Brosur Lagu Kebangsaan - Indonesia Raya/Pendahuluan

PENDAHULUAN


Tiap Bangsa mempunyai tokohnya yang menonjol pada tiap sektor hidup. Di bidang sastra, seni lukis, ilmu, filsafat, seni musik, dll. Inggeris bisa bangga kepada Shakespeare, Jerman kepada Goethe, Perancis kepada Zola (sastra), Belanda membanggakan pelukisnya Rembrandt, Itali Leonardo da Vinci. Di bidang musik kita jumpai nama-nama seperti Beethoven (Jerman), Mozart (Austria), Chopin (Perancis).

Indonesia dapat menyebut nama-nama Chairil Anwar, Amir Hamzah, Ronggowarsito di bidang Sastra. Seni lukisnya bisa mengetengahkan Raden Saleh, Affandi, Soedjojono, dsb. Di bidang musik dan gamelan muncul nama-nama Ismail Marzuki, Madukusumo, dll.

Apa yang masuk dalam pengolahan tokoh-tokoh tersebut bisa bersumber kepada alam sekelilingnya, manusia dalam segala geraknya dan masyarakat. Alam, manusia dan masyarakat merupakan latar belakang dari pada hasil ciptaan pujangga-pujangga yang namanya kemudian menjadi abadi.

Wage Rudolf Soepratman yang menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyerap unsur-unsur gubahannya dari kehidupan sosial dan politik dari suatu bangsa yang waktu itu hidup dalam suasana penindasan dan penghinaan kolonial. Ia dengan gubahannya mau menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa, supaya bangkit dari kelemahannya akibat kolonialisme untuk menuju ke hidup yang merdeka. Kalau pemimpin-pemimpin politik dari partai-partai nasional menyadarkan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan melalui pidato-pidato dan tulisan politik, W.R. Soepratman sesuai dengan bakatnya dan caranya menyumbangkan hasil ciptaan lagunya. Lewat jalan ini ia mau mengajak putera-puteri Indonesia bersatu dan berjoang bagi tanah air dan bangsa.

Oleh karena itu, walaupun ia tidak termasuk komponis cabang atas, dalam pengertian seni komposisi musik, ia menduduki tempat khusus dalam bidang ini. Memang sifat lagu kebangsaan dari sesuatu bangsa tidak selalu harus dapat memenuhi persyaratan kompositoris yang sempurna, melainkan intinya ialah dapat membangkitkan suatu rasa dekat dengan bangsa dan tanah air yang berjoang, dekat dengan cita-cita yang waktu itu hidup untuk mencapai sesuatu yang tinggi dan luhur. Ahli ilmu jiwa sosial mengatakan, bahwa bagaimanapun kurangnya sesuatu lagu kebangsaan ditinjau dari sudut komposisi, tapi daya tariknya dengan gairah dan semangat yang merangsang bisa menempatkan lagu itu pada suatu posisi yang khusus. Bangsa atau golongan yang bersangkutan merasakan kesucian dan keagungan jiwa yang terkandung di dalamnya.

Lagu Indonesia Raya dapat menimbulkan rasa satu dengan bangsa dan tanah air bagi putera-puteri Indonesia. Terutama mereka yang mengalami zaman kolonial Belanda dan zaman pendudukan Jepang, bila mendengarkan atau ikut menyanyikan lagu itu, merasa bulu kuduknya berdiri. Apalagi bila kita ingat, bahwa masa itu larangan untuk menyanyikan ada, sedangkan hasrat kita kuat untuk menyanyikannya. Keadaan yang kontras selamanya interesan. Maka larangan dari poiisi Hindia Belanda yang dinamakan Politieke Inlichtingen Dienst (Jawatan Inteligen Politik) dan rasa bahwa lagu itu suci dan milik kita, mendorong orang toh untuk berbuat. Di mana ada tekanan di situ ada hasrat untuk lepas.

Akhirnya lagu Indonesia Raya berhasil berkumandang dalam alam bebas bersama bangsa Indonesia yang membentuk Republik Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengesyahkannya sebagai LAGU KEBANGSAAN INDONESIA. Dan sebelum membicarakan lagu Kebangsaan Indonesia ini, dari permulaan sampai perkembangannya dengan perobahan-perobahan baik dalam irama dan nadanya, maupun dalam syairnya, maka lebih dulu kita perkenalkan pribadi W.R. Soepratman penciptanya.

Kelahiran Soepratman dan masa mudanya sunting

Zaman dahulu umumnya orang Indonesia belum mempunyai catatan kelahiran anaknya. Buta huruf masih banyak. Selain itu sistem pendaftaran kelahiran adalah gejala baru. Biasanya sesuatu kejadian diceritakan orang dengan menyangkutkannya dengan lain kejadian guna pegangannya, misalnya meletusnya Gunung Krakatau.

Mengenai kelahiran W.R. Soepratman ini dalam buku “Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya” (W.R. Soepratman penciptanya) oleh Oerip Kasansengari Surabaya dikatakan demikian: “Lahir jam 11 siang pada tanggal 9 Maret 1903 hari Senen Wage, dibawah bintang Pisces, menurut perhitungannya dalam Almanak 100 Tahun karangan Wong Kang Fu di Surabaya”.

