Sarinah/Bab 5
Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-nya, tidak boleh tidak, niscaya membangunkan dan membangkit-kan satu pergerakan yang berusaha meniadakan segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam. Tetapi adalah hukum alam juga, bahwa kesedaran dan kegiatan sesuatu pergerakan bertingkat-tingkat.
"Ber-evolusi". Pergerakan perempuan ber-evolusi.
Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan perempuan itu, pembaca lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau lagi keadaan masyarakat perempuan di dunia Barat seratus lima puluh tahun yang lalu.
Barangkali pembaca menanya: kenapa "dunia Barat"?
Jawab atas pertanyaan itu adalah mudah dan singkat: oleh karena di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan "perempuan, bersatulah"! Di dunia Baratlah berkembangnya contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan: "Hai wanita Asia, sedar dan melawanlah!".
Tatkala perempuan di dunia Barat sudah sedar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di dunia Timur masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga. Tidak diketahui, tidak dikira-kirakan, oleh perempuan di dunia Timur itu, bahwa ada kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu, bahwa ada jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa tindasan dan pingitan itu memang sudah kehendaknya alam. Tetapi sebagaimana faham-faham politik yang timbul di dunia Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian pula maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di dunia Barat itu akhirnya mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil, sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah mempunyai "pergerakan wanita", kini Asia sudah tidak lagi mendidih dan menggolak dengan perjoangan kaum laki-laki saja, tetapi wanita Asia pun sudah mulai ikut-serta di dalam perjoangan untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.
Tetapi, boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur itu yang pergerakan wanitanya, – kecuali beberapa individu -, telah berideologi setinggi ideologi pergerakan wanita di dunia Barat di dalam tingkatannya yang terakhir. Timur meniru kepada Barat, tetapi menirunya itu belum menyamai segenap tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya.
Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, – tingkatan kesatu, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga -, maka Timur yang meniru Barat itu, paling mujur, barulah sampai ketingkatan kesatu dan kedua saja. Dan itupun belum sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala tingkatan kesatu dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah lalu!
Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat itu?
Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu secara "selayang terbang". Itulah cara yang paling "mengartikan".
Sesudah peninjauan "selayang terbang" itu, – saya maksudkan: sesudah peninjauan "dari udara", yang memberikan "ikhtisar umum" -, maka pembaca akan saya ajak turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil, ke buminya detail. Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai sekarang.
Sebenarnya, belum boleh dikatakan ada "pergerakan wanita" di Barat sebelum pecahnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan belas.
Baru di dalam Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar "pergerakan wanita". Baru di dalam Revolusi itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggauta masyarakat, sebagai warga Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse dan sebagai warga negara wanita.
Sebelum Revolusi-Revolusi itu, belum adalah gerakan itu. Hanya di kalangan kaum perempuan bangsawan dan hartawan adalah semacam "kerajinan", semacam "kegiatan", yang saya namakan " tingkatan kesatu " daripada pergerakan wanita. Sebenarnya perkataan pergerakan wanita buat tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab "kerajinan" atau "kegiatan" itu sama sekali bukan pergerakan, – apalagi gerakan! "Kerajinan" dan "kegiatan" itu hanyalah satu "onder-onsje" (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... – satu "kelangenan" (J.) Bukan satu "aksi", bukan satu perlawanan tersusun", bukan satu "gelombang kesedaran". Ia hanyalah satu "kesukaan", satu "pengisi waktu nganggur". Ia terutama sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur.
Ada gunanya "kegiatan" semacam itu saya namakan satu tingkat kesatu daripada pergerakan wanita!
Sebab di Indonesia sini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang disebutkan orang "pergerakan wanita Indonesia", sebenarnya tidak lebih daripada kegiatan semacam "onder-onsje" atau "kelangenan" pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, yang sama sekali jauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!
Apakah kegiatan "tingkatan kesatu" di benua Barat itu?
Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-perserikatan, – club-club -, yang anggotanya rata-rata dari kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta usaha-nya ialah memperhatikan kerumahtanggaan. Ilmu masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, – hal-hal yang semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu "menyempurnakan" wanita sebagai isteri dan sebagai ibu. "Menyempurnakan" anggota-anggotanya untuk cakap memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-berahikan suami, cakap menjadi ibu. Perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan tidak disinggungnya, ekses-ekses patriarchat tidak ditentangnya. Kegiatan mereka ialah justru untuk menyempurna-kan diri mereka di dalam ekses-ekses patriarchat itu.
