V
DOBU

Pulau Dobu letaknja di Kelompok-Entracasteaux didekat pantai Selatan lrian. Diantara bangsa² di Malanésia Barat-Laut, penduduk Dobu mendiami daérah jang paling Selatan. Adapun Malanésia Barat Laut ini mendjadi terkenal terutama sekali oléh tulisan² Dr. Bronislaw Malinowski tentang Pulau² Trobiand. Kedua kelompok pulau² itu letaknja sedemikian dekatnja satu sama lain, sehingga penduduk Dobu bisa mengadakan pelajaran-niaga jang teratur diantara pulau² ini. Akan tetapi keadaan alam-sekitarnja sangat berlainan, dan temperaturnjapun sangat berlainan pula. Kepulauan Trobiand terdiri dari pulau² datar, tanahnja subur, dan mudah mentiari nafkah dan hidup makmur. Tanahnja kaja dan sungai²nja mengandung tjukup ikan. Pulau² Dobu dalam pada itu adalah daérah² pegunungan padas, sedikit tanah jang bisa ditanami, dan ikanpun tak tregitu banjak adanja. Dibandingkan dengan djumlah penduduknja, sumber² jang ada sedikit sekali, meskipun djumlah penduduk désa jang sangat ter-pentjar² letaknja itu dalam waktu² jang paling makmurpun hanja duapuluh-lima, jang sekarang ini hanja tinggal separohnja, padahal penduduk kepulauan Trobiand jang padat itu bisa hidup makmur dalam masjarakat² besar jang berdekat²an. Bagi makelar² bangsa kulitputih jang mentjari tenaga-kerdja, orang Dobu terkenal sebagai sasaran jang énak. Karena meréka selalu diantjam bahaja kelaparan meréka dengan tjepat mau tékén kontrak-kerdja, Dan karena meréka sudah biasa dengan makanan kasar dan sedikit, maka makanan jang diberikan kepada meréka tak menjebabkan rasa kesal.

Akan tetapi dikalangan penduduk pulau² jang berdekatan disitu,-orang² Dobu tak terkenal karena melaratnja, melainkan karena berbahaja. Meréka ini dikenal sebagai ahli-sihir, jang mempunjai kesaktian sjaitani dan sebagai ahliperang jang suka berchianat. Beberapa generasi jang lalu, sebelum ada bangsa kulitputih disitu meleka adalah pemakan daging-manusia, kanibal, padahal di-daérah² disekitarnja tiada orang jang suka makan daging-manusia. Meréka adalah orang² liar dan buas jang paling ditakuti oléh penduduk di-pulau² sekitarnja.

Mémang sudah sepantasnja bangsa Dobu ditakuti dan disebut bangsa jang liar dan buas. Meréka itu tak mengenal undang² atau hukum, dan suka sekali berchianat. Meréka saling ber-musuh²an.
DOBU

Meréka tak mempunjai organisasi jang rapi, tak seperti penduduk kepulauan Trobiand, jang dipimpin oleh kepala²nja jang disegani dan dimana terdjadi pertukaran² barang dan hak² dengan lantjar, tertib dan damai. Dobu tak mempunjai kepala. Dobu tak mempunjai organisasi politik. Bahkan sesungghnja Dobu tak mempunjai peraturan². Ini tak disebabkan, karena orang² Dobu hidup anarkis — seperti„manusiaalam” Rousseau jang sebegitu djauh belum diatur oleh perdjandjian sosial — akan tetapi karena bentuk² sosial, jang berlaku di obu, menghargai penipuan dan pengchianatan dan mendjadikan sifat² ini nilai² kesusilaan jang diakui dalam masjarakatnia.

Adalah bertentangan dengan kebenaran untuk mengatakan bahwa di Dobu berlaku anarki, Organisasi sosi I Dobu merupakanlingkaran² jang konséntris. Dan didalamnja diizinkan adanja bentuk² permusuhan jang tradisionil. Tidak ada orang jang menggunakan haknja ketjuali untuk melaksanakan permusuhan² kulturil jang dizinkan dalam kelompok jang tertentu. Djenis kelompok terbesar di Dobu meliputi suatu daérah jang mempunjai nama sendiri dan terdiri dari empat atau lima desa. Ini merupakan kesatuan-perang, jang selalu berada dalam keadaan permusuhan internasional dengan kesatuan² sematjam itu. Sebelum zaman pendjadjahan kulit-putih, tiada orang jang memberanikan diri datang didaérah asing, djikalau tidak untuk membunuh dan merampok. Akan tetapi dalam satu hal kesatuan² setempat itu saling memerlukan satu sama lain. Pada peristiwa kematian atau sakit keras, djika dianggap perlu untuk menetapkan setjara adikodrati siapa jang bertanggung djawab, maka didatangkanlah seorang sakti dari daerah musuh. Djadi tidak dipakai orang² sakti kelompok sendiri, karena ini membahajakan. Jakni berbahaja bagi orang sakti itu, djikalau ia menundjuk orang jang dituduhnja bersalah. Oléh karena itu dipanggillah seorang ahli dari daerah lain, jang sedikit-banjaknja aman karena djarak jang djauh itu.

Mémang bahaja paling besar terdapat dalam daérah² itu sendiri. Meréka jang menggunakan pantai jang sama, atau jang ber-sama² bekerdja disitu, merékalah jang paling djahat-mendjahati setjara adikodrati, atau setjara njata². Meréka sedapat mungkin saling merugikan panennja masing², meréka mengatjaukan pertukaran²-ekonomi, meréka mendatangkan maut dan sakit. Tiap² orang mempunjai alat² magis untuk mentjapai tudjuan²nja itu dan mempergunakan segala matjam kesempatan untuk melaksanakan maksud²nja jang djahat. Hal ini akan kita bitjarakan nanti. Tjara² magis ini sangat diperlukan dalam lingkungan sendiri, akan tetapi, katanja, tiada berdaja dijuar lingkungan itu, Hanja orang², jang tiap² hari bergaul dengan meréka, meréka itulah perempuan² sihir atau ahli² sihir, jang mengantjam kehidupannja.  Akan tetapi di-tengah² kesatuan daérah ini ada satu kelompok, jang didalamnja diperlukan perlakuan lain. Kelompok ini bisa digunakan sebagai tempat-bersandar selama hidupnja. Ini bukanlah keluarga, sebab ajah atau saudara-laki2 dan saudara-perempuan atau orang² laki² itu sendiri tidak termasuk didalamnja. Kelompok itu ialah kelompok utuh menurut garis-keturunan pihak ibu. Waktu meréka masih hidup, meréka memiliki kebun² dan rumah² sendiri dalam désa itu djuga. Setelah meréka meninggal, meréka dikubur disebidang tanah jang dimiliki oleh nenekmojangnja. Ditengah tiap² désa ada kuburannja, jang ditanami phyllaurea dengan daunnja jang molek itu. Disinilah nenekmojang² dikubur menurut garis-keturunan pihak wanita dari ibu jakni meréka jang waktu hidupnja adalah pemilik² désa, laki² dan perempuan, sekarang meréka dikubur di-tengah² désa itu. Disekitarnja terdapat rumah²-terras jang didiami oleh penghuni² jang hidup, menurut garis keturunan pihak ibu. Dalam kelompok inilah berlaku penjerahan hartapusaka dan ada kerdjasama. meréka itu disebut „susu” (jang artinja susu-ibu) dan melingkupi wanita² dengan anak²nja dan saudara laki² wanita² ini. Anak saudara-laki² tak termasuk didalamnja, meréka ini hidup dalam désa² ibunja. Antara kelompok² ini sering terdjadi permusuhan².

 Susu biasanja hidup dalam désanja sendiri ber-sama² dengan susu² kerabat lainnja. Otonomi désa dihormati dengan sungguh². Di Dobu tak bisa orang begitu sadja masuk atau keluar désa. Ada djalan ditepi désa dan meréka jang mempunjai hak untuk boleh menghampiri sedekat²nja, menggunakan djalan ini, untuk pergi meliwati perkampungan. Seperti jang kita akan lihat, maka anak² orang² laki² désa setelah ajahnja mati, tak lagi mempunjai hak ini. Selama ajahnja masih hidup atau djikalau désa itu kepunjaan isterinja, meréka kalau diundang boléh datang. Orang² lain djika mau meliwati désa itu harus melalui djalan-samping. Meréka tak boléh berhenti. Malahan pada pertemuan² keagamaan, pésta-panén atau inisiasi dalam suku, orang² dari lain² désa tak diundang, sebab di Dobu tak ada keketjualian mengenai soal ini. Di-tengah² désa, kuburan menduduki tempat jang djika di Trobiand merupakan tempat-taribersama. Orang² Dobu pun sangat tahu akan bahaja, jang tersembunji didaérah lain, sehingga meréka tak mau mengundjungi lapangan terbuka untuk mendjalankan tugas² sosial dan keagamaannja. Dan meréka terlalu sadar akan bahaja² sihir jang disebabkan oleh iri-hati untuk memboléhkan orang² daérah lain datang didésanja.

 Dalam pada itu orang² harus kawin dengan orang dari désa lain. Akan tetapi orang hanja diboléhkan kawin dengan orang² dari désa² didaérah sendiri, sehingga dengan begitu perkawinan berarti diadakannja hubungan antara dua désa, jang saling bermusuhan. Akan tetapi perkawinan² inipun tak membawa perbaikan dalam hubungan antara kedua désa itu. Sedjak dari mula lembaga²-perkawinan ditudjukan untuk mentjiptakan sengketa sengit antara kedua kelompok ini. Perkawinan dimulai dengan suatu tindakan permusuhan dari pihak mertua-perempuan. Ia sendiri menutup rapat² pintu rumah, dimana pemuda itu tidur ber-sama² dengan anak-permepuannja dan dengan begitu si pemuda masuk perangkap dan bisa dipertunangkan setjara resmi didepan umum. Sebelum itu sedjak permulaan pubertetnja ia tiap² malam tidur dalam rumah gadis² jang belum kawin, Adat² kebiasaan memboléhkan dia masuk dalam rumahnja sendiri. Beberapa tahun lamanja ia bisa meloloskan diri dari akibat dan tanggungdjawab perbuatan²nja itu dengan memilih tempat² jang ter-pentjar² dalam membagi tjintanja, dan meninggalkan rumah itu sebelum fadjar menjingsing. Kalau ia achirnja djatuh dalam perangkap, maka kebanjakan kali hal ini disebabkan karena ia sudah bosan dengan pengalamannja atau karena ia sedikit-banjaknja telah mendjatuhkan pilihannja. Oléh karena itu ia tak perlu bangun terlalu pagi. Namun ia masih dianggap djuga tak bersedia untuk menerima kehinaan perkawinan. Kedjadian selandjutnja hingga ia terpaksamenerima hinaan ini disebabkan oléh adanja sang mertua-perempuan jang berdiri didepan pintu. Djikalau orang² désa, jakni kerabat² garis keturunan pihak perempuan dari si gadis, melihat perempuan tua ia berdiri tak ber-gerak² didepan pintu, maka meréka berkumpul dan dengan disaksikan oléh umum pemuda dan gadis itu keluar dari dalam bilik dan duduk diatas tikar ditanah. Orang² désa itu memandang meréka setengah djam lamanja dan kemudian pergi, ini berarti bahwa pemuda dan gadis itu sudah dipertunangkan setjara resmi.

Sedjak itu mempelai laki² itu harus memperhatikan désa isterinja. Per-tama² ia harus bekerdja. Segera mertua-perempuannja memberi tongkat gali kepadanja, seraja katanja : „Sekarang, kerdja !” Ia harus membuat kebun dibawah pengawasan ibu dan bapa-mertuanja. Djikalau meréka masak dan makan, ia harus terus bekerdja, karena ia tak diperboléhkan makan didepan mata meréka. Ia mempunjai kewadjiban rangkap. Djikalau ia sudah selesai menanam atau memelihara kebun ubi mertuanja, iapun harus memelihara kebun keluarganja sendiri. Bapa-mertuanja bisa mnggunakan kekuasaannja se-wenang² dan menikmati kekuasaan atas anak menantunja ini. Bukan pemuda itu sadja jang mendjadi korban, djuga kerabat²nja dibebani dengan tugas². Demikian beratnja tugas² itu membebani saudara²-laki²nja, jang diwadjibkan mengusahakan alat² bagi kebun itu dan mengumpulkan benda² berharga untuk mas-kawin, sehingga sekarang ini sering kedjadian bahwa pemuda² itu lari djika saudara-laki²nja bertunangan, supaja terhindar dari beban ini jakni dengan djalan teken kontrak pada makelar² kulit-putih.

 Djikalau achirnja hadiah²-kawin telah dikumpulkan oléh anggota² susu mempelai laki², maka dibawanja ini dengan ber-bagai² upatjara kedésa pengantin perempuan. Perarakan terdiri dari saudara²-laki² dan mempelai laki² ibunja dan saudara-laki² dan perempuan dari ibu. Ajahnja tak boléh hadir, demikian pula suami² atau isteri² dari ibu. Demikian pula suami² atau isteri² dari meréka jang ikut dalam perarakan itu berserta anak² orang² lelaki, meréka berikan hadiah² itu kepada susu pengantin perempuan. Akan tetapi tak terdjadi pergaulan ramah-tamah antara kedua kelompok itu. Kelompok mempelai perempuan menantikan meréka diudjung batas désa nenekmojangnja. Para pengundjung tetap berada disuatu tempat jang paling dekat dari désanja. Meréka berbuat seperti orang takut, se-olah² tidak mengetahui kehadiran pihak lainnja. Suatu djarak lebar memisahkan meréka satu sama lainnja. Djikalau meréka terpaksa harus melihat satu sama lainnja, meréka saling memandangnja dengan penuh rasa tjuriga dan bermusuhan.

