Sarinah/Bab 4
Satu kali perempuan berkedudukan mulia, yakni di zaman berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa kita, untuk kemuliaan perempuan itu musti mengharap diadakan kembali sistim matriarchat itu?
Anggapan yang demikian ini adalah anggapan yang salah, walaupun misalnya orang perempuan sekalipun yang ber-anggapan begitu.
Sering sekali ada perempuan menanya kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan itu daripada sistim yang sekarang ini?
Sebab, tidakkah di dalam sistim peribuan itu perempuan berkedudukan mulia? Saya selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja!
Buangkan fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh karena kita harus mencari keselamatan masyarakat seumumnya, dan tidak keselamatan perempuan saja; kedua oleh karena matriarchat itu adalah hasil perbandingan-perbandingan masyarakat yang kuno dan tidak dapat diadakan lagi di dalam masyarakat sekarang; dan ketiga oleh karena tidak selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia kepada kaum perempuan.
Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen, bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti kedudukan perempuan tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa kemuliaan bagi perempuan, tetapi ada juga yang tidak membawa kemuliaan bagi perempuan. Sebab, apakah hukum peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam kromo saja kawin satu sama lain, sehingga hantam kromo pula turunannya bercampuran darah. Ia adalah reaksi kepada kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-perempuan hantam kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki perempuan tak mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari lain gerombolan saja yang boleh berkawin dengan seseorang perempuan, dan turunannya dihitung menurut garis peribuan dan menjadi hak perempuan itu. Hanya ini sajalah asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain. "Aturan ini tidak tentu membawa kedudukan perempuan yang lebih baik dan lebih merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku yang memakai aturan peribuan kedudukan perempuan sama sengsaranya dengan kedudukan perempuan di dalam suku-suku yang memakai aturan perbapaan", begitulah Henriette Roland Holst berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey. Beliau mengatakan, bahwa peribuan itu "kadang-kadang mendatangkan perbudakan perempuan, kadang-kadang pula mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam tangannya, sehingga ia lantas mendapat satu kedudukan yang lebih berkuasa". Muller Lyer pun berpendapat begitu, dan begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz, Eisler dll.
Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat, menjadi sistim pemerintahan–ibu, maka di situlah perempuan berderajat, di situlah perempuan bermartabat tinggi. Tetapi kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan menanya: Apa sebab pernah terjadi satu masa, yang perempuan yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya ialah, oleh karena pada bagian pertama dari zaman pertanian itu, perempuanlah produsen masyarakat yang terpenting. Dialah yang mengerjakan dan memimpin pertanian, dialah yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia tidak bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai produksi pokok itulah yang menjunjung derajatnja; harganya sebagai pengasih hidup kepada anggota-anggota gens itulah yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan, bukan sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang menjadi sebab kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum peribuan, moral, hukum itu, adalah akibat daripada kedudukannya yang penting itu.
Maka oleh karena itu, tak dapat matriarchat itu datang kembali, kalau kedudukan perempuan sebagai produsen masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim produksi masyarakat, yang kaum perempuan saja menjadi pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang cita-cita yang setinggi langit, tetapi jangan mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali. Pembaca boleh mengharapkan susunan masyarakat yang lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, tetapi janganlah pembaca mengharapkan jarum masyarakat diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu adalah harapan yang mustahil, harapan yang kosong. Masyarakat tak dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, – tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan masyarakat, sudahlah termasuk ke dalam alamnya "kemarin". Pertanian kini bukan alam orang perempuan saja, dan fase pertanian itupun sebagai fase kemasyarakatan sudah terbenam di dalam kabutnya "zaman dahulu". Kini fase masyarakat adalah fase kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam industrialisme ini perempuan saja yang memegang kendali produksi! Perempuan dan laki-laki, laki-laki dan perempuan, kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. Maka oleh karena itu, juga di dalam masyarakat sekarang ini matriarchat tak dapat datang kembali.
Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ, perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ, hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih ditegakkan di situ, tetapi matriarchat sudah lama lenyap, sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, – dan di luar Indonesia pada beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania, di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum peribuan di Minangkabau itu adalah restan–restan dari Minangkabau tingkat rendah, dan bukan milik Minangkabau tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum peribuan itu di Minangkabau sekarang ini, dia adalah memelihara restan-restan Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa bangkai periode kultur yang telah silam. Dia dapat kita bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga melati di sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik, merindukan, memilukan, menggoyangkan jiwa, tetapi – mati!
Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman yang kemudian: di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada tertulis: "Maka oleh karena itu, orang laki-laki akan meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging". Benar kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya Mattheus 19,5 dan Markus 10,7), dan diartikan sebagai kesetiaan laki-laki kepada isterinya, tetapi asal-asalnya nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama pula, Numeri 32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair mempunyai bapa yang asalnya dari suku Yuda, tetapi ibunya Yair adalah dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair di situ disebutkan "ibnu Manasse", dan mendapat warisan dari suku Manasse itu. Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini anak-anak seorang pendeta yang beristerikan seorang perempuan dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai di muka saya sebutkan juga, Nabi Isa masih disebutkan Isa Ibnu Maryam?
Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I, diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan tahun sebelum zaman Nabi Isa, adalah timbul dari aturan-aturan matriarchat. Semua itu membuktikan, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masyarakat kuno, timbul dari perbandingan-perbandingan sosial–ekonomis di masyarakat kuno. Ia adalah tiugkatan atas rohaniah perbandingan produksi di masyarakat kuno, yang tidak dapat diadakan lagi di suatu masyarakat sekarang, di mana perbandingan sosial ekonomis adalah lain. Dan sejarah duniapun membuktikan, bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku, makin lama makin lenyap.
Di mana sekarang masih ada hukum peribuan, – di Minangkabau atau di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, – di mana sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih daripada sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka daripada sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan itu, dia adalah mau menghidupkan kembali atau memelihara sebuah bangkai. Dia adalah menuju arah yang bertentangan 180 derajat dengan arah tujuan evolusi masyarakat; dia adalah reaksioner; dia adalah sosial reaksioner.
Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarchat lah caranya kita musti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistim yang basis-nya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Yang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi yang sekarang ada, itulah yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran primitif yang mau kembali kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak, lenyaplah nanti di dalam kalbu tuan segala harapan, segala cita-cita, segala kegembiraan.
Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-sekali.
Lagi pula: adakah hukum peribuan di Minangkabau itu mengasih kedudukan baik dan mulia kepada perempuan? Saya kira, semua orang yang telah pernah berdiam di Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana perempuan belum boleh dikatakan hidup di dalam sorga. Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ialah: banjak laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk "mancari" ke daerah lain, banyak perceraian, perempuan susah mencari suami, sukar berkembangnya ekonomi individuil, dan lain sebagainya.
Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada perempuan! Sebaliknya, manakala ia ada mengasih kedudukan baik, maka hukum peribuan itu kadang-kadang dan sering sekali membawa akibat laki-laki menjadi hamba perempuan! Rudolf Eisler menerangkan bahwa di dalam hukum peribuan ini "sering sekali laki-laki musti bekerja sebagai budak buat perempuan". Keadaan yang semacam ini tentu bukan keadaan yang sehat. Satu sistim yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistim yang memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistim, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan di sini, bahwa pemecahan "soal perempuan" itu bukanlah harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula di dalam matriarchat, tetapi di dalam masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain!
Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, karena ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab, Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa yang primitif adalah berhukum peribuan. Friederich Engels pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase masyarakat yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, – di semua tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu. Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. " Ibunya si anu ialah si anu ".
Sebab, pada waktu itu keluarga belum bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu gerombolan laki-laki kawin dengan satu gerombolan perempuan: inilah yang dinamakan "kawin gerombolan". "Siapa bapa" di situ tidak terang. Karena itu hukum peribuan menjadi hukumnya orang di waktu itu.
Kemudian daripada kawin gerombolan ini, datanglah kawin pasangan, di mana perempuan menjadi isterinya satu orang laki-laki saja.
Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu "perpindahan" antara kawin gerombolan ke kawin pasangan itu, adalah satu zaman yang membolehkan atau mengharuskan seseorang perempuan sebelum ia mempunyai suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja. Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan "heaerisme", "persundalan", yang sebenarnya berlainan sekali dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu perempuan dianggap sebagai "ibu sekalian manusia", yang mengasih hidup kepada semua orang. Tetapi kini ia akan memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti "dapat kerugian" lebih dulu, atau "bayar kerugian" lebih dulu! Ia lantas dibolehkan menjalankan "persundalan" pada waktu gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki saja.
Menurut agama di Babylon, dulu seorang anak dara kalau ia hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke kuil Mylitta, dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada banjak laki-laki.