Bahwa penulis memerlukan menyebut “menurut Almanak 100 Tahun”, adalah satu bukti tidak adanya catatan dari ayahnya, hingga penulis memerlukan menelusur dengan petunjuk dari Almanak yang bisa menghitung surut. Perkataan Wage adalah perkataaan yang kita dapati pada hari-hari di kalangan suku Jawa, yang menunjukkan tanda pasaran. Jadi kalau suatu hari itu jatuh Senen, masih ditambah Wage (atau Kliwon, Legi, Paing, Pon). Ini mempermudah bagi orang Jawa ketika itu guna mengurangi kemelesetan waktu yang dimaksud. Sekarang orang dalam menentukan hari di gandeng dengan tanggal, yang dalam prinsipnya sama: mengurangi kemelesetan ketentuan waktu.

Maka pada Soepratman dilekatkan hari pasaran Wage, karena hari lahir nya Senen Wage. Adapun tambahan “Rudolf” ia terima dari kakak iparnya W.M. van Eldik, keturunan Belanda. Sebabnya ialah karena Soepratman mau dimasukkan sekolah Belanda. Di zaman Belanda memang ada perbedaan penerimaan masuk sekolah, dan jenis sekolahpun berbagai macam. Ada sekolah yang hanya untuk anak Beianda saja. Ada juga yang hanya untuk Tionghoa. Ada yang hanya untuk anak Indonesia (pribumi). Dan untuk anak Indonesia sajapun masih ada perbedaan-perbedaan. Di samping itu masih diberi peluang juga, di mana anak Indonesia ataupun Tionghoa boleh masuk sekolah Belanda sebagai kekecualian dengan beberapa persyaratan. Misalnya ia harus seorang anak priyayi yang berpangkat Wedana ke atas, kaya, dsb. Anak desa yang cerdas sekalipun, tidak akan bisa masuk sekolah yang diperuntukkan anak Belanda. Oleh karena itu waktu itu dirasa perlu dicantumkan nama “Rudolf” yang berbau Belanda.

Tempat kelahiran Soepratman ialah Jatinegara yang di masa Belanda dinamakan Meester Cornelis, seperti Gambir dinamakan Weltevreden dan Jakarta Kota disebut Oud Batavia (Betawi Lama). Ketiga-tiganya adalah Jakarta (Raya), yang jauh lebih kecil dari pada Jakarta sekarang yang diperluaskan dan begitu ramai. Soepratman adalah anak Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang sersan pelatih tentara Belanda KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger

W.R. Soepratman 1923

–– Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Ia adalah anak laki-laki tunggal dan kakak-kakaknya semua perempuan: Roekijem Soepratijah (yang kawin dengan Eldik), adik-adiknya Roekinah Soepratirah, Ngadini Soepratini, Sarah,

Gijem Soepratinah. Soepratman adalah anak kelima, kakak bungsu. Ibunya bernama Siti Senen, asal dari Purworejo (Kedu), kelahiran desa Simongari, puteri dari Dipojoedo. Ayahnya putera dari Mas Ngabei Notosoedirdjo, asal dari Daerah Kasultanan Yogyakarta. Putera dari Mas Ngabei Notosoedirdjo semuanya 7 orang, 5 perempuan dan 2 orang laki-laki, di antaranya seorang laki-laki dan seorang perempuan telah meninggal.

Sersan Djoemeno adalah seorang seniman tari dan tembang (lagu Jawa). Di waktu yang senggang ia memberikan pelajaran tari Jawa dan tembang kepada anggota-anggota militer KNIL. Soepratman sendiri juga mendapat pelajaran tersebut dari ayahnya. Jadi lingkungan seni sudah ia kenal sejak kecil. Pengaruh lingkungan semacam ini tidak kecil baginya. Menurut penuturan Roekijem Soepratijah, Soepratman, walaupun sudah sekolah, sesampainya di rumah. ia masih menetek ibunya. Tapi ia pun sudah mulai suka menggambar kartu-kartu untuk permainan.

Sebagai anak laki-laki tunggal Soepratman dimanjakan oleh orang tua. Tapi ketika Soepratman baru umur 11 tahun ibunya meninggal. Waktu itu Soepratman sekolah Budi Utomo di Jakarta. Karena kehilangan ibu, maka ia ikut kakak perempuannya di Bandung, Soepratijah, yang menjadi isteri Eldik, yang bertindak sebagai wakil ibu.

Kalau di masa kolonial Belanda kepindahan pegawai negeri dari satu pulau ke lain pulau masih merupakan hal yang jarang terjadi, di kalangan militer kejadian demikian sudah biasa. Militer dari putera Ambon dipindah ke Jawa atau Sumatera, putera Jawa dipindah ke Sulawesi atau Sumatera, dsb. Hal ini sesuai dengan politik Belanda yang menempatkan orang-orang dari lain suku ke tempat yang mereka tidak kenal orang-orangnya, hingga kalau ada huru-hara tentara Belanda mudah bertindak terhadap orang-orang yang belum begitu dikenal, walaupun sesama bangsa. Politik Belanda berpijak kepada kenyataan di mana rasa kesukuan masih tebal, yang terkenal dengan politik “divide at impera”, pecah belah dan kuasailah!