 Tiap² bagian daripada upatjara-perkawinan ini pelaksanaannja kaku dan keras. Susu mempelai perempuan harus pergi kedésa mempelai laki² dan harus menjapunja setjara resmi se-bersih²nja dan harus pula membawa hadiah² berupa sedjumlah besar makanan mentah. Pada hari berikutnja datanglah keluarga mempelai laki² didésa mempelai perempuan untuk membawa sedjumlah ubi sebagai gantinja. Upatjara-perkawinan itu sendiri terdiri dari peristiwa dimana mempelai laki² didésa ibu-mertuanja menerima sesuap makanan masakan ibu-mertua dan setjara itu pula mempelai perempuan mendapat makanan dari ibu mertuanja didésa suaminja. Dalam suatu masjarakat, dimana makan bersama² termasuk tjara bergaul jang sangat dihormati, maka adat kebiasaan ini memang tepat sekali. Perkawinan mentjiptakan suatu perkelompokan baru, jang dalamnja kemesraan dan kepentingan² bersama didjamin. Dobu tak memetjahkan masalah-perkawinannja dengan djalan mengabaikan semua ikatan-perkawinan, seperti jang dilakukan oléh suku² di Irian-Barat, jang mempunjai clan² jang kuat pula seperti Dobu. Pada suku² ini orang²pun berdiam ber-sama² dalam suatu tempat menurut garis keturunan pihak ibu: meréka memungut panen bersama² dan ber-sama² pula meréka melaksanakan tiap² tindakan ekonomi. Suami mengundjungi isteri²nja dengan diam² dan sembunji² pada malam hari atau dalam semak². Meréka itu disebut „suami² jang berkundjung”, jang sama-sekali tak membahajakan otonomi matriarkat. Sebaliknja di Dobu suami dan isteri mempunjai bilik bersama dan dengan tjermatnja meréka mendjaga hak²nja atas kehidupan perseorangan. Demikian pula merékapun mengusahakan makanan bersama dari kebunnja untuk dirinja sendiri dan untuk anak²nja. Akan tetapi dalam memenuhi kedua sjarat ini, jang nampaknja begitu elementer bagi kita, jang dididik dalam peradaban Barat, timbul masalah² berat bagi orang² Dobu, karena ikatan² terkuat ialah ikatan² kelompok-Susu. Djikalau sepasang suami isteri hendak memiliki suatu rumah dan kebun sendiri, diatas tanah siapa rumah dan kebun ini harus didirikan ? Diatas tanah susu isterinja atau susu suami ? Masalah ini dipetjahkan setjara logis sekali, meskipun agak aneh. Dari kawin sampai mati suami-isteri itu berdiam setahun didésa si isteri dan setahun didésa si suami.

Djadi tiap² dua tahun sekali selama setahun masing² suami isteri masing² mendapat sokongan kelompoknja dan dengan begitu meréka pun mentaati peraturan² jang berlaku dalam kelompok, dimana meréka berdiam. Tahun berikutnja bergantilah siapa jang harus diperlakukan sebagai orang asing jang tidak disukai dan jang harus berusaha supaja sedikit mungkin menarik perhatian pemilik² désa. Dengan begitu désa² Dobu terpetjah-belah dalam dua kelompok, jang selalu saling bermusuh²an : satu pihak, meréka jang termasuk didalamnja menurut garis-keturunan pihak wanita, jakni apa jang dinamakan pemilik désa, dan lain pihak meréka jang dimasukkan didalamnja karena perkawinan beserta anak² dari pemilik² laki² Kelompok jang tersebut pertama itu selalu jang berkuasa dan bisa se-banjak²nja membelakangkan meréka, jang hanja untuk satu tahun disitu karena memenuhi sjarat² kehidupan sebagai suami-isteri. Pemilik² itu merupakan front jang kuat: kelompok pihak-luar tak merupakan kesatuan jang kokoh. Baik dalam teori maupun dalam praktek orang² Dobu tidak menjetudjui bahwa dua désa karena adanja ikatan²-perkawinan mendjadi terlalu érat perhubungannja. Semangkin tersebar perhubungan² itu diantara désa², semakin baik bagi meréka. Dengan begitu orang² jang masuk kelompok karena perkawinan tak saling dipertalikan dengan ikatan susu. Ada pula suatu katagori-totem, jang bisa melampaui batas² kesatuan daérah akan tetapi di Dobu hal ini merupakan klassifikasi jang kosong tanpa fungsi apa², tak penting dan tak perlu diperbintjangkan, karena pada hakikatnja individu² jang tak saling terikat, jang berada dalam désa se-mata² karena isteri (suami)nja disitu, dengan begitu perhubungannja tak mendjadi semangkin erat.

Menurut segala alat² tradisionil, jang dimilikinja, orang² Dobu menuntut supaja suami atau isteri jang selama setahun menetap dalam désa isteri atau suaminja merasa bahwa ia sesungguhnja berada dalam

daérah musuh, jang oléh karena itu bisa dibikin malu se-mau²nja.
POLA-POLA KEBUDAIAAN

Semua pemilik désa boléh sadja menjebut namanja, sebaliknja ia tak boléh nama meréka, Ada berbagai alasan mengapa tjara pemakaian nama orang di Dobu tak sama dengan diperadaban Barat. Djikalau orang boléh menjebut suatu nama, maka itu berarti bahwa meréka jang menjebutnja itu boléh memperlakukan agak se-wénang² pemilik nama tsb. Setiap kali suatu désa memberi atau menerima hadiah, berhubungan dengan adanja pertunangan, pertukaran hadiah²-perkawinan jang tiap² tahun diperbaharui atau djika ada peristiwa-kematian, maka suami jang hanja selama setahun berada dirumah keluarga isterinja, harus meninggalkan rumah itu. Ia selalu diperlakukan sebagai orangluar.

Ini tak se-kali² merupakan segi² kedudukannja jang paling tak énak. Masih ada sengketa lain jang lebih penting lagi. Penduduk désa, tempat suami-isteri menetap, atjapkali mengetjam tingkah-laku suami (isteri) jang datang dari désa jain. Perkawinan dianggap oléh susu sebagai suatu penanaman modal jang penting, karena selalu ada pertukaran² benda antara kedua désa jang bersangkutan berhubung dengan ulangtahun perkawinan jang diiringi dengan upatjara² dari mulai perkawinan pada saat meninggalnja si isteri atau si suami. Orang² laki² dari garis-keturunan pihak ibu mempunjai hak ékonomi untuk memainkan, peranan jang aktip disini. Adalah mudah bagi seorang laki² atau wanita jang berada dalam désanja sendiri, pergi kesusunja sendiri, teristimewa saudara-laki² ibu, untuk minta bantuan djikalau ada sengketa dalam perkawinan, jang tak putus²nja terdjadi dikalangan orang² Dobu. Saudara-laki² ibu suka sekali memberi peringatan² keras didepan umum kepada orang² luar itu, atau mengusirnja dari désa dengan melemparkan kata²-maki²an jang kotor².

Kadang² ketegangan itu mengenai soal² seksuil. Dikalangan orang² Dobu tak ada jang pertjaja bahwa ada apa jang dinamakan kesetiaan dalam perkawinan, dan semua orang Dobu berkejakinan bahwa pertemuan antara seorang laki² dan perempuan meskipun untuk sebentar sadja, pasti mengandung maksud² seksuil. Meréka jang selaku orang luar hanja untuk suatu masa tertentu berada dalam désa, dengan lekas menuduh bahwa suami (isteri)nja tak setia, dan ketjurigaan ini biasanja memang beralasan. Dalam suasana jang penuh rasa-tjuriga ini adalah paling aman untuk mengadakan hubungan seksuil dengan

„saudara-perempuan” atau „saudara-laki²” dari désanja sendiri. Selama tahun, dimana ia berada didésanja sendiri, ada kesempatan² paling baik, sedangkan bahaja² adikodratipun paling ketjil adanja. Pendapat umum sangat menentang perkawinan² antara „saudara-laki²” dan „saudara-perempuan” demikian itu. Perpetjahan dalam désa akan timbul, djikalau harus terdjadi pertukaran setjara paksa
DOBU

dalam suatu perkawinan antara dua bagian dari satu perkampungan, Akan tetapi zinah dilingkungan kelompok merupakan pengisi waktu jang menjenangkan. Hal ini di-pudji² dalam mythos dan tiap² orang sedjak ketjilnja mengetahui bahwa hal² jang demikian itu terdjadi disetiap désa. Ini adalah suatu soal, jang sangat mengganggu ketenteraman suami atau isteri jang dirugikan. Ia menjuap anak², supaja ia selalu diberitahukan tentang kedjadian² itu. Kadang² anak² lain, kadang² anak²nja sendiri. Kalau jang dirugikan itu si suami maka ia lalu memetjahi alat²-dapur isterinja. Djika jang dirugikan itu si isteri, maka ia menjiksa andjing suaminja. Maka terbitlah pertengkaran² jang hebat dan hal ini tak bisa disembunjikan karena rumah² di Dobu sangat berdekat²an dan atapnja hanja dibuat dari daun. Ia lari meninggalkan désa seperti orang kerandjingan. Achirnja karena marahnja ia mentjoba bunuh diri menurut salah suatu tjara² jang lazim, jang semuanja bisa gagal. Biasanja memang ia tetap hidup dan dengan tjara begini ia mungkin mendapat sokongan dari susu isterinja, susu ini ingin berdamai karena takut adanja pembalasan, djikalau kerabat² suami jang dirugikan berhasil dalam pertjobaannja untuk membunuh diri. Djikalau hasrat untuk berdamai itu ada, maka soalnja mendjadi beres, dan selandjutnja suami-isteri hidup ber-sama² dengan hati mendongkol dan marah. Pada tahun berikutnja si isteri bisa mengadakan pembalasan setjara itu pula dalam désanja sendiri.

Dikalangan masjarakat Dobu memanglah kewadjiban² sosial bagi suami dan isteri untuk berdiam dalam satu rumah mempunjai bentuk jang lebih ber-belit² daripada dalam peradaban kita sendiri. Adat kebiasaan ini berlangsung disana dalam keadaan jang sedemikian rupa, sehingga perkawinan selalu terantjam dan sering bubar. Oleh karena itu banjak terdjadi pertjeraian, ada lima kali lebih sering daripada misalnja dipulau Manus, suatu bentuk-kebudajaan lain Lautan Teduh, jang telah dilukiskan oleh Dr. Fortune. Pelaksanaan kewadjiban sosial kedua oléh suami isteri dikalangan orang² Dobu, jakni pengusahaan bersama makanan dikebun jang tjukup banjaknja untuk meréka sendiri dan anak²nja, dipersukar pula. Kewadjiban ini dipersukar oleh hak² istiméwa asasi dan djuga oleh hak² magis.

Orang² Dobu berpegangan erat pada milik peribadi, dan ini sangat djelas dinjatakan dalam anggapan²nja mengenai hak-milik atas ubi² jang bersifat turun-temurun. Garis keturunan jang mengenai ubi-²pun termasuk lingkungan susu seperti darah dalam badan anggota²nja. Bahkan di-kebun² suami-isteri, bibit ubi itu dikumpulkan. Suami-isteri menanami kebunnja masing², tempat bibit ubi dari garis keturunannja ditanami. Pertumbuhan ubi dipertjepat oleh njanjian²-sihir, jang djuga

tetap berada dalam lingkungan garis-keturunan pihak ibu sebagai suatu
POLA-POLA KEBUDAJAAN

milik-rahasia dan perseorangan, Dogma umum jang berlaku dalam masjarakat ialah bahwa hanja ubi dari garis-keturunan sendiri bisa tumbuh baik dalam kebunnja dan achirnja bisa masak disana karena mantra²-sihir, jang meréka warisi, seperti halnja dengan bibit ubi. Kita nanti akan memperbintjangkan suatu keketjualian, jang mengizinkan penggunaan ini. Akan tetapi kebun suami-isteri tidak merupakan keketjualian. Suami dan isteri masing² setjara terpisah mengumpulkan ubi panen jang lalu, menanam ubi²-waris dan masing² bertanggung djawab sendiri² terhadap hasilnja. Dikalangan orang² Dobu tak pernah ada tjukup makanan, dan setiap orang menderita kelaparan selama bulan² terachir sebelum menanam bibit-ubi. Dikalangan orang² Dobu makan bibit merupakan kedjahatan terbesar. Kerugian ini tak bisa diperbaiki, karena baik isteri maupun suami tak bisa mempergunakan ubi, jang tak termasuk garis-keturunannja sendiri. Dalam kebangkrutan jang separuh itu, bahkan susunja sendiri tak bisa menolongnja. Orang jang sudah demikian rusak achlaknja, bahkan tak bisa disokong clannja sendiri. Selama hidupnja ia tetap mendjadi orang jang merana. Oléh karena itu, kebun² suami dan isteri selalu terpisah. Bibit ubi tetap mendjadi milik perseorangan dan pertumbuhannja dipertjepat oleh mantra²-sihir, jang djuga termasuk harta pusaka perseorangan dan jang tak pula bisa mendjadi milik bersama. Akan tetapi apabila panen dari suami atau isteri gagal, maka ini menimbulkan marah besar, sengketa² rumah tangga hebat dan pertjeraian. Namun pekerdjaan dikebun didjalankan ber-sama² dan kebun², seperti halnja dengan rumah, termasuk milik-perseorangan jang tak bisa diganggu-gugat dari suami, isteri dan anak². Djuga hasil kedua kebun itu, selama digunakan untuk dimakan, dikumpulkan mendjadi satu.

