah ialah kukuran kelapa (lambung kekuatan rumah tangga). Kemudian barulah semua alat-alat rumah tangga dimasukkan dalam rumah. Upacara terakhir ialah diadakan pemotongan seekor kambing jantan didepan rumah baru. Darahnya dipercikan pada perkakas-perkakas rumah tangga dan kepalanya di tanamkan didepan rumah. Maksudnya agar roh - roh jahat (setan-setan) tidak mengganggu keamanan keluarga penghuni rumah.
Dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang mengerjakan rumah. Upacara ditutup dengan pembacaan doa keselamatan oleh pemangku adat (bate-bate atau syarada'a).

IV. SISTIM RELIGI DAN SISTIM PENGETAHUAN

A. SISTIM KEPERCAYAAN

Penduduk daerah Gorontalo penganut agama Islam 100%. Mereka meyakini bahwa Allah S.W lah yang menguasai dan mengatur langit & bumi, menghidupkan dan mematikan semua manusia dan mahluk hidup lainnya.

Akan tetapi walaupun begitu, mereka masih mempercayai adanya mahluk-mahluk halus yang mendiami alam raya ini.

1. Kepercayaan kepada makhluk halus (motolohuta)

Mereka percaya bahwa mahluk halus ini setan dan jin, sering mengganggu ketenteraman hidup di dunia ini. Untuk mencegah atau mengusir makhluk-makhluk halus ini dari gangguannya diadakan upacara mopo alati atau mohilihu. Dalam upacara-upacara yang dipimpin oleh ranggoba atau talenga (dukun) diberikan sajian-sajian disertai bacaan mantera-mantera.

2. Kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib (hulolalangi))

Benda-benda alam seperti angin (dupato), tulu(api), taluhu (air), huta (tanah), masing-masing mempunyai kekuatan sakti. Benda ini menurut kepercayaan penduduk, selain memberi hidup pada manusia (tanpa benda-benda ini manusia tidak dapat hidup), juga dapat mendatangkan mala petaka kepada manusia. Misalnya angin topan, kebakaran, banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi, dll., sehingga manusia tidak dapat mengatasi kekuatan-kekuatan ini yang melebihi kekuatan dan kemampuan manusia. Disamping mendatangkan malapetaka, juga dapat digunakan manusia untuk menolak bahaya seperti menyembuhkan penyakit, mengusir mahluk halus dan lain- lain. Sebagai contoh dalam menyembuhkan penyakit, dukun (talenga) memercikkan air atau meminumkan air kepada si sakit , membakar kemenyan , berjalan di gelap dengan api, meniup si sakit (angin), memberi sedekah bumi agar tidak mendapat penyakit dan lain-lain.

B. KESUSASTERAAN SUCI.

Suatu donggeng yang terkenal dikalangan penduduk yang masih dianggap suci ialah donggeng Lahilote. Sebenarnya banyak dongeng - dongeng suci semacam ini, tetapi dongeng La hilote lah yang paling di senangi dan digemari sehingga dongeng ini benar - benar masih hidup dalam masyarakat ceritanya adalah demikian :

Pada zaman dahulu kala hidup 7 orang bersaudara; Saudara yang bungsu bernama Lahilote. Badannya kecil dan pendek, sehingga menjadi ejekan kakak-kakaknya. Suatu hari Lahilote sedang mandi dalam kolam yang airnya dari mata air . Tidak jauh dari tempat itu ia mendengar suara yang ramai. Secara diam- diam dengan tidak "bersuara" mendekati tempat yang ramai itu. Dilihatnya ada 7 bidad ari dari kayangan sedang mandi dengan asyiknya.

Dari tempat persembunyiannya ia melihat sayap- sayap bidadari bergantungan ini pohon di tepi kolam. Satu diantaranya diambil oleh Lahilote dan disembunyikannya. Selesai mandi ketujuh bidadari mengambil sayapnya masing- masing dan ternyata salah seorang dari mereka kehilangan satu sayap. Keenam bidadari kemudian terbang menuju kayangan pulang ketempatnya- La hilote mendekati bidadari yang kehilangan sayap dan dengan bujukan serta rayuannya, bidadari itu dapat terhibur juga. Bidadari bersedia kawin dengan Lahilote setelah dipinangnya tetapi dengan bahwa Lahilote lebih dahulu harus dapat menimba air dalam keranjang rotan. Hal ini tentu saja tidak mungkin dikerjakan Lohilote, tetapi ia pergi juga menimbair, rupanya ia mendapat pertolongan dari seekor rotan dan menutupi celah-celah keranjang sehingga. air tidak dapat keluar.

Berhasillah Lahilote menimba air dalam keranjang dan kduanya kawan. sayap bidadari isteri Lahilote disembunyikan didalam rumahya itu diselipkan pada dinding rumah. Bertahun-tahun mereka hidup bersama tetapi tidak mempunyai anak. Bidadari rupanya sudah sangat rindu kampung halamannya. Ia berusaha mencari sayapnya dan akhirnya ditemukan. Lahilote tidak berada di rumah. Ia pergi mena ngkap ikan. Bidadari memakai sayapnya dan mencoba untuk terbang. Ternyata ia masih dapat terbang. Maka terbanglah ia menuju kayaangan kembali ke kampung yang halaman yang sudah lama dirindukannya.

Lahilote pulang ke rumahnya. isterinya sudah tidak berada di rumah lagi.

Sayap yang disembunyikan bertahun-tahun sudah hilang.Lahilote langsung mengetahui bahwa isterinya sudah terbang pulang kekayangan. Dengan rasasedih Lahilote ke luar menuju kesebuah sungai. Di tempat ini ia duduk bermuram durja memikirkan ist erinya. Tiba-tiba ia mendengar teguran yang berasal dari sebatang rotan, yang mengatakan:"Mengapa saudara bersusah hati"? Lahilote menceritakan semua sebab-sebab, mengapa ia bersusah hati. Pohon rotan bersedia menolongnya untuk menemui isterinya di kayangan, asalkan Lahilote mau menyiramkan minyak kelapa ke badan rotan. Dengan tidak berpikir panjang lagi Lahilote menyiram minyak kelapa kebadan rotan. Pohon rotan menyuruh Lahilote berpegang erat-erat pada badan rotan dan meluncurkan Lahilote bagikan peluru menuju kayangan ke tempat isterinya. Tiba di tempoat itu ia bingung na dijumpainya banyak bidadari yang berada di kayangan. Ia tidak tahu yang mana isterinya diantara bidadari-bidadari itu. Ia mencoba melihat satu demi satu, ternyata salah seorang bidadari di hinggapi oleh binatang kunang-kunang, sebagai petunjuk bahwa itulah isterinya. Benar saja dugaannya, memang dialah isterinya. Keduanya bersepakat hidup sebagai sumai isteri di kayangan dan meminta restu dari orang tua mereka. Isterinya menerangkan kepada Lahailote suaminya bahwa kehidupan di bumi berbeda dengan kehidupan di langit. Pada suatu ketika Lahilote melihat tanaman padi. Diambilnya segenggam dan dilemparkannya ke bumi. Padi itu bertumbuh di bumi yang menjadi makanan manusia bumi. Setelah bertahun mereka hidup di kayangan, Lahilote rupanya makin lanjut usianya. Pada suatu hari Lahilote sedang merebahkan badannya didekat isterinya. Tiba-tiba isterinya melihat rambut itu (uban) dan berkata kepada suaminya : "Suamiku, engkau sudah tua dan tidak bisa lagi hidup di sini". Keduanya memperlihatkan uban itu kepada orang tua bidadari. Akhirnya Lahilote ditolak ke bumi/jatuh. Tapak kakinya yang satu jatuh di desa Pohe Kecamatan Kota Selatan dan yang satu lagi jatuh di kaki gunung Bulihote (sekarang dinamakan Botu Liyodu yaang artinya Batu jejak yang terdapat di daerah Paguyaman Kabupaten Gorontalo.