Begitu pula keadaan di Memphis, di Cyprus, di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis di Mesir, di Asia Depan di dalam kuil Anaitis. Engels berkata: "Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh hampir semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai Gangga".
Perempuan ibu umum! Sebelum ia bersuami satu orang saja, ia musti memuaskan semua orang lebih dahulu!
Sebelum ia memuaskan satu orang saja, ia musti bayar dulu upeti kepada dewa-dewa. "Sebab bukan supaya menjadi layu di dalam tangannya satu orang laki saja, maka perempuan itu dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum jasmani menolak semua pembatasan, benci kepada semua perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan sebagai satu dosa kepada sifat kedewaan perempuan itu", begitulah Bachofen menulis di dalam kitabnya "Mutterrecht". Sampai zaman sekarangpun, misalnya di Flores, di mana saya berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang mereka sukai, dan yang paling "jempol" di antara "gadis-gadis" itu, – jempol memuaskan laki-laki -, itulah yang nanti paling lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di ulu-uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di Afrika, sampai sekarang masih berlaku pula adat ini.
Di kepulauan Baleara, maka belum selang berapa lamanya masih ada adat, yang pada "malam pernikahan", semua keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin perempuan itu berganti-ganti.
Di Malabar, di uluan India Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini.
Dan mungkin juga hak "malam. pertama" yang dulu diberikan kepada raja-raja di Indonesia dan di Eropa, – di beberapa negeri Eropa sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak "jus primae noctis" itu -, pada asalnya haruslah dianggap sebagai "belian" kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah karena perempuan menjadi isteri satu orang laki-laki saja!) Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di Nederland pun menurut keterangan Murner, tamu-tamu di "suguh" nyonya rumah atau puteri rumah pada malam hari?
Ya, perempuan ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini suatu anggapan tinggi kepada perempuan itu? Tetapi tidakkah pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak baik kita pakai? Maka oleh karena itu, meskipun ada kalanya hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya mengasih kedudukan yang mulia kepada perempuan, meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang masih ada restan-restan matriarchat itu di mana perempuan seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu dapat tegak terus di masyarakat sekarang, dan dus boleh dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di masyarakat sekarang. Tidak! Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang telah gugur. Itu hanyalah satu "kematian yang terlambat".
Hukum peribuan pasti mati, pasti gugur, pasti lenyap dari masyarakat industrialisme dan masyarakat hak milik pribadi sebagai yang sekarang ini, walaupun ia ulet nyawa. (Misalnya sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih ada hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania (di propinsi Westfalen) di mana si anak mewaris dari ibu, dan tidak dari bapa).
Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu orang perempuan bersuami banyak (poliandri) juga disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan, mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan.
Eisler mengatakan, bahwa poliandri itu "bukan satu perkembangan yang umum" (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan dia "perkecualian", serta, "hasil-hasil yang mewah daripada sejarah". Dan Bebel berkata, bahwa "belum diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu". Tetapi ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri pegunungan yang tinggi saja; seperti di Tibet. Di negeri-negeri pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir tiada tumbuh-tumbuhan samasekali, sudah barang tentu sangat berat struggle for life. Maka poliandri atau persuamian banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah terlalu bertambahnya jumlah keturunan, dengan tidak merugikan dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah keterangan ini? Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang berikut: menurut seorang penjelidik yang bernama Tarnowsky, maka udara yang terlalu dingin berakibat melemah-kan kepada syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-puncak gunung yang terlalu tinggi, menjadi lemah syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong menjadi keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang lebih rendah. Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras syahwatnya seperti orang-orang di negeri-negeri kanan-kiri khatulistiwa. Orang-orang perempuan di negeri-negeri dingin kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat haid, tapi gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada umur sepuluh atau sebelas tahun sudah mendapat haid). Maka oleh karena syahwat, terutama sekali syahwat laki-laki, di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak kesehatan perempuan manakala di negeri seperti Tibet itu satu perempuan bersuamikan dua, tiga, empat, lima orang laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak heran kita melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita melihat poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak diketahui umum, bahwa perempuan yang banjak laki-lakinya itu kurang menjadi hamil daripada perempuan yang bersuami hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal yang saban hari menerima syahwat laki-laki sampai lima, enam, se-puluh kali, jarang menjadi hamil, meski ia tidak minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak mengambil ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih. Dengan sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di negeri-negeri pegunungan tinggi itu bukan saja tidak merusak-kan kesehatan perempuan, tetapi ada juga berakibat mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah memeliharanya di negeri yang kurang rezeki itu. Bersangkutan atau tidak bersangkutan poliandri itu dengan hukum peribuan belum terang kepada kita. Tetapi ternyatalah di sini sekali lagi kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang sopan dan tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain sebagainya itu, bukanlah hasil pekerjaan budi pekerti manusia, tetapi adalah tergantung dan ditetapkan oleh perbandingan-perbandingan sosial dan materiil.
Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama, boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam. Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya kadang-kadang saya heran melihat "uletnya" hukum peribuan itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang perempuan, sesudah nikah, masih tetap saja menjadi "haknya" rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, "gampung" anak-anak itu adalah -"gampung" ibunya! Adat hukum peribuan inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan "ambil anak" atau "cambur sumbai" di tanah Lampung. Di situ si suami memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan menjadi "anaknya" mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia "ikut" kepada isterinya, ia menyerahkan anak-anaknya kepada isteri-nya, ia hanyalah bertindak sebagai "jantan" bagi isterinya, anak-anaknya menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja, (jadi tiada anak laki-laki), maka selalu perkawinan "cambur-sumbai" ini yang dipilih. Dengan begitu si anak perempuan itu meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau dengan perkataan adat; buat "tunggu jurai", buat “menegakkan jurai". Malahan di daerah Semendo anak perempuan yang tertua tetap menjadi penunggu dan penegak jurai itu, meski ia mempunyai saudara laki-laki atau tidak mempunyai saudara laki-laki. Suaminya wajib ikut kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan jurai, dan bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di daerah-daerah Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera Selatan, masih nyata ada sisa-sisa hukum peribuan, begitu pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan tempat-lain-lain.
Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang berupa "hetaerisme" (lihat di muka) antara "gadis-gadis" dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan, kalau seorang "gadis" sebelum ia mempunyai suami sudah mempunyai anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa hatinya kalau perempuan yang ia kawin itu sudah mempunyai anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) masih ada adat, yang seorang suami diwajibkan berdiam di rumah isterinya, dan di Sulawesi Selatan ada adat "mapuwoawo" yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan yang ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa hanya mendapat hak atas anak yang kedua atau keempat saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya di situ, tetapi juga ada matriarchat: dulu sering-sering di Sulawesi Selatan orang perempuan dijadikan raja. Di Keo, yaitu di satu daerah Flores, "gadis-gadis" selalu bergaul bebas dengan laki-laki, dan "gadis-gadis" yang paling "jempol" memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar harapan buat lekas mendapat suami.
Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif, hukum sesuatu rakyat yang belum tinggi tingkat kemajuannya. Hukum yang masih primitif itu tak mungkin baik buat masyarakat modern, dan pantas diganti dengan hukum yang lebih sesuai dengan masyarakat modern!
Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan, adalah hukum perbapaan itu satu kemajuan: dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang somah, dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat berkembangnya masyarakat.
Marx menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu "perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam", dan Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang besar". Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan pertuanannya fihak yang lain!
Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang amat jitu: "Ia berazaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa itu". Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang perempuan, yang akan membantah bahwa pada azasnya hukum perbapaan itu lebih baik bagi masyarakat daripada hukum peribuan. Ah ya, ada perempuan yang mengatakan hukum perbapaan itu masih "berat sebelah", dan lantas bercita-cita satu hukum yang di tengah-tengah hukum perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, – tetapi baiklah direnungkan dengan tenang dan dalam: hukum perbapaan bukan satu hal adil atau tidak adil, hukum perbapaan adalah satu hukum yang perlu buat evolusi masyarakat. Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, melainkan ekses–ekses hukum perbapaan itu, "keliwat-batasan-keliwatbatasan" hukum perbapaan itu. Ekses-ekses hukum perbapaan inilah nanti akan saya bicarakan di dalam bab ini juga. Tetapi marilah saya sekarang membicarakan lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu.
Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini timbul, sesudah masyarakat mengenal "milik", yakni mengenal " milik perseorangan " . Laki-laki yang meninggalkan perburuan, menyusun "milik" itu dengan keringat sendiri-sen-diri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan, orang-orang tawanan tidak dibunuh lagi tetapi dijadikan kekayaan yang berupa budak belian, hasil pertanianpun membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik ini di dalam tangan anak–anaknya sendiri, menjaga jangan sampai ia jatuh di tangan anak-anaknya orang lain, maka diadakanlah hukum perbapaan itu.
