Petisi Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967
Petisi kepada Presiden RI
suntingPetisi Pencabutan
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera
No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967
tentang Masalah CINA
Dengan hormat,
Pertama-tama kami, keluarga kami, dan staf serta karyawan kantor LKBH "Wira Dharma" mengucapkan: SELAMAT TAHUN BARU 2006, semoga tahun 2006 ini akan membawa Bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian dan selalu berada dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa
Bahwa dalam kesempatan ini kami ingin memberitahukan kepada Bapak, selaku Presiden Republik Indonesia, bahwa pada tanggal 21 Oktober 2005 kami pernah mengajukan PETISI mengenai Surat Edaran No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah CINA, untuk itu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa Isi Surat Edaran tersebut di atas mengenai penggantian istilah
Tionghoa/Tiongkok menjadi istilah CINA. Dimana Surat Edaran ini bertentangan
dengan:
- Undang-Undang Dasar 1945:
- Penjelasan Pasal 26 ayat (1): Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
- Konstitusi Republik Indonesia Serikat Pasal 100 ayat (1): Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa dan Arab akan berwakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9,6 dan 3 anggota.
- Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia:
- Pasal 58 ayat (1): Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab akan mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6, dan 3 anggota.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 Tanggal 29 Mei 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL 1956.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tanggal 23 September 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tanggal 18 Agustus 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
- Undang-Undang Dasar 1945:
- Bahwa Surat Edaran ini bersifat struktual, kebencian terhadap satu
golongan etnis tertentu dijelmakan dalam bentuk peraturan negara. Hal semacam ini pernah
terjadi di negara-negara:
- Afrika Selatan: dengan regime apartheid-nya.
- Regime Nazi Jerman: dengan anti-Yahudi-nya.
- Amerika Serikat: dengan politik pemisahan kulit putih dan kulit hitam (segregation policy)
- Australia: dengan peraturan White Colour yang anti Aborigin.
- Bahwa Surat Edaran di atas sangat menyakitkan hati masyarakat Tionghoa yang berjumlah +- 11.000.000 (sebelas juta) orang, yang juga merupakan bagian dari anak bangsa Indonesia.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, bersama ini kami mengajukan PETISI kepada Bapak, agar sudilah kiranya berkenan mencabut Surat Edaran yang menyakitkan hati masyarakat Tionghoa tersebut, yang lahir, hidup, dan meninggal di bumi Indonesia tercinta.
Marilah kita membangun negara Indonesia yang baru, berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, berkepribadian dalam bidang kebudayaan, menjunjung tinggi supremasi hukum dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.
Kami selalu berdoa agar semboyan-semboyan di bawah ini dapat dilaksanakan di bawah pemerintahan Bapak:
- Semboyan Bapak SBY: Discrimination: No, Kesetiakawanan Sosial: Yes.
Bentuk-bentuk kesetiakawanan sosial:
- Yang kuat membantu yang lemah
- Yang pintar membantu yang bodoh
- Yang kaya membantu yang miskin
- Yang berkuasa membantu yang tidak berkuasa
- PBB mencanangkan Tahun 2001 sebagai Tahun Anti Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan intoleransi lainnya.
Maka itu keputusan Bapak sebagai Presiden R.I. untuk mencabut Surat Edaran di atas akan meningkatkan citra, harkat dan martabat Bangsa dan Negara Indonesia di mata dunia internasional.
Mendahului segala perhatian, kebijaksanaan dan bantun Bapak dengan ini kami ucapkan banyak terima kasih.
Hormat kami,
KENG JOE HOK, SH
Surat yang sama juga dikirimkan kepada Yth.:
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Presiden Republik Indonesia
Puri Cikeas Indah No. 2
Gunung Putri - Bogor
Lampiran:
- Surat kami Nomor 185/LKBH-WD/X/2004 tanggal 21 Oktober 2004, Perihal Petisi Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang masalah CINA.
- Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
- Tajuk Rencana Surat Kabar KOMPAS, hari Kamis, tanggal 25 Januari 2001
- Jajak Pendapat Majalah Tempo, hari Sabtu tanggal 04 Februari 2001.
- Antara Cina dan Tionghoa oleh A. DAHANA.