C. SISTIM UPACARA.

1. Tempat upacara.

Penduduk masih beranggapan bahwa makam makam para orang sakti dahulu adalah keramat. Maam keramat tersebut dapat dijumpai di kecamatan Tapa (hubulo, pohuluto), didaerah pelabuhan Kotamadya (Ta'ilayabe), Kecamatan kotamadya Selatan (Jupanggola), di
desa Pohe (Lahilote), di kecamatan Telaga (Tualango, Mongolato, Ilotidea), Kecamatan Suwawa (Mo'oluadu) II, dan lain-lain. Makam-makam ini sebagian besar sekarang sudah di pagar dengan tembok dan sudah ditutupi dengan atap seng. Kelihatannya seperti rumah kecil atau pondok mungil, sehingga sangat menarik bagi para pengunjung dari luar daerah.
2. Saat dan waktu upacara.
Upacara pada makam-makam keramat diadakan bilamana :
  1. Mengadakan selamatan rumah baru.
  2. Mengobati orang sakit.
  3. Meminta permohonan menjadi kaya.
  4. Saat memperingati hari raya Maulid Nabi Muhammad S.A.W.
Upacara selamatan rumah baru dan peringatan Maulid Nabi Muhamad, dipimpin oleh imam atau mufti (syarada'a). Dan upacara mengobati orang sakit dan minta supaya menjadi kaya dipimpin oleh goba atau talenga. untuk a, b dan c diatas upacara diikuti oleh mereka yang berkepentingan tetapi keempat (d) diikuti oleh semua orang dalam desa.
3. Benda dan alat-alat upacara.
Dalam upacara semacam ini mereka menyajikan bahan-bahan seperti : masi putih, nasi merah, nasi kuning (walima), ketupat, telur, ayam rebus satu ekor, ikan gabus, ubi, pisang, mayang pinanga, yang semuanya disajikan untuk makanan arwah/roh. Alat-alat upacara yang disediakan adalah rebana (molombou), kitab suci Alquran, Berjanji. Akan tetapi sebelum upacara dimulai pimpinan upacara diikuti yang hadir menghamburkan bunga-bunga yang harum diatas makam (bulayo).
4. Jalannya upacara.

Pada mulanya Zikir (takhlilan) didahului oleh imam atau mufti atau telenga/panggoba (orang sakit) dan diikuti oleh semua yang hadir.
Pembacaan do'a yang diikuti oleh yang hadir atau mengucapkan " amin ".
Pembacaan buruda (berjanji) bersama-sama diikuti oleh pukulan rebana.
Pengajian Al Qur'an dan ditutup dengan do'a apa yang dikehendaki dengan kemenyan ( dupa ).
Selesai, dan sajian-sajian ditinggalkan sebagai sajian para arwah.

D. KELOMPOK KEAGAMAAN.

  1. Keluarga init sebagai kelompok dalam upacara-upacara tidak ada. Yang ada ialah keluarga-keluarga luas yang mengambil peranan dalam upacara-upacara makam keramat untuk selamatan rumah baru, menyembuhkan orang sakit, minta kekayaan kematian (takhlilan).
  2. Kesatuan hidup setempat sebagai kelompok keagamaan (Community). Kelompok ini seperti penduduk desa masih mengaktifkan upacara-upacara keagamaan seperti ucapara makan keramat pada hari raya Maulid Nabi, bila ada penyakit berjangkit (wabah). Seluruh penduduk desa mengadakan upacara mohilibu (mengusir roh) yang menyebabkan penyakit dengan mengadakan sajian dalam perahu yang dihiasi dengan daun kelapa muda. Kemudian sajian itu dibuang ke laut secara beramai-ramai.
  3. Organisasi atau aliran-aliran sebagai kelompok keagamaan. Dewasa ini aliran-aliran sabagai kelompok keagamaan di daerah Gorontalo tidak ada. Yang ada ialah organisasi-organisasi dakwah Islamiah di masjid-masjid -
yang di koordinir oleh P2A, yaitu Proyek Pembinaan Agama dari Departemen Agama.

E. SISTIM PENGETAHUAN.
1. Alam fauna.

Binatang sebagai mahluk biologis mendapat tempat tersendiri didalam kalangan kehidupan masyarakat Gorontalo. Ada jenis-jenis binatang yang tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh baik maupun pengaruh buruk/bahaya terhadap manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Seekor anjing yang menggonggong tenguh malam ,menurut kepercayaan mereka anjing itu melihat rangka manusia yang berjalan. Hal ini menandakan baahwa ada orang yang meninggal dunia di kampung mereka. Seekor burung gagak warna hijau yong bersuara pada malam hari, menandakan ada rumah terbakar di kampungnya. Seeker laba-laba yang jatuh didepan seseorang menandakan saudara/kerabat yang terdekat yang meninggal dunia. Seekor cecak yang menangis waktu seseorang meninggalkan rumah atau bepergian, orang yang bersangkutan akan mendapat kecelakaan/bahaya, apabila ia tidak berhenti sejenak.

Ada juga jenis ikan tertentu yang menurut anggapan mereka berasal dari keturunan manusia. Mlsalnya sejenis ikan payangka kecil di laut adalah berasal dari plasena. seorang ibu yang dibuang ke laut. Sehingga banyak dikalangan penduduk yang sampai kini tidak suka memakannya. Begitu pula ikan belut menurut mereka adalah berasal dari manusia. Manusia itu berpenyakit lepra, dan tidak suka/malu dilihat orang lain, sehingga pada waktu dijumpai orang, ia sedang bersandar pada sebatang pisang. Karena ia mendapat teguran dari orang yang menjumpai,nya, kemudian ia terjun ke dalam danau dan akhirnya ia menjadi ikan belut. Karena itu banyak di kalangan penduduk yang tidak suka makan ikan belut.

2. Alam flora.

Demikian pula halnya dengan tumbuh-tumbuhan mempunyai pengaruh/hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Tumbuh-tumbuhan yang rimbun, semak-semak yang rimbun menurut kepercayaan mereka adalah menjadi tempat setan-setan atau jin. Misalnya tumbuhan sejenis rumput sesapu yang rimbun menjadi tempat duduk setan, sehingga orang tidak berani memotongnya atau lewat didekatnya sebab takut mendapat sakit.

Disamping tumbuh-tumbuhan itu menjadi sarang setan, tumbuh-tumbuhan juga dapat memneri pertolongan pada manusia berupa ramu-ramuan dari jenis tanaman yang tertentu, misalnya tanaman kunyit dan jahe dapat meyembuhkan penyakit kulit seperti alergi, gatal-gatal, koreng dan lain-lain. Daun jambu dapat menyembuhkan sakit perut (mencret). Getah dari pelepah pisang batu dapat menyembuhkan luka yang baru. Masih banyak lagi jenis tanaman lain yang tak dapat disebutkan satu per satu dalam naskah ini.

3. Tubuh manusia.

Menurut kepercayaan mereka manusia yang baru dilahirkan adalah bersih atau fitrah. Asal manusia ini terdiri dari benda-benda seperti air, udara, tanah (taluhu, dupoto, huta).
Manusia dewasa yang fitrah akan menjadi teman dari air, udara dan tanah. Artinya tubuh manusia
itu tidak akan diganggu atau di celakai oleh air, udara dan tanah. Misalnya hanyut di sungai tidak akan mati. Tertimbun oleh tanah tidak akan mati (selalu selamat). Bila manusia mati dan dikuburkan, tidak akan dimakan tanah/tetap utuh sebagaimana tubuhnya waktu masih hidup. Menurut pengetahuan mereka, tubuh manusia itu berasal, dari tanah (huta) dan bila mati kembali menjadi tanah lagi (dimakan tanah), bila manusia itu tubuhnya kotor ataupun penuh dosa. Tubuh manusia bergerak karena ada roh yang menggerakkannya, tetapi bilamana tidak bergerak berarti roh sudah keluar dari tubuh (mati) dan hidup terus dialam gaib.
Bagian-bagian tubuh manusia yang dianggap penting adalah :
- rambut : guntungan rambut harus disimpan dalam tempurung kelapa, agar bilamana mati, ruhnya akan mengambilnya dengan mudah. Dengan demikian ruh tadi tidak akan berkeliaran.
- kuku : potongan kuku tangan dan kaki, harus disimpan dalam tanah, agar bilamana mati, ruhnya akan mengambilnya dengan mudah. Dengan demikian ruh tadi tidak akan berkeliaran.
- gigi : gigi yang dicabut, disimpan dalam bambu dengan anggapan tikus akan menemukan gigi itu dan akan menggantinya dengan yang baru.
- mata : hendaknya digunakan untuk melihat sesuatu yang baik dan dilarang melihat hal-hal yang buruk (mungkir), sebab dialam kubur bilamana mati, mata akan menjadi saksi untuk meringankan atau memberatkan hukuman yang diterimanya.
Demikian pula halnya dengan tangan, kaki, telinga, semua akan menjadi saksi pula seperti pada mata.