Suami tetap diakuinya sebagai Yang Dipertuan, Yang Maha Kuasa, usaha mereka ialah – justru menyempurnakan diri mereka untuk menyenangkan hati Yang Dipertuan, Yang Maha Kuasa itu. Mereka kadang-kadang mendirikan sekolahan-sekolahan buat gadis-gadis, dan sifatnya sekolahan-sekolahan itu tak banyak bedanya dengan "sekolah-sekolah rumah-tangga" di zaman sekarang, – hanya lebih "mondaine", lebih "mriyantun". Mereka merasa diri mereka setingkat lebih tinggi daripada perempuan-perempuan yang kurang mahir di dalam ilmu "keperempuanan". Mereka mendidik gadis-gadis, supaya nantinya "laku" di kalangan kaum pemuda bangsawan dan hartawan, untuk dikawin, dan menjadi "grande dame". Usaha mereka ialah untuk menyempurnakan dan menyediakan wanita buat perjodohan, buat sang suami yang harus dipuja, buat "Sang Junjungan" yang harus ditaati. Promotor-promotor mereka, – yang paling terkenal ialah Madame de Maintenon di Perancis, dan A.H. Francke di Jerman -, promotor-promotor mereka tidak membangunkan semangat kesadaran yang lebih berarti, tidak menunjukkan jalan kepada kaum wanita untuk menjadi manusia yang lebih berisi. Kodrat alam menetapkan perempuan di bawah laki-laki, – sempurnakanlah perempuan itu untuk lebih sempurna mengabdi laki-laki! "Kelebihan" laki-laki itu diakui, dihormati, ditaati. Manakala nasib perempuan kurang menye-nangkan, itu menurut pemimpin-pemimpin wanita tingkatan kesatu itu bukan disebabkan tidak adilnya perbandingan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi melulu disebabkan si-perempuan itu sendiri kurang sempurna menjalankan keperem-puannya. Oleh karena itu: Sempurnakanlah dirimu! Sempurna-kanlah kecantikanmu, sempurnakanlah kecakapanmu berumah- tangga, sempurna-kanlah kepandaianmu meladeni suami, maka dengan sendirinya kedudukanmu sebagai wanita akan lebih berharga dan lebih menyenangkan!
Begitulah, dengan singkat, gambarnya "tingkatan kesatu". Tepat dan jitu sekali perkataan Henriette Roland Holst, bahwa usaha dan ikhtiar wanita dalam tingkatan ini pada hakekatnya ialah " om den man te bekoren " : – "buat memikat hati laki-laki". Tingkatan ini sering saya namakan " Tingkatan keperempuanan ".
Mudah difahamkan, bahwa "tingkatan keperempuanan" itu hanya dapat manarik perhatian kaum wanita atasan saja, dan tidak diikuti oleh kaum wanita kalangan rakyat jelata. Begitu pula mudah difahamkan, bahwa pergerakan semacam itu tidak dapat memuaskan buat selama-lamanya. Maka oleh karena itu, segeralah sesudahnya mode tingkatan ini surut, di dunia Barat lantas timbul satu tingkatan lain, – tingkatan yang kedua -, yang bukan lagi satu tingkatan "om den man te bekoren", melainkan satu tingkatan yang dengan sedar membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tingkatan ini, bukan lagi satu tingkatan yang hendak "menyempurnakan" kaum perempuan buat kesempurnaan pengabdian kepada kaum laki-laki, tetapi satu tingkatan yang dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Perempuan-perempuan dari tingkatan ini sadar, bahwa perempuan di hampir segala lapangan tidak dikasih jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh karena itu hampir semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli kaum laki-laki. Mereka merasa tidak adil, bahwa perempuan di lapangan masyarakat tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan kaum laki-laki. Tidak dibolehkan masuk kantor, tidak dibolehkan masuk sekolah tinggi, tidak dibolehkan ikut politik, tidak dibolehkan menjadi anggota parlemen, tidak dibolehkan menjadi hakim, dan lain-lain sebagainya. Maka membanteras ketidak-adilan ini, membanteras tidak samanya hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki, menuntut adanya persamaan hak dan persamaan derajat itu, – itulah pokok-tujuannya tingkatan kedua itu.
Apakah pada hakekatnya sebab-sebab timbulnya tingkatan ini? Sebagaimana telah saya uraikan di fasal-fasal yang terdahulu, maka pada hakekatnya perobahan dalam masyarakatlah yang menjadi asal segala perobahan-perobahan ideologi. Sebagaimana perobahan dalam proses produksi merobah anggapan-anggapan di dalam masyarakat itu, merobah moral, merobah adat, merobah isme-isme, maka perobahan dalam proses produksi itu juga merobah ideologi-ideologi perempuan tentang caranya mencari perbaikan nasib. Dulu mereka mengira, bahwa nasib mereka itu dapat diperbaiki dengan jalan menyempurnakan keperempuanannya, – "om den man te bekoren"! -, dengan menambah kecakapan bersolek, memasak, memegang rumah-tangga, memelihara anak, kejuitaan dalam pergaulan, – dulu mereka mengira, bahwa keburukan nasib mereka itu melulu hanya akibat daripada kekurangan-kekurangan pada diri mereka sendiri saja, – kini mereka berganti kepada anggapan, bahwa sebagian besar daripada keburukan nasib itu ialah akibat daripada ketiadaan hak–hak perempuan di dalam masyarakat yang sekarang.