Tetapi jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia adalah akibat dari satu proses, sebagaimana tiap-tiap revolusi masyarakat adalah akibat dari satu proses. Ia bukan hasil pemutaran otak seorang-orang "di suatu malam yang ia tak dapat tidur", sebagai-mana juga tiada revolusi masyarakat hasil pemutaran otak "di suatu malam yang ia tak dapat tidur". Ia menurut keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali bukan satu revolusi yang membuat banyak ribut-ribut, melainkan hanyalah satu perubahan yang berangsur-angsur tenang. "Ini", begitulah ia berkata, "ini sama sekali tidak begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang. Sebab revolusi ini, – salah satu revolusi yang terbesar, yang pernah dialamkan oleh manusia -, tak harus mengenai seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga gens itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah cukup mengambil satu keputusan, bahwa di kemudian hari turunan anggauta laki-laki dari gens tinggal di dalam gens itu, tetapi turunan anggota perempuan keluar dari gens sendiri dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan .ini, maka sudah gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta hukum waris dari ibu, dan sudah ditegakkan aturan keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari bapa ... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada beberapa suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum selang berapa lama telah terjadi, atau sedang pula terjadi, buat sebagian karena bertambahnya kekayaan ... dan buat sebagian lagi karena pengaruh zaman baru serta pengaruh pendeta-pendeta Nasrani". Begitulah pendapat Engels. Bachofen lebih percaja kepada perubahan yang mendatangkan banyak peperangan. Mungkin kebenaran adalah ditengah-tengah: ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya sudah tuliskan di muka, bahwa ada pula daerah-daerah yang perempuan-perempuannya tidak mau tunduk begitu saja kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita atau dongeng-dongeng Amazone atau Wanita Nusa Tembini. Kalau kita sekarang datang di negeri kanan-kirinya gunung Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih amat hidup di ingatan rakyat di situ dongengnya Raja Puteri Tamara, yang sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan banyak raja-raja laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini malahan masih diagungkan oleh rakyat-rakyat Kaukasia. Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya, kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-pedang, di piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata, syair-syair serta pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian Kaukasia berbunyi:
"Tamara memakai tudung perang, dan telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju kain atlas".
Batu kuburan Tamara dikatakan bertulis: "Aku Raja Puteri Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan laut-laut dengan namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam ke Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan pedang telah kutanamkan di alun-alun Meidan di kota Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke akhirat dengan membawa kain sembilan depa."
Tamara telah menaklukkan semua musuhnya. Hanya Laut Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. "Apakah yang Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan daku?", begitulah Laut Kaspia menanya.
"Kekuasaan Tamara memang besar, tetapi lebih besar ialah ombakku dan gelombangku".
Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut Kaspia memekik-mekik karena sakit. Ombak-ombak Laut itu diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh Sang Raja Puteri kepadanya."
Demikianlah Raja Puteri Tamara. Fannina W. Halle menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan laut. Sebab, simbul apakah laut itu? Laut adalah simbulnya laki-laki! Bumi, tanah, adalah simbul perempuan, tetapi laut adalah simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa Indonesia menganggap bumi itu sebagai simbul perempuan: simbul Ibu, simbul Ibu Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia bumi adalah juga simbul perempuan. Tetapi manakala kita menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita berkata: "Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi", maka bangsa Kaukasia dan juga bangsa Yunani, menganggap laut sebagai simbul laki-laki. Bukankah tanah tidak dapat subur kalau tidak menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka dongeng perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap sebagai gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas perbapaan, antara hukum peribuan dan hukum perbapaan, antara matriarchat dan patriarchat.
Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain mempunyai "Tamara" yang lain-lain pula. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia itu: Tamara Kaukasia sebenarnya adalah satu figur yang bukan sama sekali "dangeng"!
Ia adalah satu figur yang juga oleh tarich diakui adanya. Ia satu figur historis. la menjadi Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185 dan tahun 1214, – jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah artinya ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara itu satu perjuangan matriarchat melawan patriarchat, maka perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang sudah ribuan tahun menegakkan hukum perbapaan, ada negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan tahun saja memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman sekarang belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali. Engels dan Bachofen memang juga mengatakan begitu! Dan bukan saja tidak serempak, – caranya-pun menurut Bebel berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-sendiri.
Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih dapat melihat berjalannya "revolusi-masyarakat" yang maha hebat ini.
Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu tenang sebagai misalnya perjuangan antara "kaum-adat" dan "kaum agama" di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau sekarang ini. Kesopanan modern itu "menghaluskan", "menyopankan" sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman tua, keadaan-keadaan adalah lain, dan manusia-manusiapun adalah lain. Orang zaman sekarang adalah orang "beradab", orang "sopan", – tetapi dulu? Dulu segala hal lebih "mentah", lebih "hantam-kromo". Dulu orang merantai dengan rantai besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih dengan golok terang-terangan. Karena itu maka perjuangan antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau sekarang ini.
Ya, dulu orang lebih "mentah". Patriarchat pun lebih "mentah". Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada milik, nafsu kepada milik perseorangan motornya patriarchat ini, dan bahwa perempuanpun dijadikan milik, dijadikan milik perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek.
Ia tadinya cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang lain, apalagi disentuh orang lain. Perempuan yang suka disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.
Edward Carpenter berkata: " Nafsu kepada milik itu membuat laki-laki menutup dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai itu. " .
Ya, – "milik"! Karena itupun, tidak , kalau "milik" itu (dulu lebih "mentah-mentahan" daripada sekarang) bukan saja disimpan dan disembunyikan, tetapi juga ditambah, sebagaimana orang menambah juga barang milik yang biasa: di mana-mana patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih benar: poligine, polyginie, yakni peristerian yang banyak-banyak. Makin banyak perempuan, makin baik; sebab makin bertambah banyaknya "milik" itu, berarti bertambahnya kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja dan kekuasaan, bertambahnya rezeki dan kemegahan. Manakala laki-laki hanya mempunyai isteri seorang saja, maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil "selir" berapa banyaknyapun juga. Menurut keterangan Injil, maka Koning Salomo (Sulaiman) mempunyai 700 isteri dan 300 orang selir! Demikianlah memang; adatnya patriarchat di zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut ini: Di dalam kitab Perjanjian Lama, Genesis, fatsal 16, ayat 1 dan 2, diceriterakan bahwa Nabi Ibrahim disuruh oleh Sarah buat "mengambil" budaknya yang bernama Hajar; juga di dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan bahwa Yakub disuruh oleh Rachel buat "mengambil" budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea (saudara Rachel) buat "mengambil" budaknya yang bernama Zilpa.
Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel dan Lea itu, adalah dua saudara. Mereka kedua-duanya adalah anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri satu orang! Inipun oleh patriarchat dianggap sopan, tidak melanggar kesusilaan.
Dan masih ada lagi satu hal penting dalam ceritera Yakub.
Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan jalan membelinya dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia beli dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing tujuh tahun lamanya. Maka kita di sini menginjak satu sifat penting dari patriarchat pula: perempuan milik yang harus dibeli. Inilah yang di dalam salah satu bab di muka sudah pula saya terangkan: kawin beli, perkawinan dengan jalan membeli, perkawinan dengan menganggap perempuan itu sebagai satu benda perdagangan.
Orang Yunani di zaman dulu menyebutkan wanita-wanitanya "alphesiboiai", yang artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan dengan sapi! Ya, perempuan satu benda perdagangan, yang, kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh, boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi dahulu, menurut keterangan Engels adalah satu kebiasaan, bahwa perempuan itu, beserta semua famili, sebelum suaminya mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya, ia memang benda belaka, milik ia punya suami! Kalau ia dibunuh oleh suaminya itu, maka itu pun hak suaminya. (Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri Belanda menurut keterangan Murner perempuan masih "disuguhkan" kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan sepotong kuih. "Het is in Nederland het gebruik, wanneer de man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof toevertrouwt". Atau mungkinkah ini sisa "ibu umum" daripada hukum peribuan?
Dan kalau laki-laki tidak mempunyai cukup syarat untuk membeli perempuan itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman "mentah-mentahan". Kalau tidak dapat dibeli perempuan itu, maka tiada keberatan moral sama sekali, jika perempuan itu dicuri, dirampok mentah-mentahan.
Kawin rampas, itulah menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita "Perampokan perawan Saba", dan kita malah sering sekali melihat cerita wayang di mana perempuan dicuri dan dibawa lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21, diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis Silo.
"Kawin beli" dan "kawin rampas", … sampai sekarang kita masih mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan jalan yang lebih "sopan". Sampai di zaman sekarang masih ada adat "marlojong" di tanah Batak. Dan di Chili Selatan tiap-tiap pengantin perempuan "harus dirampas lebih dulu" oleh suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan persetujuan orang tua. Tapi justru perkawinan yang demikian itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya uang "antaran", uang belis", uang "sasrahan" atau barang "sasrahan" yang di kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai sekarang masih saja orang bayarkan kepada pengantin perempuan atau bakal mertua, – lain daripada uang pembeli perempuan di zamannya patriarchat liar itu?
Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa kitapun, terutama sekali di "tanah seberang", nyata perempuan masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih kuat sekali adat pembayaran "uang belis" sampai ratusan rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeripun "uang antaran" kadang-kadang sampai ribuan rupiah! Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu banyak "gadis tua" yang sampai tinggi umur belum mempunjai suami: orang lelaki ter-halang kepada perkawinan, oleh karena uang pembeliannya begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli dengan kontan kita kenal, kita di Indonesiapun mengenal kawin beli dengan kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga kawin beli yang dibelinya dengan menjual tenaga buruh. Inilah yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan kawin jasa, dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa bagian di negeri kita, antara lain di negeri Batak.
Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa, mengadakan "perjalanan perkawinan" sesudah nikah! Pada asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain daripada adat kebiasaan mencuri (melarikan) perempuan itu dari kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala hal masih "mentah", orang tentu saja melawan atau menyerang kepada pencuri itu dengan senjata, mengejar dia dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu atau pentung. Kini orang sudah "sopan"; kini orang melempari pengantin yang mau berangkat untuk perjalanan perkawinan itu dengan ... beras!
Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah yang perempuan itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri Tapanuli, yang di situ masih ada adat "marlojong" atau "dilojongkon" (dilarikan) atau adat "tangko babiat" (seperti macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut keterangan Eisler, maka pencurian perempuan inilah yang menjadi asalnya adat "pembalasan darah" di zaman dulu, yakni asalnya adat belapati, ambil nyawa balas nyawa, yang lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka bumi.
Tahukah tuan asalnya adat "tukar cincin" pada bangsa Eropa? Adat ini adalah berasal dari adat merampas perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat laun "rantai" ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang suami, maka pengantin perempuan di Roma mendapat cincin besi dari ia punya suami. Di kemudian hari, maka diubahlah cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin emas, dan kemudian lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki dan perempuan "tukar cincin", sebagai tanda setia satu sama lain dari dunia sampai akhirat ...
Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap "benda" itu masih saja melekat pada perempuan. Ia masih tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat kebiasaan levirat masih juga terus berjalan sampai sekarang. Apakah levirat itu? Levirat adalah perkataan yang asalnya dari perkataan levir, yang artinya ipar. Levirat adalah adat, yang menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka jandanya lantas menjadi isterinya saudara-suami itu, – isteri iparnya sendiri -, atau isterinya keluarga dekat dari suami itu. Nyatalah di sini perempuan itu dianggap sebagai satu milik yang dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang diwariskan pindah ke tangan saudaranya suami yang mati. Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai alat penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu "mesin peng-eram"!
Di India orang perempuan yang tidak dapat hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, sebelum suaminya itu mati, – coba-coba barangkali dengan saudara suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak. Inilah yang dinamakan "perkawinan nyoga", satu macam perkawinan yang dasar ideologinya sama dengan levirat itu.
Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat 5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang perempuan yang tak mempunyai anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan ini adalah satu hak yang boleh dituntut oleh janda itu, – kalau si ipar tak mau mengoper dia, dia boleh meludahi muka iparnya itu di muka umum! -, tetapi hal ini tidak mengubah kepada dasarnya ideologi itu tadi: perempuan obyek, perempuan benda, perempuan milik, yang di sini menuntut pemeliharaan. Sebab, mencari kecintaan menurut kehendak hatinya sendiri, kawin dengan orang yang bukan ipar itu, dus menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya yang mati itu, ia tidak boleh! Ia musti kawin dengan ipar itu saja, kalau ipar itu mau.
Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu, sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah (telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di dalam ideologinya sesuatu rakjat!
Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini berhubungan dengan anggapan bahwa perempuan itu "benda": pertama hal persundalan, kedua hal "perempuan makhluk dosa".
Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum peribuan, tatkala perempuan dianggap ibu umum, tapi persundalan yang benar-benar persundalan: menjual diri kepada laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri kepada laki-laki dengan mendapat barang "harga" yang lain-lain. Dulu di zaman hukum peribuan persundalan itu satu "amal keagamaan", satu religieuze daad, satu perbuatan yang diwajibkan oleh ibadat.
Tetapi kini ia menjadi amal perdagangan. Perempuan, yang kini satu barang, satu benda yang ada harga, yang tak dimiliki kalau tidak dibeli atau dirampas, perempuan itu kini menjadi satu barang yang tidak tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup kekayaan untuk membeli seorang isteri atau belum cukup keberanian untuk merampas seorang isteri, timbullah perdagangan perempuan secara " barang eceran " . Siapa belum mampu membeli seekor sapi, dapatlah ia membeli daging sekati saja! Dan yang betul-betul meng-gambarkan ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum tidak terlalu menolak atau membecji persundalan ini. Orang perempuan diwajibkan setia, orang perempuan tidak boleh mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul kegadisannya, tetapi orang lelaki, bujang atau tidak bujang, boleh mengerjakan perzinahan di luar rumah sebanyak kali ia mau. Ya, bukan saja anggapan umum, tetapi hukum negeripun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di negeri Yunani, negaralah yang mengadakan deikterion-deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang boleh melepas-kan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap, yakni kurang lebih lima gobang satu kalinya. Dan di lain-lain negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di India, di Nippon, di situpun dulu negara yang menjadi germo (pengurus rumah persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani jang termasyhur, yang mula-mula mengadakan deikterion-deikterion itu, mendapat pujian khalayak buatkebijak-sanaan" itu dengan kata-kata: "Solon, terpujilah engkau! Sebab engkau telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat kesucian kota yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat, yang, umpama engkau tidak mengadakan aturan yang bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan perempuan-perempuan yang mulia!" Sudahkah tuan pernah mengetahui termasyhurnya rumah-rumah persundalan Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari negara? Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri beberapa puluh tahun yang lalu, waktu pemerintah Belanda juga mengakui syahnya dan mereglementir persundalan itu? Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara di Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu.
Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-sundal yang tidak memegang "surat" saja, yakni sundal-sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!
Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan sekadar akibat "kebejatan moral" saja, bukan sekedar satu akibat dari nafsu birahi perempuan-perempuan liar, tetapi ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak pasti lahir karena salahnya susunan masyarakat dan salahnya anggapan terhadap harga perempuan.
Ia adalah satu "buatan masyarakat" (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiripun satu buatan masyarakat. "Ia adalah suatu buatan masyarakat seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya kebebasan seksuil, – untuk kepentingan kaum lelaki". Ia tak dapat lenyap, kalau susunan masyarakat yang salah itu tidak lenyap dan anggapan salah terhadap perempuan itu tidak dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-kemanusiaan "sebagai satu bayangan", sampai ke alamnya "peradaban" sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan membangunkan satu "buatan masyarakat" yang lain lagi, yang juga tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia membangunkan Figurnya isteri yang mendurhakai suami, karena suami mendurhakai isteri.
Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumahtangga, isteripun yang ditinggalkan di rumah itu menerima percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak setia, perempuan tidak setia pula.
"Di samping perlaki-isterian tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian adalah suatu peristiwa masyarakat yang tak dapat dihindari – dilarang, dihukum keras, tetapi tak dapat ditindas." Begitulah Engels menulis.
Persundalan adalah satu buatan masyarakat, tetapi pendurhakaan suamipun adalah satu buatan masyarakat. Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, diperangi dengan wet dan penjara, ia tidak dapat ditindas dan dihilangkan.
Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-tama dan terutama sekali diadakan untuk "memastikan turunan", toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga "siapa bapa" masih tetap satu soal " kepercayaan " saja, dan bukan satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal "kepercayaan", dan bukan satu hal kenyataan. Satu hal kira–kira, dan bukan satu hal kepastian. Sehingga kitab hukum Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-kitab hukum di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh hukum Nederland), di dalam artikel 312 ada menulis: "L’enfant concu pendant le mariage a pour pere le mari". – “Anak yang dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang dianggap menjadi bapanya ialah sang suami". Dengan jitu dan jenaka sekali Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code Napoleon ini:
Inilah hasil yang paling baru dari tiga ribu tahun persuami–isterian satu! ...
Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi itu: perempuan sebagai "makhluk dosa". Inipun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka. Patriarchat dengan jalan parit-paritnya "agama" telah merendahkan kedudukan perempuan, antara lain dengan mengatakan, bahwa perempuan itu bikinan syaitan. Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan, bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda, sebagaimana bagi setengah kaum agama, kemiskinan adalah satu ideal dan satu pedoman hidup -, maka terhadap kepada perempuanpun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!), mereka berkata: jauhilah dan bencilah perempuan itu, karena ia adalah menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh sekali pertentangan ini: Kaum "dunia" mencari kemuliaan Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan di dalam rumah tangganya laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam kandang, kaum "agama" mencari kemuliaan dan kenikmatan dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap angan-angan kepada perempuan! Faham benci dan mensyaitan-kan perempuan di kalangan agama ini dinamakan asketisme dan selibat (ascetisme dan celibaat).
Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memulia-kan cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun nafsu kepada kepuasan syahwat. Selibat memuliakan cara hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan perempuan, perempuan tidak dengan lelaki. Asketisme dan selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang keenambelas, semuanya dimasukinya. Perempuan dianggap sebagai asal segala dosa. Perempuanlah yang dulu menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan perempuanlah yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki) adalah satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dan 12 ada tertulis: "Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat". Menurut fihak ini, pengebirian adalah satu perbuatan ulia, tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci perempuan satu tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: "Perkawinan adalah tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan syahwat", dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, bahwa memang sering pendeta-pendeta yang karena merasa dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti Origenes itu. Tertullianus berkata: "Perempuan, engkau akan selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan, bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke dalam lumpur kebinasaan. Perempuan, engkaulah pintu gerbang neraka jahanam!".
Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan keras yang mengharamkan perempuan itu. Di dalam Sufi Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di kalangan kaum agama adalah sama-sama satu buatan masyarakat sebagai persundalan adalah satu buatan masyarakat. Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan selibat, adalah sama-sama akibat daripada anggapan bahwa perempuan adalah milik dan benda; milik dan benda yang boleh dijual-belikan, atau – yang harus dijauhi, agar dapat mencapai kenikmatan akhirat.
Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti aliran asketisme dan selibat itu tidak mau mengakui, bahwa mereka merendahkan perempuan. Mereka selalu meng-atakan, bahwa mereka justru memuliakan perempuan. Mereka malah mengakui, bahwa Tuhan "kadang-kadang" mensucikan perempuan juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama Siti Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung Muhammad; fihak selibat Nasrani menyebut-kan nama Siti Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya. Tidakkah mereka semuanya perempuan-perempuan yang dimuliakan?
Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agamapun ada perempuan-perempuan yang dimuliakan, bahkan disembah!, tetapi yang di situ perempuan sebagai makhluk masyarakat ditindas clan direndahkan. Dewi Kybele, dewi Mylitta, dewi Aphrodite, dewi Venus, dewi Ceres di Eropa Selatan, dewi Edda, dewi Freya di Eropa Utara, dewi Syri, dewi Pratiwi, dewi Lakshmi, dewi Koan Im atau Kwannon di dunia Timur, – tidakkah mereka ini semuanya perempuan-perempuan yang disembah? Tetapi tidakkah di negerinya dewi-dewi itu posisi sosial daripada kaum perempuan amat rendah sekali?
Marilah sekarang kita palingkan muka ke Indonesia.
Di manakah di Indonesia masih ada patriarchat? Pertanyaan yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya: di manakah di Indonesia masih ada patriarchat liar? Sebab kita bangsa Indonesia hampir semua hidup di dalam sistim patri-archat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat, maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa agama Islam dan agama Keristen sebenarnya adalah koreksi atas patriarchat yang meng-ekses, koreksi atas hukum perbapaan yang bersifat kebiadaban. Hukum perbapaan yang menindas dan merampok, memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang "liar" itu dikoreksi, hendak diganti dengan hukum perbapaan yang adil dan baik. Tetapi agama sering sekali belum cukup "mendalam", atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-pengikutnya, sehingga di berapa daerah Indonesia yang penduduknya telah "Islam" atau telah "Keristen", patriarchat liar masih tampak dengan nyata.
Saya di muka telah menceritakan hal adat "marlojong".
Tanah Batak memang masih tampak sekali "klassik" ditentang kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga, levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat) masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang "mangoli", yakni uang membeli. Orang yang tidak mempunyai cukup uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia harus "sumondo". Dengan dibelinya perempuan. itu, pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi milik suaminya samasekali. Ia keluar dari marga sendiri, masuk ke dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris harta benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak boleh mewaris, malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu tidak mempunyai saudara atau tidak mempunyai keluarga yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali kepada marganya sendiri, tetapi ia dimustikan membayar kembali uang beliannya lebih dahulu! Anak-anaknya yang perempuan tidak boleh ikut mewaris harta benda peninggalan bapanya, oleh karena mereka kelak toh akan dibeli orang lain, – toh akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga bapanya.
Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan Batak di bawah ini:
Sian dangkana tu rantingna,
Sian angkangna tu anggina.
Dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut:
Dari dahan ke rantingnya,
Dari kakak ke adiknya.
Ya, kalau saudara tua mati, saudara muda akan mengganti dia!
Orang yang mencinta adat ini barangkali akan mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang, barangkali levirat ada "baiknya" juga: si janda tidak terus menjadi janda, tetapi segera ada orang yang "mengurus" akan dia. Memang ada satu sya’ir lain lagi, yang sering dinyanyikan oleh perempuan Batak:
Tumagonan unang muli,
Tu anak sisada-sada.
Tung mate i annon,
Ndang adong na mangabia.
Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:
Lebih baik jangan kawin,
Kepada anak sebatang kara.
Kalau dia nanti mati,
Tidak ada penggantinya.
Nyatalah dari syair ini, bahwa perempuan-perempuan itu sendiri seperti senang kepada levirat. Tetapi tidakkah benar pula kalau saya katakan, bahwa tiap–tiap adat, meskipun adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya, telah merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak yang tertindas itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada adat itu? Tidakkah benar kalau saya katakan, bahwa banyak perempuan cinta kepada pingitan, cinta kepada hal bahwa silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan mereka tak usah ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta kepada ketenteraman kehidupan di samping api dapur dan buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa banjak perempuan cinta kepada rantai yang merantaikan mereka?
Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa levirat adalah berdasar kepada pengertian "benda", berdasar kepada pengertian "milik". Ia berdasar kepada pengertian mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama "lako man", yang maknanya: penyedia makan. Ia "mendatangkan makan", ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah berkata-: "Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt; een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen". Artinya: "Sebenarnya, perempuan-lah yang memberi makan kepada laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya buat seterusnya".
Adakah lain-lain tempat lagi di Indonesia dengan "patriarchat liar" yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang "jeunamee" sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal yang berikut: "Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah membayar lagi "jeunamee" sepeserpun jua. Di daerah Gayo dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang. Di sana orang perempuan yang telah kawin (dan telah dibayar "harganya") disebutkan orang: "anggo" (Gayo) atau "alongi" (Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna terbeli. Keluarganya menamakan dia "juolon", yang artinya: "jualan", "barang jualan". Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia "ngalih" atau "mengalih", – mengalih sebagai milik, kepada lain tangan. Dan kalau suaminya tiada saudara atau keluarga, bolehlah ia pulang kembali ke gampongnya; tetapi anak-anaknya tak boleh ia bawa. "Laba" pembelian itu tak boleh dibawa keluar, tetapi harus tetap menjadi rezeki fihak yang membeli!
Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan: "Perempuan (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-Iaki, tidak mempunyai hak apa-apa lagi sama sekali. Segala apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun, menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak perempuannya kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan sampai di bahagian pertama abad ke 19, si bapa itu menjual anak-anaknya sebagai budak belian" .
Di Lampung inilah, dan juga di daerah Bengkulu, sampai sekarang masih ada adat "jujur", adat "kulo", adat bayar "uang antaran", yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli perempuan. Besarnya "jujur" atau "antaran’“ itu kadang-kadang ribuan rupiah. Di Endeh (Flores) uang pembelian itu (di sana dinamakan uang "belis") kadang-kadang juga amat tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan orang membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal). Uang-uang pembelian yang amat tinggi itulah menjadi sebab di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan Flores banyak "gadis tua".
Di Endeh ada beberapa "gadis tua" yang telah berumur... 60 tahun!
Tuan barangkali menanya: kenapa orang laki-laki kadang-kadang berani membayar uang pembelian yang begitu mahal!
Amboi, uang yang dibajarnya itu tidak terbuang percuma! Sebab satu kali ia buang uang, satu kali ia beli orang perempuan, satu kali ia "payah" atau "meringis", – seumur hidup ia boleh senang-senang goyang kaki saja: perempuan nanti bekerja keras mencari makan buat dia. Uang mangoli, uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang belis, – semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti bukan yang membeli, tetapi yang dibeli jua adanya.
Sungguh benarlah perkataan Bebel: "Perempuan adalah budak belian, – budak belianpun dibeli dengan emas"!
Sudah mengetahui kita sekarang, apakah sifat hakekat matri-archat dan patriarchat itu.