Segala alam/jagat raya ini menurut pengetahuan mereka adalah ciptaan Tuhan. Dan semuanya tidak kekal, hanya Tuhan yang kekal selama-lamanya Semuanya adalah fana, akan sirna bila Tuhan sudah menghendakinya. Artinya pada suatu ketika akan kiamat/musnah. Karena itu manusia termasuk ini alam ini diperuntukkan bagi manusia dan harus berterima kasih atas segala pemberian alam ini dengan bersyukur kepada penciptanya. Manusia diberi waktu untuk hidup hanya sementara saja. Manusia yang tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya adalah merugi. Sesuatu pekerjaan yang sudah waktunya dikerjakan, tidak boleh diundurkan sampai berlalu waktu itu. Sebab waktu tidak memilih manusia, apakah ia orang bangsawan, orang kaya, rakyat jembel, orang miskin, semuanya bila sudah waktunya mati pasti akan mati.

Waktu magrib dan subuh bagi mereka yang selalu menegakkan sembahyang, dianggap berharga karena singkat waktunya. Orang yang hendak bepergian, biasanya tidak dapat meninggalkan rumah sebelum menegakkan sembahyang. Atau yang tidak sembahyang, tidak akan keluar rumah sebelum waktu magrib berlalu. Begitu pula halnya dengan waktu subuh. Bila mereka bangun subuh sudah berlalu atau sudah siang, mereka beranggapan akan tertutup rezeki baginya. Apalagi kalau sudah didahului oleh ayam, pasti akan tidak mendapat rezeki. Tetapi bila bangun waktu subuh, berarti rezeki masih terbuka lebar bagi mereka.

V. SISTIM KEMASYARAKATAN.

A. SISTIM KEKERABATAN. 1. Kelompok-kelompok kekerabatan.
a. Keluarga batih dalam bahasa daerah disebut
ngala'a. Ayah dianggap sebagai pemimpin (khalifah) dalam keluarga, karena ia mencari nafkah, sedangkan isterinya tinggal di rumah mengurus anak-anak. Ada keluarga batih mempunyai 12 orang atau 15 orang banyaknya. Pada umumnya mereka mengawinkan anak nya umur muda. Laki-laki pada umur 16 - 17 tahun, dan anak perempuan yang sudah mendapat haid yang pertama atau umur 14 - 15 tahun sudah boleh kawin. Anak-anak selalu taat kepada orang tuanya. Dihadapan ayah dan ibunya anak-anak tidak berpangku kaki dan selalu menurut; apa yang dikatakan ibu-bapanya. Pemilihan jodoh biasa nya ditentukan batih, yang muda menghormat kepada yang tua sehingga pergaulan mereka dalam rumah tidak bebas. Keluarga batih poligini masih dikenal oleh penduduk. Artinya seorang suami mempunyai lebih dari seorang isteri. Sehingga seorang suami bisa mempunyai anak sampai 25 orang, kalau ia mempunyai tiga sampai empat isteri.

b. Keluarga luas dalam bahasa daerah disebut ungala'a
Antara keluarga-keluarga yang masih erat hubungan darah, terjadi suatu hubungan sosial yang begitu erat, didalam kalangan mereka saling bantu-membantu (mohuyula).
Bantu-membantu dalam perkawinan, kematian, sunatan, dalam suka dan duka. Apabila ada keluarga yang kebetulan kehabisan makanan, keluarga lain dapat membantunya. Misalnya kehabisan lauk-pauk dapat pergi minta kepada keluarga lain (keluarga misanan, keluarga kemenakan dan sebagainya).
Pada umumnya antara anak-anak mereka terjadi perkawinan, malahan perkawinan yang demikian sangat digemari (marriage preferences). Kepada anak-anak keluarga luas ini, orang-orang tua mereka memberitahukan siapa anggota-anggota kerabat , sehingga antara mereka saling kenal mengenal sampai generasi ketiga atau keempat, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.

Clan kecil (ngongotiumbu) sudah tidak dikenal lagi sekarang. Dahulu dalam zaman kerajaan 1can-clan ini masih dikenal. Karena pada waktu itu penduduk masih hidup dialam pelapisan sosial. Misalnya keluarga raja (olongia) hanya keturunan-keturunan merekalah yang kawin-kawin sehingga membentuk satu ngongotiumbu. Keturunan raja tidak boleh kawin dengan rakyat jelata (tuwango lipu), apalagi dengan lapisan budak (wato). Keturunan-keturunan raja ini berdiam dalam satu kompl eks ialah istana , sehingga sesamanya saling kenal.
  1. Prinsip-prinsip keturunan.

    Prinsip keturunan yang dikenal ialah prinsip bilateral atau bilateral descent. Antara pihak keluarga laki-laki dan wanita (suami isteri terjadi hubungan kerabat yang sama eratnya. Seorang anak bergaul dan berhubungan dengan anggota-anggota kerabat ayahnya dan kerabat ibunya.

    Juga seorang anak yang masih ada hubungan kerabat secara biologis, dapat memberi bantuan tenaga baik pihak keluarga ayahnya maupun ibunya, bilmana keluarga-keluarga itu menghadapi pesta perkawinan, kematian, sunatan, gunting rambut, dan lain-lain.
  2. Istilah kekerabatan.
    Pemakaian terms of adress (istilah untuk menyapa) dan terms of refrence) istilah untuk menyebut tidak ada perbedaan yang tegas pada masyarakat Gorontalo. Misalnya untuk memanggil -
langsung si anak terhadap ibunya (terms of address dengan istilah mama, terms of referencenya adalah timama. Terhadap ayahnya anak memanggil papa (terms of address) dan term of reference-nya tipapa.

Pemakaian terms of address.

mama : Mo = ibu
papa : Fa = ayah
bapu : Fa Fa = ayah-ayah, Mo Fa = ibu ayah
nene : Fa Mo = ibu ayah, Mo Mo = ibu-ibu.
papatua : Fa El Br = kaka ayah yang laki-laki.
Mo El Br = kaka laki-laki ibu.
mamatua : Mo El Si = kakak perempuan ibu
Fa EL Si = kakak perempuan ayah.
papa ade : Fa Yo Br = adik laki-laki ayah.
Mo Yo Br = adik laki-laki ibu.
Fa Yo Si = adik perempuan ayah.
kaka : El Br = kakak laki-laki
El Si Hu = suami kakak perempuan.
tata : El Si = kakak perempuan.
El Br Wi = isteri kakak laki-laki.
nou : Da = anak perempuan
uti : So = anak laki-laki.

Pemakaian terms of reference.

Pemakaian terms of address dan terms of reference dalam percakapan sehari-hari, perbedaannya hanya terletak pada pemakaian sehari-hari, perbedaannya hanya terletak pada pemakaian kata depan "ti". Misalkan bapu menjadi tibapu, timama menjadi timama, tata menjadi titata, dan sebagainya.