Selama masyarakat itu masih masyarakat kuno, masyarakat yang proses produksinya belum secara baru, maka belum terasa oleh mereka akan ketiadaan hak-hak dalam masyarakat itu. Tetapi sesudah industrialisme berkembang biak, sesudah proses produksi bercorak lain, keadaan menjadi lain. Terasalah oleh mereka, bahwa untuk memperbaiki nasib mereka, mereka juga harus masuk ke dalam alam industrialisme itu. Memang industrialisme menarik mereka, membutuhkan mereka, ke dalam alamnya!
Baik kaum perempuan proletar, maupun kaum perempuan kelas pertengahan dan kelas atasan, merasa bahwa harus diadakan aksi membanteras ketiadaan hak itu. Dan walaupun pada hakekatnya ketidaksenangan di golongan-golongan perempuan atasan dan bawahan ini berlainan sifat yang satu dari yang lain, – lihatlah perbedaan akibat industrialisme kepada kaum perempuan atasan dan kepada kaum perempuan bawahan, di Bab III -, maka di atas lapangan ketiadaan hak itu mereka menemui satu sama lain. Terutama sekali kaum perempuan pertengahan dan atasan, yang sudah tentu lebih cerdas daripada perempuan bawahan, siang-siang telah mulai dengan aksi semacam itu.
Sebelum silamnya abad kedelapan belas, mereka sudah mulai bergerak. Yang paling dahulu ialah kaum perempuan Amerika. Di bawah pimpinan Mercy Otis Waren (dan juga Abigail Smith Adams ), mereka berjoang. Di dalam tahun 1776, tatkala Amerika telah terlepas dari Inggeris dan hendak menyusun Undang-Undang Dasar sendiri, mereka menuntut supaya hak perempuan diakui pula. Mereka menuntut supaya perempuan dibolehkan ikut memilih anggota parlemen dan ikut menjadi anggauta parlemen; supaya perempuan dibolehkan memasuki semua macam sekolahan; supaya Undang-undang yang sedang disusun itu benar-benar satu Undang-undang Dasar yang demokratis antara laki-laki dan perempuan.
Aksi perempuan Amerika ini berpengaruh besar atas ideologi kaum perempuan di Eropah. Terutama sekali di Perancis dan Inggeris sambutan hangat sekali. Di dalam Revolusi Perancis yang besar itu, yang meledaknya memang sesudah Revolusi Amerika, mulai bergeraklah perempuan Perancis menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki.
Madame Roland (pemimpin kaum perempuan atasan), Olympede Gouges, Rose Lacombe, Theroigne de Mericourt, (pemimpin-pemimpin kaum perempuan bawahan), membakar hati pengikut-pengikutnya. Dengan gagah-berani, tidak takut maut, mereka menuntut persamaan hak itu. Dengan gagah berani mereka organisatoris mendirikan perserikatan–perserikatan wanita, barangkali organisasi-organisasi wanita yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan! -, yang anggotanya bukan berjumlah puluhan atau ratusan orang, tetapi ribuan orang! Boleh dikatakan merekalah yang mula-mula benar-benar mengorganisir aksi perlawanan wanita, mengorganisir gerakan perlawanan wanita, yang tidak lagi meminta-minta. Korban yang mereka berikan susah dicari taranya di dalam sejarah wanita. Ratusan dari mereka memberikan darahnya dan memberikan jiwanya. Pemimpin mereka yang ulung, Olympe de Gouges, singa betina Revolusi Perancis, bersama dengan mereka dipenggal batang-lehernya oleh fihak laki-laki, di bawah guilyotin. Pengorbanan-pengorbanan mereka itu membuktikan elan revolusioner yang maha-hebat di pihak wanita, tetapi pengorbanan-pengorbanan itu membuktikan pula, bahwa pada waktu itu fihak laki-laki mati-matian pula tidak mau memberikan persamaan hak kepada kaum wanita, – mati-matian tidak mau melepaskan kedudukan laki-laki di atas kaum wanita.
Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Emerson bahwa "tiada korban yang tersia-sia", maka pengorbanan-pengorbanan kaum wanita Perancis itu pun tidak tersia-sia. Pengorbanan mereka itu malah pantas tercatat dengan aksara emas bukan saja di dalam kitab sejarah perjoangan wanita, tetapi juga di dalam kitab sejarah evolusi kemanusiaan. Bukan hilang percuma pengorbanan-pengorbanan itu, terbuang hilang dalam kabutnya sejarah, tetapi api semangatnya mencetus ke dalam kalbu ideologinya perempuan-perempuan di negeri lain. Malah belum pula Revolusi Perancis itu berakhir, sudahlah pekik perjoangan Madame Roland dan Olympe de Gouges itu disambut oleh Mary Wollstonecraft di negeri Inggeris, yang dalam tahun 1792 menerbitkan bukunya yang bernam "Vindication of the Rights of Woman" ("Pembelaan hak-hak kaum wanita"). Dengan Mary Wollstonecraft mulailah kaum perempuan Inggeris memasuki gelanggang perjoangan menuntut hak-hak wanita.