Djikalau suatu perkawinan berachir oléh karena suami atau isteri meninggal, atau ajahnja meninggal setelah ajah dan ibu itu selama ber-tahun² hidup terpisah, maka se-konjong² semua makanan, semua burung, ikan atau buah²an, jang berasal dari désa ajah, mendjadi tabu sama sekali bagi anak². Hanja selama hidupnja anak² bisa memakannja tanpa mendapat akibat² jang kurang baik, jang tak menimbulkan keberatan² bagi orang² Dobu, se-mata² karena anak² itu dibesarkan ber-sama² oleh suami dan isteri. Djuga anak², setelah ajahnja meninggal, tak boleh mengundjungi désanja, Ini berarti bahwa setelah ikatan perkawinan itu berachir maka désa ibu menurut anak²nja dengan mengorbankan semua perhubungan dengan kelompok ajah, jang sekarang ini berada diluar hukum. Apabila anak² ini, sebagai orang dewasa atau orang tua harus membuat makanan kedésa ajahnja, misalnja kerena ada pertukaran keupatjaraan, maka meréka itu berhenti

disuatu tempat jang djauh dari désa ajah, tak ber-gerak², dengan menun
DOBU

dukkan kepala, sedangkan orang² lain membawakan barang² itu kedésa. meréka menunggu sampai perarakan itu kembali, setelah mana meréka itu berdjalan lagi dibarisan paling depan, untuk kemudian kembali lagi kedésa ibu. Désa ajah oleh karena itupun dinamakan tempat, dimana kepala harus ditundukkan”. Lebih² tabu lagi, apabila hal ini mengenai désa dari suami atau isteri jang meninggal dunia. meréka harus berhenti ditempat jang lebih djauh lagi, atau melalui djalan mutar. Konsési² jang dalam ikatan perkawinan diberikan dengan hati jang berat, kemudian dibatasi dengan lebih keras.

Irihati, tjuriga, kesadaran hak-milik perseorangan jang ber-lebih²an, jang mendjadi tjiri orang² Dobu, berlaku djuga dengan kuat dalam hidup perkawinan. Akan tetapi tidaklah mungkin memahami tjiri² ini se-lengkap²nja, djikalau kita tak pula mengenal tjara hidup jang lainnja. Kita akan melihat, bahwa djumlah motif² dalam kehidupan orang Dobu sangat terbatas adanja. Djelaslah nanti bahwa adatkebiasaan² dan lembaga² adalah akibat² dari motif² ini, dan bahwa konsekwensinja sangat djauh. Disini tersimpul sesuatu jang mirip² dengan sikap-sempit dan kaku seorang maniak. Seluruh kehidupan merupakan perdjuangan mati²-an dan setiap keuntungan diperoleh atas kerugian lawannja. Perdjuangan ini mengandung sifat lain dari pada apa jang kelak akan kita lukiskan tentang daérah pantai Barat-Laut Amérika, dimana persaingan itu bersifat terbuka dan sengkéta itupun bersifat menantang dan terang²an. Orang² Dobu suka selingkuh dan suka chianat. Manusia baik, jakni manusia jang berhasil ialah orang jang mendesak orang lain dari kedudukannja. Dalam kebudajaan Dobu telah diolah tjara² jang chusus untuk itu dan ditjiptakan pula kesempatan² jang chusus pula. Ini menjebabkan seluruh kehidupan orang² Dobu ditempatkan dibawah tekanan motif² tersebut.

Hebatnja kesadaran-milik sehingga merugikan orang lain serta sifat saling tjuriga-mentjurigai dan permusuhan jang diakibatkan oleh sifat² ini, terdjelma pula dalam agamanja. Daérah luas Lautan Teduh jang meliputi djuga pulau² Dobu mengandung tjiri² magis. Sardjana², jang menganggap magi dan agama adalah bertentangan satu sama lain dan tak bisa didamaikan, mestinja akan menganggap orang Dobu tak beragama. Dilihat dari sudut anthropologi, baik magi maupun agama adalah tjara² jang saling isi mengisi untuk memetjahkan masalah² adikodrati, dimana agama chususnja ditudjukan untuk mengadakan perhubungan² perseorangan jang diinginkan dengan jang adikodrati dan magi bertudjuan untuk mempengaruhi kesaksian adikodrati jitu supaja menuruti kehendaknja. Pada orang² Dobu tak ada samasekali

hubungan-damai dan baik dengan mahluk² adikodrati, dan djuga tak diberikan
POLA-POLA KEBUDAJAAN

hadiah² atau sedekah² untuk mentjiptakan kerdjasama antara déwa² dan pemudja²nja. Unsur² adikodrati dalam hidup orang² Dobu terbatas kepada nama²-magis, dan siapa jang mengetahui ini mendapat kesaktian jang tertentu. Ini menjebabkan, bahwa sedjumlah besar orang² Dobu tak mengetahui nama mahluk² adikodrati itu. Tidak ada orang jang mengetahui nama² itu, ketjuali nama jang diketahuinja setelah ia membeli „pengetahuannja” itu atau jang telah diterimanja sebagai harta pusaka. Nama² jang penting tak pernah diutjapkan keras², akan tetapi di-bisik²kan supaja takada orang² lain jang mendengarnja. Kejakinan² jang disebabkan oléh hal ini lebih banjak bersangkutan dengan magi nama daripada dengan pemudjaan setjara keagamaan terhadap jang adikodrati.

Tiap² perbuatan dan tindakan selalu mempunjai mantra²nja sendiri dan salah suatu anggapan jang paling aneh dari orang² Dobu ialah bahwa tak ada sesuatu jang berhasil tanpa penggunaan magi. Kita telah mengetahui betapa sebagian besar kehidupan orang² Zuni tak diliputi oleh agamanja. Dikalangan bangsa Zuni tiap² pengutjapan agama dihubungkan dengan hudjan, dan bahkan seandai anggapan ini terlalu di-lebih²kan, namun kita harus menetapkan, bahwa banjak sekali hal² dalam kehidupan orang² di Zuni jang tak diiringi oléh upatjara² keagamaan. Kelak akan ternjata bahwa pun didaérah pantai Barat-Laut, Amerika, agama ternjata sedikit sekali hubungannja dengan unsur terpenting kehidupan bangsa, jang berupa hal menguasai kedudukan sosial. Dikalangan orang² Dobu keadaannja sangat berlainan. Disini semua hal jang hendak ditjapainja tergantung kepada magi jang diketahuinja. Ubi tak bisa tumbuh tanpa mantra-sihir, magi-pertjintaan diperlukan untuk membangkitkan hasrat seksuil, pertukaran barang² berharga diselenggarakan setjara magis, hanja dengan penjihiran jang dahsjat bisa ditjegah bahwa pentjuri² mengganggu pohon²; djuga angin hanja taat kepada mantra²-sihir dan penjakit serta maut bisa timbul dan terdjadi karena praktek²-sihir.

Mantra²-sihir magis oléh karena itu mendapat arti jang penting sekali. Kedahsjatan hasrat orang² Dobu untuk berhasil dalam hidup ini tertjermin dalam perdjuangannja mati²an untuk mendapatkan mantra² sihir. Mantra² ini tak pernah merupakan milik bersama. Tiada sjarikat² magi, jang mempunjai mantra² sebagai hak-istimewanja, tak pula ada sjarikat² jang mewarisi mantra² ini. Bahkan kerdjasama dalam kelompok²-susu tak pernah sedemikian rupa, sehingga ada penggunaan bersama dari kesaktian jang tersimpul dalam mantra²-sihir itu. Susu hanjalah mengatur kewarisan jang se-mata² bersifat perseorangan dari mantra²-sihir. Ada hak-waris atas mantra jang dimiliki oleh

saudara-laki² ibunja, akan tetapi tiap² mantra hanja bisa diserahkan satu kali
DOBU

sadja kepada orang dalam clan. Penjerahan kepada anak-laki² saudara-perempuan pemiliknja tak mungkin, sehingga ia memilih siapa jang akan didjadikan ahliwarisnja. Sering kali terdjadi, bahwa ia memilih jang paling tua, akan tetapi kalau ia lebih suka kepada jang muda, karena misalnja dia ini sering menolongnja, maka anak-laki² tertua itu bisa dilampaui, tanpa ada hak untuk menggugat. Memang ada orang jang seumur hidupnja tak memiliki mantra² penting seperti jang misalnja diperlukan untuk mengusahakan ubi atau perdagangan. Menjebut „tjatjat” nja ini adalah suatu penghinaan dan tjatjat ini tak bisa diperbaiki Akan tetapi selalu ada mantra²-sihir jang dimiliki oléh semua orang. laki² dan perempuan. Mantra² untuk melawan penjakit dan mantra² pertjintaan luas tersebarnja. Sekarang inipun masih bisa terdjadi, bahwa pemuda² Dobu jang bekerdja kepada bangsa kulitputih mendjual mantra itu tanpa mengatakan asal-warisnja. Orang mau membeli satu mantra dengan harga jang sama dengan upah empat bulan kerdja-kontrak, meskipun orang² ini bekerdja kepada orang² kulitputih, sehingga dengan demikian sudah agak terasing dari kebudajaannja sendiri. Djumlah jang dibajarkan itu sekedar memberi gambaran tak lengkap dari nilai atau harga jang disimpulkan didalamnja.

Penduduk-Dobu dari pulau Tewara, dimana Dr. Fortune berdiam dengan tegas menerangkan bahwa orang² kulitputih dan guru² bumi putera Polynesia dari Missi mustahil bisa mengusahakan kebun²nja. Dalam hal ini meréka tak beranggapan, bahwa peraturan peribumi hanja berlaku untuk peribumi sadja, seperti umumnja dinjatakan oléh bangsa² primitif. Dikalangan penduduk Dobu kepertjajaan kepada magi adalah sedemikian kuatnja, sehingga meréka tak bisa pertjaja, bahwa orang² kulitputih dan orang² Polynesia terhindar dari peraturan² ini.

Perselisihan jang hebat sekali mengenai milik mantra²-penolak selalu terdjadi antara anak²lelaki seorang saudara-perempuan, sebagai ahliwaris jang sjah dan anak-laki²nja sendiri jang karena pergaulan rapat se-hari² dan mengerdjakan kebunnja ber-sama² bisa menggugat dengan alasan² jang tjukup kuat dan bisa dibenarkan oléh orang² Dobu. Orang² Dobu beranggapan, bahwa hanja mantra²-ubi jang diwariskan dalam hubungan-clan, bisa mempertjepat pertumbuhan ubi² itu, Kita telah mengetahui bahwa bibit tak bisa dipindahkan dari dalam clan. Meskipun demikian, mantra inipun diadjarkan kepada anak²-laki² pemilik²-nja. Inipun merupakan lagi suatu konsepsi diam² kepada kekuatan riil dalam kelompok, jang timbul dari ikatan perkawinan dan sudah barang tentu pada hakikatnja berarti suatu pelanggaran menjolok terhadap dogma, jang mendjamin hak-milik mutlak kepada tiap² individu, Mantra²-sihir sering bisa disamakan dengan praktek dokter, dengan goodwill suatu perusahaan, atau hak² dan milik² seorang tuan-tanah.

Pola-pola -- 9
POLA-POLA KEBUDAJAAN

Seorang dokter jang mendjual prakteknja kepada dua orang jang bukan sedjawatnja, tapi bahkan saling bersaingan, maka transaksi jang demikian ini dikalangan kita adalah tak sjah. Demikianpula halnja dengan goodwill suatu perusahaan. Dalam masa feodal seorang radja jang memberikan gelar² dan tanah² jang sama kepada dua orang sekaligus, akan mendatangkan pemberontakan. Meskipun demikan adatistiadat sematjam itu dikalangan penduduk Dobu, dimana kedua ahliwaris tak merupakan sedjawat, sahabat baik atau peséro² dari suatu milik bersama, melainkan saling bersaingan, bisa dibenarkan.

Hak²-istimewa diberikan kepada dua orang sekaligus. Akan tetapi, djikalau ternjata bahwa anak-laki² ketika ajahnja meninggal dunia mendapat lebih banjak mantra²-sihir daripada anak-laki² saudara-perempuan ajah, maka jang tersebut terachir ini jang dalam masjarakat Dobu merupakan ahliwaris jang sjah, bisa minta kepada kemenakannja supaja kepadanja diadjarkan mantra² jang ia belum mempunjainja, tanpa membajar. Akan tetapi apabila ahliwaris jang sjahlah jang mendapat mantra² lebih banjak maka anak-laki² orang jang meninggal itu tak bisa menuntut apa².

