OPR KIAN MERAJA LEIA


Nagari Aie Dingin terdiri dari delapan jorong, Jorong Koto, Jorong Jirek, Jorong Data, Jorong Cubadak, Jorong Air Sonsang, Jorong Air Abu, Jorong Air Ampuh, dan Jorong Koto Baru. Jarak antar satu jorong dengan jorong yang lain sekitar lima kilometer, pusatnya ada di Jorong Koto.

Sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian. Beras, kentang, lobak, bawang dan segala macam produk pertanian lain lengkap di sini. Masyarakatnya 100 persen pemeluk Islam yang taat. Pengajian-pengajian yang diadakan di Msjid selatu ramai.

Siang harinya murid-murid ke sekolah dan sorenya ke TPA sedangkan malam harinya ke surau. Hampir tidak ada waktu luang bagi murid untuk bermain.

Hampir setiap jorong sudah punya Masjid, namun sekali seminggu warga selalu memadati Masjid Baiturrahmah di Jorong Koto. Berbagai macam acara yang digelar. Mulai dari siraman rohani dari Buya Malin Mandaro hingga perlombaan membaca Qur'an.

Pemuda-pemudi begitu kompak dan bersemangat. Setiap minggu itu juga terlihat datuk-datuk dari berbagai suku yang ada di kampung itu. Ada Datuk suku Bendang, Datuk Suku Caniago, Datuk Kutianyir, dan Datuk Melayu.

Semaraknya acara-acara keasamaan di kampung itu tidak terlepas dari peran Buya Malin Mandaro. Ia sangat disegani di kampung itu. pengaruhnya tidak hanya di kampung itu, namun sudah menjelajah ke kecamata lain.

Ia berasal dari suku Caniago, umurnya sudah 59 an. Namun masih terlihat muda. Buya terlahir dari seorang ayah yang hanya petani kecil, namun juga seorang ulama. la punya tiga saudara. Buya yang paling besar, kemudian Nur Aisyah dan Saniar kemudian yang laki-laki satu lagi meninggal dunia waktu masih muda.

Namun kedamaian kampung itu terusik dengan perang. Sebagai penganut Islam yang taat, kampung itu menjadi salah satu target operasi PKI. OPR-OPR pun bergeriya siang malam.

Para tokoh-tokoh masyarakat di kampung itu pun sudah ditetapkan sebagai target pembunuhan. Buya berada di urutan teratas. Nama-nama itu sempat bocor ke penduduk. Membuat kampung buncah.

Melihat kenyataan seperti itu, penduduk mulai ketakutan. Malah, sudah banyak yang mengungsi ke kampung-kampung lain yang terdekat.

Kampung itu dituduh sebagai markas PRRI, Warga kampung selalu memberi bantuan makanan kepada PRRI. Malah beberapa murid mengaji Buya juga dikait-kaitkan sebagai tokoh PRRI. Dengan alasan sarang PRRI, OPR yang membonceng di dalam tubuh pasukan pusat pun bebas berkeliaran.

Isu beredar dengan cepat. Terakhir tersiar kabar APRI akan melakukan agresi ke kampung itu, Selain itu tersiar kabar jika betul warga tidak mendukung PRRI harus membakar rumah masing-masing dan warga harus mengungsi secepatnya. Membakar rumah dan Masjid dengan tujuan tidak ada lagi aktivitas mencurigakan di dalam rumah.

Sebentar saja, kampung itu menjadi lautan api. Hampir di semua jorong api berkobar dengan cepat. Warga mengungsi entah kemana.

Sore, hujan mulai rintik. Dingin mendesah melewati celah-celah jendela. Walinagari Aie Dingin Syafei termenung di beranda. Ia sangat gusar semenjak kedatangan beberapa orang dari OPR kecamatan tadi sore.

“Bapak harus menentukan sikap, berada di pihak pemberontak atau pemerintah?”

Syafei gusar dengan pertanyaan mereka. Seolah-olah dia disudutkan dan dituduh sebagai walinagari yang membantu pemberontak.

Mukanya merah. Kekecewaan terlihat jelas dari dalam dirinya. Ia seorang yang sangat dihormati di kampung itu. Tiba-tiba saja beberapa orang yang menamakan dirinya OPR datang dan menuduhnya dengan tuduhan keji.

“Apa kalian menuduh saya membantu pemberontak?”

Syafei bersuara keras. Ia berdiri tegak. Sungutnya bergerak-gerak. Namun lelaki itu terus menekannya. Kemudian tidak segan-segan mengeluarkan sepucuk pistol di balik bajunya.

“Pemerintah perlu dana untuk menumpas PRRI. Siapkan upeti jika tidak ingin dicap sebagai PRRI.”

Syafei terhenyak.

“Ini pemerasan namanya,” katanya.

Lelaki itu tidak berkata banyak. Bersama lima orang temannya ia bergerak keluar.

“Besok kami datang lagi.”

Syafei terenyuh. Ia tidak tahu mesti berbuat apa.

