52570Rimba-Rimba — Bab 1Joni Syahputra


RAHASIA YANG BOCOR


Malam kian larut, hujan pun turun rintik, angin berhembus, seakan tak ingin ketinggalan berpacu dengan waktu. Di sebuah jalan yang mulai sepi, Letnan Syamsul semakin deras memacu laju jeepnya, seperti ingin berpacu dengan malam yang kian kelam.

Sementara lelaki yang duduk di sampingnya, yang terlihat masih muda tidak bersuara banyak. Sesekali diisapnya rokok sembari menghembuskan asapnya keluar jendela mobil, kemudian berterbangan dilarut angin. Dalam benaknya ia masih bertanya-tanya, kemana lelaki itu akan membawanya. Sejak dari tadi, ia masih berpikir apa tujuan si Letnan mengajaknya. Ia masih saja menduga-duga arah tujuan mereka. Kemudian berbagai macam pikiran buruk pun mencuat di benaknya. Tetapi untuk bertanya lebih jauh, ia tidak berani.

Ketika beristirahat sejenak di beranda rumah, seorang datang lelaki tergopoh menghampirinya. Membisikinya sesuatu. Tak lama kemudian, dengan wajah yang sama-sama tegang, mereka berdua pergi menembus malam. Ia tidak sempat bertanya lebih banyak kepada lelaki itu, yang ia tahu, ia mesti segera berangkat, ada sesuatu hal yang sangat penting yang akan terjadi, dan celakanya itu melibatkan dirinya.

Tak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah gedung. la terpurangah. "Let, bukankah ini?"

Belum hilang rasa terkejutnya orang yang dipanggilnya Letnan itu, turun dari mobil. "Ayo turun," perintah si Letnan. Ia menuruti saja kata-kata yang didengarnya terkesan berupa perintah itu. Terpaksa ia turun dari mobil dengan penuh tanda tanya.

Dengan langkah kurang yakin, ia turun dari mobil mengikuti langkah kaki sang Letnan. Mengetahui ada orang yang datang, pintu dibukakan dari dalam. Beberapa penjaga di pintu itu disapa dengan hangat olch Letnan. Sepertinya mereka sudah sangat kenal, atau bahkan sudah terlihat akrab. Seorang dari mereka membakar sebatang rokok dan memberikannya kepada sang Letnan. "Bagaimana situasi? Sudah lama saya tidak datang ke sini," ujarnya sambil berjalan masuk. Sepertinya ia tidak menginginkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Hanya basa basi belaka. Lelaki tegap. penjaga itu, tidak segera menjawab. Namun sudut mata penjaga sangar itu menukik tajam ke arahnya. Letnan paham apa yang terjadi. Kemudian ia mengangguk, seperti memberi isyarat, membuat penjaga itu mengerti dan membiarkannya masuk. Sepintas diliriknya ke arah penjaga itu, ia melihat gagang pistol menyembul dari balik pinggangnya. Hatinya bergidik.

"Let, kemana sebenarnya kita?"

"Ikut saja." Perintah dari komandannya itu tidak. bisa dibantahnya. Mereka lantas menuju sebuah lorong dan masuk ke sebuah ruangan yang tak bedanya seperti sebuah kamar.

"Ini kamar saya. Kita aman di sini."

"Tapi Let?"

"Kau pernah mendengar, jika takut dengan harimau, carilah ia sampai ke sarangnya."

Lelaki itu diam seakan mengerti kemana arah pembicaraan sang Letnan. 'Siapa Letnan ini sebenarnya? Mengapa sekarang berada di markas komunis.' Batinnya. membisik. Tetapi semua pertanyaan itu tidak penting untuk dicari jawabannya sekarang ini, karena ada satu hal penting yang harus dipikirkannya.