Maka Eldik pun yang lama hidup di kalangan suasana Jawa, mengalami pemindahan dari Bandung ke Makasar (sekarang Ujung Pandang), Nopember 1914. Di Eropa sudah pecah Perang Dunia I, 3 bulan. Kepindahan dari Bandung lewat Surabaya itu dalam bulan November 1914. Tapi sebagai diketahui Nederland tidak ikut dalam perang dengan mengambil sikap netral. Maka kepindahan itu berlangsung dalam keadaan tenang. Dan perjalanan dari Surabaya ke Makasar dilakukan dengan naik kapal VAN DER WIJK, hingga keluarga yang mengarungi lautan itu dapat mengalami perobahan suasana dari gunung dan ngarai serta sawah–ladang, ke alam di mana hanya air laut yang biru membentang luas. Soepratman nampak agak pucat oleh goncangan-goncangan ombak.

Ia di Makasar jauh dari ayah dan kakak-kakak lainnya yang tinggal di Jawa. Tapi ada suatu imbangan bagi kekurangan hubungan dengan anggota keluarga lainnya ini, yaitu ia mengenal lain-lain daerah dari tanah air Indonesia. Ia sedih karena berpisah ini. Tapi perpisahan ini kemudian akan ia petik, yang ia sendiri tentunya tidak menyadarinya kelak.

Di Makasar Soepratman sering melihat bioskop yang waktu itu masih “bisu”, belum terdapat film di mana pemain-pemainnya berbicara, melainkan hanya gerak-gerak saja. Walaupun film bisu, ada juga musik yang mengiringi sebagai periang. Musik ini menarik perhatian anak belasan tahun seperti Soepratman.


  1. No. 18. Tempat bekas rumah R. W. Soepratman di Jakarta, belum ada keterangan di kampung mana.
  2. Bekas-bekas tempat tinggal W.R. Soepratman di Jakarta adalah di
  3. a. Utan-kayu
  4. b. Gang Tengah
  5. c. Gang Solitude Pisangan, muka stasiun Jatinegara
Di waktu siang hari Soepratman banyak jalan jauh sampai di tepi pantai yang indah. Ia banyak melihat nelayan dengan perahu-perahunya kecil yang kalau mulai menjauh dari pantai turun naik diayunkan oleh ombak-ombak yang pucuknya putih.

Di musim hujan yang sering lebat iapun dapat mengambil nikmat dari padanya. Kalau air sedang menggenang, kodok-kodok di malam hari memperdengarkan lagunya yang terkenal sahut-sahutan yang menyerupai orkes alam yang tenang dan nyaman. Suara dari alam itu pun menarik bagi anak tadi.

Di Makasar ia dikenal teman-temannya dengan nama DOLLOK. Sampai pertengahan abad 20 ini di antara orang-orang tua yang pernah berkenalan dan bergaul dengan Soepratman masih ingat nama DOLLOK itu.

Sekolah dan pergaulannya sunting

Sebagai sudah dituturkan di atas Soepratman masuk sekolah Belanda, tapi tidak lama. Sebab ia ketahuan, bahwa ia bukan anak Eldik kakak iparnya yang mempunyai pikiran untuk mencantumkan “Rudolf”. Akhirnya ia harus keluar. Ia masuk sekolah Melayu. Ia rajin belajar, hingga selalu naik kelas. Tahun 1917 ia menamatkan sekolahnya di Sekolah Melayu tersebut. Ia di waktu malam hari mengikuti kursus bahasa Belanda. Ikut ujian apa yang dulu dinamakan Klein Ambtenaars Examen (Ujian Pegawai Kecil). Ujian semacam itu hanyalah diperuntukkan bangsa Indonesia yang tahu bahasa Belanda dan hanya berkemungkinan menjadi pegawai kecil. Tidak ada orang Belanda yang mengikuti kursus semacam itu. Hasratnya akan maju tidak pemah padam. Soepratman masuk sekolah Nasional yang mendidik calon guru. Sekolah Rakyat dulu yang lain dengan Sekolah Rakyat sekarang, melainkan terutama bagi anak-anak orang kecil (bukan priyayi), sedang bagi anak priyayi sudah disediakan apa yang dinamakan H.I.S., atau Hollands Inlandse School = Sekolah untuk Pribumi dengan bahasa Belanda. Tamat dari Sekolah Normal ia diangkat menjadi guru di Makasar. Tidak lama kemudian ia mendapat Surat Keputusan, bahwa ia dipindah ke Singkang di Sulawesi juga. Hal ini tidak mendapat persetujuan kakak perempuannya. Maka ia disuruh minta berhenti menjadi guru. Berhenti dari sini ia mendapat pekerjaan dalam satu kantor Advokat (Pengacara) teman Eldik di Makasar. (?). Penghasilannya mencukupi. Ia banyak uang dan hidup royal. Ia banyak kenalan yang biasa melantai. Banyak gadis-gadis Indo-Belanda menjadi teman pergaulannya di tempat dansa, sampai mereka bebas dan berani minta uang kepada Soepratman.

Kehidupan di lingkungan tangsi Belanda memang suasananya demikian. Lama kelamaan ia tidak suka. Kalau ditilik, bahwa kemudian ia menjadi wartawan yang suka avontur (petualangan), maka ia lalu minta izin pada kakaknya untuk pergi ke Jawa. Pada permulaannya dirasa berat oleh kakaknya. Tapi akhirnya diizinkan. Ia tahun 1924 menuju ke Bandung, tempat di mana familinya masih tinggal. Umurnya sudah 23 tahun. Tapi belum mempunyai pekerjaan untuk hidup.