Dan faham-faham yang disebarkan oleh pemimpin-pemimpin wanita yang saya sebut namanya itu, – dibantu oleh sokongan beberapa orang pemimpin laki-laki seperti misalnya Condorcet di Perancis -, faham-faham mereka itu menjadi tetap tuntutan seluruh pergerakan perempuan "tingkatan kedua" di pelbagai negara, sampai kepada silamnya abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Umumnya tingkatan kedua ini terkenal dengan nama pergerakan feminisme. Persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan feminisme itu terutama sekali adalah satu pergerakan "kasta pertengahan" pula, – satu pergerakan burjuis, dan bukan satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat-jelata.
Sebab, sekalipun perempuan-perempuan rakyat jelata juga tidak senang bahwa banyak hak-hak dimonopoli oleh kaum laki-laki, dan juga berpendapat bahwa hak-hak itu harus direbut dan dituntut, maka toh "isi" tuntutan mereka itu ada lain daripada tuntutan perempuan atasan atau pertengahan.
Apa sebab kaum wanita atasan dan pertengahan menuntut hak memasuki segala macam pekerjaan? Sebabnya harus dicari dalam akibat industrialisme. Industrialisme melahirkan produksi barang-barang dagangan. Barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari, yang dulu harus dibuat oleh wanita sendiri di rumah, sekarang dapat dibeli di toko-toko dengan murah, dan kwalitasnyapun lebih baik. Oleh karena itu, maka pekerjaan di rumah-tangga menjadi makin kurang. Apa yang harus dikerjakan oleh wanita atasan dan pertengahan sekarang untuk mengisi waktu? Bekerja di kantor tak boleh, di lapangan politik tak boleh, di lapangan kemasyarakatan lain pun tak boleh. Adat tidak membolehkannya, dan fihak laki-lakipun memang tidak mau mendapat persaingan wanita. Oleh karena itulah, maka pokok-tuntutan wanita atasan dan pertengahan ialah: hak bekerja! Hak memasuki segala pekerjaan, yang akan membawa mereka keluar dari kurungan rumah, di mana mereka merasa diri hampir beku karena menganggur.
Hampir beku karena "verveling"! Rasanya mereka akan puas, kalau mereka dibolehkan ikut masuk ke dalam masyarakat, dibolehkan ikut mengerjakan "pekerjaan masyarakat", – di luar dari suasana kebekuan itu, "Pekerjaan rumah-tangga" yang tinggal sedikit-sedikit itu, toh dapat mereka suruh kerjakan oleh pegawai dan pembantu, oleh si bujang dan si genduk. Mereka cukup uang untuk menggaji pelayan-pelayan itu.
Tetapi bagaimana dengan perempuan dari kalangan rakyat-jelata? Hak bekerja sebenarnya sudah ada di tangan mereka, – sampahnya hak bekerja! Sejak timbulnya industrialisme, mereka telah berduyun-duyun masuk paberik-paberik dan perusahaan-perusahaan, menjualkan tenaga bekerja-nya kepada majikan-majikan pelbagai macam. Sejak timbulnya industrialisme itu, mereka telah terlepas dari kurungan rumah-tangga, telah menceburkan diri dalam masyarakat sebagai kuli, sebagai budak, sebagai "proletar". Sejak timbulnya industrial-isme itu mereka tiap-tiap hari malah lebih lama bertinggal di paberik daripada di samping api-dapur. Sejak timbulnya industri-alisme itu mereka malah melihat anak-anaknya hanya pada waktu malam saja, sesudah matahari terbenam, – sepulang mereka dari pekerjaan. Hak bekerja sudah ada pada mereka, – hanya "permanusiaannya’’ pekerjaan itu yang belum ada pada mereka! Permanusiaannya pekerjaan, yang membuat pekerjaan itu menjadi satu kebahagiaan, satu pengangkatan jiwa, satu pemerdeka, satu pembebasan, dan bukan satu cambuk pedih yang membongkokkan tulang punggung, satu labrakan yang melabrak mereka dari saat fajar menyingsing sampai liwat petang hari. Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi jaminan bahwa pekerjaan di dalam paberik itu tidak boleh lebih lama daripada delapan sembilan jam sehari. Permanusiaannya pekerjaan, yang membuka pintu ketingkat-tingkat yang lebih mulia, dan bukan hanya pekerjaan yang semacam sampah, yang tiap-tiap waktu dapat dibuang: Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi juga hak-hak kepada mereka sebagai manusia dan sebagai warga-negara, yaitu hak-hak yang setingkat dengan hak-hak manusia laki-laki dan hak-hak warga negara laki-laki. Permanusiaannya pekerjaan, yang dapat memberi kepuasan kepada mereka sebagai produsen masyarakat dan sebagai ibu dan isteri di dalam rumah, permanusiaannya pekerjaan, yang menutup "retak" (scheur) di dalam jiwa mereka, sebagai yang telah saya uraikan dibab III buku ini.
