KAMPUNG YANG BERGOLAK

Esok pagi ia bangun cepat dan segera melanjutkan perjalanan. Setiba di daerah Titian Panjang, pintu masuk ke Jorong Koto Baru, kampungnya, tiba-tiba langkah Johan terhenti. Dari kejauhan terlihat asap menggepul. Jalan masih lengang. Tak lama ia berpapasan dengan sekelompok orang yang hendak mengungsi.

"Ada apa?”

Tidak ada yang yang menanggapinya. Orang-orang itu kelihatan sangat ketakutan.

"Mau kemana?" katanya lagi.

Untung beberapa saat kemudian, Johan bertemu dengan salah seorang tetangganya.

"Mau kemana Rus?" katanya.

"Ayo cepat menghindar. Pasukan rimba sedang menyusun kekuatan di kampung kita," ujar orang yang disapanya. "Apa? Pasukan rimba?"

"Ya."

"Tapi mereka kan di pihak kita?"

"Makanya, mereka akan mencegat pasukan pusat di rimba Alahanpanjang. Lalu kenapa penduduk yang mesti mengungsi?”

"Mereka takut."

"Saya lihat ayah, ibu, serta adik-adikinu sudah dua hari yang lalu pergi mengungsi."

"Pergi?"

Johan berpikir, secepat itu pasukan pusat datang. Ia juga berpikir tentang truk itu.

"Ya. Mengungsi."

"Mengungsi? Kemana?"

"Entahlah. Waktu itu mereka sangat bergegas."

Mendengar jawaban itu, Johan langsung bergegas menuju rumahnya. Ia sangat terkejut melihat rumahnya sudah rata dengan tanah. Asap masih mengepul dari sisa-sisa bangunan yang terbakar. Tanpa sengaja, dari sudut matanya keluar setetes embun dingin. Rumah kenangan. Keluarga yang pergi entah kemana. Adik, ayah, ibunya. Ohh....pilu merasuk di ulu hatinya.

"Siapa yang melakukan semua ini?" teriaknya.

la terkejut, rumah gadang itu sudah tidak ada lagi. la berusaha mencari-cari kalau ada barang-barang yang tertinggal, namun usahanya sia-sia. Semuanya sudah hangus. Tapi ia masih untung karena orang tuanya sudah pergi sebelum rumah itu terbakar.

Seteleh dilayangkan pandang ke belakang, ternyata rumah-rumah tetangga lainnya juga sudah rata dengan tanah. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Beribu perasaan hampa hercampur dalam kebingungan. Kampung itu sudah hangus. Tapi tidak ada bekas terjadinya baku tembak pasukan pusat dengan pasukan rimba. Lalu siapa yang melakukan itu semua?

Johan kian tidak mengerti. Ia tidak bisa menduga kemana keluarganya berangkat.

"Ayah......."

"Mak.... Di mana kalian?"

Johan ingat pesan ayahnya sebelum berangkat dulu.

"Jika negeri ini bergolak, jangan pikirkan kami. Selamatkan dirimu. Insya Allah, kita pasti bertemu lagi."

la yakin hal itu akan terjadi. Ia yakin ayah dan ibunya dalam masih hidup saat ini. Ia bisa merasakannya. Namun ia tidak bisa menebak di mana ayah dan ibunya sekarang. Yang dipikirkannya ialah apa yang akan dilakukannya sekarang? Apakah ikut mengungsi bersama rakyat di hutan-hutan, ataukah akan bergabung dengan tentara rimba.

Di saat ia masih kebingungan muncul Kamil dan Zakir.

"Kalian rupanya?"

"Ya. Kami masih di sini," ujar mereka.

"Kalian tidak ikut mengungsi?" tanya Johan.

"Mengungsi?" kata Kamil heran.

"Kemana?" tanya Zakir serentak.

"Rimba." ujar Johan.

"Ah tidak," kata mereka serempak.

"Ayah dan ibu sudah saya titip kepada tetangga", ujar Zakir lagi.

"Kita tidak boleh jadi pengecut. Ini perang kita. Tentara pusat itu datang untuk menghabisi kita semua. Menghabisi generasi Minang, adat, budaya, agama. Ini perang antar partai PKI dan Masyumi kawan. Ulama dan komunis. Sampai kapan kita akan jadi pengecut? Kemana kita akan pergi? Hidup hanya sekali, jangan mati dalam pelarianmu. Tapi hadapilah kematianmu dengan gagah."

"Saya dengar pasukan rimba membentuk pasukan di sini dan akan menyergap di Alahanpanjang?" tanya Johan.

"Ya, pasukan rimba sangat marah karena warga banyak yang terhasut dan malah membakar rumah mereka sendiri, jadi sekarang kami dengar mereka akan balas menyerang," kata mereka.

"Jadi yang membakar rumah ini semua?"

"Ya, mereka yang membakar rumah mereka sendiri karena beredar isu siapa yang menyediakan rumah untuk pasukan rimba akan dibunuh tentara pusat."