Istilah untuk menyebut saudara sepupu dari pihak ayah maupun pihak ibu adalah sama dengan
tilah untuk menyebut saudara sekandung (generation type), yaitu :
Tata=Fa Si Da, Fa Br Da, Mo Si, Da, Mo Br Da.
Kaka=Fa Si So, Fa Br So, Mo Si So, Mo Br Sc.
4. Sopan santun pergaulan kekerabatan -
( Kinship behaviour ).
Seorang anggota kerabat pada masyarakat Gorontalo, berhubungan dan bergaul dengan sesama anggota kerabatnya sesuai dengan adat sopan santun yang berlaku. Misalnya Si A (Ego) bergaul dengan anak-anaknya di rumah tidak bebas. Si A dan anaknya tidak ada senda gurau, anak-anak berlaku taat, sopan terhadap ayahnya. Menatap roman muka ayahnya saja anak tidak berani, apalagi duduk bersenda gurau bersama-sama di rumah jarang dijumpai. Si A terhadap isterinya di rumah tidak begitu intim kelihatan, tidak ada senda gurau antara keduanya secara bebas, rupanya saling menghormati, sehingga si isteri tidak pernah memanggil nama suaminya secara langsung. Si A terhadap ibu dan ayah mertuanya bersikap sungkan (amat menghormat), sehingga melihat roman muka mereka si A merasa segan dan nanti mertuanya menegur barulah ia menjawab. Dengan demikian pergaulan antara mertua dan anak mantunya tidak bebas.
Si A terhadap paman-pamannya baik pihak ayahnya maupun pihak ibunya, ia bersikap hormat menghormati ayah/ibunya sendiri. Demikian ia terhadap bibi-bibinya kedua belah pihak saya terhadap paman-pamannya.
Terhadap kakeknya dan neneknya baik laki maupun pihak perempuan, Si A malahan lebih bebas dan akrab. Karena rupanya kakek dan neneknya memperlihatkan secara nyata kasih sayangnya kepada cucunya. Sehingga cucunya tidak segan-segan bersifat manja, minta ini, minta itu kepada kakek/neneknya
Terhadap saudara-saudara sepupunya si A ber-
sikap lebih bebas bergaul daripada saudara sekandung dan lebih intim (joking relationship). Lain dengan terhadap ipar-iparnya, antara mereka saling merasa sungkan, sehingga tidak bebas bergaul. Suasana pergaulan ini sama dengan terhadap saudara-saudaranya sekandung.

B. DAUR HIDUP.

1. Adat dan upacara kelahiran.
Menurut kepercayaan masyarakat, keselamatan seorang ibu waktu melahirkan adalah tergantung kepada aturan-aturan dan upacara adat yang berlaku terhadap si ibu.

Aturan-aturan yang harus dipatuhi bukan saja berlaku pada si ibu yang mengandung, tetapi juga berlaku bagi si suami.

Setiap malam Jumat Ibu yang mengandung bersama suaminya dibacakan doa dengan membakar kemenyan untuk mengusir roh-roh jahat oleh seorang modin (lebe). Apabila kandungan genap berumur tujuh bulan diadakanlah selamatan (melontalo) yaitu upacara meraba perut. Dalam upacara ini disajikan nasi kuning ayam, telur, pisang, nasi merah dan nasi putih. Mereka yang berhak memakan sajian ini ialah:

  1. Tamongadi salawati, yakni orang yang membaca doa.
  2. Tahulango, bidan kampung.
  3. Tapodi huliyohuu, anak perempuan yang memegang lutut si ibu yang mengandung.
  4. Tapongululaliyo, anak perempuan yang pahanya dipakai sebagai bantal.
  5. Tapolontoliyo, anak perempuan yang meraba perut (kandungan).
  6. Kedua suami isteri yang bersangkutan.
Dalam upacara ini perut/kandungan disapu
an minyak harum (jinula mona) dan diikat dengan daun tiladu (daun palem). Ikatan perut si isteri ini diputuskan oleh suaminya dengan sebilah keris, maksudnya agar tidak sulit melahirkan. Pada saat kelahiran, bidan kampung (tahulango) lah yang merawat si ibu dan bayi yang dilahirkan. Bidanlah yang memotong tali pusar, membersihkan ari-ari, dan menanamkannya dipinggir rumah. Menurut kepercayaan, bila menanamnya tidak jauh dalam tanah, si bayi nanti akan menangis. Begitu si bayi dibersihkan, pada kedua telinganya diazankan dan diqamatkan oleh ayahnya. Apabila bayi sudah berumur dua minggu diadakan-lah upacara mohuntingo (gunting rambut) Dalam upacara ini seekor kambing jantan yang tidak bercacat dikorbankan. Pada waktu kambing itu hendak dipotong, si bayi secara resmi disebutkan namanya. Pengguntingan rambut didahului oleh pembacaan doa secara bersama-sama dan rambut si bayi digunting/disimpan dalam buah kelapa muda yang sudah dilobangi dan digantungkan di samping rumah.
2. Adat dan upacara sebelum dewasa.

Anak laki-laki umumnya dikhitamkan (molu na) sebelum dewasa, sekitar umur 10 dan 12 tahun. Tiga hari sebelum disunat si anak dilarang keluar rumah. Pada pagi hari jam 06.00 si anak diberi pakaian adat, pakaian hias seperti pengantin (pakaian kebesaran raja-raja dahulu). Salah seoorang syarada'a membeat menuntun membaca/mengucapkan syahadat kepada si anak). Selesai dibeat dilakukanlah penyunatan oleh tamolunawa (penyunat). Luka yang disunat diberi obat batok kelapa dikerat, getah dan daun jarak.

Para kerabat melanjutkan acara pembacaan buruda

beramai-ramai diikuti oleh tepukan rebana sampai jam 10.00 pagi. Pada sore hari jam 16.00 dilanjutkan lagi secara ini sampai malam hari.

Bilamana luka yang disunat sudah sembuh, si anak dimandikan melalui upacara (mopolihu lopali). Para kerabat beramai-ramai pula membawanya kerumah sesudah mandi. Sejak saat itu si anak sudah menjadi seorang Islam dengan menjalankan perintah agama.

3. Adat pergaulan muda-mudi.

Pada umumnya pergaulan antara muda-mudi dalam masyarakat tidak bebas seperti apa yang dijumpai di kota-kota. Muda-mudi yang masih ada ikatan darah seperti saudara sepupu pertama atau kedua oleh bergaul, boleh ke tempat-tempat ada keramaian, boleh bercakap-cakap berdua dua, boleh bergurau dan sebagainya karena dianggap mukrimnya (ikatan hubungan darah), Tetapi kalau sudah di luar mukrimnya, tidak bebas lagi bergaul. Anak anak gadis dan wanita-wanita yang sudah kawin,apa bila keluar rumah masih memakai kerundung (tutup muka, kepala, dan badan) sampai melampaui lutut Maksudnya agar tidak diperhatikan orang laki-laki yang bukan mukrimnya yang sama sekali merupakanpantangan adat. Dalam pesta perkawinan, sunatan, kematian dan khitanan, kaum wanita dan muda-mudi ikut serta membantu. Pada kesempatan ini, muda-mudi diperbolehkan bertemu.

Di tempat semacem ini, terutama di kalangan anak-anak muda merupakan kesempatan untuk memilih jodonya. Di kalangan orang tua pemuda, kesempatan dapat dipakai untuk melihat lihat gadis cocok dengan anak laki-lakinya. Dengan demikian adat kebiasaan tidak mengizinkan/membolehkan muda mudi berpacaran saling mencurahkan kasih sayang secara terbuka seperti muda-mudi zaman se-

karang. Oleh karena itu, biasanya perjodohan hanya ditentukan oleh orang tua.

Pergaulan muda-mudi di Kotamadya Gorontalo, Telaga, Limboto, Tapa, dan Bulila dalam kenyataannya sekarang sudah tidak terikat lagi dengan adat.