Tidak jelas dalam ceritanya bagaimana asal mulanya ia tertarik kepada pekerjaan jurnalistik. Padahal gaji tidak banyak. Pun rintangan dari pihak Belanda banyak. Beda dengan kedudukan jurnalis Tionghoa dan terutama Belanda yang di mana-mana pintu boleh dikatakan terbuka. Sebaliknya wartawan Indonesia yang korannya pun kecil, dalam pandangan masyarakat Hindia Belanda tidak mendapat kehormatan. Waktu itu di Bandung ada koran yang bemama Kaoem Moeda, di mana Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar

Ayah W.R Supratman
Djumeno Senen Sastrosoehardjo, sersan pelatih (instructeur), putera dari Mas Ngabei Notosoedirdjo, berasal dari Daerah Kesultanan Yogyakarta

Ny. Roekijam Soepratijah,kakak tertua W.R.Soepratman dengan biola W.R.Supratman

Dewantoro) dan Wignjadisastra, Abdul Muis yang terkenal sebagai pejoang, ikut bekerja. Di sini Soepratman pun hanya sebentar. Kemudian ia dengan bakatnya musik pindah ke kamar bola (societeit). Dalam keadaan yang juga belum memuaskan, ia kemudian berkenalan dengan Harun Harahap. Menurut Kasansengari Harun Harahap menganjurkan Soepratman untuk bekerja pada Parada Harahap, seorang wartawan yang dulu bekerja di Medan dan kemudian di Jakarta dan menjadi wartawan terkenal, yang pernah menamakan diri “King of the Java Press”, ketika ia sudah mempunyai koran Bintang Timoer. Tapi sebelum ini Parada Harahap mendirikan bersama Harun Harahap kantor berita Alpena. Saat itu Belanda sudah mempunyai kantor berita yang berdiri 10 tahun lebih dulu, bernama Aneta, dibawah pimpinan Beretty. Alpena tidak lama hidupnya.

Maka Soepratman yang sudah merasakan bekerja dalam jurnalistik yang penuh petualangan karena banyak ranjau-ranjaunya, pindah ke koran Tionghoa Sin Po. Tugas wartawan Indonesia pada harian Tionghoa biasanya dikhususkan untuk mencari berita-berita dari masyarakat Indonesia. Waktu itu yang menarik adalah pergerakan nasional Indonesia. Apalagi di waktu itu sedang hangat-hangatnya Partai Komunis Indonesia yang dalam tahun 1926 melakukan pemberontakan. Selain itu lain-lain pergerakan dengan dasar nasional dan agama pun aktif. Dapat dibayangkan suasana panas. Hal ini bagi wartawan muda seperti Soepratman menarik. Penghidupan miskin rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang bagi semangat muda menumbuhkan idealisme. Penanya menjadi tajam oleh pertentangan antara sana dan sini, pertentangan antara penjajah dan si terjajah. Apalagi suatu peristiwa mengenai dirinya yang pahit tidak mudah ia lupakan. Ia sebagai sudah dikatakan dikeluarkan dari sekolah Belanda dan pernah pula ia dikeroyok, dipukuli oleh sinyo-sinyo Belanda yang melontarkan kata-kata penghinaan “inlander kotor” (vuile inlander). Tempat kerja dalam redaksi Sin Po mau tak mau membawa ia kepada lingkungan bergaul yang luas, terutama kalangan pergerakan, yang sering ia beritakan. Ia sudah dikenal sebagai “publicist Melayu” (lihat gambar kulit yang direproduksi dari tahun 1928 yang ditulisi "Publicist".)

Pergaulannya dengan pemimpin-pemimpin rakyat di kala itu menambah semangat kebangsaannya. Di antara pemimpin-pemimpin rakyat itu juga tidak sedikit para mahasiswa (dulu disebut pelajar) yang selagi duduk dibangku perguruan tinggi sudah memikirkan nasib rakyatnya. Soegondo (sekarang di Yogyakarta) Ketua Kongres Pemuda II dan Abdullah Sigit, Ketua Indonesische Clubgebouw amat rapat hubungannya. Sigit yang sekarang Prof. Drs. A. Sigit, Gurubesar di Yogyakarta, juga menjadi penanggung jawab majalah dari PPPI, “Indonesia Raya”.

Maka dalam pergaulan demikian rapatnya itu di samping tugasnya sebagai wartawan Sin Po, ia dapat leluasa bergerak di kalangan mahasiswa yang terutama tergabung dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Hubungan yang demikian ini merupakan unsur positif bagi Soepratman untuk kemudian memperkenalkan lagu gubahannya, yang kini terkenal lagu kebangsaan "INDONESIA RAYA".

Tekad persatuan dan rintangan sunting

Suara persatuan Indonesia makin keras diperdengarkan di kalangan pergerakan dan pemuda Indonesia. Ini membawa

pemuda Indonesia kepada tingkat pemikiran dalam Kongres Pemuda I, 1926, di mana disetujui untuk mengatasi sifat, gerak dan nama kedaerahan, walaupun terpencar di beberapa pulau dan kota. Putusan Kongres Pemuda I yang berikrar kesatuan itu masih belum bisa diperinci dengan kongkrit.

Ny. Ngadini Menah (Soepratini) adik perempuan W.R. Soepratman.

