Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998/Analisa

Versi di bawah ini adalah ringkasan eksekutif dari Laporan Akhir TGPF yang dipublikasikan pada 23 Oktober 1998 dan dicetak oleh Komnas Perempuan pertama kali pada November 1999.

 

BAB V
ANALISA


1. Aras Makro

Peristiwa kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada masa itu, yang ditandai dengan rentetan peristiwa Pemilu 1997, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR RI Tahun 1998, demonstrasi mahasiswa, penculikan para aktivis, dan tertembaknya mahasiswa Trisakti. Pada peristiwa inilah rangkaian kekerasan yang berpola dan beruntun yang terjadi secara akumulatif dan menyeluruh, dapat dilihat sebagai titik api bertemunya dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang intensif yang terpusat pada pertarungan politik tentang kelangsungan rezim Orde Baru dan kepemimpian Presiden Suharto yang telah kehilangan kepercayaan rakyat dan proses cepat pemburukan ekonomi.

Di bidang politik, terjadi gejala yang mengindikasikan adanya pertentangan fraksi-fraksi intra elit yang melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat pada isu penggantian kepemimpinan nasional. Hal ini tampak dari adanya faktor dinamika politik, seperti yang tampak dalam pertemuan di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 antara beberapa pejabat ABRI dengan beberapa tokoh masyarakat, yang menggambarkan bagian integral dari pergumulan elit politik. Di samping itu, dinamika pergumulan juga tampak pada tanggung jawab Letjen TNI Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis.

Analisa ini semakin dikuatkan dengan fakta terjadinya pergantian kepemimpinan nasional satu minggu setelah kerusuhan terjadi, yang sebelumnya telah didahului dengan adanya langkah-langkah ke arah diberlakukannya TAP MPR No. V/MPR/1998.

Di bidang ekonomi, terjadi krisis moneter yang telah mengakibatkan membesarnya kesenjangan ekonomi, menguatnya persepsi tentang ketikdakadilan yang semakin akut dan menciptakan dislokasi sosial yang luas, yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antarkelas) dan horizontal (antargolongan).

Di bidang sosial, akibat krisis bidang politik dan ekonomi, nampak jelas gejala kekerasan massa yang eksesif yang cenderung dipilih sebagai solusi penyelesaian masalah, misalnya dalam bentuk penjarahan di antara sesama penduduk di daerah. Begitu pula adanya sentimen ras yang laten dalam masyarakat telah merebak menjadi rasialisme terutama di kota-kota besar. Di samping itu, identitas keagamaan telah terpaksa digunakan oleh sebagian penduduk sebagai sarana untuk melindungi diri sehingga menciptakan perasaan diperlakukan secara diskriminstif pada golongan agama lain. Mudah dipahami bahwa latar belakang kekerasan-kekerasan itu telah menjadikan peristiwa penembakan mahawiswa Universitas Trisakti sebagai pemicu kerusuhan berskala nasional.

2. Aras Mikro

Pada aras mikro (massa) dapat dianalisis bahwa dari satuan unit wilayah (enam lokasi kota yang dipilih TGPF), terdapat beberapa kesamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan.

Pertama, di Jakarta pola umum kerusuhan terjadi dalam empat tahap, yaitu:

(a) tahap persiapan/pra perusakan, meliputi aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah, barang bekas) dan/atau dengan cara membuat perkelahian antar kelompok/pelajar, juga dengan meneriakan yel-yel tertentu untuk memanasi massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: "mahasiswa pengecut", "polisi anjing";
(b) tahap perusakan, meliputi aktivitas seperti: melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan alat-alat yang dipersiapkan sebelumnya;
(c) tahap penjarahan, meliputi seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-banda lain dalam gedung yang telah dirusak;
(d) tahap pembakaran, yang merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar.

Kedua, di Solo, TGPF menemukan fakta yang selain memberi petunjuk jelas mengenai keterlibatan para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari kelompok yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan kesatuan Kopassus, dalam mengkondisikan terjadinya kerusuhan. Kasus-kasus Solo, mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas. Penumpangan kasus Solo melalui provokator lokal dipermudah oleh kenyataan, bahwa aksi-aksi mahasiswa Solo sebelum kerusuhan sudah menimbulkan bentrokan dan korban fisik, bahkan pada masa-masa sebelum mahasiswa di kota lain berdemontrasi.

Ketiga, Surabaya dan Lampung dan dikelompokkan menjadi satu kategori karena beberapa ciri yang serupa. Di kedua kota ini, kerusuhan relatif berlangsung cepat dan segara dapat diatasi, skalanya relatif kecil dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah. Sekalipun pada kasus kedua kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan provokator lokal, tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjolnya sifat lokal, sporadis, terbatas, dan spontan.

Keempat, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding Surabaya dan Lampung. Para "penumpang gelap" atau provokator lokal lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam skala yang lebih besar.

Kelima, sedangkan untuk kasus Medan, unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi. Patut diingat, bahwa kerusuhan di Medan sudah terjadi sepekan sebelum kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998 di lima kota lainnya, namun Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya secara nasional.