Maka inilah menjadi sebab, yang kaum perempuan bawahan itu akhirnya tidak puas dengan tuntutan-tuntutan feminisme saja.
Ya, benar, juga mereka, kaum perempuan bawahan, hendak merebut persamaan hak dengan laki-laki, juga mereka hendak merebut hak memilih dan dipilih buat parlemen atau dewan-dewan lain, juga mereka hendak merebut hak memasuki semua macam pekerjaan di masyarakat yang sekarang masih banyak dimonopoli oleh laki-laki itu. Tidakkah, menurut perkataan salah seorang pemimpin mereka yang amat besar, Clara Zetkin, mereka itu yuridis dan politis merupakan satu " vijfdestand " dalam masyarakat zaman sekarang? Satu "vijfde stand", yang lebih rendah lagi derajatnya daripada "vierde stand"nya kaum proletar laki-laki? Karena itu memang, memang harus direbut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu! Tetapi perempuan-perempuan bawahan itu sedar bahwa tuntutan-tuntutan feminisme saja belum mencukupi.
Yang sebenarnya perlu bukanlah hanya persamaan hak dengan laki-laki saja, tetapi – perobahan susunan masyarakat sama sekali. Apakah telah mencukupi persamaan hak saja, kalau seluruh susunan masyarakat penuh dengan ketidak-adilan? Kalau perempuan dan laki-laki, dua–duanya! , sebagai kelas, tertindas dan terhisap? Henriette Roland Holst di dalam satu pidato yang berapi-api berkata:
"Geef de vrouw het kiesrecht, schaf alle wettelijke bepalingen af die haar bij den man achterstellen en in haar vrijheid belemmeren, open voor haar den toegang tot alle, beroepen en bedrijven, maak haar opleiding en opvoeding gelijk aan die van den man, zoodat zij zooveel mogelijk gelijke kansen heeft, – zult gij daarmee het lot van de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de ongezonde, slecht betaalde huisindustrie waarin andere millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult gij het raadsel oplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, dat alles zult ge niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan den burgelijke maatschappijvorm, aan het kapitalistisch stelsel van voortbrenging. Maar: zelfs voor de groote meerderheid van de vrouwen uit de burgelijke klassen, voor hen namelijk die huwen en kinderen krijgen, kan de burgerlijke vrouwenbeweging de bevrijding niet brengen, niet de oplossing van het moeilijke vraagstuk in hun leven".
Artinya:
"Berilah kepada wanita hak memilih dan dipilih, hapuskan semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya menjadi sederajat dengan pendidikan laki-laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita, upahan yang berjuta-juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri di rumah yang tidak sehat dan rendah upah itu yang di dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasianya hantu persundalan? Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang borjuis, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar daripada wanita-wanita golongan atasan dan pertengahan, kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan wanita borjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, tidak dapat mendatangkan pemecahan soal hidup mereka yang paling sulit".
Maka dengan keyakinan yang semacam ini, berkembanglah tingkat ketiga daripada pergerakan wanita, yaitu pergerakan wanita yang di dalam aksi sosialis hendak mendatangkan satu Dunia Baru sama sekali, yang di dalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada penindasan satu sekse oleh sekse yang lain. Satu Dunia Baru, yang di situ bukan saja perempuan sama haknya dengan laki-laki, tetapi juga tidak menderita "retak" atau "scheur", oleh karena di dalam Dunia Baru itu ada pertemuan, ada pertunggalan, ada sintese, antara "pekerjaan masyarakat" dan "pekerjaan rumah tangga".
Maka justru berhubung dengan tujuan tingkat yang ketiga ini, sebenarnya tidak boleh dikatakan ada spesial pergerakan wanita tingkat ketiga. Sebab di dalam aksi menyelenggarakan Dunia Baru itu, perempuan tidak beraksi sendiri, dan laki-laki pun tidak beraksi sendiri, tetapi kedua-dua sekse itu bersama–sama berjoang, bersama–sama bergerak, bahu-membahu, di dalam satu gelombang yang makin lama makin mendahsyat. Satu gelombang perjoangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu gelombang menuju kepada Kemerdekaan, – Kemerdekaan laki-laki dan kemerdekaan perempuan. Kemerdekaan kelas dan Kemerdekaan sekse!
