Rimba-Rimba/Bab 24
PULANG DARI PENGASINGAN
Di pinggir kampung rombongan itu berkumpul. Mereka serius mendengar informasi dari scorang pasukan rimba. Menurut kabar yang disampaikannya sekarang ini perang sudah selesai. PRRI kalah. Semua harus menyerah dan mendaftarkan diri ke pos-pos keamanan terdekat.
Untuk kawasan Lembah Gumanti, pos didirikan di Alahanpanjang. samping Surau Dagang. Semua orang tidak terkecuali harus mendaftarkan diri kembali dan membuat surat pernyataan setia kepada ibu pertiwi.
Imbauan itu hanya berlaku untuk sebulan ke depan. Jika masih ada tentara rimba yang berkeliaran di hutan dan membuat kekacauan, mereka akan diburu habis-habisan. Imbauan itu juga ditujukan kepada ulama-ulama itu. Makanya mereka sesegera mungkin harus keluar dari hutan Sungai Abu itu untuk kembali ke Alahanpanjang. Mangkuto sudah menyerahkan tugas mengawal para ulama itu kepada anak-anak Harimau Campo. Selain itu beberapa orang dari pasukan rimba juga akan diikutsertakan.
“Nasib mereka ada di tanganmu Johan,” ujar Mangkuto.
“Saya akan laksanakan tugas ini dengan sebaiknya,” ujar Johan.
“Uda sendiri mau kemana?” Tanyanya lagi.
“Masih ada urusan penting yang akan kami lakukan,” katanya.
“Urusan penting? Di saat sekarang ini tidak ada yang lebih penting selain kembali ke ibu pertiwi,” kata Johan lagi.
Mangkuto tertawa lebar.
“Johan...Johan....”
la menepuk-nepuk pundak Johan. Tidak lama kemudian dari dalam sebuah goa muncul Tanaka dan Buya Malin Mandaro. Mereka mengangguk ke arah Johan. Mangkuto dan Johan yang ada di dekat itu cepat mendekat, Tanaka membawa mercka masuk ke goa itu.
“Ayo...” ujar Mangkuto.
Mereka mengikuti Tanaka dari belakang. Orang itu sangat lincah berjalan dalam goa.
“Mercka sudah menanti,” katanya kepada Mangkuto.
“Siapa yang menanti?” tanya Johan.
“Lihat saja nanti,” ujar Mangkuto.
Tanaka memang lincah berjalan dalam goa,walau goa kelam tanpa cahaya, namun kakinya seperti punya senter, Kemudian mereka sampai di sebuah ruangan yang besar. Di sana sangat terang karena celah-celah icbih banyak yang membuat matahari masuk. Di sisi barat ada pintu goa, semula Johan ingin medekat. Mangkuto menarik tangannya dengan cepat. “Di sana jurang,” katanya. Setidaknya di ruangan itu sudah ada sekitar sepuluh orang. Sebelum sampai ke ruangan beberapa orang penjaga dari tentara rimba terlihat berdiri dengan sikap tegap. Senjata di arahkan ke depan. Johan tidak bicara banyak. Mangkuto membisikkan sesuatu ke telinganya. “Lelaki yang pakai jaket hitam itu adalah pimpinan tertinggi.”
Johan mengerti apa yang dimaksudkan Mangkuto. Ia tahu siapa lelaki itu. Namun yang ia tidak mengerti mengapa lelaki itu dan beberapa orang yang lain ada di tempat itu.