Mantra² magi — untuk bisa bekerdja — harus diutjapkan dengan tepat, dan sering kali disjaratkan supaja dipergunakan daun² atau kaju tertentu dalam melakukan perbuatan simbolis, jang mengiringi pengutjapan mantra itu. Sering kali djenis magi itu ialah magi simpathis. Misalnja pertumbuhan pesat tumbuh²an-air diteladankan kepada ubi²-nja, atau kerusakan² jang diakibatkan oh burung-rangkok (Bucerida) kepada batang² pohon dipertjontohkan untuk menghantjurkan gangosa. Djelaslah, betapa djahatnja mantra-sihir itu dan betapa semuanja itu mentjerminkan kejakinan² orang² Dobu, bahwasanja tiap² keuntungan hanja bisa ditjapai atas kerugian orang lain.

Upatjara² dikebun dimulai, apabila tanah digarap untuk menjiapkan bibit ubi dan dilandjutkan sampai waktu panen. Mantra²-sihir jang digunakan waktu menanam memberi gambaran tentang ubi² besar jang masak. Mantra²-sihir itu, jang digunakan waktu tanaman mulai tumbuh menggambarkan per-belit²an gagang daun ubi serupa dengan pembuatan sarang oléh laba² kapali :

Kapali, kapali
jang selalu sadja ber-putar²an
tertawa sukaria.
Seperti aku, apabila kebunku penuh daun²
seperti aku dengan daun²ku.
Kapali, kapali
Jang selalu sadja ber-putar²
tertawa sukaria.

Dalam masa ini masih belum diadakan pendjagaan magis disekitar ubi² itu dan belum pula dilakukan pentjurian² magis. Djikalau ubi² itu sudah mendjadi besar, maka sangatlah perlu untuk mengikatnja dikebun, Sebab ubi² itu dianggap sebagai orang, jang setiap malam bisa ber-pindah² dari kebun jang satu kekebun jang lain. Biasanja meréka itu kembali ésok harinja. Oleh karena itu ubi² itu tak digali diwaktu pagi, ketika orang sedang menggarap kebun. Karena akan sia² sadja. Orang harus tenang² menantikan kedatangannja. Djuga selama pertumbuhannja, ubi² itu tak mau kemerdekaannja dibatasi terlalu lekas: oléh karena itu harus ditunggu hingga ubi itu mentjapai umur jang tertentu. Mantra² harus mengusahakan supaja ubi² itu tetap tinggal dikebunnja sendiri dan tidak kembali kekebun asalnja. Dikalangan orang² Dobu mengusahakan kebun djuga diliputi suasana persaingan seperti halnja dengan warisan. Meréka tak bisa mengerti bahwa orang lain

bisa menanam ubi lebih banjak daripada meréka sendiri dan bahwa orang lain itu bibitnja bisa menghasilkan ubi lebih banjak. Semua kelebihan panen orang lain itu dianggap sebagai pentjurian magis dari kebunnja sendiri atau dari kebun orang lain lagi. Oléh karena itu setiap orang, dari saat jang ditentukan sampai waktu panen, mendjaga sendiri kebunnja dan mempergunakan semua mantra²-sihir jang diketahuinja untuk mengusahakan supaja ubi² tetangganja datang kekebunnja dan dalam pada itupun ia mengutjapkan mantra²-penentang untuk menggagalkan mantra² tetangganja. Mantra²-penentang ini dimaksudkan supaja ubi² itu lebih dalam dan lebih kuat berakarnja ditempat bertumbuhnja dan dengan begitu akan tetap disitu sampai pada waktu panén.

<poem> Dimana pohon-kasia ra ? Diperut kebunku Dikaki teras-rumah Disitu ia berdiri. Ia akan berdiri tegak dan kuat. Ia berdiri tak ber-gerak². Bila penebang kaju menebang Pelempar batu melemparkan batunja, meréka tetap tegak tak bergerak. Ia tetap, ia tetap Tak mau tunduk, tegak berdiri. Ubi kulia ²)

____________
POLA-POLA KEBUDAJAAN

Tetap tegak berdiri
Ia tetap, ia tetap tak bergerak
Dalam perut kebunku.

Watak-perseorangan kebun ini demikian dihormatinja, sehingga adalah lazim, bahwa persetubuhan laki²-perempuan dikerdjakan disitu. Mengatakan bahwa panénnja baik, berarti mengakui bahwa ia mentjuri. Orang menganggap bahwa ini ditjurinja dari kebun anggota² susunja dengan menggunakan sihir jang berbahaja, Oleh karena itu besar-ketjilnja hasil panén dirahasiakan se-bisa²nja dan siapa jang me-njebut²nja dianggap menghina. Di-pulau² sekitarnja di Oseania, panén dianggap sebagai kesempatan untuk mempertontonkan ubi² jang dihasilkan setjara keupatjaraan, suatu pameran besar²an, jang merupakan puntjak semua upatjara² dalam tahun itu. Di Dobu panen di-sembunji²kan tak ubahnja seperti mentjuri. Orang² laki² dan perempuan membawa hasil panénnja sedikit demi sedikit kelumbungnja. Djikalau hasil panennja baik, ada alasan untuk takut diintjar oleh orang lain, sebab kalau ada peristiwa kematian atau sakit, maka dukun peramal mengatakan bahwa penjakit itu disebabkan karena hasil panén jang baik dari sisakit. Dianggapnja, bahwa orang mendjadi demikian tjemburu dan irihati karena hasil² baik itu, sehingga disihirlah pengusaha kebun jang berhasil itu.

Mantra²-penjakit isinja sangat djahat. Tiap² orang laki² atau perempuan didésa Tewara mempunjai sedikit atau banjak mantra² itu. Tiap² mantra itu digunakan untuk membangkitkan suatu penjakit jang chusus, dan meréka jang mempunjai mantra-sihir itu, djuga mempunjai mantra untuk menjembuhkannja. Beberapa orang mempunjai monopoli atas suatu penjakit jang tertentu dan oleh karena itu ia merupakan orang² jang bisa menjebabkan penjakit itu. Apabila ada orang menderita penjakit clapbantiasis atau serofula ditempat itu maka diketahuinja siapa jang menjebabkan ini. Mantra²-sihir ini membuat pemiliknja sakti dan oleh karena itu mantra² itu mantra² ini sangat disukai.

Mantra²-sihir ini memberikan kesempatan kepada pemiliknja untuk menjatakan kedjahatannja tanpa tédéng-aling², dan hal ini diizinkan oleh kebudajaannja. Biasanja hal ini tabu. Orang Dobu tak mau mengambil risiko menantang orang didepan umum, apabila hendak mendjahatinja. Ia bersikap rendah-hati bahkan menundjukkan bahwa ia adalah sahabat baik-sekali. Ia jakin bahwa sihir itu diperkuat oléh pergaulan mesra, dan sementara itu ia menunggu kesempatan untuk melaksanakan tjederanja. Akan tetapi diwaktu menjampaikan mantranja kepada lawannja atau diwaktu mengadjarkan mantra itu kepada anaklaki² saudara-perempuannja ia ada tjukup kesempatan untuk

mendjelmakan kedjahatannja. Ia djauh dari penglihatan dan pendengaran
DOBU

lawannja, dan dibuanglah segala ke-pura²annja dan sikap hati²nja. Ia utjapkan mantra-sihirnja itu dalam tahi korbannja atau dalam dahan Ampelopsis, jang diletakkannja diatas djalan jang dilalui lawannja, sementara ia bersembunji didekatnja dan me-lihat² apakah betul² ia menjenggol dahan itu. Waktu mengutjapkan mantra² itu ia meniru sekaratulmaut taraf terachir penjakit jang ia mau bangkitkan. Ia berguling² ditanah dan ber-kedjat² seperti orang mau mati. Hanja djika peniruan itu telah dilakukan sebaik²nja seperti hal jang sebenarnja, maka mantra²-sihir itu akan berhasil. Penjihirannja puas. Djikalau korbannja telah menjentuh djenis tanaman mendjalar itu, dibawanja pulang tanaman itu, dan dibiarkannja supaja kering. Apabila menurut pendapatnja sudah waktunja untuk membunuh lawannja, maka dibakarnja tumbuh²an itu dalam dapurnja.

Mantra²-sihir itu sendiri sering kali hampir sama djelasnja dengan perbuatan² jang mengiringi mantra² itu. Tiap² baris diperdjelas sambil meludahkan dengan sengit air-djahé diatas benda jang harus menjampaikan penjihiran itu. Dibawah ini kita sadjikan mantra-sihir untuk menimbulkan gangosa, jakni suatu penjakit jang sangat menakutkan, jang merusak kulit, seperti halnja burung-rangkok, binatang-pelindungnja — dan penjakit itu diberi nama jang sama dengan nama burung ini — memusnahkan batang²-pohon dengan paruhnja jang tadjam.

Burung-rangkok, penghuni Sigasiga
Diputjuk pohon-towara
Ia memotong, ia memotong,
Ia menjobék.
Dari dalam hidung,
Dari dalam sisi kepala,
Dari dalam tenggorokan,
Dari dalam pinggang,
Dari akar lidah
Dari belakang léhér,
Dari gindjal,
Dari isi-perut,
Dari menjobék,
Ia menjobék terus-menerus,
Burung-rangkok, penghuni Tokoku,
Dipuntjak pohon-lowana,
Ia ¹) me-lilit² membongkok,

___________

¹) Korban
POLA-POLA KEBUDAJAAN

Ia me-lilit² memegang punggungnja,
Ia me-lilit², lengannja di-peluntir² kedepan,
Ia me-lilit², tangannja diatas gindjalnja,
Ia me-lilit², lengannja memeluk kepalanja jang menunduk
Ia me-lilit², ber-belit²
Menangis, men-djerit²,
Ia ¹) terbang kesini,
Lekas ia terbang kesini.

Djikalau orang mengetahui, bahwa ia mendjadi korban suatu penjakit, ia mengirimkan pesan kepada dia jang telah menjakitinja. Tidak ada tjara lain untuk menghindarkan maut. Penjakit ini hanja bisa disembuhkan atau diringankau oléh mantra-sihir jang ada pada sipembangkit penjakit itu, dan oleh karena itu dia ini memiliki sihir tersebut. Orang ini biasanja tak mengundjungi sendiri sisakit, djikalau ia sudi mengusir penjakit itu. Ia tiupkan mantra-penjembuhnja dalam suatu mangkok berisi air, jang dibawa kepadanja oleh salah seorang kerabat sisakit. Mangkuk ini ditutup rapat² dan dengan air ini dimandikanlah si sakit dalam rumahnja sendiri. Biasanja orang beranggapan, bahwa mantra-penjembuhnja ini menghindarkan maut dan menggantinja dengan tjatjat — suatu pentjerminan dari kenjataan, bahwa banjak penjakit² bumiputera lebih sering mengakibatkan tjatjat daripada maut, Bagi penjakit² jang diimport seperti misainja tuberkulose, tampek-influenza dan disénteri tidak ada mantra²-penolaknja, meskipun penjakit² ini sudah lebih dari lima puluh tahun terkenal di Dobu.

Orang² Dobu setjara bebas memakai mantra² pembangkit penjakit² untuk mentjapai tudjuan jang anéh². Tjara meréka untuk memberi tanda milik kepada barang² atau pohon², ialah dengan djalan mendjangkitnja dengan penjakit jang dimilikinja. Orang² peribumi jtu mengatakan : „Ini adalah pohon si Alo” atau „Ini adalah pohon si Nada”.. sedang jang dimaksudkan : „Ini adalah pohon jang didjangkiti penjakit frambusia tertiair oléh si Alo” atau „Ini adalah pohon jang dibikin lumpuh oleh si Nada”. Sudah barang tentu tiap² orang mengetahui siapa pemilik ber-bagai² penjakit itu dan tiap² orang jang memilikinja satu atau lebih, menggunakan ini untuk memberi tanda kepada milik²nja. Tjara satu²nja untuk memungut buah pohonnya sendiri ialah dengan mengusir penjakit itu dengan mantra². Karena memiliki mantra² penolak érat hubungannja dengan mantra pembangkit penjakit, maka keamanan terhadap penjakit jang tadinja ada pada pohon selalu bisa dilaksanakan. Jang mendjadi kesukaran ialah, bahwa orang harus pula

______________

¹) Roh mantra.
DOBU

mendjaga djangan sampai ada buah pohon jang ketularan itu ditjuri, sebab seorang pentjuri menulari pohon itu untuk kedua kalinja. Ada risiko, bahwa ia tak akan berhasil mengusir penjakit pertama jang ditularkan dengan manteranja sendiri, jang barangkali sebagai mantera-penolak tak tjukup mustadjab untuk mengusir penjakit jang mendjangkiti pohon itu. Ia membatalkan mantera-penolakan jang diwarisinja, dengan menjebut pula penjakit jang hendak ia usir dari pohon dan kemudian memberikan sihir pembangkit penjakit jang diwarisinja. Supaja djangan sampai tak berhasil, maka mantera-penolaknja itu diutjapkan dalam pluralis. Mantera itu bunjinja :

Meréka hilang terbang,
Meréka pergi.