Lampiran: Judicial Review kepada MK
suntingPermohonan Pengujian atas
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera
No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967
tentang masalah CINA
terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan hormat,
Yang bertanda-tangan di bawah ini:
Nama: Drs. EDDY SADELI, SH
Pekerjaan: Konsultan Hukum
Tempat tanggal lahir/ umur: Jakarta, 01 Januari 1940
Kewarganegaraan: Indonesia
Agama: Buddha
Alamat: Jl. Kali Besar Timur No.3
Kelurahan: Pinangsia
Kecamatan: Tamansari
Kota: Jakarta Barat - 11150
Dalam hal ini bertindak selaku Ketua Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia (LPPM-TI), berkedudukan di Jakarta - selanjutnya disebut PEMOHON.
Dengan ini Pemohon ingin mengajukan permohonan kepada Bapak selaku Ketua Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Pengujian terhadap Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina yang dikeluarkan oleh:
- Presidium Kabinet Ampera/Pemerintah Republik Indonesia/Presiden Republik Indonesia, beralamat di Jalan Veteran No. 9 Jakarta Pusat - selanjutnya disebut TERMOHON.
Adapun Permohonan ini Pemohon ajukan dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon adalah suatu organisasi masyarakat Tionghoa yang didirikan pada tanggal 01 Agustus 2002 dengan maksud tujuan untuk memperkenalkan sumbangsih etnis Tionghoa kepada masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia sebagai pengabdian kepada Tanah Air sebagaimana tertuang dalam Akta No. 1 tanggal 01 Agustus 2002 tentang Pendirian Lembaga yang dibuat di hadapan Tio Jefferens Marannella, SH., Notaris/PPAT di Jakarta (terlampir).
2. Bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
Ayat (1): "Pemohon adalah pihak yang mengangap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat, atau;
d. Lembaga Negara.
3. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas maka kompetensi Pemohon dalam mengajukan Permohonan ini adalah sah secara hukum.
4. Bahwa mengenai alasan-alasan sebagai dasar Permohonan Pengujian terhadap Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres. Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina yang ingin Pemohon sampaikan adalah sebagai berikut:
a. Bahwa isi Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres. Kab/6/1967 Tanggal 28 Juni 1967 tersebut diatas adalah mengenai penggantian istilah Tionghoa/Tiongkok menjadi istilah "CINA".
b. Bahwa Surat Edaran tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (baik yang asli maupun hasil amandemen)
Bahwa Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
"Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga Negara."
"Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara".
Bahwa Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menggunakan kata istilah "TIONGHOA" dan bukan "CINA" sebagai istilah sebutan untuk suku Tionghoa, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (berikut penjelasannya) tersebut di atas, maka Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tersebut telah BERTENTANGAN dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950
Pasal 100 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950 menyatakan:
"Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa dan Arab akan mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6 dan 3 anggota".
3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950
Pasal 58 ayat (1) UUD sementara Republik Indonesia Tahun 1950 menyatakan:
"Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa dan Arab akan mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9,6, dan 3 anggota".
c. Bahwa selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Surat Edaran sebagaimana dimaksud juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya:
1). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
2). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 tanggal 29 Mei 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang PENGHAPUSAN BENTUK DISKRIMINASI RASIAL.
3). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
d. Bahwa di dunia ini terdapat 2 (dua) macam diskriminasi, yakni: diskriminasi kultural dan diskriminasi struktural. Diskriminasi kultural terjadi karena terdapat hubungan sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok masyarakat, kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Sedangkan diskriminasi struktural adalah diskriminasi yang dilakukan oleh Negara (Pemerintah) terhadap kelompok masyarakat minoritas yang menjadi warga Negara-nya karena faktor ekonomis, politis, dan lain-lain untuk mempertahankan kekuasaanya atau karena untuk mendapatkan bantuan keuangan dari Negara lain.
e. Bahwa Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina termasuk diskriminasi yang bersifat struktural. Kebencian terhadap satu golongan etnis tertentu dijelmakan dalam bentuk peraturan negara. Hal semacam ini pernah terjadi di negara-negara:
- Afrika Selatan: dengan regime apartheid-nya.
- Regime Nazi Jerman: dengan anti Yahudi-nya.
- Amerika Serikat: dengan politik pemisahan kulit putih dan kulit hitam (segregation policy)
- Australia: dengan peraturan White Colour yang anti Aborigin.
f. Bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminasi struktural pada negara-negara tersebut di atas telah lama dicabut oleh Pemerintahannya masing-masing, hanya tinggal Negara Republik Indonesia yang belum mencabut peraturan yang bersifat diskriminasi struktural tersebut.
g. Bahwa Surat Edaran tersebut sangat menyakitkan hati masyarakat Tionghoa yang jumlahnya lebih dari 5% (lima persen) dari jumlah penduduk Indonesia yang juga merupakan bagian dari anak bangsa.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, bersama ini Pemohon mengajukan Permohonan kepada Bapak, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi agar berkenan untuk memberikan Putusan dengan aman putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia (Termohon) untuk mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan.