Sekarang, baiklah saya meninjau lebih dalam ekses-eksesnya (keliwatbatasannya) patriarchat itu.
Kita harus membuat perbedaan antara patriarchat yang meliwati batas, dan patriarchat yang tidak meliwati batas.
Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-syarat kesuburan masyarakat.
Ia adalah tiang besarnya somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial "dari hukum peribuan ke hukum perbapaan" adalah satu revolusi yang progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen tidak menentang patriarchat yang demikian ini, tetapi malahan menetapkan benarnya patriarchat yang demikian ini.
Tetapi patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi stelsel penindasan perempuan. Ia menjadi stelsel yang merampas segala hak-hak perempuan, dan memindahkan hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang amat menyedihkan.
Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau ke-dudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada perempuan. Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan bermaksud mengkoreksi ekses-ekses patriarchat yang pada waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk di negeri mereka dan di negeri-negeri lain.
Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu adalah berlaku dua macam kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada waktu itu menjajah negeri Yahudi.
Kedudukan kaum perempuan di masyarakat Yahudi paling tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip perkataan-perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di dalam sembahyangnya tiap-tiap pagi: "Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, yang telah membuat aku tidak perempuan". Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: "Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut Kehendak-Nya".
Dan kedudukan kaum perempuan di masyarakat Hellenia Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan memberi tahu kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi "famulus" (keluarga) adalah bermakna: budak, hamba, abdi.
Plato mengucapkan terimakasih kepada dewa-dewa buat delapan macam berkat yang dewa-dewa itu karuniakan kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak sebagai budak belian, dan yang kedua ialah bahwa ia dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai perempuan. Dan di mukapun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia (Yunani) perempuan disebutkan "oikurema", yang bermakna "benda pengatur rumah tangga".
Demikianlah keadaan perempuan di negerinya Nabi Isa.
Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi Tuhan samalah laki-laki dan perempuan. Bahkan inilah yang menjadi sebab, bahwa di zaman pertama daripada agama Keristen itu, kaum perempuanlah yang paling giat mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang dengan mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang dilaku-kan kepadanya oleh musuh agama Keristen, – dibakar hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa, diseret mati oleh sapi-sapi jantan sebagai diceriterakan oleh Sienkiwiecz di dalam bukunya "Quo Vadis" yang termasyhur. Di waktu itu masya-rakat Nasrani sangat menghargakan dan menghormat kepada perempuan. Tetapi di zaman kemudian daripada itu, derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri tidak pernah mengucapkan sepatah katapun yang merendahkan kaum perempuan. Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru. Misalnya ucapan bahwa "orang laki-Iaki adalah gambar dan kemasyhuran Tuhan; orang perempuan adalah kemasyhuran orang laki-laki", adalah ucapan dari zaman kemudian daripada Nabi Isa.
Ah, perempuan hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki! Gambar dari orang laki-laki pun tidak! August Bebel mengejek ucapan ini dengan kata: "Dus tiap-tiap orang laki-laki tolol, atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih tinggi daripada perempuan yang bagaimana cakap dan muliapun juga. Di dalam praktek, sayang sekali, keadaan memang begitu, sampai sekarang".
Dan di dunia Islam? Di dunia Islampun begitu. Sebelum Nabi Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara yang mendirikan bulu.
Di negeri-negeri lain perempuan sekadar dibendakan dan dibudakkan, tetapi di Arab jahiliah ia sering dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak perempuan dibuang, dibunuh, dikubur hidup-hidup ... Maka datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi ekses-ekses patriarchat itu. Tetapi beberapa waktu sesudah Muhammad mangkat, datanglah lagi penindasan dan penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap sama sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah umat Islam, baik di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah maupun di Sentral Asia.
Dan dunia yang bukan Kristen dan bukan Islam? Keadaan setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat masih belum terhapus sama sekali.
Ya, soal perempuan memang belum selesai, jauh daripada selesai! Ada negeri-negeri yang walaupun sudah berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses patriarchat masih mengamuk dengan cara yang mengerikan hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-ekses patriarchat luar biasa hebatnya, tetapi oleh karena negara dengan ulet dan saksama membanterasnya, kini sudah banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama sekali (Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak perbaikan nasib perempuan, tetapi masih ada soal "retak" atau "scheur" sebagai yang saya ceritakan di muka tadi (Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di situ keadaan perempuan masih saja seperti beberapa ribu tahun yang lalu, tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir. (Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.).
Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang lebih "jitu" daripada di negeri Jepang. Umumnya orang-orang yang melihat keadaan perempuan di negeri Jepang, – apa lagi yang melihatnya secara pelancongan turis saja -, sangat tertarik oleh "kekulturan" perempuan di sana. Dan memang juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang semuanya ter-tarik oleh "kekulturan" mereka itu. Lafcadio Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon, Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya memuji kehalusan dan kekulturan perempuan Jepang. Semua mereka itu umumnya menyebutkan perempuan Jepang "dewi-dewi kebaikan", "puteri-puteri kehalusan", – bahasa Belanda: engelen, bahasa Inggeris: angels. Tetapi mereka pun mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan perempuan-perempuan Jepang itu menjadi dewi-dewi kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan, bahwa hidup perempuan Jepang adalah satu "kesedihan" (tragedi), satu "korbanan", dan bukan sekali-kali satu "puisi", satu syair. Salah seorang pemimpin Indonesia yang dulu ikut dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia melihat bahwa orang perempuan Jepang tidak mau duduk di kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam daripada kebaktian ini, kalau ia mengetahui dasar sosial daripada kebaktian ini, – niscaya ia tidak akan kagum, tetapi terharu!
Sungguh, amat mengharukan nasib perempuan Nippon itu. Di muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang lalu, sebelum zaman feodal, ia adalah sangat merdeka. Dulu ia memimpin masyarakat, menjadi pemuka ilmu pengetahuan. Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali ia menjadi Raja Puteri di atas singgasana Negara. Dulu ia dinamakan "semennya masyarakat", dan Nippon dinamakan "negeri wanita" atau "negeri raja-raja wanita". Tetapi sekarang! Sekarang ia menurut pendapat salah seorang penulis yang telah berdiam di Nippon puluhan tahun (O’Conroy) tidak lebih dari "benda zaliman suaminya" dan "seorang pengurus-rumah yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak". Dulu, menurut van Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang laki-laki, tetapi sekarang ia harus memandang suaminya itu sebagai "Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba dengan segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia bisa berikan kepada-nya" (Weulersse). Sekarang ia tak boleh berjalan di muka sang suami, tetapi harus membuntut di belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap sang suami adalah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap teman-temannya. Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya yang laki-laki, haruslah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang perempuan! .
Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat, pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah "joroya" atau "machiya", tetapi ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja, bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri Nippon itu menamakan perempuan Nippon satu "werkdier", satu "kuda beban yang tiada berhentinya bekerja". Van Kol pula yang menulis: "Perempuan (Nippon) tidak masuk hitungan. Hanya si "bapa" yang ada; ia (si bapa) adalah pusat segala hal; ia me-wakili dan meneruskan keturunan. Perempuan dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri, tidakpun sebagai orang yang dipercaya". Seorang penulis lain menyebutkan dia "satu milik buat dipakai, satu benda yang musti selalu ada".
Kewajiban hidupnya yang terbesar, "devoir pourla vie"nya, ialah menurut, – menurut kehendak sang suami. Demikian Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula, Shingoro Takaishi, mengatakan: "kewajiban orang perempuan yang terbesar, seumur hidup, ialah menurut", – "the great life-long duty of a woman is obedience". Dan cobalah pembaca perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon "Pengajaran Besar buat Perempuan": "Segala apa saja yang diperintahkan suami, harus diturut oleh perempuan dengan penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada suami, seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu memikirkan apakah yang dapat menyenangkan hati sang suami.
Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu ialah bahwa bayi perempuan yang baru lahir, harus diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan perempuan rendah seperti tanah".
Pada waktu orang perempuan Nippon menikah, ia harus memakai pakaian yang berwarna putih, sebab bagi orang Nippon warna putih adalah warnanya maut. Simbolik ini berarti, bahwa pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan sendiri. Orang tuanyapun pada waktu itu membakar api, – membakar api seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia tinggal hidup bagi Dia yang Satu itu saja, – tinggal hidup bagi Sang Suami.
Ia tidak boleh berkata apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh malam belum pulang dari pelesir. Ia musti menunggu dengan sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia, mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat membukakan pintu dan menghormatnya dengan menekukkan lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun sang suami itu membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh berkata apa-apa, kalau sang suami memerintahkan kepadanya, membereskan tempat tidur buat suaminya dan sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat menguatkan nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalau ia kemudian disuruh menutup pintu bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu, kalau-kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan tangan, – meminta ini atau itu buat kesenang-annya dengan sundal itu.