Di Dobu ketjurigaan sangatlah besar dan meradjaléla, dan selalu orang menaruh tjuriga serta sjakwasangka, bahwa akan dilaksanakan mantera jang melawannja. Pada umumnja ketakutan akan penularan jang mengantjam itu terlalu besar untuk mengizinkan perbuatan jang serampangan itu. tapi dalam musim-kelaparan maka mati kelaparan adalah afternatifnja dan oleh karena itu diberanikan djuga untuk mentjuri. Ketakutan akan kutuk jang membangkitkan penjakit jang terdapat pada milik orang lain, besar sekali. Penjihiran hanja dilakukan pada pohon² ditepi-luar désa, apabila kutuk itu ada pada pohon² dalam désa itu sendiri, maka seluruh penduduk désa itu akan mati. Apabila terdapat daun pohon kelapa jang ada dalam désa itu kering dan ternjata bahwa hal ini disebabkan oleh penjihiran, maka semua orang akan pergi dari désa itu. Ketika Dr. Fortune, sebelum ia beladjar mantera gangosa, memperlihatkan se-olah² ia memakai mantera itu atas barang²-nja jang hendak ditinggalkannja disesuatu désa tanpa pendjagaan, maka tengah malam budjang² pribuminja melarikan diri. Kemudian ternjata, bahwa keluarga² jang letak rumahnja empatpuluh sampai delapanpuluh djar djauhnja dari situ, telah meninggalkan rumah²nja itu dan pindah di-gubuk²nja digunung.

Kesaktian untuk membangkitkan penjakit tak berachir dengan mantra²-sihir jang setjara umum dipakaikan pada penjakit² jang chusus Ahlisihir² jang sakti — atau lebih tepat orang²-laki² jang sakti, karena semua orang-laki² adalah ahlisihir — mempunjai tjara jang lebih djahat lagi : vada. Meréka setjara peribadi ber-hadap'an dengan korbannja dan ketjemasan akan kutuk ahlisihir ini adalah sedemikian besarnja, sehingga korban ini djatuh ditanah berkelosotan. Ia tak akan sembuh lagi, dan pasti ia akan mati. Untuk menjampaikan kutuk ini kepada seseorang, maka seorang laki² menantikan saat jang baik dan djikala
POLA-POLA KEBUDAJAAN

ia siap untuk bertindak, maka ia mengunjah djahé banjak² supaja badannja tjukup hangat untuk memperhebat kesaktian mantra itu sebesar²nja. Ia untuk waktu jang tertentu tak bersetubuh. Ia minum airlaut banjak² supaja mengeringkan kerongkongannja, agar supaja ia tidak menelan mantera² djahatnja sendiri ber-sama² dengan ludahnja. Kemudian ia mengadjak seorang kerabatnja supaja bertindak sebagai pendjaganja. Jang tersebut terachir ini memandjat pohon didekat kebun, tempat korban jang tak menjangka apa² itu bekerdja seorang diri. Dua orang itu tak kelihatan karena telah mengutjapkan mantera jang chusus untuk itu, dan pendjaganja se-enak²nja berada diatas pohon², dimana ia harus memberi tanda, apabila ada bahaja. Ahlisihir per-lahan² mendekati korbannja, hingga meréka saling pandang-memandang. Ahlisihir memekik menakutkan — korbannja djatuh. Dengan pisau ketjilnja jang sudah disihir pula ahlisihir itu mengeluarkan isi-perut korbannja, katanja, dan ditutuplah kembali lukanja tanpa meninggalkan bekas apa². Tiga kali ia mentjoba korbannja, katanja : „Sebutlah namaku !” Kalau si korban tak ingat akan dia, ini suatu bukti bahwa usahanja berhasil, apalagi kalau ia tak bisa bitjara. Ia hanja berkumat-kamit mengeluarkan kata² jang tak ada artinja, dan bagaikan orang gila ia lari kentjang. Setelah kedjadian itu, ia tak mau makan lagi. Air-kentjingnjapun tak lagi dikuasainja, dan isi-perutnja bengkak. Ia semangkin lama semangkin lemah, achirnja mati.

Kisah ini ditjeriterakan oleh seorang bumiputera jang bisa dipertjaja dan telah saja kenal baik sekali. Bukti kepertjajaan peribumi ini ternjata dari peristiwa², dimana orang² djatuh sakit dan achirnja mati, setelah berdjumpa dengan seorang ahlisihir. Vada adalah bentuk jang paling ékstrim, jang mendjelmakan kedjahatan² prakték²-Dobu dan térornja, jang memungkinkan hasil² sematjam itu.

Selama ini kita belum me-njinggung² tentang pertukaran² ékonomi di Dobu. Nafsu untuk terus-menerus mengadakan transaksi² perdagangan jang mentjekam bagian begitu besar dari Melanésia, djuga ada di Dobu. Suksés jang begitu dahsjat dihasratkan dan ditjemburukan oleh orang² Dobu, harus ditjari didua lapangan, jakni pertama, jang mengenai milik kebendaan dan kedua, mengenai séksualitét. Sihir-menjihir boléh dikatakan merupakan lapangan ketiga, akan tetapi dalam hubungan ini ia hanja merupakan alat, bukannja tudjuan, jakni suatu tjara untuk bisa berhasil dan mempertahankan hasil itu dikedua lapangan jang lain itu.

Anggapan mengenai suksés jang berupa hasil² kebendaan dalam masjarakat seperti di Dobu, jang dikuasai oléh pengchianatan² dan ketjurigaan², harus dengan sendirinja dalam beberapa segi mengandung pertentangan² dengan tudjuan² ekonomi jang kita anggap normal dalam
DOBU

peradaban kita. Akumulasi barang² mustahil bisa terdjadi. Bahkan satu panén, jang berhasil baik, jang diketahui oléh orang lain dan tak diakui oleh petaninja sudah tjukup mendjadi alasan untuk melaksanakan penjihiran jang mengakibatkan kematian. Karena itu tak ada orang memamérkan hasil usahanja. Teknik perdagangan jang mungkin akan baik sekali, kira² ialah kesatuan²-penghitung jang berédar melalui tiap orang tanpa mendjadi miliknja jang tetap. Karena djusteru inilah sistim jang berlaku di Dobu. Puntjak kehidupan di-pulau² ini berupa pertukaran internasional, jang melingkupi dua-belas pulau, jang terletak dalam suatu lingkaran, jang lébarnja kita² duaratus limapuluh kilometer. Pulau² ini merupakan lingkaran-Kula, jang djuga telah dilukiskan oleh Dr. Malinowski untuk orang² Trobiand, kawan² berniaga Dobu di Utara.

Lingkaran-Kula melampaui struktur kebudajaan bangsa Dobu dan sudah pasti kebudajaan lainnja, jang ikutserta didalamnja, mempunjai motif² lain dan merékapun menemukan kepuasan² jang lain pula sifatnja tidaklah dimustikan, bahwa adatkebiasaan² chusus Kula, jang telah dimasukkan keseluruhannja oleh Dobu dalam struktur kebudajaannja, terdjadi karena struktur ini atau motif²nja, jang sekarang setjara chusus dihubungkan dengan Dobu. Kita hanjalah akan membitjarakan transaksi² perdagangan Dobu. Ketjuali dari orang² Trobiand kita tak mengetahui tentang adatkebiasaan² Kula dari pulau lainnja.

Lingkaran-Kula adalah suatu lingkaran-pulau², dan dikeliling lingkaran itu dari djurusan jang satu diangkut suatu djenis barang² berharga dan dari djurusan lain djenis barang² lainnja, dalam pertukaran setengah-tahunan. Orang² laki² dari tiap² pulau berlajar djauh mengarungi lautan bebas membawa kalung² jang dibuat dari kulit kerang dalam djurusan seperti arah djarum dan gelang² dari kulit kerang berlawanan dengan arah djarum iontjeng. Tiap² orang mempunjai relasi²nja sendiri di-pulau²-pertukaran pada kedua djurusan dan tawar-menawar untuk keuntungannja sendiri dengan segala tjara² jang dimilikinja. Bisa terdjadi pula bahwa barang² jang berharga itu membuat satu lingkaran penuh, meskipun sudah barang tentu ditambah dengan barang² lain jang baru. Gelang² dan kalung² masing² mempunjai nama² perseorangan dan ada diantaranja jang sesuai dengan kemasjhurannja mempunjai nilai dan harga tinggi jang sudah tradsionil.

Hal ini tak sedemikian menghérankan sepert jang tampak dari skéma formil dari prosedur pelaksanaannja. Bagian² besar Melanésia dan Irian

ditébari dengan keistiméwaan² setempat dilapangan keradjinan. Dilingkaran Kula bangsa jang satu menggosok batu-hidjau, jang satunja lagi membuat kano, jang lainnja membuat barang² petjahbelah, dan jang lainnja lagi membuat barang² dari kaju atau mentjampur bahan²
POLA-POLA KEBUDATAAN

tjat. Pertukaran barang² ini terdjadi dibawah suasana tawar menawar retuil disekitar barang² perhiasan jang berharga. Didaérah, dimana nafsu akan saling pertukaran memuntjak se-tinggi-²nja, pertukaran, keupatjaraan, jang di Kula didjadikan lembaga, tak dianggap ber-lebih²an seperti jang nampak pada orang luar jang berasal dari kebudajaan jang tak mempunjai bangunan-dasar seperti itu. Bahkan arah jang nampaknja se-mau²nja dalam membawa kesana-kesini kalung² dan gelang² itu, adalah disebabkan karena keadaan. Gelang² dibuat dari kulit² kerangtrocus, jang terdapat didaérah Utara lingkaran Kula dan kalung² dibuat dari kulit kerang-spondylus jang diimport dari Selatan ke-pulau² jang paling Selatan dari kelompok. Oléh karena itu, dalam perdagangan pulau² Barat lingkaran Kula, jang djumlahnja lebih banjak daripada pulau² di Timur, benda² jang berharga itu pergi dari Selatan ke Utara, dan jang dari Utara pergi ke Selatan. Pada waktu jang achir² ini benda² berharga itu tua² dan tradisionil, dan import baru tak seberapa. Akan tetapi pola atau skémanja sama sadja.

Tiap² tahun selama masa tenang dikebun, djikalau ubi² ditanam dan sebelum waktu dimulai pendjagaan magis, maka perahu² kano Dobu berlajar ke Utara dan Selatan. Tiap² orang membawa benda² berharga Kula dari Selatan, jang ia mau tawarkan supaja ditukar dengan benda² Kula jang berharga dari Utara.

Sifat chusus pertukaran-Kula ada pertaliannja dengan keadaan, bahwa tiap² pulau penduduknya berlajar untuk mengambil barang² berharga itu dari pulau relasinja. Pulau jang penduduknja sedang berlajar itu minta dan menerima hadiah² atas perdjandjian bahwa meréka ini akan memberikan benda² berharga kepada tuan-rumah, apabila meréka ini bertamu dipulau meréka. Dengan demikian pertukaran-Kula tak pernah merupakan sutu transaksi-pasar, dimana setiap orang memamérkan benda² berharganja masing² dan dengan begitu terdjadi pertukaran jang wadjar. Tiap² orang menerima pembajarannja berdasarkan hadiah jang diinginkan dan djandji jang menurut anggapan meréka

mengenai suatu benda berharga, jang sudah tersedia dirumahnja dan jang setiap saat bisa diserahkan. Kula bukanlah pertukaran antara kelompok dan kelompok. Tiap² orang menukarkan barangnja setjara perseorangan dengan relasi jang berupa perseorangan djuga, dimana dia ini di-pudji² dan di-baik²i dengan segala matjam tjara. Mantera² untuk mentjapai sukses di Kula adalah mantera²-pertjintaan, meréka membawa relasinja kedalam suasana jang membuatnja menjerah kepada keinginan² meréka. Hal inipun dilakukan pula dengan magi. Dihiasi dan dipertjantiklah si pembeli sedemikian rupa, sehingga relasinja terpesona. Kulitnja dibersihkan dan dihaluskan, bekas² kadas dan kudis dilenjapkan, bibirnja dimérahi. dan iapun diharumkan dengan air-wangi²an dan boréh.
DOBU

Menurut djalan-pikiran jang agak aneh dari orang² Dobu, maka hanja nafsu badani sadjalah bisa membuat orang pertjaja akan bukti pertukaran benda² berharga jang bersifat damai dan menguntungkan.

Orang² didalam satu kano membawa hadiah² berupa makanan dan membuat barang², jang hendak meréka tawarkan supaja ditukar. Hanja pemilik kano dan isterinja memakai sedikit magi sebelum suaminja berangkat. Magi² jang lainnja disimpan sampai Kula berdjalan. Pagi², pemilik kano bangun kemudian menjihir tikarnja, jang harus menutupi benda² berharga dalam perdjalanan pulang dan dengan begitu setjara magis mendjamin, supaja tikar itu menutupi kekajaan ber-tumpuk². Djuga isterinja mempunjai mantera², jang dipakainja untuk mendorong pekerdjaan suaminja, supaja sang suami mengarungi laut laksana guntur, membangkitkan hasrat ber-njala² dalam tubuh relasinya dan djuga dalam tubuh isterinja itu sendiri beserta anak²nja, dan supaja pikiran meréka terliput oleh bajangan sang suami itu. Djikalau persiapan² sudah selesai, betapapun baiknja keadaan angin dan tjuatja, maka meréka harus menanti sampai malam. Hal ini diharuskan oleh adat. Meréka harus menunggu dibagian pantai jang sukar didiami oleh manusia, jang sepi, djauh dari kesibukan dan kekotoran jang disebabkan oleh wanita, anak², andjing² dan pekerdjaan se-hari2. Djikalau kano² sudah berlajar kearah Selatan, maka akan ternjata bahwa tempat jang dimaksudkan itu tidak ada. Maka merékapun menunggu sadja dipantai; semua orang pada malam hari pulang dengan alasan, bahwa angin tak memungkinkan samasekali untuk berlajar, meskipun sesungguhnja hal ini samasekali tak benar adanja. Ini hanjalah suatu djenis ketjurigaan jang dimestikan oléh adatistiadat, dan tak boleh dilampaui. Esok harinja pemilik kano mempersiapkan perahunja dan dalam pada itu mempergunakan mantera-sihirnja jang kedua, jakni mantera terachir jang sedikit-banjaknja berlaku pula untuk meréka bersama. Djuga dalam mantera ini, ia menjebut dirinja orang besar, orang penting, seperti jang dahulu dilakukan pula oleh isterinja. Makanan jang dibawanja sebagai hadiah disihirnja mendjadi benda² Kula jang berharga dan iapun melukiskan relasi²nja jang akan menerima meréka (benda² berharga) ini, jang menunggu² kedatangan meréka seperti menantikan bulan baru, menunggu² meréka ditepi terras rumah²nja, menantikan pula si pemilik kano.