Dengan iringan ucapan terima kasih,
Hormat kami,
Drs. EDDY SADELI, SH
Lampiran:
a. Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967
b. Tajuk Rencana Surat Kabar KOMPAS, hari Kamis, tanggal 25 Januari 2001
c. Jajak Pendapat Majalah TEMPO, hari Sabtu , tanggal 04 Februari 2001
d. Artikel Majalah GATRA, judul: "Antara Cina dan Tionghoa" oleh A. DAHANA, tanggal 07 November 2001
e. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Pasal 100 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Sementara Tahun 1950
g. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Sementara Tahun 1950
h. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
i. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
j. Akta No. 1 tanggal 01 Agustus 2002 tentang Pendirian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia (LPPM-TI)
Lampiran: Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967
suntingSURAT EDARAN PRESIDIUM KABINET AMPERA
TENTANG MASALAH CINA
NO. SE-06/Pres.Kab/6/1967
- Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah “Tionghoa/Tiongkok” di samping istilah “Cina” yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi.
- Dilihat dari sudut nilai-nilai ethologis-politis dan etimologis-historis, maka istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah “Cina” tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psykologis dan emosionil.
- Berdasarkan sejarah, maka istilah “Cina-lah yang sesungguhnya memang sejak dahulu dipakai dan kiranya istilah itu pulalah yang memang dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.
- Lepas dari aspek emosi dan tujuan politik, maka sudah sewajarnya kalau kita pergunakan pula istilah “Cina” yang sudah dipilih oleh Rakyat Indonesia umumnya.
- Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah “Cina” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.
- Demikian, untuk mendapat perhatian seperlunya.
Jakarta, 28 Juni 1967
PRESIDIUM KABINET AMPERA
SEKRETARIS
Ttd.
SUDHARMONO, SH
BRIG.JEN TNI
Lampiran: Imlek Tahun 2001 Membuka Peluang Baru bagi Masyarakat Keturunan Tionghoa
suntingTAJUK RENCANA Kompas, 25 Januari 2001
Imlek atau Tahun Baru Tionghoa 2001 dinyatakan sebagai hari libur fakultif. Belum diterima sebagai hari libur nasional seperti yang diaspirasikan, tetapi sudahlah maju satu langkah bahwa Imlek hari libur fakultif.
Tampilnya barongsai sejak kampanye Pemilihan Umum 1999 menandai kebangkitan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa. Diikuti oleh munculnya beberapa surat kabar berbahasa Tionghoa serta hadirnya kursus-kursus bahasa.
Pemakaian istilah Tionghoa masih campur aduk. Istilah Tionghoa semakin banyak digunakan, tetapi istilah Cina belum sekaligus ditanggalkan. Sepanjang kita bisa mengamati, hal itu disebabkan oleh kebiasaan daripada pertimbangan lain.
Namun, karena sejarah pemakaian istilah itu sarat oleh pertimbangan sosial politik, kita berpendapat agar lambat laun lebih seragam pemakaiannya secara resmi. Jika sebagai pertanda berlakunya demokrasi yang menghormati persamaan martabat manusia, persamaan warga Indonesia serta pluralisme Indonesia, hidup dan dipakai lagi istilah Tionghoa, baik sebutan itu yang dipakai resmi dan sejauh mungkin dimasyarakatkan.
Sebaiknya perlu juga dipahami, jika penggunaan yang masih campur aduk, hal itu menurut hemat kita lebih disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari. Bukan karena ingin mempertahankan konotasi negatif dan degragatif yang sempat terkandung istilah itu.
KITA mendekatinya lebih komprehensif. Komitmen prodemokrasi, promartabat manusia dan hak-hak asasinya, pro-asas hukum, persamaan dan keadilan membuka peluang untuk kebangkitan kembali pluralisme Indonesia dalam kesetaraan tanpa diskriminasi.
Baik di dalam maupun di luar negeri, dihormati dan dilindunginya pluralisme, setara tanpa diskriminasi itulah yang masih tetap dihargai dan dipercayai, tatkala penghargaan dan kepercayaan terhadap bidang-bidang lain pemerintahan terus merosot.