Dari uraian di atas, TGPF menemukan bahwa kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan mempunyai kesamaan pola. Sedangkan kerusuhan di Palembang secara umum memiliki kesamaan dengan kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan namun memiliki ciri spesifik di mana provokator dan "penumpang gelap" sukar dibedakan. Adapun kerusuhan yang terjadi di Lampung dan Surabaya, pada hakekatnya menunjukkan sifat-sifat yang lokal, sporadis, terbatas dan spontan.

3. Korban dan Kekerasan Seksual
3.1 Besarnya jumlah korban jiwa selama kerusuhan disebabkan oleh telah terkumpulnya secara berpola terlebih dahulu jumlah massa yang besar di sekitar gedung-gedung pusat pertokoan yang kemudian pada awalnya didorong memasuki gedung-gedung tersebut meninggal di dalam gedung yang terbakar. Bahwa jumlah korban jiwa yang besar juga diakibatkan oleh sangat lemahnya upaya penyelamatan, baik oleh masyarakat maupun instansi/aparatur.
Faktor kebakaran dan skala kerusuhan yang telah terjadi merupakan penyebab utama dari kerugian materiil yang sangat besar.
3.2 Dari segi intensitas kekerasan terhadap sebagian korban yang menjadi sasaran serangan, dimensi sentimen anti rasial terhadap golongan etnik Cina yang laten merupakan faktor penyebab dominan yang mudah dieksploitir untuk menciptakan kerusuhan. Faktor lain yang telah menyebabkan penyerangan terhadap kelompok etnis Cina karena penyerangan awal yang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik golongan etnis tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu.
3.3 Kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupakan satu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam serta rasa takut dan trauma yang luas. Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut.
3.4 Sosial ekonomi. Tekanan dan kesenjangan sosial ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap pengeksplotasian sehingga melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan (perusakan, pembakaran, penjarahan dan lain-lain). Sebagian besar mereka yang terlibat ikut-ikutan dalam kerusuhan pada dasarnya adalah korban dari keadaan serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan.
3.5 Adanya kesimpangsiuran di masyarakat tentang ada tidaknya serta jumlah korban perkosaan timbul dari pendekatan yang didasarkan kepada hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan, dan/atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk. Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami.

Dari 85 orang korban kekerasan seksual, khususnya korban perkosaan yang berjumlah 52 orang, setelah diverifikasi terdapat dua kelompok korban ditinjau dari sudut pendekatan positif yang empirik yaitu:

3.5.1 Fakta yang berasal dari korban langsung dan IDI yang berdasarkan sumpah jabatan dan Protokol Jakarta sebanyak 15 orang.
3.5.2 Fakta yang berasal dari keluarga korban, saksi, psikater/psikolog maupun rohaniawan/pendamping sebanyak 37 orang.
4. Aspek Pertanggungjawaban Keamanan

Kurang memadainya koordinasi antar satuan pengaman, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan yang membiarkan kerusuhan terjadi dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana, begitu juga perbedaan persepsi tentang adanya vakum kehadiran aparat keamanan dimungkinkan karena:

4.1 Adanya kelemahan komando dan pengendalian yang berakibat pada ketidaksamaan, ketidakjelasan/kesimpangsiuran perintah yang diterima oleh satuan/pasukan di lapangan.
4.2 Pemilihan prioritas penempatan pasukan pengaman sentra-sentra ekonomi dan perdagangan yang tidak memadai untuk dapat segara meredakan keadaan telah menyebabkan banyak korban, bertalian dengan kondisi keterbatasan pasukan di wilayah Jakarta serta dihadapkan dengan eskalasi kerusuhan yang tidak mampu diantisipasi.
4.3 Komunikasi antar pasukan pengamanan tidak lancar yang disebabkan oleh keanekaragaman spesifikasi alat-alat komunikasi yang digunakan, yang semakin dipersulit oleh banyaknya gedung bertingkat tinggi.
4.4 Sesuai dengan doktrin ABRI, rakyat bukanlah musuh, sehingga secara hukum aparat keamanan tidak boleh mengambil tindakan berupa penembakan terhadap rakyat/masyarakat. Secara psikologis aparat keamanan menghadapi dilema untuk mengambil tindakan efektif karena banyaknya anggota masyarakat dan adanya pasukan lain yang berada di sekitar lokasi.
4.5 Adanya perbedaan pola tindak dan bentrokan di lapangan antar pasukan yang mencerminkan kondisi kurangnya koordinasi dan saling kepercayaan akan tugas untuk menghadapi tekanan arus massa yang besar. Kurang/terbatasnya satuan operasi Polda maupun Kodam Jaya dihadapkan pada luasnya wilayah tanggung jawab serta banyaknya tempat-tempat yang bernilai strategis (obyek vital), seharusnya Kapolda ataupun Pangdam Jaya mengambil skala prioritas dalam mengalokasikan atau menempatkan satuan/pasukan pengaman, sehingga ada beberapa tempat/wilayah terpaksa tidak dialokasikan satuan/pasukan pengamanan.