Orang² Dobu adalah pelajar² jang kurang tjakap, jang tak berani djauh² dari pantai, dan tiap² malam mendarat. Masa diadakannja pelajaran-Kula jalah masa² tiada angin. Meréka menggunakan mantra²-sihir untuk angin dan memanggil angin Barat-Laut supaja mengawini lajarnja jang dibuat dari daun pandan jang halus, untuk memegang erat anaknja jang nakal! dan untuk datang tjepat², supaja tak ada orang²
POLA-POLA KEBUDAJAAN

lain jang melarikan suaminja. Meréka menjangka bahwa angin dalam matjam apa sadja terdjadi karena sihir.

Djikalau achirnja kano² itu sampai di-pulau² jang ditudjuinja, meréka memilih pantai² jang berkarang, dimana meréka mendarat, mempersiapkan upatjara²-Kula. Tiap² orang memperindah dirinja dengan menggunakan magi dan perhiasan². Mantera²-sihir ini adalah milik-perseorangan, jang sesuai betul dengan alampikiran Dobu. Tiap² orang menggunakan magi se-mata² untuk kepentingan diri sendiri menurut tjara Dobu asli. Meréka jang tak mempunjai magi, berada dalam keadaan² jang sangat sukar. Meréka harus menggunakan tjara² lain menurut apa jang terpikir olehnja. Mémang adalah suatu kenjataan, bahwa — meskipun adanja rahasia mutlak mengetahui milik mantra² sihir, sehingga tak ada seorangpun dalam kano jang mengetahui siapa jang punja mantera dan siapa jang tidak — orang² jang menggunakan mantera²-sihirlah jang berhasil mengadakan transaksi-Kula jang paling besar. Kepertjajaannja kepada diri sendiri memberi kewibawaan diatas teman²nja. Semua orang tiada ketjualinja berdaja-upaja dan berdjerih-pajah mempersiapkan dirinja tuntuk Kula itu, meréka mengharumkan badannja dengan daun wangi, jang dipergunakan dalam ber-tjumbu²an, meréka mengenakan daun segar, meréka mengetjat mukanja dan giginja dan menggosok badannja dengan minjak-kelapa. Barulah meréka siap untuk menghadapi relasinja.

Tiap² orang berdagang sendiri² setjara perseorangan. Perbuatan² tak-djudjur adalah penting dan dihargai se-tinggi²nja, sesuai dengan dogma Dobu, bahwasanja orang jang paling dekat dengan dia, adalah orang jang paling berbahaja, maka pembalasan terhadap pedagang-Kula jang berhasil, datangnja dari kawannja jang kurang berhasil dalam kanonja atau orang lain dari désanja dan bukanlah suatu masalah jang harus dipetjahkan antara orang² dari pelbagai bangsa. Tentang benda² Kula jang berharga ini tepatlah kata² Homeros: „Banjak orang mati oleh karenanja.” Akan tetapi kematian itu tak disebabkan oleh amarah relasi²nja jang terhina, misalnja orang Dobu melawan orang Trobiand atau orang dari Tube² melawan orang Dobu. Jang terdjadi selalulah orang Dobu jang gagal menghadapi orang Dobu jang berhasil.

Praktek² dan perbuatan² tidak djudjur, jang terkenal dengan nama wabu², merupakan sumber perasaan bentji dan mendongkol.

Wabu² adalah mengumpulkan banjak kalung²-spondylus dari berbagai tempat di Selatan atas perdjandjian bahwa ia akan menukarnja dengan satu gelang jang ditinggalkannja di Utara; atau orang menguasai banjak gelang² dari Utara, jang sesungguhnja tak ada alat penukarannja apa² dan mendjandjikan kepada berbagai orang satu benda berharga jang dipunjainja untuk hadiah² jang didapat
DOBU

nja dari meréka. Memang ini suatu praktek jang tjurang, akan, tetapi namun tak se-mata² untuk menipu. „Misalkan sadja aku, Kisian dari Tewara, pergi ke Trobiand dan berhasil mendapatkan gelang bernama Kadal Monitor. Maka aku pergi ke Sanaroa dan mendapatkan empat matjam kalung diempat désa, tiap² orang jang memberi kalung kepadaku kudjandjikan Kadal Monitorku Aku, Kisian, tak perlu tjermat² dalam mengadakan djandji itu Djikalau nantinja datang empat orang dirumah saja di Tewara, jang semuanja minta Kadal Monitor, hanja satu jang mendapatnja. Jang lainnja tak tertipu untuk se-lama²nja. Sudah barang tentu meréka marah besar, dan harus menunggu setahun sebelum meréka mendapat gantinja. Tahun berikutnja, djikalau aku, Kisian, mengundjung Trobiand lagi, kubajangkan se-olah² aku mempunjai empat kalung bagi meréka jang akan memberikan empat gelang kepadaku. Maka aku akan mempunjai lebih banjak gelang dari semula dan aku bisa membajar hutangku setahun lebih lambat.

Tiga orang jang tidak mendapat Kadal Monitor itu tak berani apa² terhadap aku di Tewara. Djikalau meréka kemudian pulang kembali, meréka terlalu djauh untuk berbahaja bagiku. Mémang ada kemungkinan besar, bahwa ia akan mempergunakan sihir untuk membunuh saingannja jang berhasil jang telah mendapat Kadal Monitor. Mémang sangat boleh djadi. Akan tetapi itu urusannja sendiri. Aku mendjadilah orang besar dengan memperluas pertukaranku dengan djalan memblokade meréka untuk satu tahun. Aku tak bisa tentunja untuk menangguhkan pembajaran saja terlalu lama, karena nanti tak ada orang jang mempertjajai aku dalam perdagangan. Achirnja aku toh orang jang djudjur”.

Untuk mendjalankan wabu² dengan hasil jang baik adalah suatu préstasi hebat, jang sangat diirikan di Dobu. Pahlawan mythos dalam tjerita² Kula sangat ahli dalam soal² ini. Ini adalah suatu bukti lagi akan didjundjungnja tjara untuk memperkaja diri dengan merugikan orang lain, Kula bukanlah satu²nja usaha, dimana orang bisa mendjadi korban wabu², Istilah ini digunakan djuga bagi suatu tjara untuk membuat rugi orang dalam pertukaran hadiah²-perkawinan Rentetan pembajaran², jang terdjadi selama pertunangan antara dua désa melingkupi sedjumlah besar barang². Djikalau berani, orang bisa bertunangan, se-mata² untuk mendapat keuntungan ekonomis. Pada saat ia mendapat keuntungan² banjak, ia putuskan pertunanganan itu. Pihak lawannja tak bisa berbuat apa². Siapa jang bisa berbuat begitu membuktikan bahwa maginja lebih kuat daripada magi dari désa jang dihinanja, jang tentu sadja akan berusaha untuk membunuhnja. Ia seorang jang patut membuat orang lain iri.

Perbedaan antara wabu² dalam bentuk ini dan jang dilakukan dalam Kula terletak dalam kenjataan, bahwa pertukaran itu disini terdjadi dalam kesatuan setempat. Permusuhan jang selalu terdjadi dalam hubungan² dalam kelompok ini, membuat dua pihak jang saling tukar menukar ber-hadap²an satu sama lain, tidak seperti pada Kula, dimana-dua orang kawan dalam dagang jang berlajar dalam satu kano saling rugi-merugikan, dan saling bermusuhan. Persamaannja ialah bahwa wabu² dalam kedua hal ini alhasil jang satu mendapat untung atas kerugian orang lain dalam suatu daérah jang sama.

Sikap jang telah kita bitjarkan, misalnja mengenai perkawinan magi, mengusahakan kebun dan pertukaran ékonomi, sangat djelas dan menjolok lagi dalam sikapnja terhadap maut. Dobu „me-lilit² terhadap maut seperti ditjambuki”, kata Dr. Fortune, dan dengan segera mentjari korban. Menurut dogma jang berlaku, korbannja orang jang paling dekat dengan jang mati itu, djadi suaminja atau isterinja. Meréka beranggapan, bahwa orang jang tidur ber-sama² dengan dia, nistjaja bertanggungdjawab atas penjakit jang mengakibatkan kematian. Suami (isteri) telah menjihirnja. Sebab, meskipun djuga wanita bisa mempunjai mantera: sihir pembangkit penjakit, namun orang² laki² berpendapat bahwa wanita² itu mempunjai suatu kesaktian jang chusus. Maut dan kesengsaraan dalam bahasa umum adalah disebabkan oléh meréka ini. Akan tetapi dukun peramal, jang dipanggil untuk menundjuk siapa pembunuhnja, tak dipengaruhi oleh pendapat umum ini, dan ia menuduh orang wanita atau orang laki², sama seringnja. Adat-istiadat ini mungkin hanja karaktéristis bagi pertentangan antara laki² dan perempuan dan bukannja sebagai betui² pertjobaan untuk membunuh. Bagaimanapun djuga, orang² laki² menganggap bahwa orang² wanita memiliki teknik istiméwa untuk mendjalankan perbuatan² rendah, jang, mengherankan sekali, banjak persamaannja dengan pikiran perempuan-sihir-terbang-dengan-sapu menurut tradisi Eropah. Perempuan²-sihir Dobu meletakkan tubuhnja disamping suaminja dan terbang diudara, untuk berbuat djahat — djika ada orang jang djatuh dari pohon atau ada kano jang terlepas dari ikatannja, maka ini perbuatan perempuan sihir jang terbang — atau untuk mentjabut njawa musuhnja, jang akan mendjadi lemah dan achirnja mati. Orang² laki² sangat takut terhadap kepandaian² dan ketjakapan² isterinja, bahkan sedemikian rupa, sehingga meréka di Trobiand sikapnja memundjukkan betapa besarnja kepertjajaan kepada dirinja sendiri, sikap mana tak pernah ada dirumah sendiri, hanja karena meréka menganggap, bahwa wanita² Trobiand tak memiliki kepandaian menjihir. Di Dobu paling-sedikit orang laki² sama takutnja kepada isterinja seperti si isteri kepada suaminja.

 Djikalau salah seorang suami atau isteri sakit pajah, maka suami-isteri harus lekas² pindah kedésa sisakit, kalau kebetuian ini terdjadi dalam tahun, dimana si sakit itu harus menetap didésa suami (siteri)nja, Se-dapat²nja ia harus meninggal didésanja sendiri, supaja jang ditinggal mati tetap dalam kekuasaan susu kerabat² jang berkabung. Orang jang ditinggal mati adalah musuh dalam selimut, perempuan-sihir atau ahli-sihir, jang telah mentjabut njawa salah seorang dalam barisannja. Susu membentuk suatu front jang kuat disekitar majat. Hanja meréka sadjalah jang boleh mendjamahnja, dan jang boleh mengatur penguburannja. Hanja meréka jang boleh men-djerit² karena sedih. Waktu dilangsungkan upatjara² ini, si suami (isteri) dilarang hadir. Majat dibaringkan diatas teras rumah dan dikelilingi dengan barang² berharga, kalau ia kaja. Ubi² besar diletakkan didekatnja, kalau ia seorang pengusaha kebun jang baik. Keluarga dari pihak ibunja menangisinja keras². Pada malam itu djuga atau hari berikutnja anak² saudara-perempuannja membawa majat itu untuk dikubur.