Perjalanan sejarah acapkali unik. Kerusuhan medio Mei 1998 yang menimpa masyarakat keturunan, justru ikut membangkitkan kesadarannya untuk bangkit dan mengambil nasib tangan sendiri. Ada semacam kebangkitan kesadaran diri bahwa mereka sebagai warga negara Indonesia sama-sama memiliki hak dan kewajiban seperti saudara-saudara sebangsa lainnya.
Kebangkitan itu bersama tibanya dengan perubahan atau penyegaran kembali visi, prinsip, dan jati diri Indonesia Merdeka seperti yang diperjuangkan oleh pergerakan nasional dan diletakkan dasarnya oleh para Bapak Pendiri, Founding Fathers.
Masyarakat keturunan bangkit berekspresi diri melalui identitasnya dalam kesenian, kebudayaan, dan sosial politik. Bahkan dibentuk beberapa partai politik. Sungguh suatu kebangkitan kesadaran yang sebagai fenomena, sekaligus merangsang pemikiran lebih jauh.
PEMIKIRAN lebih jauh itulah yang kita coba dialogkan. Keunggulan dan kelebihan masyarakat majemuk, diantaranya terletak pada potensi, kemampuan, dan pengalaman masing-masing kelompok untuk berkontribusi bagi kesejahteraan seluruh bangsanya.
Terutama karena posisi dan pengalaman sejarahnya sejak zaman VOC, masyarakat Tionghoa memiliki kelebihan dalam sebutlah sense of business serta kesadaran ekonomi dengan segala implikasinya dan konotasinya yang positif maupun yang negatif.
Krisis ekonomi serta penggantian pemerintah tahun 1998 akhirnya membuka jelas sebab musabab krisis. Terbentang posisi dan peranan bisnis-bisnis besar yang dikenal sebagai konglomerat dan umumnya dimiliki oleh warga keturunan.
Memang kita harus fair. Salah guna secara luar biasa oleh para konglomerat itu bukan hasil bertepuk sebelah tangan, tetapi buah tepuk dua belah tangan, kolusi, binis dan penguasa. Bahkan bisa ditambahkan, karena perlindungan sosial dan hukum di negeri kita lemah, usaha yang beranjak lumayan, apalagi besar, memerlukan perlindungan lain. Perlindungan itu ditemukan pada lingkungan penguasa.
Akan tetapi, bagaimana juga, konglomerat itu juga bertanggung jawab dan wajib bertanggung jawab.
INILAH pemikiran yang terus-menerus mendesak. Marilah kita buat garis yang jelas dan tegas. Konglomerat yang bertanggung jawab dan melanggar hukum kemarin harus diminta pertanggungjawabannya secara hukum tanpa diskriminasi.
Sementara itu, dengan menarik garis tegas, kita mulai baru. Kita itu siapa? Pemerintah dan para pejabat pemegang kekuasaan dan wewenang baru. Tinggalkan dan tanggalkan kultur dan sikap bahwa kekuasaan adalah privilege seperti dalam kekuasaan dan struktur feodal. Oleh karena itu, korupsi dan kolusi itu sah-sah saja.
Apa moralitas legitimasi rezim baru, jika misalnya, mengulangi lagi apa yang kita kecam pada rezim lama bahkan yang menyebabkan rezim lama jatuh?
Kita itu siapa? Kita juga kita, masyarakat, termasuk masyarakat keturunan, termasuk para penguasa. Harus kita jadikan reformasi sekarang ini peluang untuk berbisnis, membangun ekonomi, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara bersih, bebas KKN, secara adil, secara bertanggung jawab sosial. Sebab kita saudara berbangsa: Tidak bermakna jika kemajuan dan kemakmuran bukanlah kemajuan dan kemakmuran bersama.
KITA, hargai kebijakan pemerintah yang semakin membuka peluang sosial, politik dan hukum, sehingga masyarakat keturunan duduk dan berdiri setara tanpa bentuk diskriminatif apapun, sebagai sesama warga bangsa dan negara.
Merupakan perkembangan yang menggairahkan ; bangkitnya lagi kesadaran keturunan untuk berekspresi diri secara sepenuh-penuhnya sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia.
Semua pihak terpanggil memberikan kontribusi kepada kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara. Kita bangkitkan lagi kegiatan dan usaha bisnis serta ekonomi. Tetapi, sesuai dengan pelajaran dari pengalaman tidak adil kemarin dan sesuai dengan komitmen reformasi , bisnis, dan ekonomi haruslah kita bangun dengan visi, prinsip serta praktik yang bebas KKN, yang fair dan adil dan yang wajib itu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sangat besar harapan serta upaya untuk terselenggaranya pemerintahan serta penggunaan wewenang dan kesempatan yang tidak lagi korup, yang tidak lagi KKN, yang tidak diskriminatif.