Istrinya, Rosma datang bergegas ketika rombongan itu sudah pergi. Ia cepat-cepat menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Sebuah balok kayu dibelintangkan di tengah-tengah pintu itu. Hanya itu kunci yang sangat kuat.

Ia mengintip dari balik celah-celah dinding.

“Apa mereka sudah pergi?” terdengar suara Syafei pelan.

“Ya...” jawabnya.

“Sebenarnya ada apa?” katanya lagi.

“Mereka sudah tahu. Kampung ini sudah tidak aman bagi kita,” katanya.

Rosma terhenyak duduk di kursi itu. Itu adalah berita yang paling menakutkan yang tidak ingin ia dengar. Ia menggigil. Jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut sekali.

Sebagai walinagari dia memang dalam posisi yang sulit. Di satu pihak banyak rakyatnya yang menjadi pemberontak namun di pihak lain kedudukannya sebagai wakil pemerintah mesti berada di pihak pemerintah.

Dia pun sudah mendengar banyak tentang tindak tanduk OPR tersebut. Dia tahu kelompok tersebut sangat kejam dan bahkan tidak segan-segan membunuh atau membakar rumah.

“Yang tidak patuh kepada kamu akan diganti. Bahkan tidak hanya sampai di situ, mereka juga akan dihabisi.”

Lelaki yang punya bekas luka di pipi kirinya itu menggertak dengan suara keras.

Besoknya rombongan itu datang lagi.

“Ini perintah dari orang penting. Setiap penduduk diwajibkan membuat satu lobang di belakang rumah mereka masing-masing. Lobang itu paling kurang sedalam dua meter dengan diameter satu meter. Ini perintah atau pasukan pusat akan menghancurkan kampung ini.”

Syafei tidak bisa berbuat banyak. Di bawah paksaan OPR itu, dia pun memerintahkan masyarakat untuk membangun lobang itu.

“Apa gunanya?” tanyanya beberapa penduduk.

“Tidak usah banyak tanya. Kerjakan saja,” ujar mereka.

Malamnya, Syafei mendatangi Buya Malin Mandaro di Jorong Jirek. Selama ini memang Buya Malin Mandaro adalah sahabat tempat berbagi cerita bagi Syafei.

“Saya mencium ada sesuatu rencana busuk Buya,” katanya.

“Saya juga. Mulai sekarang kita harus waspada.”

“Memang, kampung kita sekarang sedang dijadikan sasaran, Saya mendengar banyak walinagari yang mendukung PRRI sudah diganti. Buya tahu siapa penggantinya itu?”

“Siapa?”

”Hemm...licik...” “Ya, siapa?”

“Orang-orang mereka juga.”

“Maksudnya petugas-petugas dari Jawa?”

"Bukan, orang-orang komunis.”

Buya terhenyak,

“Jadi perkiraan kita itu benar.”

“Ya...”

“Bagaimana kekuatan mereka?”

“Sangat kuat. Kita tidak sanggup melawan. Bahkan Jawara-jawara dari beberapa kampung sudah terpengaruh. Siapa yang tidak terpengaruh oleh uang. Menjual kampung pun mereka mau,”

Buya mengangguk-angguk. Ia cuma tidak menyadari kalau persoalannya sudah sejauh itu. Kini preman-preman kampung sudah ada di pihak mereka.

“Kita harus merencanakan sesuatu,” kata Syafei.

“Ya. Saya sedang berpikir apa tindakan yang mesti kita ambil.”

“Kamu tahu apa tujuan mereka?”

“Menurut informasi, kelompok mereka sangat kejam. Sudah banyak kampung-kampung lain yang mereka hancurkan. Mereka membakar rumah. Membunuh.”

“Saya heran, untuk apa lobang itu?”

“Menurut Buya untuk apa?”

“Itutah yang sedang saya selidiki.”

“Untuk jadi kuburan kita sendiri.”

“Apa?”

Buya terbelalak. Ia tidak menduga sama sekali kalau lobang itu akan digunakan untuk kuburan mereka sendiri.

Sudah hampir dini hari, baru Syafei pergi dari rumah Buya, Setidaknya bagi Syafei ia sudah mendapat titik terang apa yang akan dilakukannya kelak. Bagi dirinya sendiri, tidak mungkin dia mengkhianati teman-temannya yang sekarang sedang berada di rimba-rimba. Hampir setiap malam pasukan-pasukan itu datang.

Ketika mau naik ke jenjang rumahnya Syafei terkejut. Ia melihat ada bayangan menghilang di balik dinding rumahnya.

Ia langsung memasang kuda-kuda. Sebagai pesilat ia tahu apa yang akan menimpa.

Beberapa lama ia menantikan dan menunggu tidak ada juga.

Tiga kali siulan terdengar di balik dinding. Ia pun bersiul dengan pelan. Ia tahu siapa orang yang datang itu.

Syafei tahu harus berbuat apa. Kemudian dia masuk pintu rumah, namun menghilang di balik pintu belakang. Di belakang rumah itu ada sebuah gudang. Dilihat dari luar cuma seperti gudang penyimpanan padi dan benda-benda rusak. Tapi di balik itu ternyata ada sebuah ruangan.