Baru pada Kongres Pemuda II, 1928, maka kebulatan tekad itu mempunyai wujud, waktu mahasiswa Soegondo (ketua Kongres) dari perguruan tinggi Hukum (Rechts Hoge School) memimpin persidangan. Dalam suasana satu Tanah Air, satu Bangsa dan satu Bahasa: INDONESIA itu, diperkenalkanlah hasil ciptaan Soepratman tsb.

Di sini hanya disebut adanya perubahan-perubahan kata-kata dari "merdeka-merdeka" menjadi "mulia-mulia" karena ada larangan dari fihak Belanda. (baca lagunya itu sendiri.)

Mengapa perubahan dari “merdeka” menjadi “mulia” haruslah dihubungkan dengan situasi pemerintah Hindia Belanda yang menguatirkan makin panasnya suasana. Sebab tahun 1926 sudah meletus pemberontakan komunis, yang walaupun dengan dasar Internasional perkataan “merdeka” akan lebih merugikan Belanda lagi. Artinya kemerdekaan nasional Indonesia sama dengan hilangnya jajahannya. Perkataan “merdeka” yang mengandung arti hilangnya jajahan, dirasakan lebih langsung dan lebih kongkrit bagi Belanda.

Langkah-langkah untuk mengamankan siatuasi kolonial dipertegas lagi oleh Belanda dengan dikeluarkannya sirkuler (edaran) Gubernur Jenderal Jhr. De Graeff, yang intinya dikutip oleh majalah PPPI (Indonesia Raya) No. 7–8, th. 1929, dalam bahasa Belanda. Kalimat dalam majalah Indonesia Raya itu terbaca sbb.:

“Berhubung dengan kebiasaan untuk berdiri manakala lagu itu dimainkan atau dinyanyikan, maka Pemerintah menganggap perlu untuk mengirim satu edaran kepada dunia kepegawaian, dimana ditentukan peraturan, sikap apa yang harus diambil oleh pegawai negeri terhadap lagu Indonesia Raya”.

Dalam edaran itu juga dijelaskan, bahwa Indonesia Raya tidak bisa dipandang sebagai “volkslied” (lagu kebangsaan) dari bangsa yang toh tidak ada, tapi harus dianggap sebagai lagu klub atau perkumpulan.

Adapun ketentuan mengenai sikap pegawai negeri Hindia Belanda ialah bahwa pegawai harus mengambil sikap yang sungguh-sungguh netral dan tidak ikut menyatakan sikap hormat terhadap lagu Indonesia Raya ataupun terhadap lagu perkumpulan yang semacam itu, dengan berdiri dari tempat duduknya. Pun tidak boleh menunjukkan pro atau anti dengan berdiri atau duduk.

Dari keterangan dan kutipan di atas, sudah jelas betapa kerasnya larangan terhadap pegawai negeri. Seorang pegawai negeri yang kelihatan berdiri karena lagu kebangsaan lndonesia diperdengarkan atau dinyanyikan, –– apalagi kalau ikut menyanyi –– sebentar lagi akan merasakan nasib untuk dipecat dari jabatannya. Sebab Belanda ingin mempunyai kepastian, bahwa seluruh aparat pemerintahannya bersih dari unsur kebangsaan.

Pegawai yang kebetulan ikut hadir dalam salah satu rapat tertutup atau rapat umum, harus bersikap netral. Jelasnya, kalau ia sudah duduk, harus tetap duduk. Dalam pada itu kalau mereka yang anti (tentunya — di kalangan Belanda) bila ia kebetulan berdiri, juga tidak boleh menunjukkan sikap antinya dengan sikap lalu duduk. Tambahan ini bagi Pemerintah Hindia Belanda hanyalah untuk menunjukkan bahwa pegawainya diperbolehkan “netral”, tidak pro dan tidak anti. Kalimat ini hanyalah pertimbangan psychologis saja. Dan hal itu tidak hanya berlaku bagi Indonesia Raya saja — sebab bangsa Indonesia tidak ada di pandangan mata Belanda, melainkan juga berlaku bagi lagu-lagu perkumpulan semacam itu. Jadi lebih jelas, bahwa lagu Indonesia Raya hanya dipandang sebagai lagu satu klub atau perkumpulan, — barangkali yang dimaksud di sini yaitu perkumpulan mahasiswa. Dasar pikirannya hanyalah mau memperkecil nilai perjuangan bangsa keseluruhannya. Dan dengan mengatakan, bahwa lagu itu adalah hanya dari klub atau perkumpulan, sekaligus mau menanamkan di kalangan pegawai, bahwa cakupan lagu itu tidak menyeluruh, karena hanya lagu klub tertentu.

Cuma terdapat pula kontradiksi dalam sirkuler Gubernur Jenderal, di mana di satu fihak terdapat kecemasan, sedangkan di lain fihak sikap meremehkan. Bila memang hanya dari satu klub, mengapa dilarang, bila di dalam hatinya tidak tersimpan suatu pengakuan daya pengaruh yang kuat dari lagu Indonesia Raya yang mempersatukan bangsa Indonesia? Jadi dalam larangan kepada pegawai itu sudah nampak kekuatiran akan efeknya.

Satu unsur lagi nampak pada larangan tersebut ialah, sifat pecah belah politik Belanda, dengan kata-kata “Bangsa yang toh tidak ada”. Artinya bagi Belanda “Bangsa lndonesia” tidak ada. Yang ada hanya "Bangsa Jawa, Bangsa Ambon, Bangsa Sumatera, Bangsa Sulawesi” dan sebagainya.