4. Adat dan upacara perlawinan.

Menurut adat yang berlaku, sebelum kedua muda-mudi melangsungkan upacara perkawinan biasanya harus melalui tahap-tahap sebagai berikut :

  1. Keluarga si pemuda mengadakan penyelidikan dengan jalan meninjau (mobilohe) secara tidak diketahui oleh keluarga gadis atau gadis itu sendiri. Hal ini memang sukar diketahui oleh si gadis dan orang tuanya, sebab pada umumnya hubungan kerabat antara mereka masih dekat,sehingga saling kunjung mengunjungi antara kerabat adalah hal yang biasa dilakukan. Yang ditinjau adalah mengenai cara berdandan (berpakaian) bersih, rambut terurai dan disisir rapih), rumahnya dalam keadaan bersih (dalam rumah, pekarangan), si gadis sedang membantu orang tua atau bermalas-malas, dan sebagainya. (Monografi Daerah Sultara, 1972; hal.172).
  2. Pihak keluarga si pemuda mengutus seorang perantara untuk melaksanakan peminangan (motolobalango), dengan mengucapkan bahasa sindiran yang bunyinya: "Wonu ito tahu-tahu intani deami yatiya mei jangge mayi Wonu ito woluwo opolohungo de amiyatia ta momuhuto; Wonu woliwo burungi potalinto de ami yatiya tamotali mayi" artinya : "Apabila tuan rumah menyimpan sebutir intan izinkanlah kami membuat tempatnya ; andai kata bunga yang tertanam di halaman rumah tuan, baiklah kami yang meneliharanya ; kalau tuan berkenan menjual seekor burung, izinkanlah ka-
mi akan membelinya".

Pihak orang tua si gadis menjawabnya :
"Donggo mo o'otawa woloungala'a; dabo donggo to ombongo walao ta dulota ; yilumuwalayi lou mobongo ta datata". Artinya : "Kami hendak memberitahukan dengan seluruh keluarga bahwa waktu anak masih ada dalam kandungan adakan anak ibu-bapaknya, dan setelah ia lahir menjadilah ia anak seluruh kerabat".
Seminggu kemudian setelah pihak keluarga, gadis selesai mengadakan pemusyawaratan, datanglah perantara (telangkai) untuk mengecek pembicaraan dengan keluarga si gadis (motua tato upilo o'otawa), Kalau kerabat si gadis hadir dalam pertemuan ini berarti peminangan dapat dilanjutkan. Sebuah bingkisan dan sirih pinang diserahkan kepada keluarga si gadis. Mas kawin ({{u|tonelo) ditetapkan pula dan kadang-kadang diikuti permintaan akan bulinggodu dan ilato (musik dan potret) dalam pesta.

c. Sehari sebelum upacara perkawinan yang telah ditentukan, mas kawin (tonelo) diserahkan kepada keluarga si gadis, yang diisi dalam kola-kola (usungan berbentuk perahu yang panjangnya 25 cm). Isinya berupa uang tonelo, sirih pinang, tembakau, dan buah-buahan. Malam harinya diadakan kunjungan si pemuda ke rumah calon isterinya bersama-sama dengan pemuda-pemuda yang sebaya, yang disebut mepotilantohu atau molilo huwali (meninjau kamar). Dalam kunjungan ini biasanya diadakan upacara singkat dengan pertunjukan tarian saronde atau molapi saronde (melempar selendang). Maksud kunjungan ini untuk memperlihatkan kepada keluarga si gadis, bahwa kedua calon mempelai siap mengayuhkan bahtera rumah tangga.
Keesokan harinya tibalah upacara perkawinan yang dinanti-nantikan. Tepat pukul 08.00 pagi pengantin laki-laki diarak menuju rumah pengantin perempuan, setelah ada pemberitahuan lebih dahulu. Rombongan pengantin ini dikawal oleh pengaku-pengaku adat dan diiringi dengan tepukan gendereng/rebana bersama lagu-lagu tinilo (nyanyian berisi nasihat dan kegembiraan). Tiba di rumah pengantin perempuan, pengantin laki-laki mencuci kakinya dan membayar uang adat (wulo lo oato). Mereka di terima keluarga penganten perempuan, dipersilahkan duduk dan dihidangkan sirih pinang. Di bawah pimpinan imam, izam qabul diadakan. Kemudian pengaku adat (bate) sambil bersyair (tuja'i) bersama pengantin laki-laki menjemput mempelai perempuan setelah membayar uang adat (bunggalo pintu). Mempelai perempuan keluar dari kamar diiringi oleh pengiringnya dan diusung untuk duduk di atas kursi disusul oleh pengantin laki-laki dan didampingi oleh wakil orang tua kedua belah pihak. Oleh imam dibacakan doa selamat dan bate menyampaikan fatwa yang disebut momalebohu.

Fatwa yang diberikan adalah berupa sanjak diantaranya :

Mbu'i poo tuwoto = Putriku ingatlah senantiasa.
Wawu poo limomoto = Dan berteguh hati
Wonu motitiwoyoto = Kalau merendah.
Totudu lowolipopo = Lebih terang dari cahaya kunang-kunang.
Toladenga lipapamu = Jaga nama baik bapakmu.
Bangga biye limamamu = Dan juga ibumu
Wonu momiyobiahu = Usahakan kebaikan.
Momungo lomiyahu = Agar kelak berbuah baik
Umopiyo molamahu = Dalam bentuk kebahagiaan.

Sementara memberi nasihat, bate tersebut menghamburkan beras kuning.

Selesai upacara di rumah perempuan, kedua mempe-
lai diarak ke rumah pengantin laki-laki untuk pemasangan cincin kawin oleh kerabat laki-laki dan kemudian diarak lagi ke rumah pengantin perempuan. Upacara mengarak pengantin ini disebut upacara modelo. Dengan demikian selesailah upacara perkawinan dan suami isteri tinggal bersama orang tua si perempuan sebelum mereka membangun rumah baru.
Pada masyarakat Gorontalo perkawinan yang sangat digemari ialah perkawinan yang terjadi di kalangan kerabat yang terdekat. Motif dari pada perkawinan yang demikian tiada lain agar harta benda di kalangan kerabat (saudara misan) tidak akan jatuh ditangan kerabat yang lain.
Dalam upacara perkawinan ada suatu upacara pemberian mas kawin (tonelo) dari pihak laki-laki kepada pihak wanita.
Pemberian ini mempunyai beberapa motif. Pertama sebagai pengikat hubungan kekerabatan. Karena menurut nilai budaya mereka seseorang senantiasa memelihara ikatan hubungan kerabat adalah suatu tingkah laku yang sangat terpuji.
Motif yang kedua, adalah merupakan pemindahan hak dan kewajiban dari tangan keluarga si gadis kepada calon suaminya. Artinya si gadis sudah menjadi hak si suami dan orang tua si gadis sudah melepaskan tanggung jawabnya kepada calon menantunya.
Sesudah mereka kawin dan mempunyai anak-anak para kaum ibu/isteri-isteri pada umumnya hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Isteri-isteri tidak boleh mencari nafkah seperti suami. Hal ini mempunyai motif bahwa menurut nilai budaya masyarakat Gorontalo, seorang isteri yang pandai mengurus rumah tangga, mendidik anak - anak tidak meninggalkan rumah tanpa izin suami atau tidak mencari nafkah, merupakan tingkah laku perbuatan yang terpuji sebagai warisan leluhurnya.