Di dalam buku O’Conroy, professor ini menceriterakan satu pengalaman yang amat mengharukan:
"Saya tidak akan dapat melupakan pengalaman saya pertama kali, tatkala saya menyaksikan, betapa seorang anak perempuan yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan tepokan tangan. Ia baru umur enam belas tahun dan belum banyak, lebih daripada seorang kanak-kanak.
Ia mengira telah mendapat satu keberuntungan yang besar, karena mendapat seorang suami yang agak kaya. Ia sangat membanggakan dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali lekas mendapat seorang anak laki-laki.
Ia baru kawin seminggu, tatkala suaminya datang di rumah. membawa seorang sundal. Ia diperintahkan oleh suaminya itu menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu. Tatkala saya melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar kecil dari jerami. Ia goyangkan badannya ke muka dan ke belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah kepalanya di atas papan. Tampaknya kepada saya ialah seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran yang ada di dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air matanya banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit bibir supaya tidak berteriak, dan darah menetes dari ujung-ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan diputar-putarkannya di dalam tangannya. Kemudian ia memasukkan pucuk kimono itu ke dalam mulutnya, supaya tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya di situ rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu, dan saya tidak berani lagi bertamu di situ setengah tahun lamanya. Tatkala saya bertamu lagi kesitu, – seperti sudah ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula: suaminya dengan sundal di dalam kamar. Tetapi ini kali isteri itu duduk tenang membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya, berdirilah ia sesudah memanggutkan kepalanya secara biasa, menyongsong kedatangan saya, mengucapkan selamat datang kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar, belajar bahwa kewajibannya ialah menurut" ...
Sungguh, tidak ada satu perempuan Jepang yang tidak menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di negeri Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh suami. Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua kepedihan masih dapat ditahan, – kecuali kehinaan yang satu ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati seumur hidup, daripada mendapat perintah dari sang suami supaya pulang.
Dan suami ini dapat menyuruh dia pulang setiap waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang menceraikan isterinya, kehilangan sama sekali semua harta miliknya, karena harta miliknya itu menjadi hak isteri yang diceraikan itu!
Ya, – "suami" – itulah kata satu-satunya yang terdapat di dalam kamus seorang perempuan Jepang. la seorang isteri yang "sempurna", yang halus, yang mencinta, yang taat, yang bakti, yang berkorban, – karena sang suami itu. Orang tak mudah mengarti hal ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang termasyhur, berkata, bahwa perempuan Jepang itu sudah menjadi satu soal, satu problem. "Problem bagi dunia, problem bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri". Ia mencinta meski tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak pernah mendapat terima kasih. Ia selalu memberi, dan tak pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy, adalah satu "tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan yang dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang tiada persamaannya di sudut dunia manapun jua". Baginya, menurut tulisan van Kol, tidak kawin adalah satu noda yang amat besar, tetapi kawin satu siksaan yang amat pedih.
Betapa hebatnya cinta seorang perempuan Jepang! Ia mencinta dengan segenap jiwanya, tetapi tak dapat menjelmakan cintanya itu, karena suaminya tak mengizinkan dia duduk terlalu dekat. Ia musti selalu bersikap hormat, selalu bersikap" abdi". Maka dicurahkannyalah cintanya itu habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak mengenal satu hal yang lebih mengharukan hati, daripada seorang perempuan Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium kepada anaknya. Matanya yang memandang kepada anaknya itu seringkali berlinang-linang.
Tetapi, apakah laki-laki Jepang membalasnya dengan cinta pula?
Menurut semua ahli-ahli jiwa orang Jepang, maka laki-laki Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa Jepang tak mengenal kata buat "cinta kasih", di dalam arti dan makna yang kita kenal kepadanya. Perkataan mereka buat "cinta" adalah satu perkataan yang bermakna persatuan tubuh, dan aksara mereka buat "cinta" adalah aksara yang menggambarkan persatuan tubuh. Perempuan bagi mereka hanya makhluk pelepas syahwat. Cerita-cerita roman Jepang hampir tak pernah berakhir dengan "happy end", – yaitu kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cinta batin, cinta jiwa, tidak ada. Karena itu maka laki-laki Jepang tidak mengarti, bahwa ia menjalankan satu penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal, menyelir, membawa perempuan lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh mempunyai selir (makake) berapa saja, – di luar dan di dalam rumah. Ia merasa boleh menyundal beberapa kali saja setiap hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul dengan geisha-geisha dan perempuan jalang dianggapnya bukan satu keimmorilan. Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut adalah rumah-rumah joroya dan machiya. Tidak ada satu pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak "disempurnakan" dengan geisha-geisha.
Perzinahan, – persetubuhan di luar nikah -, bukanlah satu dosa. Menurut perhitungan cacah jiwa rakyat yang dikerjakan oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun yang lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan adalah dilahirkan oleh isteri-isteri yang tidak dikawin.
Tetapi janganlah seorang perempuan yang sudah bersuami syah, berzina dengan laki-laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia malahan dijatuhi hukuman mati karena perzinahan itu. Ia hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; suami adalah yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya.
Patriarchat bukan patriarchat, kalau perempuan hanya milik suami saja. Pada asalnya, bapalah yang memilikinya lebih dahulu. Milik si bapa ini, karena perkawinan, pindah kepada si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah atau tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak mengawininya. Bapa yang menimbang, bapa yang memutus. Dan anakpun tidak akan banyak bicara, – anak menurut saja. Tidak banyak "ramai-ramai" atau pesta perkawinan diadakan. Sebab perkawinan hanyalah satu "amal kontrak sipil" saja. Menurut van Kol, maka, segera sesudah menikah, perempuan itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan "lantas saja disuruh bekerja di rumah tangga". Badannya, tenaganya, jiwanya, menjadi barang milik. Dan anak-anaknyapun kelak menjadi milik: Kalau ia dicerai, – diusir dari rumah suaminya -, maka anak-anaknya seorangpun tidak boleh mengikutinya!
Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.
Ia boleh dijualnya kepada germo-germo, boleh digadaikannya sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang, anak-anak perempuan yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-enam tahun, telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen sundal itu, untuk "dididik" supaya kelak menjadi sundal biasa atau menjadi geisha.
Agen-agen rumah joroya atau rumah machiya keluar masuk kampung, mencari perawan-perawan yang sudah dara, atau anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum tani Nippon yang amat sangat, itulah bumi subur untuk kejahatan agen-agen ini. "Tidak ada uang di rumah, ... tetapi masih ada anak gadis"... itu berarti masih ada harapan. Agen-agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan ketajaman hidung serigala, dengan segera mencium, di manakah letaknya desa-desa yang penduduknya di dalam kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di situ hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau perempuan-perempuan muda.
Seorang penulis menceriterakan satu kejadian yang biasa: "Di dalani satu gubug, duduk seorang orang tani yang sudah tua, dengan isterinya, dan anaknya perempuan yang masih kecil. Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba mencari hangat. Orang tua itu memakai semacam mantel, terbuat daripada rumput. Angin dingin masuk dari lobang-lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu itu bergoyang karena angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya kuning dan kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak mengucapkan sepatah kata juapun; orang laki itu sekali-sekali mengeluarkan suara, tetapi tiada artinya. Yang bergerak hanya tubuh perempuan dan anak itu, karena menggigil kedinginan.
Sekonyong-konyong terdengar dari luar pintu suara sopan santun, – minta maaf karena mengganggu. Bapa tani itu pergi ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia, serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia tundukkan kepalanya, sehingga kepalanya itu hampir mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia mengucap selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk. Dengan banyak sekali mem-bungkuk-bungkuk dan memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat dekat api. Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama. Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, – telapak ke bawah, ujung jari ke dalam. Kepala ditundukkan hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas segala kekurangan. Si tamu membalas dengan kalimat-kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut kebiasaan. Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada tamu terhormat itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah akhirnya mau duduk juga di tempat kehormatan dalam bilik itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang pantas, mulailah ia membuka pembicaraan. Anak perempuan itu tak boleh berkata apa-apa, – tak perduli umurnya enam tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia harus tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli sudah selesai, maka ia menundukkan badannya kepada bapanya itu, dan kemudian juga kepada si tamu itu. Pakaian-pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi satu bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya" ...
Ia menjadi gadis joroya, atau seorang "maiko" yang dididik menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak akan merdeka lagi, sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur 15 tahun meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di dalam kitab O’Conroy saya membaca keterangan orang Jepang Mr. Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab, mengapa pencatatan kelahiran anak di negeri Jepang tidak begitu berguna, ialah, oleh karena anak-anak masuk kepada barang "roerende goederen" yang menjadi milik orang yang memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi, serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, – buat nanti dijual. Dulu orang membeli anak-anak dengan harga 50 sampai 60 yen, sekarang seorang anak perempuan yang berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah berharga 10 yen" ...