Politik devide et impera (pecah belah dan perintahlah!) tidak hanya lebih dimantapkan lagi di kalangan pegawai negeri, tapi juga di kalangan masyarakat umum. Maka kemudian di tahun 1930-an juga dikeluarkan larangan untuk memperdengarkan lagu Indonesia Raya bagi seluruh masyarakat, walaupun mula-mula hanya di kota-kota kecil. Tindakan ini makin ketat ketika keadaan udara politik di dunia umumnya dan di Pasifik khususnya makin mendung. Ini dibarengi juga dengan makin kerasnya sikap Belanda kepada pergerakan radikal revolusioner yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta — Sjahrir, ––Partindo dan PNI (Hatta–Sjahrir), dan setelah mereka dibuang, keluarlah larangan untuk mengadakan rapat-rapat anggota, apalagi rapat terbuka yang bisa dihadiri oleh beribu orang. Juga bagi
|

W.R. Soepratman 1924.

Pada tahun 1923 perkumpulan musik jazz “Lima Sekawan” yang didirikan oleh W.R. Soepratman dengan kawan-kawannya, sangat populer di kota Makassar. W.R. Soepratman sebagai pemain biola.
beberapa kalangan pergerakan pemuda larangan berapat ini kemudian berlaku. (Ketika Jepang mulai menyerang Teluk Mutiara dengan mendadak, Desember 1941, dan Gubemur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memaklumkan perang pada Jepang, larangan memperdengarkan lagu Indonesia Raya itu oleh radio Tokyo dimanfaatkan untuk propaganda Jepang, yaitu radio Tokyo pada tiap siarannya dalam bahasa Indonesia selalu memutar lagu tersebut).

* * * * *

MUHAMMAD YAMIN dalam brosurnya “Sumpah Indonesia Raya” memberi 3 sifat dari tiga bait lagu Indonesia Raya sebagai berikut: (Bait pertama ia katakan bahwa) Soneta pertama menyinarkan cahaya yang berisi pujaan dan pujian kepada kebangunan Tanah Air Indonesia. Susudah memuja dan memuji itu maka datanglah menderu dengan merdunya seloka kedua yang brisi doa pangestu memintakan, supaya Indonesia mengalami anugerah yang memberkati segala yang hidup dan yang tidak bernyawa. Maka dalam seloka ketiga terdengarlah sumpah bakti Pemuda dalam kongres tahun 1928 itu, yang berjanji teguh kepada dasar kesatuan Tanah Air, Bangsa dan Kebudayaan menuju kearah kemerdekaan Indonesia Raya (hlm. 22, 23).

Walaupun bahasa lndonesia yang baru saja "didewasakan" dari bahasa Melayu oleh Sumpah Pemuda, belum berkembang seperti bahasa yang kita kenal sekarang, tapi waktu itu sudah cukup untuk mengungkapkan makna yang terkandung dan dipahami oleh yang menangkapnya. Dalam komunikasi soal inilah yang penting. Maka meresapnya inti lagu Indonesia Raya pun meluas dan mendalam. Kemajuan ini dipercepat lagi oleh salah satu keputusan Kongres PNI (Partai Nasional Indonesia), 1929, dengan mengakui Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. Dan menurut interview dengan Soegondo, ex Ketua Kongres Pemuda II, tersebut, sebelum keputusan PNI itu angkatan muda dalam menyanyikannya dengan suasana panas menggantikan kata-kata "mulia-mulia" dengan "merdeka-merdeka" tanpa mempedulikan kemungkinan larangan-larangan. Dengan suasana yang makin memuncak di kala itu, maka kalau judul lagu yang mula-mula INDONESIA lalu berobah menjadi INDONESIA RAYA, amatlah sesuai dengan zamannya. (Lihat keterangan lebih lanjut di bagian sejarah lagunya itu sendiri.)

Dengan adanya larangan-larangan dari Belanda itu Pers lndonesia mengeluarkan kritiknya yang menentang larangan tersebut. Begitu juga di gedung Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang namanya “Volksraad” para anggota Indonesia protes, seperti Moh. Husni Thamrin yang bintangnya cemerlang, Soekardjo Wirjopranoto, Soangkupon mengeluarkan kritiknya yang pedas.

Lagu itu, selain dihapal oleh rakyat dan terutama oleh pemudanya juga direkam dalam piringan hitam, hanya saja tidak dengan “merdeka-merdeka”, melainkan “mulia-mulia”.

Karya dan hidup Soepratman selanjutnya sunting

Selain sebagai wartawan Soepratman juga pengarang buku-buku cerita, seperti “Perawan Desa” (1929) yang boleh dikatakan suatu roman sosial dengan kritiknya terhadap keadaan sosial yang menyolok sekali antara si kaya dan si miskin. Zaman dulu orang mengenal orang-orang desa yang dipikat untuk bekerja di perkebunan di sekitar Deli Medan dengan segala daya tipu, dengan kontrak yang amat merugikan orang kecil. Roman sosial ini adalah hasil percakapannya dengan dan anjuran seorang wartawan terkenal Saeroen yang juga bekerja di Sin Po.

W.R. Soepratman 1937.

W.R. Soepratman dengan saudara-saudaranya.

Bukti itu karena tajamnya dalam kritik yang terjalin dalam cerita kemudian dilarang oleh Belanda.