Aksi wanita feminis berjalan melawan laki-laki.
Aksi wanita sosialis berjalan bersama–sama dengan laki-laki.
Maka dengan tercapainya "tingkat ketiga" ini, tercapailah juga tingkat yang tertinggi daripada pergerakan Sarinah mengejar nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi ini sampai sekarang masih terus menggeletar, masih terus menggelombang, – tak akan lenyap, sebelum tercapai masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang di dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse.
Demikianlah ikhtisar selayang-terbang daripada tingkatan-tingkatan pergerakan wanita itu. Artinya ialah:
Dari zaman sebelum Revolusi Amerika dan Perancis sampai ke zaman sekarang adalah tiga tingkatan pergerakan wanita.
Tingkat kesatu: Pergerakan menyempurnakan "keperempuanan", yang lapangan usahanya ialah misalnya memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dsb.
Tingkat kedua: Pergerakan Feminisme yang ujudnya ialah memperjoangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting ialah hak untuk melaku-kan pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang pemimpin feminis Belanda Nyonya Betsy Bakker Nort mengatakan:
"De vrouwenbeweging is het best te karakteriseren als het stuwen der vrouwen om als volwaardig mens te worden beschouwd en behandeld. En haar einddoel: volkomen gelijk-stelling in wetten en zeden van beide seksen".
Artinya: "Pergerakan wanita itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu desakan wanita untuk dipandang dan diperlalukan sebagai manusia penuh. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan samasekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-hukum negara dan adat-istiadat". Pergerakan feminis itu sering juga dinamakan pergerakan emansipasi wanita, dan aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki.
Tingkat ketiga: Pergerakan Sosialisme, dalam mana wanita dan laki-laki bersama-sama berjoang bahu-membahu, untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, dalam mana wanita dan laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka.
Nah, sekarang pembaca telah mendapat ikhtisar terang daripada tingkat-tingkat itu. Marilah kita sekarang mempelajari tingkat-tingkat itu dengan cara agak lebih mendalam.
Tetapi tingkat yang pertama, – tingkat "menyempurnakan keperempuanan", yang di dalam pidato-pidato kadang-kadang saya namakan tingkat "main puteri-puterian" -, tidak akan saya uraikan lebih lanjut, oleh karena kurang penting. Dan ... di Indonesia sini kita sudah sering melihat contoh-contoh tingkatan ini. Siapa belum?
Marilah saya jelaskan tingkat yang kedua. Sebagai saya terangkan tadi, buaian tingkat ini ialah di Amerika, yang pada waktu itu sedang di dalam perjoangan menyusun kemerdekaan-nya. Tiap-tiap perjoangan kemerdekaan mengalami pergolakan ideologi. Wanita Amerika ikut-serta di dalam pergolakan ideologi itu. Saya telah katakan bahwa Mercy 0tis Warren lah pemimpin mereka. Ia adalah saudaranya James Otis, salah seorang pemimpin kemerdekaan nasional Amerika pada waktu itu. Mercy Otis Warren mengumpulkan semua pemimpin-pemimpin wanita Amerika di dalam salonnya. Ia lebih radikal dari pada banyak pemimpin-pemimpin laki-laki, – lebih laju, lebih konsekwen. Ia telah menuntut kemerdekaan-penuh bagi Amerika, sebelum George Washington sendiri setuju dengan kemerdekaan penuh itu! Ia sering bertukar fikiran dengan Thomas Jefferson, perancang naskah pernyataan kemerdekaan Amerika dan naskah yang termasyhur ini memang terang mengandung buah-buah fikirannya.
Tetapi Mercy bukan hanya seorang pemimpin kemerdekaan nasional saja. Ia adalah pula seorang pemimpin sosial. Seorang pemimpin sekse. Dengan kawan sefahamnya Abigail Smith Adams, – yang suaminya menjadi Presiden Amerika yang kedua -, ia mengkampiuni perjoangan persamaan hak antara sekse laki-laki dan sekse wanita. Mereka berdualah yang mula-mula sekali di dalam sejarah menuntut persamaan hak itu. Di dalam tahun 1776, lebih dari 170 tahun yang lalu, pada waktu Kongres seluruh Amerika (Continental Congress) menyusun Undang-undang Dasar Negara Amerika, maka Abigail Smith Adams menulis surat kepada suaminya, yang berbunyi: "Kalau Undang-undang Dasar baru itu tidak memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami kaum wanita telah memutuskan akan memberontak kepadanya, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-hukum yang tidak mengasih kepada kami hak-suara dan hak perwakilan guna membela kepentingan-kepentingan kami". Dan bukan saja ia menuntut hak suara dan hak perwakilan bagi kaum wanita, – ia juga menuntut terbukanya pintu gerbang semua sekolah bagi kaum wanita. "Satu Negara, yang mau menjelmakan pahlawan-pahlawan ahli-ahli negara dan ahli-ahli faIsafah, haruslah mempunyai ibu-ibu yang cerdas di tempat-tempat yang terkemuka", demikianlah bunyi pembelaannya.