“Kami dengar mereka sudah mendatangi kamu?” Ujar lelaki yang duduk di bersila.

“Ya?

“Apa yang diinginkannya?”

"Mereka meminta supaya saya tidak membantu kentara rimba lagi.”

“Kamu percaya hanya itu yang mereka tuju?”

“Itu yang saya ragu, Mereka punya tujuan besar.”

“Apa yang mesti saya lakukan?”

“Pergi...”

"Pergi?"

“Ya, pergi dari kampung ini. Di sini sudah tidak aman. Seluruh keluargamu akan dibakar hidup-hidup. Lihat apa yang mereka lakukan di Galagah.”

Rimba-Rimba

Syafei tersentak.

la tidak menduga kalau orang-orang OPR itu akan bertindak sejauh itu.

“Kumpulkan barang-barang yang dirasa perlu. Kita akan pergi sekarang juga.” Syafei ingin membantah. Namun ia tahu siapa lelaki itu. Ia sudah bersahabat dengannya sejak puluhan tahun silam. Tidak mungkin Informasinya salah. Dia adalah komandan PRRI di sektor Pantai Cermin.

Malam itu juga, dia membangunkan Maimunah, anaknya kemudian dan menghilang di balik kerumunan malam.

Mereka pun menuju kampung-kampung pelarian yang dirasa aman.

Tidak beberapa jam setelah kepergian mereka, beberapa orang tidak dikenal mendatangi rumah itu.

Lelaki yang punya bekas luka di pipi kirinya memberikan aba-aba pada temannya yang ain. Tangannya digoreskan ke lehernya.

Orang yang dituju pun mengangguk.

Tak lama kemudian beberapa orang mendobrak pintu.

Rumah itu digeledah. Namun mereka tidak menemukan apapun di dalam rumah itu.

“Kosong...”

“Apa?”

“Ya, tidak ada orang lagi. Mereka sudah pergi.”

“Bakar rumah im,” teriaknya.

Kemudian mereka menyiramkan minyak tanah ke dinding rumah itu. Tidak lama kemudian api besar membakar habis rumah itu.

Beberapa penduduk yang semula terkejut karena kebakaran itu cepat menuju rumah Syafei. Namun


144

Rimba-Rimba


sesampai di sana mereka terkejut melihat apa yang terjadi. Lelaki yang punya bekas luka di pipi kirinya itu berbicara dengan lantang.

“Siapa yang mendukung PRRI rasakan sendiri akibatnya.”

“Rumah kalian dibakar, kalian dibunuh..."ujar yang lain.

Kampung Aic Dingin geger.

Rumah Walinagari sudah dibakar. Sebentar lagi ten tu saja giliran rumah kepala jorong dan sebentar lagitentu giliran rumah-rumah penduduk.

Setelah api mengecil mereka tidak mendapati adanya jejak-jejak manusia di dalam bara yang memerah Itu.

“Kalau ada orang yang terbakar biasanya kepalanya meletus,” ujar seorang dari mereka.

“Tidak ada Pak Wali?”

“Pak Wali menghilang.”

“Sukurlah.”

Mereka bertanya-tanya kemana walinagari mereka pergi.

Beberapa orang kemudian mendatangi rumah Buya, Mereka cemas selanjutnya OPR itu akan membakar rumah Buya.

Mercka mengendap-endap masuk ke rumah buya.

“Assalamualaikum...”

“Wa'alaikum salam...” ujar buya pelan.

“Mereka membakar rumah Pak Wali Buya.”

“Ya, saya sudah tahu.”

“Lalu apa yang mesti kita lakukan sekarang?”

"Kita tunggu saja perkembangannya, kalian hati-hati saja. Sedapat mungkin persiapkan barang-barang


145

Rimba-Rimba

untuk mengungsi. Saya mendengar Talang Babungo masih aman.”

“Talang Babungo””

"Ya, Tidak sampai sehari perjalanan kita akan sampai.”

Namun tiba-tiba mereka mendengar bunyi orang di luar, Buya cepat-cepat mematikan api lampu cogoknya.

Mereka yang di dalam pun saling pandang. Kemudian merapat ke dinding dan menyembunyikan badan di balik karung-karung padi. Samar-samar mereka mendengar perkataan orang di iuar.

“Apa ada orang?”

"Tidak terlihat.”

”Lihat lagi, Dia pasti menuju ke sini?”

“Atau bakar saja rumah ini?”

“Jangan. Belum saatnya.”

“Ayo, kita mesti bergegas,”

Setelah keadaan di rasa aman, buya kemudian melihat dari balik kaca. Dia melihat bayangan-bayangan menghilag di balik kegelapan malam.

“Apa mereka sudah pergi?”

“Sudah. Kalian di sini saja dulu. Di luar tidak aman.”

“Baik Buya.”

Besok malamnya, di sebuah Surau Nurul Iklas di Jorong Jirek, puluhan jemaah mengikuti pengajian. Namun tiba-tiba dua orang masuk bergegas, Tidak tahu apa yang dibicarakan. Yang pasti tidak lama kemudian Buya menghilang dan bersembunyi dan rumahnya.


145