Karya lain Soepratman ialah “Darah Muda” dan “Kaum Panatik”.

Lagu yang dikarang lebih banyak lagi, yaitu: Bendera Kita, Indonesia Ibuku, Ibu Kita Kartini (dulu bernama Raden Adjeng Kartini), Mars K.B.I. (Kepanduan Bangsa Indonesia), Mars Surya Wirawan (Surya Wirawan adalah organisasi bagian pemuda yang berpakaian seragam dari Partai Indonesia Raya yang dipimpin oleh almarhum Dr. Soetomo), Mars Parindra, Di Timur Matahari, Bangunlah hai Kawan, Matahari Terbit dan Pandu Indonesia. (Lihat sejarah lagu kebangsaan Indonesia Raya, hlm. 99 s/d 104).

* * * * *

Soepratman hebat semangatnya, tapi fisik lemah. Ia sakit paru-paru, dan suaranya pun serak. Dalam keadaan demikian ia bekerja amat keras, sedang hidup yang mewah seperti di Makasar tidak ia kenal lagi. Hidupnya hanya mengenal pengabdian, sekalipun keadaannya materiil amat menyedihkan. Tahun 30-an ia tinggal di Rawamangun di tengah sawah. Rumahnya bilik yang banyak lubangnya. Atapnya dari alang-alang yang bocor. Lantainya tanah liat yang diwaktu hujan lembab yang menambah penderitaan batuk keringnya, sedang di musim kering merekah.

Kasansengari yang mencatat cerita sahabat karib Soepratman, yaitu wartawan terkenal di Surabaya, Imam Soepardi, pemimpin majalah bahasa Jawa Penyebar Semangat dan majalah tengah bulanan Terang Bulan, menulis ucapan Soepratman kepada Imam Soepardi: “Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal,
Upacara pemindahan makam almarhum W.R. Soepratman pada hari Sabtu Kliwon tanggal 31-3-1956.
Wakil Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P. dan K. di Yogyakarta, Kusbini, membacakan sambutan Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P. dan K.

berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka”. Suaranya keluar lembut tapi penuh nada keyakinan. (hlm. 76)

Soepratman akhirnya meninggal dunia pada 17 Agustus 1938, dimakamkan secara Islam di kuburan Umum Kapas, sebelah Utara Kenjeran, Tambaksari Surabaya, dengan nisan yang indah (lihat gambar).

Kemudian oleh Panitia monumen dari Departemen Pendidikan, Kebudayaan dan Pengajaran Perwakilan Jawa Timur, makamnya dipindahkan ke Tambak Segaran-Wetan, Selatan jalan Kenjeran Tambaksari, Surabaya, pada tanggal 31 Maret 1956.

Perkawinan dan waris almarhum W.R. Soepratman sunting

Di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih diliputi oleh suasana tradisionil, perkawinan memegang peranan yang penting, bahkan ada beberapa daerah yang memandang tabu atau suatu malapetaka, jika di lingkungannya ada orang hidup bersama tanpa kawin.

Untuk menghindari pantangan ini, sepasang merpati tersebut di atas dipaksa kawin (upacara keagamaan), kalau tidak dipersilakan mencari tempat berlindung di daerah lain atau memberi keturunannya suatu panggilan yang bersifat penghinaan. Di Madura dipanggilnya anak jadah, di Jawa anak jadah atau anak gampang.

Sebaliknya, perkawinan yang dicita-citakan dirinya oleh suatu pesta, setidak-tidaknya suatu pertemuan keluarga. Demikian pentingnya peristiwa perkawinan di masyarakat kita ini, yang belum dapat menerima perhubungan “sex modern”, yang terkenal dengan nama free love atau free sex.

Sebelum tanggal 10 Nopember 1971 problema perkawinan almarhum W.R. Soepratman tidak begitu tampak dalam topik pembicaraan umum sehari-hari. Apakah sebabnya?

Sebelum tanggal 10 Nopember 1971 yang menrima anugerah pemerintah atas nama almarhum W.R. Soepratman sebagai tanda jasa atas kebaktiannya terhadap nusa dan bangsanya, adalah saudara-saudaranya, diwakili oleh Ny. Soepratijah, misalnya:[1]

  1. Pada tanggal 30 Mei 1960:
    Ny. Soepratyah cs., menyerahkan hak cipta Lagu Kebangsaan Indonesia, ciptaan almarhum W.R. Soepratman pada Pemerintah. Melalui Menteri P. dan K. disampaikan pada Ny. Soepratiyah cs. uang sebesar Rp. 250.000,– (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
  2. Pada tanggal 17 Januari 1961:
    Atas protes Ny. Soepratyah cs., Ny. Salarnah yang menerima anugerah Bintang Maha Putra III serta piagamnya atas nama almarhum W.R. Soepratman, mengembalikan anugerah tersebut pada Departemen Kesejahteraan dan Sosial Jakarta pada tanggal 23 Nopember 1961.[2]
  3. Pada tanggal 10 Nopember 1970:
    Pemerintah menyampaikan anugerah mesin dan uang kepada Ny. Soepratyah cs. atas nama almarhum W.R. Soepratman.
Sesudah tanggal 10 Nopember 1971 yang menerima gelar Pahlawan Nasional untuk almarhum W.R. Soepratman, bukan Ny. Soepratyah cs. lagi, akan tetapi Ny. Salamah. Siapakah Ny. Salamah ini?
Setelah pemberontakan komunis tahun 1926–1927 selesai dan W.R. Soepratman telah kembali ke tempat lahirnya kota Jakarta, kota ini dalam tahun 1927 sudah menjadi pusat kegiatan politik.
Tiap hari, siang malam, W.R. Soepratman pergi mencari berita-berita; pada malam Minggu ia kerap kali datang di gedung Permufakatan Indonesia (G.P.I.) di gang Kenari Jakarta, tempat pertemuan Pergerakan Nasional Indonesia.
Ny. Salamah adalah seorang wanita yang menerangkan bahwa dia adalah isteri syah almarhum W.R. Soepratman. Pengakuan ini diputus syah oleh Pengadilan Agama Jakarta, tanggal 17 Juli 1962 No. 619/1962, dikuatkan oleh Departemen Agama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Jakarta tanggal 3 Nopember 1971 No. 60186/Pera/B.I./‘71. (lihat lampiran No. …)