Seiring dengan kesetaraan posisi dan peranannya sebagai sesama warga bangsa, tanggung jawab masyarakat Indonesia keturunan juga semakin besar.
Lampiran: Jajak Pendapat Majalah: Tempo, No. 48/XXIX
sunting1. Apakah Anda setuju tahun baru Imlek dijadikan hari libur nasional?
Jawaban responden:
- Ya: 59%
- Tidak: 41%
2. Apakah Anda setuju penyebutan nama Cina dikembalikan menjadi Tionghoa-Tiongkok?
- Ya: 54%
- Tidak: 46%
3. Apakah Anda setuju komunitas Tionghoa menggunakan bahasa mereka sendiri untuk komunikasi sehari-hari?
Jawaban responden:
- Ya: 22%
- Tidak: 78%
4. Apakah Anda setuju pemerintah membubarkan Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), yang secara khusus dibentuk untuk mengawasi komunitas etnis Tionghoa?
Jawaban responden:
- Ya: 44%
- Tidak: 55%
5. Bagaimana minat Anda untuk menonton pertunjukkan budaya Tionghoa semacam barongsai?
Jawaban responden:
- Sangat tinggi: 3%
- Tinggi: 8%
- Biasa: 65%
- Rendah: 17%
- Sangat Rendah: 7%
6. Apakah Anda keberatan bila salah satu saudara dekat Anda menikah dengan warga Tionghoa?
Jawaban responden:
- Keberatan: 58%
- Tidak keberatan: 42%
7. Bila keberatan, mengapa Anda menjawab demikian?
Jawaban responden:
- Karena perbedaan ras: 42%
- Karena perbedaan agama: 37%
- Tidak menjawab: 24%
8. Bila tidak mengapa Anda menjawab demikian?
Jawaban responden:
- Asalkan satu agama: 43%
- Sudah suratan takdir/jodoh: 30%
- Untuk menyatukan budaya: 17%
- Menjalankan kepercayaan masing-masing: 6%
- Kedudukan manusia sama dimata Tuhan: 1%
- Tidak menjawab: 24%
Lampiran: Antara Cina dan Tionghoa
suntingOleh: A. DAHANA (Gatra, 7 Nop, 1998)
Perubahan politik pada akhir Mei lalu, yang mengakibatkan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, didahului dengan rangkaian kerusuhan sosial. Salah satu ekses paling menonjol dari kerusuhan sosial itulah adalah gelora rasialisme antiminoritas Tionghoa yang diwarnai dengan kekerasan dan ancaman terhadap keselamatan fisik dan harta benda mereka.
Dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan terbukanya paradigma politik baru, timbul tuntutan dari minoritas Tionghoa agar mereka diperlakukan dan diberi hak-hak—khususnya hak politik—yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Yang menarik, mereka menuntut dipulihkannya istilah "Tionghoa" untuk menyebut kelompok mereka.
Lebih dari 30 tahun, penggunaan istilah Tionghoa ditabukan pemerintahan Orde Baru dengan sebuh peraturan khusus berupa Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera RI Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967. Isinya, melarang penggunaan istilah "Tionghoa" dan menggantinya dengan istilah "Cina".
Dengan konskuen, instruksi itu dijalankan. Sebutan "Republik Rakyat Tiongkok" (RRT) diganti dengan "Republik Rakyat Cina", walaupun Beijing ngedumel. Setelah normalisasi hubungan kedua negara, banyak perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RRT yang mengharuskan adanya MOU (memorandum of understanding) ditulis dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris, karena pihak RRT keberatan atas penggunaan istilah "Cina". Kalaupun bahasa Indonesia digunakan, khusus untuk mengacu ke [negara RRT] dipakai istilah kompromi "China", ejaan yang tak ada dalam kosakata bahasa Indonesia.
Beberapa tahun silam, penanggungjawab sebuah majalah berita dipanggil dan ditegur oleh instansi keamanan, karena menggunakan kata "Tionghoa" dan "Tiongkok" untuk mengacu ke golongan etnis Tionghoa dan daratan China. Pada tahun 1992, delegasi sebuah universitas negeri yang datang ke Beijing, atas undangan Pemerintah RRC, mendapat matlamat (briefing) khusus dari Duta Besar RI di sana, untuk tak ragu menggunakan istilah "Cina". Padahal, sebagian anggota masyarakat etnik Tionghoa, terutama generasi tuanya, mereka merasa kurang sreg lantaran menganggap istilah itu sebagai penghinaan terhadap mereka.