Baginya sang Letnan tetap orang yang misterius. dan tertutup. Tidak banyak yang ia ketahui tentang latar belakangnya, kecuali ia adalah seorang komandan yang berprestasi bagus, intel yang mumpuni, dan satu kampung dengannya, Padang. Itu saja. "Kabar apa yang akan Letnan sampaikan, sepertinya sangat penting?" Ia memberanikan diri bertanya.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Wajahnya terlihat berat. Mukanya memerah. Kumis-kumis itu seakan rontok. Beberapa kali ia hanya batuk kecil sambil mengisap rokok. Gerak tubuhnya membawa Jamaludin kian mendekat.

Sang Letnan mengambil sebuah dokumen dari dalam lacinya. Memberikan ke Jamaludin. "Jangan dibuka sekarang. Segera berangkat ke Padang, pastikan dokumen ini harus sampai ke tokoh PRRI, kapan perlu berikan ke tangan Ahmad Hussein langsung. Segeralah pergi, sebentar lagi mereka akan rapat besar." suaranya berat dan pelan, sangat hati-hati, seakan dinding-dinding itu punya telinga. Dan ia tidak ingin pembicaraan mereka didengar.

"Ke arah mana pertemuan ini Letnan? Apa artinya semua ini?" Sang Letnan tidak menjawab. Pertanyaan itu baginya tidak membutuhkan jawaban. Ia tahu Jamaludin adalah anak buahnya yang terlatih dan sangat bisa diandalkan.

"Laksanakan tugas."

"Siap Letnan."

Sang Letnan memberi isyarat supaya dia segera meninggalkan markas itu sebab tidak aman berlama-lama di markas itu. Lagipula ia tidak ingin kehadiran anak buahnya itu mengundang tanda tanya lebih jauh bagi anggota PKI lainnya.

"Bawa mobilku, aku akan tidur di sini."

"Siap Letnan."

la keluar dengan bergegas. Menyelipkan dokumen itu di pinggangnya. Penjaga yang tadi berada di pintul tidak dilihatnya lagi. Mungkin mereka ikut mempersiapkan rapat yang akan dihadiri para pentolan partai, seperti yang dikatakan Letnan barusan. Ia tidak peduli hal itu. Baginya isi dokumen itu harus diterjemahkan secara cermat untuk bisa mengambil tindakan yang tepat. Jeep berlalu dengan kencang.

Setelah lama berkendara, ia menghentikan laju kendaraannya. Melihat ke arah belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti, lalu masuk ke dalam sebuah rumah. Membuka lekas dokumen dengan segel sangat rahasia itu. Matanya kembali terbelalak, seakan tidak percaya isi dokumen itu?

'Benarkah semua ini?' batinnya. Seandainya sang Letnan masih berada di dekatnya tentu ia akan bisa menanyakan kebenaran itu. Ia tidak percaya dengan isi dokumen itu. Akan tetapi sebagai intel republik, informasi sekecil apapun akan sangat berharga. Ia mesti memercayai isi dokumen itu dan harus segera menyampaikannya ke tokoh PRRI di Sumatera. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan perkembangan akhir-akhir ini. Situasi politik yang kian memanas, konflik internal Angkatan Darat yang kian meruncing. Ia mesti segera mengambil tindakan yang cepat sebelum terlambat.

Kini ia merasa sendiri dan betul-betul memikul sebuah beban yang maha berat. Dadanya terasa berguncang. Sebuah tugas maha penting berada di pundaknya. Sebuah resiko yang sangat dahsyat akan terjadi jika ia gagal dalam misinya, menyampaikan surat itu ke tangan Ahmad Hussein.

Otaknya seakan beku beberapa saat. "Kau akan beroperasi di kampungmu sendiri. Melawan orang-orang yang dikenal, tetangga, orang kampung, atau bahkan keluarga, teman sepergaulanmu dulu. Memang sulit. Siapa kawan dan siapa lawan tidak jelas." Samar-samar ia seperti mendengar suara sang komandan.

Ranah Minang. Negeri seribu satu ulama itu, sebentar lagi akan luluh lantak diamuk perang saudara.


***