Berhasilkah aksi kedua pendekar wanita ini? Jarang sekali sejarah dunia menunjukkan berhasilnya satu aksi yang dapat dengan sekaligus menggempur hancur-lebur benteng-bentengnya kekolotan. Tiap-tiap kekolotan, tiap-tiap konservatisme, adalah ulet, justru oleh karena ia konservatif, kukuh memegang teguh kepada yang ada. Aksi nyonyah-nyonyah Otis Warren dan Smith Adams tidak berhasil seratus prosen. Tetapi hasilnya toh tidak sedikit pula: pintu gerbang semua sekolahan dibukakan buat wanita, dan walaupun hak suara dan hak perwakilan belum dikabulkan buat Negara Serikat seluruhnya, maka toh ada dua negara yang meluluskannya: – New Jersey, dan Virginia. Dua negara inilah negara yang pertama-tama di dalam sejarah dunia membukakan pintu dewan perwakilannya bagi kaum wanita! .
Dan sebagai di muka tadi telah saya katakan, – mereka juga berjasa di benua lain. Kumandangnya aksi mereka menggaung melintasi samudera Atlantika, percikan api semangat mereka mencetus di dalam jiwa wanita-wanita Perancis, dan kemudian juga di dalam jiwa wanita-wanita Inggeris. .
Sudahkah, sebelum itu, wanita Perancis memikir-mikirkan tentang perbaikan nasib kaumnya? Sudah sedikit-sedikit. Tetapi baru sesudah mendapat cetusan api semangat dari Amerika itulah – wanita Perancis menyala-nyala dan berkobar-kobar jiwanya. Orang-orang wanita, yang tadinya hanya pasif saja di dalam proses ideologi Revolusi Perancis, lantas menjadi tenaga-tenaga aktif yang ikut mendidihkan kancah perjoangan manusia merebut hak-hak manusia yang lebih adil. Di dalam tahun 1786 telah didirikan semacam sekolah menengah parukelir (Lyceum) oleh Markies de Condorcet dan Montosquieu, dan Lyceum ini segera menjadi pusat kecerdasan puteri-puteri hartawan Perancis yang pertama. Dengan ini sebenarnya telah diakui bahwa wanita juga mempunyai hak atas kecerdasan dan kemajuan. Tetapi hak-hak politik masih dianggap haram baginya, masih dianggap "tabu" bagi wanita. Hak-hak politik masih dianggap satu monopoli utama bagi laki-laki saja.
Dan monopoli ini akhirnya digempur! Pada waktu Revolusi mendirikan Majelis Perwakilan Rakyat, – Majelis Nasional -, yang anggotanya hanya terdiri dari orang laki-laki saja, – pada waktu itu kaum wanita segeralah mengadakan aksi dengan menyebarkan surat-surat sebaran, brosur-brosur, surat-surat tuntutan supaya wanita juga diberi hak untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan itu. .
Tetapi janganpun hak-hak politik yang demikian jauhnya! Hak memasuki sekolah-sekolah umum sajapun tak diberikan oleh fihak laki-laki kepada wanita! Tuntutan-tuntutan wanita yang dengan kata berapi-api dimuatkan dalam surat-surat-sebaran, brosur-brosur dan surat-surat tuntutan itu, ditolak mentah-mentahan oleh Majelis Nasional 1791. Terutama sekali Talleyrand menentangnya mati-matian. Apa yang ia kata? Kaum pemuda laki-laki harus dididik menjadi warga negara yang sanggup memikul segala hak dan beban warga negara, harus digembleng. menjadi tiang-tiang negara dan tiang-tiang masyarakat yang teguh dan kuat, – tetapi wanita "oleh alam" telah diperuntukkan untuk duduk di rumah-tangga, di tengah anak-anak. Tiap-tiap pelanggaran atas "hukum alam" ini nanti menjadi sumber kerusakan, tiap-tiap perkosaan kepada hukum alam ini nanti niscaya mendatangkan bencana. Oleh karena itu, maka gadis-gadis jangan dididik sama dengan pemuda-pemuda, jangan diizinkan mereka memasuki sekolah-sekolah umum kalau sudah berumur delapan tahun! Maka sesuai dengan anjuran Talleyrand itu Majelis Nasional mengambil putusan, bahwa anak-anak perempuan hanya diizinkan memasuki sekolah-sekolah umum kalau mereka belum berumur delapan tahun!