5. Adat dan upacara kematian.

Apabila ada salah seorang warga masyarakat yang meninggal dunia (ilopatoya), semua kerabat datang berkumpul bahkan sebahagian besar warga suatu desa datang kerumah kedukaan dengan tidak memandang hubungan kerabat.
Mereka datang memberi bantuan baik berupa tenaga, pikiran dan bantuan materiil seperti uang, beras ayam, kelapa, kain putih, dll. Mereka berpakaian serba putih sebagai tanda ikut berduka.
Menurut adat bila peristiwa kematian ini terjadi pada hari Selasa. Hendaknya si mayat di istirahatkan semalam di rumah, dengan mengadakan pengajian Al Quran oleh para kerabat. Keesokan harinya sebelum simayat di usung ke makam, dimandikan terlebih dahulu (mopodungga lo talahu) di bawah pimpinan imam. Kemudian si mayat di bungkus dengan kain putih (taputo), dan disembahyahkan secara jama'ah atau bersama-sama.
Usungan keranda sudah disiapkan dan diberi hiasan sebagai tempat meletakkan si mayat. Sebelum mayat diberangkatkan ke perkuburan di depan pintu diberi seorang anggota kerabat memecahkan piring porselen. Maksudnya segala yang sial dan kesusahan yang menimpa keluarga sudah berakhir. Pada waktu mayat hendak dimasukkan ke liang lahat pada kedua telinganya dibacakan azan dan qamat, sebagaimana waktu di lahirkan.
Malam harinya di rumah berduka diadakan pembacaan doa (tahlilan) disertai jamuan makan. Pembacaan doa tahlil (mongaruwa), disamping bermaksud mendoakan yang meninggal, tapi juga memberi makan kepadanya. Upacara semacam ini diadakan lagi pada hari ketiga (otolohuji), hari ke lima (ulimohuji), hari ke tujuh (upituhuji) dan seterusnya sampai dengan hari ke empat puluh (wapato pulu huji). Setiap hidangan disaji-
kan makanan yang digemari oleh almarhum/almarhumah pada waktu ia masih hidup. Karena menurut kepercayaan arwahnya ikut hadir bersama-sama dengan orang-orang yang selamatan pada saat itu.
Upacara terakhir dari pada adat kematian ini, ialah dengan adanya pemasangan batu nisan setelah 40 hari meninggal. Batu nisan yang hendak dipasang dihiasi dengan bunga-bungaan dan diiringi dengan syair (tinilo) oleh orang tua-tua sampai batu itu selesai dipasang. Upacara dilanjutkan di rumah dengan acara makan dan pemberian bakekati (kotak kuwe) yang berisi kue dan uang ringgit kepada para kerabat atau kepada mereka yang hadir dalam upacara itu.
C. SISTIM KESATUAN HIDUP SETEMPAT.
1. Bentuk kesatuan hidup setempat.
Pada mulanya sekelompok kerabat yang disebut ungala'a/ilato (keluarga luas), menempati suatu wilayah tempat tinggal yaitu ambua. Makin lama ambua ini makin luas karena sudah merupakan tempat tinggal dari gabungan-gabungan ungala'a/ilato, sehingga akhirnya terjadilah satu desa disebut linula.
Linula atau desa dewasa ini didaerah Gorontalo ada yang letaknya mengelompok padat dan ada yang masih terpencar, tetapi desa-desa ini pada umumnya terletak menghadap jalan lurus dan dibelakang desa terbentang ladang dan sawah. Antara anggota-anggota ungala'a dalam desa itu sudah terjadi kawin mawin, sehingga dapat dikatakan warga linula/desa saling kenal mengenal dan pergaulan mereka sangat erat. Gotong royong dalam hal perkawinan, molontalo (tingkep), kelahiran, sunatan, momuhuto (haid), kematian dan hari-hari raya Is-
lam, masih tebal (dalam frekwensi yang tinggi). Disamping suasana kehidupan yang intim, pergaulan erat, gotong royong yang masih tebal, tidak jarang juga terjadi pertengkaran, konflik mengenai soal kenakalan anak-anak.
Desa-desa (linula) yang penduduknya mengelompok padat ialah di kecamatan Telaga, kecamatan kota Utara, Barat dan kecamatan kota Selatan. Letak desa-desa sudah sambung-menyambung sehingga batas-batasnya sebagai kesatuan-kesatuan hidup setempat (community) sudah tidak jelas lagi. Kecuali papan-papan nama yang dipancangkan dengan tulisan nama desa itulah yang menjadi batas. Dalam rangka pembangunan masyarakat desa, antara desa-desa terjadi persaingan dalam membangun desanya. Masing-masing desa mempertahankan keindahan desanya, tingkat kemajuannya, masing-masing hendak merebut desa teladan atau desa swasembada.
2. Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat.

Sebagai kepala linula (desa) ialah Tauda'a atau istilah yang populer dimasa pembangunan sekarang disebut ayahanda. Tauda'a dibantu oleh surat menyurat, pengumuman-pengumuman, pelakat-pelakat, instruksi-instruksi, keputusan-keputusan, dan lain-lain.

