Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998/Kesimpulan

Versi di bawah ini adalah ringkasan eksekutif dari Laporan Akhir TGPF yang dipublikasikan pada 23 Oktober 1998 dan dicetak oleh Komnas Perempuan pertama kali pada November 1999.

 

BAB VI
KESIMPULAN


  1. Sebab pokok peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok, yakni proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elit politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Dalam kaitan ini, pertemuan Makostrad tanggal 14 Mei 1998, patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola pergumulan yang menuju pada kerusuhan yang terjadi.
  2. Peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti penculikan yang sesunguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan intelijen yang tidak dapat diawasi secara efektif dan peristiwa Trisakti. Dapat disimpulkan bahwa peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti telah menciptakan faktor martir yang telah menjadi pemicu (triggering factor) kerusuhan.
  3. Dari fakta di lapangan terdapat tiga pola kerusuhan, yaitu:
    • Pertama, kerusuhan bersifat lokal, sporadis, terbatas, dan spontan, berlangsung dalam waktu relatif singkat dan dengan skala kerugian serta korban yang relatif kecil. Kerusuhan dengan pola seperti ini terjadi karena situasi sosial-ekonomi-politik yang secara obyektif sudah tidak mungkin dicegah.
    • Kedua, kerusuhan bersifat saling terkait antar-lokasi, dengan modus yang mirip. Provokator dalam jenis kerusuhan ini berperan lebih menonjol dibanding jenis kerusuhan pertama. Mereka bukan berasal dari lokasi yang bersangkutan. Kemudian, ada kemiripan, atau bahkan keseragaman waktu dan urutan-urutan kejadian. Karena jenis kerusuhan ini skalanya besar dan di beberapa tempat, bahkan mengindikasikan berlangsung secara berurutan secara sistematik. Namun, belum ditemukan indikasi bahwa kerusuhan jenis ini direncakan dan pecah secara lebih luas daripada sekedar bersifat lokal yang berurutan. Terdapat mata rantai yang terputus (missing link) bagi pembuktian bahwa kerusuhan ini terjadi kondisi objektif. Kerusuhan jenis ini skalanya besar dan didapati semua tempat.
    • Ketiga, terdapat indikasi bahwa kerusuhan terjadi karena sengaja. Unsur kesengajaan lebih besar, dengan kondisi objektif yang sudah tercipta. Jenis kerusuhan ini umumnya mirip dengan jenis kedua, tetapi unsur penumpangan situasi jauh lebih jelas. Pada jenis atau pola ketiga ini, diduga kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sebagaimana halnya pada kerusuhan jenis kedua, terdapat sejumlah mata rantai yang hilang (missing link) yaitu bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan aras massa.
  4. Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik sebagai massa aktif maupun provokator unytuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan. Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu. Di lain pihak, kemampuan masyarakat belum mendukung untuk turut mencegah terjadinya kerusuhan.
  5. Angka pasti korban jiwa secara nasional tidak dapat diungkapkan, karena adanya kelemahan dalam sistem pemantauan serta prosedur pelaporan. Korban jiwa terbesar diderita oleh rakyat kebanyakan. Mereka sebagian besar meninggal karena terbakar. Mereka tak dapat dipersalahkan begitu saja dengan stigma penjarah. Begitu juga nilai kerugian material secara pasti tidak dapat dihitung, hanya dapat diperkirakan.
  6. Bedasarkan fakta yang ditemukan dan informasi dari saksi-saksi ahli, telah terjadi kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dalam peristiwa Kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998. Dari sejumlah kasus yang dapat diverifikasi dapat disimpulkan telah terjadi perkosaan yang dilakukan terhadap sejumlah perempuan oleh sejumlah pelaku di berbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan, dapat terjadi secara spontan karena situasinya mendukung atau direkayasa oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu. Korban adalah penduduk Indonesia dengan berbagai latar belakang, yang diantarannya kebanyakan adalah etnis Cina.
  7. Belum dapat dipastikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi merupakan kegiatan yang terencana atau semata ekses dari kerusuhan. Tidak ditemukan fakta tentang adanya aspek agama dalam kasus kekerasan seksual. Juga disimpulkan, bahwa perangkat hukum positif tidak memadai dan oleh karena itu tidak responsif untuk memungkinkan semua kasus perkosaan yang ditemukan atau dilaporkan dapat diproses secara hukum dengan segera.
  8. Peristiwa kerusuhan ini semakin meluas oleh karena kurang memadainya tindakan-tindakan pengamanan guna mencegah, membatasi, dan menanggulangi pecahnya rangkaian perbuatan kekerasan yang seharusnya dapat diantisipasi dan yang kemudian berproses secara eskalatif. Dapat disimpulkan bahwa adanya kerawanan dan kelemahan operasi keamanan di Jakarta khususnya bertalian erat dengan keseluruhan pengembanan tanggung jawab Pangkoops Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang tidak menjalankan tugasnya sebagaimana yang seharusnya. Gejala kerawanan dan kelemahan keamanan dalam gradasi yang berbeda-beda di berbagai kota lain di mana terjadi kerusuhan, juga bertalian dengan masalah pergumulan elit politik pada tingkat Nasional.
  9. Ditegaskan korelasi sebab-akibat dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang memuncak pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, dapat dipersepsi sebagai suatu upaya ke arah penciptaan situasi darurat yang memerlukan tindakan pembentukan kekuasaan konstitusional yang ekstra, guna mengendalikan kekerasan, yang persiapan-persiapan ke arah itu telah dimulai pada tingkat pengambil keputusan tertinggi.