 Rumah orang jang meninggal dikosongkan. Rumah ini tak akan dipakai lagi. Dalam ruangan dibawah lantai sebagian ditutup dengan tikar² Disinilah suami atau isteri jang ditinggal mati suami (isterijnja dibawa oléh pemilik² désa. Badannja dihitami dengan arang-kaju dari dapur dan seutas tali diikatkan dilehernja. Kemudian ia harus bekerdja dkebun mertuanja, dibawah pengawasan meréka, seperti waktu pertunangan dahulu. Iapun menggarap kebun isteri (suaminja) jang meninggal gai dari saudara² laki² dan perempuannja. Ia tak mendapat upah, sedangkan kebunnja sendiri harus digarap oleh saudara-laki² dan perempuannja. Ia tak boléh tersenjum, dan tak boleh ikut-serta dalam pertukaran-makanan. Djikalau tengkoraknja diambil dari kuburannja dan anak² saudara²-perempuan dari orang jang meninggal dunia menari dengan tengkorak itu ja tak boleh menonton. Tengkorak disimpan oleh anak-laki² saudara-perempuannja. Rohnja dengan chidmat dikirim kenegeri orang² mati. Kerabat² suami (isteri) jang ditinggal mati tak kadja harus menggarap kebunnja selama masa berkabung, akan tetapi djuga harus memikul beban² jang lebih berat lagi. Setelah majat dikubur, meréka harus membajar kepada désa orang jang meninggal dunia. Meréka menghadiahkan ubi rebus kepada anak²-laki² saudara-perempuan jang telah mengadakan upatjara² dan pula sedjumlah besar

ubi² mentah, jang dipamerkan didésa orang jang meninggal dunia dan di-bagi² diantara kerabat² orang jang meninggal dalam désanja; anggota² susu menerima sebagian terbesar.
POLA-POLA KEBUDAJAAN

Djuga seorang djanda harus tunduk kepada keluarga suaminja. Anak²nja harus memikul banjak kewadjiban², sebab setahun lamanja meréka harus merebus tjampuran pisang dan taro dan membawanja kesusu marhum suaminja „untuk membajar bagi ajah meréka”. „Bukankah dia jang telah memeluk kami?” Meréka adalah orang² luar, jang harus membajar kepada kerabat² terdekat dari ajahnja untuk segala kebaikan jang telah diberikan kepada meréka oleh seorang anggota dari keluarga itu. Meréka menunaikan suatu kewadjiban, dan oleh karena itu tak menerima bajaran apa².

Orang laki² jang berkabung atas kematian isterinja,harus ditebus oleh clannja sendiri, jang harus membajar lebih banjak lagi kepada clan orang jang meninggal. Meréka membawa lagi ubi² mentah, kemudian kerabat² orang jang meninggal dunia memotong tali jang melingkar diléhér suami tsb. dan mentjutji badannja, dibersihkan dari bekas² arang.Maka me-nari²lah meréka, dan ia diantar pulang kedésanja oléh kerabat²nja. Lewatlah sudah tahun berkabung. Tak lagi ia akan pernah mengindjak désa isterinja. Anak²nja tetap tinggal didésa ibunja, jakni désa jang tak boleh lagi dikundjungi oléh ajahnja untuk se-lama²nja Lagu, jang dinjanjikan pada peristiwa habisnja masa berkabung, mengenai perpisahan jang diharuskan antara meréka, Njanjian ita tertudju kepada ajahnja, jang baginja tibalah hari terachir dari masa berkabung :

Bangunlah, bangunlah dan berbitjaralah
Pada tengah malam,
Bangunlah dulu dan berbitjaralah
Bangunlah dan berbitjaralah.

Maiwortu, boréh arang dibadanmu
Lenjap pada Mwaniwara.
Fadjar menerangi kegelapan malam.
Bangunlah dahulu dan berbitjaralah.

Maiwortu adalah nama suami jang ditinggal mati isterinja, jang hanja tinggal semalam itu sadja ada kesempatan baginja untuk berbitjara dengan anak²nja, Esoknja, arang-kaju jang menghitami badannja dihilangkan, ditjutji. Djikalau „fadjar menerangi kegelapan malam” maka badannja akan bersih lagi. Setelah itu meréka tak boléh berbitjara dengan dia lagi.

Tak sadja clan² dari pihak suami dan isteri tersangkut dalam saling tuduh-menuduh. Dia jang ditinggal mati oléh isteri (suami)nja tak sadja mewakili désa jang bermusuhan itu, jang oléh tradisi dituduh menjebabkan kematian orang jang meninggal dunia itu. Ia djuga me wakili semua orang jang karena perkawinan menetap dalam désa orang jang meninggal tsb. Seperti kita telah ketahui, kelompok ini terbentuk dari sebanjak mungkin désa², karena menurut meréka adalah suatu kesalahan politik, untuk mengadakan ikatan-perkawinan terlalu banjak dengan satu désa sadja. Suami² (isteri²) dari pemilik² désa kalau bisa, dan djikalau perkawinan masih berlaku, harus pula bernasib seperti suami (isteri) jang sedang berkabung, Pada permulaan masa berkabung meréka mempunjai hak untuk menguasai pohon²-buah²an pemilik² désa dan bahkan meréka dibolehkan menebangnja satu atau lebih sambil menundjukkan marahnja kepada umum. Untuk menghapuskan tabu ini meréka beberapa minggu kemudian bersendjatakan diri dengan tombak² dan meréka se-olah² hendak menjerang désa seperti désa asing jang hendak diperanginja, meréka membawa babi besar, jang meréka lemparkan setjara kasar didepan gubuk kerabat terdekat dari orang jang meninggal dunia. Dalam sekedjap mata merékapun ber-pentjar² mendekati pohon² pinang, dan diambilnjalah buah²nja. Maka merékapun lari lagi meninggalkan désa itu, sebelum penduduk mengetahui apa jang sesungguhnja terdjadi. Kedua serangan itu setjara keupatjaraan menjatakan kekesalan hati dan kebentjiannja terhadap désa, jang berani² mendjatuhkan denda kepada orang jang berkabung. Dizaman dahulu jang dikorbankan bukannja babi, melainkan manusia. Djikalau penjerang² itu sudah lenjap dari pandangan, maka ribut dan bingunglah penduduk désa. Babi lalu dipanggang, dan merupakan makanan utama dalam suatu rentetan djamuan² jang dihidangkan kepada para suami (isteri) jang kawin dengan pemilik² désa. Jang disuguhkan ialah masakan rebusan dalam bentuk jang sangat hina. Para pelajannja mengambil gemuk tjair dan menggujurnja diatas kepala salah seorang jang tertua dan disegani dari désa „musuh”. Orang tua ini diboréhnya dengan gemuk. Segera pula orang tua inipun melontjat kedepan dengan sikap mengantjam, menari sambil memegang tombak chajalan, menghina tuan² rumah dengan mengutjapkan maki²an jang tradisionil. Adalah mendjadi haknja untuk menjatakan perasaan dendam dan kedjéngkélan para suami (isteri) terhadap clan jang berani² mendjatuhkan denda kepada orang² jang sedang berkabung, seperti djuga jang terdjadi pada tabu pohon² buah²an. Salah seorang susu dari orang jang meninggal dunia, mengambil sikap mengantjam terhadap orang tua itu, meskipun tak berkata apa² jang terlalu menjakitkan hati, orang tua itu lalu mandi dan makan se-énak²nja. Djikalau désa dari orang jang meninggal membawa puree rebus dan bukannja daging babi, puree inipun digujurkan diatas kepala orang tua itu, dan orang tua ini menari pula sambil menjatakan perasaan dendam dan kedjéngkélannja. Ketegangan antara kedua kelompok itu ditutup dengan salah suatu perajaan

Pola-pola -- 10 terbesar di Dobu, jakni perajaan jang diadakan didésa orang jang meninggal dunia, dan dimana makanan di-bagi²kan kepada tamu² dari désa suami² (isteri²) pemilik² désa, diiringi dengan hinaan² : „Tawa, ini bagianmu ! Orang kita jang meninggal dunia mempunjai babi banjak. Babimu semua mandul !” „Togo, ini bagianmu ! Orang jang meninggal adalah ahli membuat djala. Dan beginilah tjaramu menangkap ikan !” „Kopu, ini bagianmu! Orang jang meninggal adalah tukang kebun jang tjakap. Djauh malam, ia baru pulang. Djam duabelas engkau sudah pulang keletihan”. Seperti apa jang dikatakan oleh Dr. Fortune : „Setjara riang²an dan gembiraan demikian inilah penduduk désa² itu berkumpul ,setiap kali djika ada peristiwa kematian.”

Ketjurigaan jang samasekali berdasarkan atas tradisi antara désa orang jang meninggal dan désa jang suami (isteri)nja ditinggal mati, sudah barang tentu tak berarti, bahwa suami atau isteri jang ditinggal mati mesti dianggap sebagai seorang pembunuh. Orang menganggap bahwa mémang ada kemungkinan ia pembunuhnja, akan tetapi ahli² nudjum suka pula menganggap bahwa tiap² sukses dilapangan apa sadja dari orang jang meninggal itulah jang menjebabkan kematiannja, jakni karena ada orang jang iri-hati. Akan tetapi „kebanjakan kali” upatjara² dan tjara-berkabung taklah merupakan upatjara² jang kosong belaka, akan tetapi merupakan pentjerminan „tuduhan tak énak dari satu pihak dan perasaan dendam dari pihak lain”. Se-tidak²nja kesemuanja itu mentjerminkan setjara chas perasaan² jang berlaku di Dobu.

Pembunuhan bisa terdjadi dengan menggunakan tjara sihir atau bukan-sihir. Tak ada seorang wanita jang untuk sekedjap sadja menaruh dandangnja disembarangan tempat, karena takut kalau² ada orang jang memegangnja. Orang² Dobu mengenai ber-matjam² ratjun, jang meréka mentjoba kemandjurannja seperti mentjoba mantera²nja Djika terbukti, bahwa ratjun itu bisa membunuh, maka meréka menganggapnja berguna untuk waktu² jang lebih penting.

„Ajah pernah mentjeritakan kepadaku tentang budobudo, jang banjak tumbuh ditepi laut. Aku mau mentjobanja. Kami memeras airnja. Aku mengambil buah kelapa dan kami minum airnja sedikit. Air dobudobu lalu kumasukkan kedalam kelapa itu, kemudian kututup lagi. Esoknja kuberikan kepada si anak itu: „Aku telah minum sedikit. Silahkan kau minum djuga”. Sorenja ia djatuh sakit. Malamnja ia mati. Ia adalah anak-perempuan saudara-prempuan désa ajahku. Ajahku telah membunuh ibu anak ini dengan budobudo. Kemudian akulah jang meratjun anak itu”.

„Apa jang mendjadi alasan ?”

„Ia menjihir ajahku. Ajahku merasa badannja sakit. Setelah ia membunuhnja, badannja berasa énak lagi”.

DOBU

147


Kalimat jang senilai dengan ,,Terima kasih” waktu menerima hadiah, adalah : ,,Kalau anda membunuhku sekarang, bagaimana aku bisa membajarnja kembali!” Mereka memperingatkan kepada si pemberi hadiah, bahwa rugilah meratjun orang jang masih mempunjai hutang kepadanja.


Pada umumnja, tertawapun dianggapnja tak baik. Sebaliknja, bermuramdurdja adalah suatu nilai kesusilaan. ,,Memang sana itulah tempat asalnja tawa!” katanja sambil memarahi bangsa tetangganja jang tidak sekeras hati seperti mereka. Dalam mengusahakan tugas2 penting, misainja berkebun atau Kula, maka dilarang keras orang ber-senang2 dan bergembira. ,,Kita dikebun tidak ber-main?, tidak ber-njanji2, dan tak pula mendongeng. Djika kita berbuat begitu, ubi? akan berkata: »Mantera matjam apa ini! Dahulu adalah keluarga baik2, tapi sekarang!” Ubi2 itu akan salah-mengertikan pertjakapan2 kita, Mereka tak akan mau tumbuh!” Tabu sematjam itupun berlaku selama Kula. Orang jang berdjongkok dipinggir desa orang? Amphléts, dimana diadakan tari2an, ketika diadjak menari mendjawab marah2: Isteriku akan mengatakan bahwa aku gembira dan berbahagia” Ini sangat tabu.


Kekerasan terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain jang mendjadi nilai-susila di Dobu, djuga merupakan sebab orang mengandung rasa iri Gan tjuriga. Seperti kita ketahui, orang dilarang memasuki kebun atau rumah orang Jain. Milik individu sangat dihormati. Tapi setiap pertemuan antara laki2 dan perempuan dianggap tak patut, dan adalah lumrah, bila orang laki2 berbuat sekehendak hatinja terhadap seorang perempuan jang tidak lari ketika didjumpainja. Dianggapnja bahwa seorang perempuan jang tiada pengawalnja boleh diperlakukan semau2nja. Maka itu biasanja seorang wanita membawa seorang anak2 Ini melindungi dia terhadap tuduhan2 dan bahaja2 adikodrati. Waktu wanita2 bekerdja dikebun, biasanja suaminja mendjaga dipintu kebun barangkali ngomong2 sedikit dengan seorang anak2 sambil me-lihat2 apakah isterinja tak ber-tjakap2 dengan orang lain. Ia mengawasi berapa lamanja isterinja berada dalam semak2 menunaikan hadjatnja, dan kadang2 mengikuti dia, padahal orang2 Dobu berpantang melihat anggota kelamin. Adalah menjolok mata bahwa sifat2 ke-malu2an ini tiada bedanja dengan sifat ke-malu2an nénékmojang kita jang bersifat terlalu mau sutji (puritan). Tiada orang laki2 jang mau dirinja kedapatan telandjang bulat oleh orang laki2 lain. Bahkan dalam satu kano jang didalamnja hanja orang taki2 sadja, djika hendak kentjing akan mendjauhi teman2nja dulu. Tiap2 pengakuan tentang hidup seksuil diri sendiri djuga tabu, mergka samasekali tak boleh menjinggung soal ini, ketjuali djika merlka memang mau sengadja ngomong kotor. Oleh karena itulah ber-tjumbu2an sebelum perkawinan pada umumnja

148

POLA-POLA KEBUDAJAAN


dianggap pula sebagai sesuatu jang bersifat platonis, padahal njanjian2 dalam tari2an, jang menjinggung soal ini, mentjeriterakan setjara bernafsu dan djelas sekali tentang soal2 séksuil, dan bahwa hal jang sebenarnja tentang ini dikenal pula oleh semus orang dewasa berdasarkan pengalaman sendiri.