Linula dibagi atas daerah/wilayah-wilayah yang lebih kecil seperti wilayah pulaihe yang dikepalai oleh dapulu (kepala jaga), Pembantu-pembantunya ialah hansip-hasip yang dikoordinir oleh mayulu lo kampungu. Sedangkan dapulu sebagai kepala-kepala linula dikoordinir oleh tauwa lota hemope amani (koordinator dapulu). Orang terakhir inilah yang merupakan pembantu utama tauda'a (ayahanda) dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Masing-masing wilayah pulaihe mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dan bertanggung jawab kepada tauda'a. Kalau mereka ada inisiatif
untuk kerja bakti memperbaiki jalan misalnya,mereka ada inisiatif untuk kerja bakti memperbaiki jalan misalnya, mereka melaporkan kepada koordinator dapulu dan kemudian menyampaikan kepada tauda'a. Kalau timbul perkara-perkara pidana atau perdata dikalangan warga pulaihe, dapulu dibantu hansip-hansip dapat menyelesaikannya. Bila tidak dapat diselesaikan, dilanjutkan kepada tauda'a.
Apabila ada instruksi-instruksi, pengumuman-pengumuman, pengarahan tenaga bagi seluruh linula, tauda'a-tauda'a menyampaikannya kepada dapulu-dapulu, dibantu oleh koordinator dapulu dan meneruskannya kepada warga linula.
3. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat.
Dalam kehidupan sehari-hari warga linula (kembungu) , saling kunjung mengunjungi karena mereka sebenarnya sudah merupakan gabungan keluarga keluarga luas (ungala'a). Sejak dahulu didalam kalangan ungala'a-ungala'a sudah terjadi kawin mawin sehingga terjadi integrasi biologis dan integrasi sosial dikalangan warganya. Saling adanya interaksi diantara warganya dapati dilihat dalam upacara-upacara seperti perkawinan molontalo (tingkep), kelahiran, sunatan, kematian dan terutama dalam upacara-upacara hari-hari raya Islam. Setiap linula (kambungu) mempunyai mesjid sendiri bahkan pada umumnya mempunyai dua sampai tiga mesjid atau mushalla. Disamping saling mengunjungi dan berjabatan tangan sebagai tanda slaing memanfaatkan di rumah-rumah, mesjid itulah sebagai pusat pertemuan untuk saling meminta maaf "minal aidin walfaizin" (pada hari raya idulfitri), pada hari raya maulid, Idul adha Asyura, israk-mikraj dan setiap sembahyang hari Jum'at.
D. STRATIFIKASI SOSIAL.
  1. Dasar-dasar stratifikasi sosial pada zaman dahulu (zaman kerajaan-kerajaan Limo lo pahala'a) berdasarkan keturunan (kasta-kasta), yaitu :
  1. Olongia (raja-raja dan keturunannya).
  2. Wali-wali (pejabat-pejabat istana atau pembesar-pembesar istana yang diangkat oleh raja dan keturunannya.
  3. Tuangolipu (rakyat atau penduduk kerajaan).
  4. Mato (budak, pelayan-pelayan istana/raja dan keturunannya).
Pelapisan sosial tersebut makin lama makin hilang dalam kenyataan kehidupan, terutama setelah agama Islam dianut oleh seluruh penduduk daerah Gorontalo pada abad ke 16. Lapisan yang pertama-tama menganut agama Islam ialah raja-raja dan bangsawan-bangsawan. Kemudian lapisan budak dan rakyat biasa. Walaupun ajaran Islam telah menghapuskan sistim pelapisan sosial ini, akan tetapi dewasa ini masing-masing keturunan dari empat macam lapisan, masih mengetahui asal-usul keturunannya. Karena itu di pergaulan sosial keturunan-keturunan lapisan rendah (tuang oli pu, wato), masih merasa rendah diri dan bersikap hormat kepada keturunan-keturunan lapisan tinggi (Olongia, wali-wali). Sebaliknya keturunan lapisan tinggi ini masih merasa superior dan memandang rendah kepada mereka lapisan tuang olipu dan wato .
Akan tetapi dalam jabatan-jabatan, status dan peranan, tidak ada perbedaannya lagi dalam kehidupan masyarakat sekarang. Yang masih nampak ialah pandangan dari keturunan-keturunan lapisan tinggi mengenai nyanyian-nyanyian, tari-tarian, yang hanya dilakukan oleh mereka.
Karena tarian yang dimaksud menjadi milik mereka sejak dahulu dan adalah terlarang menurut
adat dilakukan oleh lapisan rendah. Tari-tarian itu misalnya tidada'a atau tidilo-tonggalo dan tidilo palo-palo. Akan tetapi dikalangan mereka sudah banyak juga orang yang sudah luas pandangannya, beranggapan bahwa tarian-tarian tersebut sudah menjadi milik semua lapisan (miliki rakyat), karena sekarang semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan dan semua apa yang ada di atas bumi ini, adalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, kini secara berangsur-angsur tari-tarian tersebut sudah dipanggungkan dan dilakukan oleh lapisan tuangolipu dan wato.
2. Perubahan-perubahan dalam stratifikasi sosial.
Yang pertama-tama merubah sistim pelapisan pada masyarakat Gorontalo, ialah dengan dianutnya agama Islam oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama lapisan atas raja-raja dan bangsawan. Raja Amaye pada abad 16 adalah pemeluk Islam yang pertama menghapuskan adat istiadat yang bersifat takyul yang bertentangan dengan ajaran agama Islam seperti kepercayaan kepada roh-roh, makhluk-makhluk gaib dan menghapuskan perbudakan, kasta-kasta, sehingga berangsur-angsur pelapisan sosial itu mengalami perobahan.
Dengan pengaruh Islam, rakyat biasa (lapisan tuangolipu), mempunyai wakil-wakil dalam bidang pemerintah yang diputuskan dengan musyawarah dan mufakat dalam "Bantayo Popoboide" bangsal musyawarah. Yang mewakili rakyat biasa dalam musyawarah ini ialah golongan tilotiyamo (golongan ibu bapa) dan golongan tiyambu (golongan kakek-nenek). Golongan inilah yang melaksanakan peraturan sebagai hasil musyawarah, menjalankan keputusan dan menjaga pelaksanaan adat istiadat, yang disesuaikan dengan fatwa orang tua-tua yaitu " Mohuyula tokaraja " tolong-menolong dalam setiap urusan pekerjaan ).
Dengan sistim pemerintahan yang sedemikian, merobah pula sistim pelapisan sosial yang ada, karena lapisan tuangolipu sudah diakui hak-hak azasinya dan tidak dianggap lagi lapisan rendah.
Pada waktu pemerintah jajahan Belanda menguasai daerah Gorontalo (abad 18 - 19 dan abad ke 20), kerajaan-kerajaan dihapuskan dan sistim pemerintahan dirobah oleh Belanda. Dengan perobahan sistim pemerintahan ini, pemerintah Belanda membagi daerah kerajaan-kerajaan menjadi dua daerah kejoguguan (daerah tingkat II sekarang) yang dikepalai oleh seorang Residen dan mengangkat seorang pejabat pribumi sebagai jogugu (Huhuhu). Daerah kejoguguan dibagi lagi atas daerah-daerah distrik dan disini ditempatkan seorang Mayoor sedangkan pejabat pribumi ialah Marsaoleh. Daerah distrik dibagi-bagi atas daerah onder distrik yang di kepalai Walaapulu. Dan daerah Onderdistrik dibagi-bagi lagi atas desa-desa yang dikepalai tauda'a-tauda'a (beslit Gubernur Jenderal 17 April 1889 staatsblad No.94). Demikianlah jogugu, marosaoleh, walaupulu dan tauda'a-tauda'a merupakan lapisan dalam masyarakat sebagai pejabat-pejabat, terutama jogugu dan marsaoleh adalah lapisan bangsawan baru yang sangat berkuasa pada waktu itu sehingga disegani dan dihormati masyarakat. Hal ini menyebabkan adanya perobahan sistim pelapisan sosial.
Pada zaman kemerdekaan, dengan terbukanya sekolah-sekolah baik sekolah rendah, menengah, dan perguruan tinggi, maka golongan-golongan terpelajar inilah yang merobah sistim pelapisan sosial yang ada, bahkan merekalah sebenarnya yang menghilangkan sama sekali sistim pelapisan sosial yang berdasarkan keturunan (kasta-kasta). Akan tetapi dalam pergaulan sehari-hari masih nampak rasa segan, rasa hormat kepada orang-orang keturunan raja, bangsawan dan pejabat-pejabat tinggi sekarang. Begitupun halnya dengan mereka yang terpelajar,
mereka yang punya harta (kaya) dianggap dalam pergaulan sehari-hari sebagai orang-orang terhormat. Dengan demikian munculnya golongan orang-orang terpelajar yang menepati berbagai lembaga, pejabat pejabat tinggi pemerintahan, orang-orang kaya, semuanya ini turut merobah sistim pelapisan sosial lama dan yang ada sekarang ialah pelapisan sosial yang tak resmi.

VI. UNGKAPAN-UNGKAPAN.

A. PEPATAH-PEPATAH.

1. Pepatah-pepatah yang berhubungan dengan kepercayaan. Pepatah-pepatah lama sebelum masuk nya Islam sudah tidak ada lagi yang berhubungan dengan kepercayaan. Yang ada ialah pepetah-pepatah yang berhubungan dengan agama ini, bahwa - seseorang yang tidak menegakkan sembahyang lima waktu sehari semalam dan tidak melakukan puasa pada bulan Ramadhan, akan mengalami suatu kehidupan yang gelap/suram di dunia dan akhirat. Sebaliknya menurut kepercayaan penduduk Gorontalo, mereka yang menegakkan sembahyang (sholat), akan selalu dekat kepada agama dan di akhirat terutama di alam kubur, amal baiknya ( sembahyangnya, tingkah laku perbuatannya) akan menerangi atau menyelamatkannya di alam kubur (alam baqa). Pepatah-pepatah itu diantaranya :

Uti potabiya
dila obuliya agama
potabiya popuasa
dodunia dilabaqa
poopatata windua
buta molaodutua
windua poopatata
huta moobalata

Artinya :

Anak sembahyanglah
supaya agama tidak terlepas
sembahyang dan berpuasalah
di dunia tidak kekal
carilah amal di dunia
untuk bekal di akhirat
agar mendapat keselamatan di akhirat
carilah amal baik di dunia.

2. Pepatah-pepatah yang berhubungan 'dengan upacara adat.

a.Upacara adat penobatan.
Upacara ini dahulu dilakukan pada waktu melantik seorang raja yang baik tahta kerajaan. Akan tetapi sekarang bukan lagi raja yang dilantik menurut adat, melainkan Bupati dan Camat. Hanya pelaksanaan upacara penobatannya sama dengan dahulu. Tempat upacara ialah di Yiladya (sebuah gedung yang khusus dibangun untuk tempat upacara pelantikan pejabat - pejabat tinggi seperti bupati, camat). Biasanya ungkapan-ungkapan yang diucapkan dalam upacara adat penobatan seperti ini ialah :

Tojanji omalua, lotatinggayi omodunga
Iya iyati laluma, wonu depuhe lilunga
Mootimu moopunga, tojanji pilongalutu
Wonu tololumuluto alolo eluto
Opipiyo maloluto, mamoditu odebututo
Janji' pilongulotio, wonu talolu moliyo
Alo lo eluto, moluluto opipiyo
Ode tabodidio.