Lalu, sebutan mana yang paling cocok? Kata "Cina", kalau mengacu pada ilmu asal kata (etimologi), sebenarnya tak mengandung arti hinaan. Kata itu berasal dari Qin, nama dinasti yang pada tahun 221 sebelum Masehi untuk pertama kalinya dalam sejarah China berhasil mempersatukan negeri itu, setelah tercerai-berai menjadi negara kecil yang saling berperang selama lebih dari dua abad.
Kata Tionghoa adalah transliterasi dari kata dalam bahasa Mandarin, Zhonghua, dan biasanya penggunaanya tak berdiri sendiri. Jadi, istilah "orang Tionghoa" terjemahan Mandarinnya adalah "Zhongguoren". "Zhongguo" secara harfiah berarti "Negeri di Tengah (Dunia)", sebutan yang dipakai orang Tionghoa untuk menyebut negara asal mereka.
Tapi penggunaan kata "Tionghoa" atau "Zhonghua" untuk menyebut golongan etnis Tionghoa bisa diasosiasikan bahwa mereka masih punya hubungan batin dengan "negeri leluhur" mereka yakni China ("Zhongguo"). Baik RRT di daratan China maupun Republik China (Republic of China—ROC) di Taiwan sama-sama menggunakan istilah "Zhonghua" dalam menyebut negara mereka. RRT menamakan dirinya "Zhonghua Renmin Gongheguo", sedangkan ROC Taiwan menamakan dirinya "Zhonghua Minguo".
Maka, kalau berpijak pada etimologi, istilah yang netral adalah "Cina". Sayangnya, Istilah ini terlanjur berkonotosi buruk lantaran sering dikaitkan dengan hal-hal buruk golongan etnis Tionghoa. Maklumlah, kalau "Cina" sering diikuti dengan kata lain yang degeneratif seperti "Cina loleng" atau "Cina mindring".
Pada seminar mengenai golongan etnis minoritas Tionghoa di kampus Universitas Indonesia belum lama ini, Dr. Leo Suryadinata, pakar terkemuka masalah etnis Tionghoa, mengatakan bahwa istilah "Cina" digunakan untuk mengacu pada sekelompok orang yang berperilaku buruk, sedangkan yang berperilaku baik itu "bukan Cina". Di negara jiran Singapura dan Malaysia, kata "Cina" masih dipakai, dan sama sekali tak mengacu pada hinaan atau cemoohan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, di Asia Tenggara ada kecenderungan untuk menggunakan kata "Huaren" (secara harfiah berarti "orang Hua") atau "Huayi" ("keturunan Hua") untuk mengacu kegolongan etnis Tionghoa. Taiwan dan RRT juga menggunakan kedua kata itu untuk menyebut masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal di luar negeri dan sudah tak menjadi warga negara mereka.
Dalam pada itu, muncul juga kecenderungan untuk megindonesiakan sebutan terhadap golongan etnis Tionghoa dengan menggunakan istilah "nonpribumi". Kata itu digunakan sebagai lawan dari istilah "pribumi", yang sebenarnya merupakan panggilan degeneratif, karena itu terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda, inlanders, yang mengandung hinaan pada penduduk asli Indonesia. Ada lagi istilah salah kaprah, seperti "warga negara Indonesia keturunan", bahkan istilah "Cina perantauan" ("Huaqiao" atau "Hoakiao"), yang dengan samar menunjukkan bahwa etnis Tionghoa berada di luar jalur utama mainstream masyarakat Indonesia.
Setelah menderetkan istilah-istilah itu, mana yang akan kita pakai? Kalau para saudara kita yang keturunan Tionghoa ingin disebut Tionghoa, apa salahnya jika kita menggunakan istilah itu, walaupun secara etimologi tak tepat. Bukankah ada petuah "Panggillah seseorang dengan sebutan yang baik!" Sebutan baik itu bisa diartikan dengan panggilan yang tak menyinggung perasaan mereka.
Tak usah ada peraturan khusus yang mengatur penggunaan istilah seperti Surat Edaran Tahun 1967, yang menunjukkan sikap emosional hubungan dengan tuduhan bahwa RRT dan organisasi kiri "Baperki" terlibat dan mendukung G.30.S/PKI.