Prof. Drs. A. Sigit, Mahaguru U.G.M. Yogyakarta, yang mengenal almarhum W.R. Soepratman baik sekali (hasil wawancara dengan Prof. Drs. A. Sigit di rumah Sekip Yogyakarta pada tanggal 29 Nopember 1972, menerangkan bahwa beliau ingat ada isteri yang mendampingi almarhum W.R. Soepratman, akan tetapi tentang namanya sudah lupa.)

Sebaliknya ahli-waris W.R. Soepratman, yang ditetapkan terdahulu oleh Pengadilan Negeri di Surabaya dalam Daftar Keputusannya tanggal 29 Agustus 958 No. 1560/1958 S.P. yaitu yang terdiri dari empat orang saudara kandung W.R. Soepratman sendiri, menerangkan, bahwa: “Almarhum W.R. Soepratman semasa hidup tidak kawin”. (Baca lampiran No. …)

Oerip Kasansengari, penulis buku “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman penciptanya”, sebagai salah seorang saudara (bukan sekandung) dari almarhum W.R. Soepratman, di dalam suatu wawancara dengan salah seorang anggota Panitia Penyusun Brosur ini agaknya menyangsikan perkawinan antara W.R. Soepratman dan Ny. Salamah. (Baca lampiran No. 12).

Demikianlah bahan-bahan dan kenyataan-kenyataan yang hingga sekarang telah ditemukan mengenai persoalan ke-ahliwarisan W.R. Soepratman.

* * * * * *

Makam almarhum W.R. Soepratman yang lama di pemakaman umum di Kapasan, Surabaya.
Makam selanjutnya dipindahkan ke Tambakrejo, Surabaya. Bekas makam lama dipergunakan untuk memakamkan salah seorang saudaranya, yaitu Ny. Asmo Sardjono (Gijem Soepratirah)

Makam almarhum W.R. Soepratman yang baru di pemakaman umum di Tambakrejo, Surabaya..

PIAGAM

Pada hari ini, hari Rabo Kliwon tanggal 28 Oktober 1953, kami, Gubernur, Kepala Daerah Propinsi jawa Timur, atas nama seluruh bangsa Indonesia, sebagai tanda kasih dan hormat kepada almarhum

WAGÉ RUDOLF SOEPRATMAN,

lahir pada tgl. 9 Maret 1903 di Djatinegara, wafat pada tgl 17 Agustus 1938 di Surabaja. Pentjipta lagu Kebangsaan "INDONESIA RAJA" meletakkan batu pertama makam almarhum jang dipindahkan ketempat ini dikampung Tambakredjo, sebelah Selatan Jln Kendjeran dari pemakaman umum di kapasan.

Bangsa Indonesia mengenagkan djasa lagu Kebangsaan "INDONESIA RAJA".

Lagu Indonesia Raja telah diterima sebagai lagu kebangsaan oleh Kongres Pemuda seluruh Indonesia ke II di Djakarta pada bulan Oktober 1928.

Telah menggalang pembangunan djiwa nasional dan rasa kesetaraan seluruh Bangsa.

Telah mengobarkan semangat Kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk selama-lamanja.

Kami dengan seluruh Bangsa Indonesia mendo'a agar arwah WAGÉ RUDOLF SOEPRATMAN mendapat tempat jang sempurna diharibaan Tuhan Jang Maha Esa.

SAMADIKOEN

Pada hari Rebo Kliwon tanggal 28 Oktober 1953, kami, Gubernur, Kepala Daerah Propinsi jawa Timur, meletakkan batu pertama makam alm. W.R. Soepratman yang dipindahkan dari pemakaman umum di Kapasan, ke tempat makam di kampung Tambakrejo, sebelah selatan jln. Kenjeran, Surabaya, atas inisiatif sebuah Panitia Pemuliaan Alm. W.R. Soepratman, diketuai oleh Sdr. Banu Iskandar, Kepala Perwakilan Jawatan Kebudayaan, Kem. P.P. dan K. di Surabaya, berdasarkan piagam.
  1. Atas keputusan Pengadilan Negeri Surabaya, tgl. 12 Agustus 1958 No. 1560/ 1968/S.P. Ny. Soepratiyah cs., ditunjuk sebagai ahli waris almarhum W.R. Soepratman. (Lihat lampiran No. ).
  2. Surat Oerip Kasansengari tanggal 25 Januari 1961.