Artinya :

Kapan ada perjanjian,
Yang bersama-sama oleh yang bersahabat
Seperti tak ada gunanya
Kalau disembunyikan

Mencelakakan dan menjatuhkan
Perjanjian yang ditulis
Kalau ditelan dengan sembrono
Dimakan oleh pisau belati
Yang bagus itu hilang,
Mencair seperti timah.
Perjanjian yang ditulis,
Kalau disia-siakan, masih ingat akan dimakan pisau sendiri
Yang baik itu hilang
Seperti tidak melekat.

b. Ungkapan dalam upacara adat perkawinan.
Dalam upacara perkawinan, kedua mempelai yang sudah duduk bersandig menerima nasihat-nasihat dari pemangku adat disebut bate. (J. Amali, 1970, hal. 51). Salah satu ungkapan yang berupa nasihat ialah :

Mbu'i poo tuwoto = Putriku ingatlah senantiasa.
Wawu poo limomoto = Dan berteguh hati.
Wonu motitiwoyoto = Kalau meredahkan diri.
Todudu lowolipopo = Lebih terang dari cahaya kunang-kunang.
Toladengan lipapamu = Jaga nama baik bapamu.
Bangga liye limamamu = Dan juga ibumu.
Wonu Momiyobiahu = Usahakan kebaikan.
Momungo lomiyahu = Agar kelak berbuah baik.
Umopiyo molamahu = Dalam bentuk kebahagiaan.

c. Ungkapan dalam upacara adat kematian.
Bilamana memandikan mayat, biasanya digunakan semacam ungkapan seperti :

Bilohi tadadata 3 x

Tiya talahu, lotho maka mapomata

Artinya : Perhatikan orang banyak 3 x
Air ini dari Mekka, sekarang akan disiramkan !
Maksudnya air dari Mekka, adalah menujukkan air itu suci dan akan mensucikan si mayat, agar bersih dari pada dosa. Upacara memandikan mayat disebuat upacara mopodungga lotaluhu.

3. Pepatah-pepatah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari, yang diutamakan ialah adat kesopanan, agar kerukunan hidup bermasyarakat senantiasa dapat diwujudkan.
Adat kesopanan/sopan santun itu dilukiskan berupa ungkapan-ungkapan seperti :
a. Totala lambango
b. Totala bayalo
o. Totala luntalo
d. Totala lumadu
e. Totala Butolo
f. Totala huta-hutango

Maksudnya :

ad. a. Suatu kesalahan yang melampui batas, seperti masuk pekarangan orang lain tanpa izin, masuk dalam kamar seorang gadis (moolato).
ad. b. Suatu perbuatan bersifat menghina, memalukan, memaki di depan orang banyak.
ad. c. Suatu ucapan yang mempersamakan dengan seekor binatang (seperti : Anjing kamu! Babi Kamu! Sapi angkhu!).
ad. d. Suatu pelanggaran kehormatan, pekerti, nama baik oran lain, seperti memburuk-burukan, menceriterakan aibnya orang lain, menfitnah dan lain-lain.
ad. e. Suatu perbuatan seorang pemimpin yang melanggar adat sopan santun, seperti kepala desa atau camat yang tidak mengucapkan salam atau tidak membalas salamnya orang lain (molubo).
ad. f. Menceriterakan rahasia seseorang kepada orang lain.
B. SIMBOL-SIMBOL
  1. Simbol yang berhubungan dengan kepercayaan dapat dilihat dalam adat kematian. Bilamana ada upacara gunting rambut berdekatan dengan rumah kedukaan, maka mereka yang mengadakan gunting rambut membawa uang logam dalam tempat sirih pinang yang ditutup dengan koin merah ketempat kedukaan. Dari kedukaan tempat sirih pinang diganti dengan kain penutup yang berwarna putih. Hal ini menunjukkan bahwa kain putih sebagai lambang kedukaan lebih diutamakan daripada gunting rambut yang dilambangkan dengan kain merah sebagai tanda kegembiraan.
  2. Simbolsimbol yang berhubungan dengan upacara - upacara.
a. Upacara khitanan dan penobatan.
Bagi anak laki-laki yang sudah berumur 10 sampai 12 tahun dikhitan dengan memakai pakaian adat kerajaan yang terdiri dari 4 warna sebagai simbol. Empat warna ini dipakai juga oleh pemuka-pemuka masyarakat dalam upacara penobatan camat atau bupati.
- Warna merah melambangkan keahlian berperang melawan musuh (pulanga bilinggata)
- Warna ungu (uwabu) melambangkan sebagai pengawas-pengawas adat, ahli dalam bidang adat.
- Warna hijau (miodu) melambangkan kesejah-
teraan, seorang pemimpin yang berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
- Warna kuning ( lupayo ) melambangkan keahlian dalam bidang administrasi.
b. Adat upacara mandi kembang (lihu lolimu).
Seorang anak gadis yang mendapat haid pertama sudah dianggap dewasa dan dalam upacara dimandikan dengan air kembang dan ditepuk dengan mayang pinang yang masih kuncup/belum mekar. Mayang pinang ini merupakan simbol perjodohan. Bilamana mayang pinang itu terbuka ketika ditepukkan di atas kepala anak gadis, berarti ia akan mendapat jodoh dalam waktu singkat. Dan bila tidak terbuka berarti ia akan mendapat jodoh dalam jangka waktu yang lama ( mototo heto paladiyo ).
c. Adat perkawinan.
Dalam upacara ini, tempat upacara berada di rumah pengantin perempuan yang sudah dihiasi. Hiasan-hiasan tersebut adalah bambu yang berbentuk mulut buaya, sebagai simbol kewasdaan. Sedangkan hiasan daun kelapa muda sebagai simbol penolak bahaya. Bambu berbentuk mulut buaya akan menelan semua kejahatan berupa black magic dan daun kelapa muda ( janur ) akan mengipas semua kejahatan yang datang mengancam.
d. Adat upacara naik rumah baru.
Selesai rumah dibangun, penghuninya menguntungkan setandan pisang di atas pintu masuk yang merupakan simbol rezeki. Artinya, penghuni rumah akan selalu mendapat rezeki yang banyak.
C. KATA-KATA TABU.
Banyak sekali kata-kata tabu atau larangan yang berhubungan dengan kepercayaan. Bila se -

seorang berada di sungai tidak boleh mengucap kan kata polombu'o, sebab mahluk halus/setan akan berdatangan mendekati orang itu dan akibatnya ia akan mendapat sakit perut atau sakit kepala. Begitu pula kalau berada di kebun atau di hutan tidak boleh berkata piloma-malohuta sebab akan dimakan/ ditangkap setan, yang dapat menyebabkun mati atau badan menjadi berwarna biru.

Dalam percakapan sehari-hari, tidak boleh mengucapkan perkataan yang bersifat memuji/m nyan .. jung (moling kolabu), sebab akan menyebabkan yang dipuji binasa, Misalnya : Anak itu gemuk sekali sehingga saya merasa gemes. 'Gadis itu cantik seperti bidadari, padi itu subur sekali, dan lain - lain.

D. UKIRAN-UKIRAN.

Masyarakat daerah Gorontalo dahulu mengenal juga ukir-ukiran seperti masyarakat daerah lain. Tetapi sekarang ini mereka sudah tidak mengembangkan seni ukir ini. Yang ada sekarang hanyalah merupakan peninggalan-peninggalan zaman dahulu seperti ukir-ukiran pada masjid Jami' di kecamatan Telaga, ukiran pada tempat usungan mayat, ukiran pada rumah diatas pintu masuk. Demikian pula halnya arti dan fungsi dari pada ukiran yang ada, sudah tidak ada orang yang dapat menerangkannya, baik dalam hubungan dengan kepercayaan maupun dalam hubungannya dengan upacara adat. Apalagi ukir-ukiran yang ada hubungannya dengan kehidupan sehari- hari sudah tidak dikenal lagi.

Ada sejenis kerajinan dijumpai, yaitu kerajinan membuat kursi dari batang kelapa yang diukir. Akan tetapi ukiran ini merupakan pengetahuan dari Jawa, dengan diadakannya penukaran siswa -siswi daereh Gorontalo dan Jawa, Karena itu tidaklah merupakan seni ukir asli dari masyarakat Gorontalo.