Sifat ke-malu2an mengenai soal séksuil jang sudah berurat-berakar di Dobu tak begitu asing bagi kita, mengingat latarbelakang kebudajaan kita, sedangkan kekerasan hati jang mengiringinja ada pula kedapatan pada sifat2 ke-malu2an puritan. Akan tetapi ada bedarja. Kita bisa memperhubungkan sifat ke-malu2an ini dengan peristiwa pengingkaran hawanafsu dan kurangnja perhatian kepada séksualitét. Akan tetapi sesungguhnja tak perlu mesti demikian. Di Dobu, disamping sifat kemalu2an jang mendalam ada pula hubungan sékse jang terlarang sebelum perkawinan, sedangkan hawanafsu seksuil dan teknik sangat dihargai. Baik dikalangan laki2 maupun kaum wanita, kepuasan seksuil sangat dihargai dan mereka berdaja-upaja untuk semangkin menjempurnakannja. Orang2 laki2 jang mentjurigai isterinja, bahwa ja tidak setia kepadanja, menurut norma2 jang berlaku tak bisa bersikap masabodoh sadja, atau lantas mentjari kawan diantara kaum laki2 se-mata2 Turun-naiknja sjahwat dipergunakan se-baik2nja, berbeda misalnja dengan apa jang terdjadi di Zuni, dimana hal ini dipersahadjakan oleh lembaga2 suku. Adjaran pokok dilapangan seksualitét bagi wanita jang hendak memasuki hidup-perkawinan, jalah bahwa mereka sedapat mungkin harus membikin letih, supaja sang suami tak meninggalkan dia se-lama2nja. Dalam hal ini segi badani seksuatitét tidak dipandang rendah.


Penduduk Dobu sifatnja keras, malu2 bernafsu dan batinja selalu sakit karena irihati, tjuriga dan dendam. Ia selalu beranggapan bahwa kesenangan dan keuntungan diambilnja atau dirampasrja dari suatu dunia dalam perdjuangan, dimana ternjata bahwa dialah pemenangnja. Siapa jang banjak mengalami perdjuangan2 demikian itu, hal mana terbukti dari kemakmuran jang ditjapainja, dialah orang disegani dan dihormati. Pada umumnja orang beranggapan bahwa ja untuk mentjapat tudjuan ini, telah mentjuri, telah membunuh anak2 pembantu dan kerabatnja dengan menggunakan mantera, dan telah sering pula menipu dan memperdajakan orang. Seperti kita ketahui, pentjurian dan zinah adalah tudjuan mantera. jang sangat dihargai dari orang2 jang sangat dihormati dalam masjarakat. Salah seorang jang paling dihormati dipulau Dobu telah memberi suatu mantera kepada Dr. Fortune. Chasiat mantera ini ialah bahwa pemiliknja dengan mengutjapkan mantera itu bisa gaib (menghilang). Kata orang itu kepada Dr. Fortune: ,,Sekarang Tuan bisa memasuki toko2 di Sydney dan mentjari se-mau2 Tuan, dan

DOBU

149


kemudian membawa barang2 itu keluar. Saja telah sering mentjuri daging babi masak. Saja menggabungkan diri kepada kumpulan mereka tanpa dilihat. Kemudian saja meninggalkan tanpa ketahuan pula, sambil membawa sepotong daging!” njihir tak dianggap sebagai kedjahatan Orang djahat ialah orang jang dalam perdjuangan-hidupnja setjara badani atau karena €konomi menderita kekalahan, padahal orang2 lainmenang. Orang tjatjat tak boleh tidak mesti orang djahat. Ja menderitakekalahannja dengan terang2an ,bisa dilihat oleh setiap orang.


Suatu segi istimewa lainnja daripada perdjuangan mati2an ini ialahtiadanja bentuk2 hukum jang normal di Dobu. Memang banjak sekali matjam tjara untuk membenarkan hukum jang berlaku dalam berbagai kebudajaan. Kita akan mengetahui bahwa dipesisir Barat-Laut Amerika, pengetahuan se-teliti2nja tentang upatjara2 ataupun pengetahuan se-tjermat2nja tentang perbuatan2 dalam upatjara2 itu taklah tjukup untuk mensjahkan hak-milik. Sebaliknja membunuh pemilik jang sjah membuat si pembunuh mendjadi pemilik jang sjah dengan segera. Memang orang tak bisa mentjuri upatjara dengan mempeladjarinia dan menirunja, akan tetapi ini tak berarti bahwa kebudajaan kita bisa membenarkan tjara mendjadikan dirinja pemilik jang sjah seperti tersebut diatas, jakni dengan djalan membunuh pemiliknja. Akan tetapi soalnja ialah bahwa bagaimanapun djuga ada sesuatu tjara pengesjahan hukum jang berlaku, sedangkan di Dobu tidak ada. Di Dobu mentjuri mantera dengan djalan mendengarkannja selalu ditakuti, karena memperoléh mantera setjara ini akan dihargai seperti djika memperoléhnja melalui djalan jang bagaimanapun djuga. Orang menghormati pentjuri jang berhasil. Wabuwabu adalah suatu praktek jang sjah menurut hukum adat akan tetapi terhadap suatu perbuatan jang tjurang jang tak dibenarkan oleh hukum adat tidak diambil tindakan sesuatu apa berdasarkan pertimbangan2 sosial. Beberapa individu jang bermuka tebal tak bersedia tunduk kepada aturan2 jang berlaku dalam masa-berkabung atas kematian isterinja. Orang wanita hanja bisa meloloskan diri dari aturan2 ini, djika ada orang laki2 jang bersedia melarikan dia. Dalam hal ini, desa dari marhum suaminja mendatangi desa tempat ia melarikan diri dan me-nébar2inja dengan daun2 dan dahan2. Kalau jang melarikan diri orang laki", tidak diambil tindakan apa2, Mereka setjara resmi mengakui, bahwa sihir orang itu adalah demikian kuatnja, sehingga désa jang wanitanja dikawini tak berdaja apa2 terhadapnja.


Tiadanja peraturan2 hukum sosial terbukti dari tiadanja pemimpin2 atau orang2 jang memegang kekuasaan. Dalam suatu desa oleh suatu keadaan jang kebetulan si Alo mendapat suatu kekuasaan jang diakui oleh masjarakat. ,,Kekuasaan Alo tidak sadja disebabkan oleh peribadinja jang kuat, dan ia sebagai anak sulung mendapat warisan sihir, akan

150

POLA-POLA KEBUDAJAAN


tetapi djuga karena ibunja anaknja banjak sekali, demikian pula nénéknja. Alo adalah anak laki2 tertua dari garis-keturunan tertua, sedangkan saudara2 sekandungnja, laki2 maupun perempuan, merupakan majoritét dalam désa. Maka, rupa2nja bentuk kekuasaan sjah di Dobu, meskipun djarang sekali adanja, kadang2 berdasarkan keadaan2 jang kebetulan seperti misalnja peribadi jang kuat ditambah dengan hal mewarisi sihir dalam suatu keluarga, jang terkenal karena sihirnja dan keturunan2nja jang subur.”


Sengketa penuh chianat, jang mendjadi ideal kesusilaan di Dobu tak diringankan oleh adat2 sosial jang mengandung kekuatan hukum. Sengketa inipun tidak diperhalus dengan suatu tjita pengampunan atau keramahtamahan. Sendjata jang dipakai tak meninggalkan bekas. Itulah sebabnja mereka tak membuang waktu dengan mengeluarkan tantangan2 dan hina2an, jang malah mengandung risiko bahwa rentjana2nja mendjadi berantakan. Hanja dalam pesta keupatjaraan satu2nja jang telah kita bentangkan, tradisi mengizinkan digunakan kata2 hinaan. Dalam suatu perijakapan biasa, penduduk Dobu sangat hormat dan rendah-hati. ,,Kalau kita hendak membunuh orang, kita dekati dia, kita makan dan minum ber-sama2 dia, mungkin kita bekerdja dan ber-istirahat ber-sama2 pula ber-bulan2 lamanja. Kita menunggu waktu jang tepat. Kita sebut dia: kawan,” Oleh karena itulah dukun-peramal waktu menimbang bukti2 untuk menundjuk siapa pembunuhnja, chususnja mentjurigai mereka jang sering bergaul dengan si terbunuh,. Djika mereka sering ber-sama2 tanpa ada alasan2 jang Jazim, maka ketahuanlah sudah siapa pembunuhnja. Seperti jang dikatakan oleh Dr. Nan „Orang? Dobu, djahat laksana sjaitan, atau samasekali tidak jahat.”


Penduduk Dobu menganggap bahwa dibalik tiap2 keramah-tamahan dan kerdjasama jang baik dalam hubungan jang manapun terselip sesuatu pengchianatan. Djika ada orang jang bekerdja sungguh2, maka menurut alam-pikiran mereka tentu ia mau membikin berantakan dan menghantjurkan rentjana2 orang lain. Oleh karena itu selama Kula.

tiap2 orang menggunakan suatu mantera ,,untuk menutup mulut mereka jang tinggal dirumah.” .Mereka menganggap sudah sewadjarnjalah, bahwa orang2 jang tinggal dirumah meng-halang2i mereka. Rasa mendendam selalu dianggap “sebagai suatu motif jang pasti mendatangkan akibat2. Biasanja teknik sihirnja mengikuti suatu pola, jang bisa digambarkan oleh hasratnja, supaja suatu mantera hanja bisa diutjapkan atas ubi pertama jang ditanam atau atas makanan atau hadiah pertama, jang disimpan dalam kano untuk Kula. Dr. Fortune pada suatu hari menanjakan kepada seorang ahlisihir mengenai ini. Djawabnja :

DOBU

151


„Ubi adalah seperti manusia,” demikian ia mendjelaskan. ,,Mereka memahami ini. Djjika ada ubi jang mengatakan: ,,Ubi sana itu disihir, mengapa aku tidak?”, maka ia mendjadi marah sekali, dan tumbuhnja sembarangan sadja.” Apa jang berlaku bagi manusia, berlaku pula bagi mahluk2 adikodrati.


Menurut anggapan orang Dobu, orang jang mendendam, mempunjai suatu sendjata jang tak dipunjai oleh mahluk2 adikodrati. Ia bisa mentjoba bunuh-diri atau menebang pohon2nja, jang buahnja ditjuri orang. Ini adalah tjara terachir untuk menutupi malu orang jang dihina, dan menurut anggapan mereka dengan demikian ia akan mendapat sokongan dari susunja sendiri Seperti Kita ketahui, pertjobaan membunuh diri atjap kali merupakan djawaban terhadap sengketa2 dalam rumahtangga, supaja clannja bertindak untuk menolong suam: jang dihina itu. Adat-istiadat untuk menebang pohonnja sendiri, djika buah2 annja ditjuri orang, agak kurang djelas maksudnja. Orang2 jang tak memiliki mantera2 pembangkit penjakit, bisa mengutuk pohon2 itu dengan menjebut ketjelakaan atau penjakit parah, sehingga kerabat jang terdekatpun menderita, dan si pentjuri, itu mungkin sekali kena bala atau penjakit jang dimaksudkan oléh si pengutuk itu. Djikalau orang jang dikutuknja itu tidak apa2, maka ditebangnja pohonnja. Ini adalah politik jang sama dengan jang didjalankan pada pertjobaan membunuh diri, akan tetapi disini ternjata dengan djelasnja, bahwa tiada suatu maksud untuk menimbulkan rasa belaskasihan atau supaja mendapat bantuan dari kerabat2nja: Rupa2nja, djikalau seorang Dobu merasa dirinja mendapat hinaan jang berat, ia lalu mengikut-sertakan disinja beserta milik2nja mendjadi korban pembalasannja dan korban nafsunja untuk menghantjurkan. Hal ini memang dibenarkan bahkan ditondjolkan dalam lembaga2nja. Ja terikat oleh suatu teknik jang sama, meskipun ia, seperti tjontoh diatas, menggunakannja itu terhadap dirinya sendiri.


Penghidupan di Dobu menjuburkan bentuk2 Ekstrim berupa permusuhan dan kedjahatan, jang oleh lembaga2 diluar Dobu diperkegjil se-ketjilenja oleh peraturan? dan adatkebiasaan? jang tertentu. Sebaliknja, lembaga2 di Dobu bahkait memperbesar sebesar2nja permusuhan dan kedjahatan itu. Orang2 Dobu membiarkan kengerian2 manusia jang ditimbulkan terhadap sikap permusuhan dunia, dan berdasarkan pandangan-hidupnja mereka mentjari korban untuk melempiaskan rasa permusuhannja, jang dianggapnja bahwa hal ini disebabkan oleh masjarakat manusia dan tenaga? alam. Bagi mereka penghidupan ini se-olah2 suatu perdjuangan mati2an, dimana musuh2 saling hadap menghadapi,

152

POLA-POLA KEBUDAJAAN


dimana tiap2 orang menhadjatkan dan ber-lomba2 untuk mendapatkan se-banjak2nja dari benda2 duniawi ini. Ketjurigaan dan kekedjaman adalah sendjata2nja, jang ampuh dan terpertjaja dalam perdjuangan itu.

Mereéka tak mau memberi atau minta ampun.