"Hah...." Johan sangat terkejut.

"Jadi apa yang mesti kita lakukan sekarang?"

"Kampung ini sudah tidak aman lagi. Kalian tahu ada apa semua ini?"

"Tidak."

"Benar-benar membingungkan. Mengapa masyarakat yang membakar rumahnya sendiri. Siapa yang menyuruh?" kata Johan.

"Malah yang saya dengar sebaliknya. Menurut desas-desus, masyarakat takut kalau tidak dibakar akan dianggap komunis," kata Zakir menambahkan dengan versi lain.

"Komunis?" Johan tersedak.

"Ya."

"Sebentar, kalian tahu kemana keluargaku mengungsi?" tanya Johan. Tidak ada yang menjawab.

"Mereka bergegas, maaf kami tidak sempat menanyakan. Saya datang, rumahmu sudah jadi abu," jawab Kamil. "Tapi, sudahlah. Nanti kita pikirkan itu. Saya yakin mereka baik-baik saja. Sebaiknya sekarang kita ke Aie Dingin," kata Zakir.

Walaupun jorong Koto Baru masih termasuk bagian dari Nagari Aie Dingin, tapi mereka tetap menyebut Aie Dingin. Maksudnya adalah Aie Dingin Barat, yang terdiri dari Jorong Koto, Jorong Jirek, Jorong Data, dan Jorong Aie Sonsang. Sedangkan Koto Baru, Aic Abu, Cubadak, dan Aie Ampuah masuk dalam Aie Dingin Timur.

"Kita mesti menemukan Buya Malin Mandaro, semoga beliau masih berada di kampung itu," lanjutnya. Pagi itu juga mereka bertiga berangkat menuju Aie Dingin berjalan kaki. Jarak sekitar dua puluh kilometer itu mereka tempuh dengan susah payah. Bukit Sarasah yang masih perawan mereka terobos.

Setelah sampai di Aie Abu, mereka mengambil jalan melingkar melalui Aic Sonsang dan berjalan mengikuti aliran sungai hingga sampai di Jorong Jirek, di sana rumah buya.

Namun ternyata rumah Buya Malin sudah kosong. Beberapa orang yang mereka temui mengatakan Buya pergi dibawa beberapa orang ketika sedang mengaji di surau. Mereka tidak tahu siapa yang membawa. Malah santer terdengar isu yang Buya diculik antek komunis. Masyarakat kian gusar.

"Dibawa kemana?" kata mereka.

"Entah? Tapi ada yang menduga dilarikan ke hutan," kata orang tersebut.

"Komunis?" kata Johan.

"Ya."

"Tapi dibawa kemana?"

"Mungkin ke Solok atau Padang. Tidak jelas," ujar orang itu. "Tetapi sebaiknya kita ke Talang Babungo dahulu, mungkin ada informasi tentang Buya di sana. Teman-teman Buya pasti ada yang tahu."

"Talang babungo?" itu jauh kata mereka serentak.

"Iya, apa yang akan kita lakukan di sini? Menunggu komunis itu membunuh kita semua?" Johan meninggikan suaranya.

Johan tiba-tiba ingat. Aie Dingin, Talang Babungo, dan Garabak Data, adalah tiga daerah yang letaknya berjauhan tapi punya hubungan yang dekat. Menjadi satu karena peran Buya Malin Mandaro.

Dari Aie Dingin ke Talang Babungo berjarak sekitar 30 kilometer jika melalui jalan umum. Jarak itu bisa ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan. Tapi jika melewati hutan, bisa memakan waktu tiga hingga empat jam karena medan yang cukup berat. Sementara Garabak Data berada jauh lagi di pedalaman. Dari Talang Babungo sekitar 20 kilometer lagi. Dengan kuda beban bisa ditempuh dalam waktu empat jam lebih.

Buya kelahiran Aie Dingin, menuntut ilmu di Talang Babungo dan pertama kali berdakwah di Garabak Data. Semenjak itu hubungan ketiga daerah sangat harmonis. Malah ketiganya menganggap dunsanak orang dari kampung yang lain jika datang ke kampung yang satu.

Tidak lama kemudian datang dua orang lagi Imron dan Ali. Mereka semua adalah sebagian kecil dari murid Buya Malin Mandaro yang tersisa, yang lain mungkin sudah ikut mengungsi atau ikut berperang.

"Hei kalian..., di mana Buya?" kata Johan.

"Buya diculik komunis," kata mereka serempak. Benar saja, beberapa hari yang lalu terdengar kabar Buya diculik komunis. Kampung geger. Buya diculik tengah malam. Hampir tidak ada yang tahu.

Kemudian mereka masuk ke dalam rumah. Memang sudah kosong. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Di sana sini peralatan rumah berantakan. Mereka saling diam dan tidak mengerti apa yang akan dilakukan.

Rimba-Rimba