“Mengapa mereka ada di tempat ini?” Tanya tohan. “Banyak yang belum Kau mengerti dari perjuangan ini,” kata Mangkuto. Lalu lelaki itu membuka suaranya. “Kita boleh kalah, tapi barang-barang ini tidak boleh jatuh ke tangan mereka,” suaranya lantang. Semua orang yang ada di tempat itu mendengarkan dengan hati-hati apa yang dikatakannya. “Kita boleh kalah...” Ada nada keputusasaan dalam kata-katanya itu. “Kami akan menyerah. Ini untuk menghindari korban tebih besar lagi dari rakyat,” katanya. “Kapten Mangkuto....” Lelaki itu memanggil nama Mangkuto. Mangkuto segera tegak berdiri. “Ini perintah. Sembunyikan semuanya dengan aman dan segera menyerah. Ini perintah.” “Siap komandan,” jawab Mangkuto. “Ada pertanyaan?" “Mengapa tidak kita serahkan barang-barang ini kepada APRI””
“Tidak sekarang. Kita belum tahu keadaannnya. Barang ini milik republik int, kelak juga akan kita pergunakan untuk membangun republik ini.”
Perintahnya jelas. Mangkuto tidak berkata apa-apa lagi.
“Johan...”
Lelaki itu memanggil nama Johan, Johan berdiri. Ia jadi sungkan. Ja tahu berhadapan dengan siapa saat ini. “Kawal para ulama sampai ke Alahanpanjang dengan selamat.”
“Siap komandan," jawab Johan.
Kemudian beberapa orang melangkah keluar mengikuti komandan itu. Johan tidak tahu sejak kapan komandan itu ada di tempat itu.
Namun ia mencoba merangkai-rangkai kisah sebclum sampai ke tempat itu. Ia tidak bisa merangkai semua kisah itu dengan baik, ia punya tugas besar. Tiga orang pasukan PRRI memindahkan sekitar enam buah peti ke sudut lain.
Johan masih bertanya-tanya apa isi peti-peti itu. Mangkuto terlalu arif untuk menjawab kegalauan Johan. “Peti ini isinya emas. Cukup untuk membangun sebuah negara,” katanya.
Johan tersentak. Ia tidak percaya. Tapi ia mengerti mengapa orang-orang itu berani melawan. Mereka punya modal yang besar. Emas.
Tiba-tiba saja Mangkuto mengambil belatinya dan membuka sebuah peti. Mata mereka terbelalak. “Kalian percaya?"
Johan dan Buya Malin Mandaro yang ada di dalam itu betul-betul masih belum percaya. Tanaka sedari tadi hanya tersenyum-senyum. Mungkin ia bangga dengan dirinya sendiri. Ia bangga karena selama perang bergejolak ia sudah menepati janjinya untuk menjaga harta peninggalan VOC itu.
“Ayo,” ujar Buya.
“Baik Johan, kita berpisah di sini. Saya ada tugas yang lebih besar, Setelah tugas ini selesai, kita akan bertemu di lagi di Alahanpanjang,” kata Mangkuto. Johan mengangguk. Ia mengerti dengan apa yang akan dilakukan Mangkuto.
Bagi Johan lelaki itu memang sangat tuar biasa. Ia bisa dipercaya. Ia pasti akan menyembunyikan cemas itu sampai saatnya dibutuhkan negara ini. “Negara ini beruntung karena punya orang seperti Uda," kata Johan.
Mereka pun bersamalam. Tanaka mengikuti langkah Mangkuto.
Sementara itu Johan dan Buya Malin Mandaro bergegas ke luar. Rombongan itu sudah Stap untuk berangkat. Mereka akan menjalani perjalanan yang cukup panjang.
“Saya rindu dengan dunia luar. Saya rindu dengan umat,” ujar Buya Malik.
“Ya...saya juga,” jawab Buya Malin Mandaro.
Mata orang-orang itu berbinar-binar. Sudah lama mereka diasingkan di tempat itu. Sekarang perang sudah selesai, mereka masih punya tugas yang maha berat. Mereka harus mengembalikan semangat Sumatra Barat yang sudah luluh fantak karena kafah perang itu.
Mereka harus mengobati luka-luka perang itu. Mereka harus memunculkan lagi tokoh-tokoh dari bumi yang kalah perang. Mereka harus membangun pendidikan surau di nagari-nagari yang sudah luluh lantak. Rombongan itu berhenti di pinggir sungai ketika mereka sudah kelelahan.
***