Ah, Sarinah di negeri Sakura yang indah itu, dan yang kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi! Hanya tiga jenis tempat nasibnya:
Dinikah orang, atau tidak dinikah orang, atau dibeli orang dan dijadikan "bunga". Dinikah orang berarti perhambaan yang berat; tidak dinikah orang berarti kehinaan seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun.
Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan.
Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala perempuan-perempuan yang tidak mau dikurung dan ditindas oleh kaum laki-laki, sama menjadi hetaere, – yaitu menjadi sundal merdeka, – maka di Nippon geisha-geishalah yang paling "senang". Bacalah keterangan seorang geisha yang saya kutip ini! Menggelikan, tetapi juga menyedihkan! "Kami geisha-geisha masih boleh dikatakan yang paling untung. Lebih untung dari perempuan-perempuan yang punya suami, atau sundal-sundal biasa. Perempuan yang bersuami diwajibkan tidur dengan satu orang laki-laki seumur hidup, dan tidak mendapat bayaran sepeserpun juga. Sundal biasa diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha tidur hanya dengan sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali juga boleh memilih sendiri siapa yang kami cintai. Dan mereka mengasih persenan-persenan kepada kami" ...
Sungguh, di negeri "matahari terbit" itu, belum terbit mata-hari bagi kaum perempuan! Tetapi ia tidak boleh mengaduh; ia tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah-tangganya. Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, tersenyum, tersenyum saja. Tetapi berapa rintihan sukma, berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman itu? Adalah satu peribahasa Nippon yang berbunji: "Orang laki-laki tertawa dengan hatinya; orang perempuan tertawa dengan mulutnya saja".
Sejak dari kecil ia sudah disuruh mengafalkan isi buku kuno tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu pujangga pendidik perempuan ini orang ... laki-laki!) yang bernama "Onna Dai-Gaku" ("Sekolah Tinggi buat perempuan"), yang mengandung ajaran seribu satu kewajiban dan seribu satu larangan yang seram-seram. Salah satu kewajiban itu ialah: tetap bermuka manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih.
Dan salah satu larangan ialah: perempuan tidak boleh mengomel, sebab Konghucu telah berkata bahwa "ayam betina yang pagi-pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial"! Herankah kita bahwa perempuan di negeri matahari terbit ini menjadi "bidadari-bidadari kejelitaan", yang tiada bandingannya di muka bumi? Bukan karena adanya agama Buddha saja; negeri Nippon dinamakan "negeri bunga teratai". Bunga teratai Nippon yang sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam di dalam lumpur, tetapi tetap cantik manis; ditumbuhkan di dalam kotoran, tetapi tetap menarik hati! ...
Van Kol menulis tentang perempuan Nippon itu: "Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya". "Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki". Peribahasa Jepang berbunyi: "Di dalam tiga dunia perempuan tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia yang sudah silam, dunia yang akan datang". Satu lagi: "Tiga hukum ketaatan harus diindahkan oleh perempuan; waktu ia kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada anaknya". Andre Bellessort menulis: "Di Nippon, tidak ada barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, daripada wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan hati suaminya. Hidupnyapun adalah karena kemurahan hati Yang Dipertuan itu". Griffis berkata: "Barangkali tidak ada yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan meniadakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri" .
Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang terang sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam: alamnya laki-laki yang menindas, dan alamnya perempuan yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-kesenangan, angan-angan, cita-cita, – semuanya berlainan, semuanya mempunyai corak sendiri. Laki-laki yang turun-temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas, bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati, – laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi "manusia lain" daripada perempuan yang turun-temurun berabad-abad selalu tunduk dan tertindas itu. Perempuan menjadi seperti makhluk-makhluk sutera, seperti "bidadari", seperti dewi-dewi kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh dengan "grace et douceur", tetapi laki-laki Jepang adalah angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa Jepang di antara "penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn berkata bahwa wanita Jepang itu "begitu berbeda segala-galanya daripada laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali". Di dalam bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan Lafcadio, dengan perkataan: "Hampir semua orang asing memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan perempuan kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. Perempuan-perempuan kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, maka perempuan-perempuan kita harus dianggap sebagai bidadari-bidadari". Van Kol pun demikian pendapatnya: "Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana perem-puan begitu berbeda dari laki-laki, seperti di Jepang. Orang boleh berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua bangsa manusia yang sebelah-menyebelah satu sama lain: laki-laki dan perempuan, yang bukan saja perangainya berbeda, tetapi juga badannya berbeda satu sama lain. Terutama sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini sangat menyolok mata".
Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi "kesan" kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi "kesan" pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan jasmani itu, – yang tidak untuk "keperluan turunan" -, telah saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan perbedaan yang karena kodrat alam, bukan perbedaan yang dari zaman purbakala telah ada, tetapi ialah perbedaan-perbedaan yang karena milieu, perbedaan-perbedaan yang karena kebiasaan hidup, – perbedaan-perbedaan yang karena menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam masyarakat manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berfikir dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan bahwa oleh karena itu dus sudah kodrat perempuan untuk ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar pergaulan hidup, – dia sendiri adalah orang yang bodoh, orang yang dangkal pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku sejarah-masyarakat, antara lain-lain sejarah masyarakat Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu: Dulu, di zaman sebelum zaman feodal, perempuan Jepang tangkas, sigap badan, cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah, memegang obor kesenian, mengalahkan kaum laki-laki yang menurut van Kol di waktu itu. "verwijfd", – sekarang, sesudah ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk, menjadi makhluk "jelita", kaum yang mengalah, orang yang "nerimo". Sungguh masya-rakat Jepang itu masyarakat yang baik kita pelajari, oleh karena masyarakat di sana itu dengan jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal dua "macam" perempuan: perempuan yang menang rohani dan jasmani, dan perempuan yang kalah rohani dan jasmani.
Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini? Anggapan tentang apa yang disebut "pencaharian hidup menurut kodrat", "tujuan menurut kodrat", "bakat menurut kodrat" dan lain sebagainya itu, yang hendak menetapkan perempuan itu di samping api dapur saja dan buaian anak saja, anggapan demikian itu dibantah mentah-mentah oleh sejarah masyarakat.
Tetapi, pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia, (tetapi pemerintah Sovyet bekerja keras untuk mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fannina W. Halle, Meredith Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah barang tentu "Islam" di tempat–tempat itu bukan Islam murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang memberi kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di dalam risalah ini ingin sekali menceriterakan tentang ekses-ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, tetapi sayang seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh karena tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh karena buku-buku saya yang mengenai perkara ini semuanya ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya datangkan, kalau saya ada waktu, saya hendak menulis satu risalah tentang "Perempuan di dunia Islam".
Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh karena Jepang adalah negeri modern. Saya menaroh masyarakat Jepang itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian kepada pembaca, bahwa kemodernan tidak selamanya dibarengi dengan penjunjungan derajat perempuan. Tetapi perhatikanlah: manakala nanti industrialisme di Nippon makin banyak membutuhkan tenaga perempuan, manakala industri-alisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita ke dalam produksi masyarakat, – maka tidak akan laku lagi sepeserpun segala ajaran-ajaran kitab "Onna Dai Gaku" yang kolot itu. Maka tidak boleh tidak akan berobah derajat perempuan di Jepang itu. Maka pasti akan berganti moral tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di waktu sekarang ini telah mulai perubahan itu berlaku berangsur-angsur. Banyak "perempuan baru" kini telah berjalan di jalan-jalan Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok yang banyak membutuhkan tenaga perempuan di paberik-paberik, peperangan dunia II yang dito, memberi dorongan lagi kepada proses perobahan itu. Saya kira, segala sisa-sisa kekolotan itu akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI mengetok pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu "agama" yang menyalahi Agama, akan pecah hancur putus karena hantaman hukum Predestinasi Sosial Ekonomis.
Perempuan akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di Nippon saja, tetapi juga di tempat-tempat yang keadaan wanita-nya kini lebih mesum lagi daripada di Nippon itu: di beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika, di beberapa daerah tanah air kita sendiri. Perempuan di Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat dunia. Tetapi di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit. Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko di negeri Sakura, tetapi ia tentu mengakui pula bahwa nasib Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih terkungkung daripada justru di beberapa daerah yang namanya daerah "Islam".
Jepang adalah satu paradox, antara kemodernan dan kekolotan. Tetapi kekolotan fahamnya tentang wanita, tidak memegang record. Record kekolotan adalah dipegang oleh sebagian dari umat yang namanya telah beragama Islam. Bukan sesuai dengan kehendak Islam, tetapi, bertentangan dengan kehendak Islam!