Undang-undang Dasar dari tahun 1793 ada "maju" sedikit: gadis-gadis boleh memasuki sekolah-sekolah umum sampai umur ... 12 tahun! Tetapi di luar itu, belum ada hak sedikitpun yang diberikan kepada wanita. Tidak hak sosial, tidak hak eknomis, tidak hak politik. Dan sebenarnya pemimpin-pemimpin wanita dari kalangan hartawan dan atasan pada waktu itu pun tidak teramat giat memperjoangkannya. Sebab mereka, kaum perempuaan hartawan dan atasan itu, sudah merasa puas bahwa mereka diperbolehkan bergaul dengan kaum laki-laki di dalam salon-salon, di dalam club-club, di sekolah menengah Lyceum, dan boleh menghadiri rapat-rapatnya kaum Encyclopaedis. Tetapi bagaimana keadaan di kalangan wanita rakyat jelata? Mereka sudah barang tentu tidak boleh memasuki salon-salon yang mulia itu, tidak boleh memasuki club-club yang mentereng, atau Lyceum yang mahal ongkosnya, atau rapat Encyclopaedis yang bertinggi ilmu. Tetapi sebaliknyapun, nafsu ingin maju belum kuat menyala-nyala di dalam dada mereka. Kemiskinan, kemudlaratan, kepapaan, – semua itu mula-mulanya seperti menumpulkan sama sekali himmah mereka, membuntukan fikiran mereka, membekukan semangat mereka. Badan jasmani yang seperti terhantam remuk oleh penderitaan, mengakibatkan apati, – rasa tak perduli apa-apa -, di dalam jiwa. Lily Braun, pemimpin wanita yang terkenal itu, menggambarkan nasib perempuan jelata Perancis pada waktu itu dengan angka-angka yang mendirikan bulu-roma. Dua puluh tahun sebelum Revolusi Petancis meledak, – demikianlah angka-angkanya dalam kitab-nya tentang "Soal Wanita" -, di Perancis adalah 50.000 orang pengemis; sepuluh tahun kemudian, jumlah ini menaik menjadi 1.500.000 orang. Di satu kota saja, yaitu di kota Lyon, kota pusat industri sutera, di dalam tahun 1787 adalah 30.000 orang yang hidupnya dengan jalan minta-minta. Kota Paris yang pada waktu itu berpenduduk 680.000 jiwa, mempunjai 116.000 orang pengemis, yaitu hampir seperlima dari jumlah semua penduduknya. Heran-kah kita, kalau persundalan subur sekali, – yaitu satu jalan bagi wanita-wanita miskin di Paris itu untuk mencari sepotong roti? Di dalam" tahun 1784 Paris mempunyai 70.000 orang wanita bunga raya. Kampung-kampung St. Antoine dan Temple di Paris sesak dengan wanita-wanita tua yang mengemis, dan ... wanita-wanita muda yang menawar-nawarkan kecantikan tubuhnya.
St. Antoine dan Temple! Sarang kemiskinan, – dan sarang perzinahan! Tetapi justru dari St. Antoine dan Temple inilah kelak datangnya perajurit-perajurit perjoangan wanita. Justru di St. Antoine dan Temple inilah menurut perkataan Lily Braun tempatnya sumber "tenaga-tenaga pendorong yang paling hebat dari alam, yaitu kelaparan dan kecintaan". "Cinta kepada anak-anak turunan yang dengan tiada berdosa harus mewarisi kesengsaraan mereka, – itulah mendorong mereka ke dalam kancah perjoangan". Ya, mendorong mereka, – mendorong mereka sendiri!
Mereka sendiri harus menolong mereka sendiri! Adakah harapan mendapat pertolongan dari pemimpin-pemimpin wanita borjuasi? "Kaum proletar harus membela sendiri kepentingan proletar. Suatu tentara menjelmakan sendiri pemimpinnya, dan tidak sebaliknya", demikianlah Lily Braun dengan jitu berkata. Maka kaum wanita jelata di Paris itu, yang tadinya begitu buntu dan tumpul fikirannya, yang tadinya seperti buta tiada tahu jalan, yang tadinya hanya tahu menderita serta menggerutu saja di tempat-tempat yang gelap, yang tidak diperdulikan sama sekali oleh wanita-wanita hartawan, – wanita jelata di Paris ini akhirnya menggemparkan orang, karena mereka sendiri bangkit dari kebekuan dan apatinya.
Pada tanggal 6 Oktober 1789 berkumpullah 8000 orang wanita jelata di muka Gedung Kota di Paris menuntut diberi roti untuk mengisi perutnya yang lapar. Roti! Roti!
Dan tatkala tuntutan minta roti ini ditolak, pergilah mereka berarak-arak ke Versailles, – ke istana Raja. Minta roti di sana! Roti! Gegap gempitalah arak-arakan ini! Siapakah itu, orang perempuan cantik, muda remaja, yang berkuda mengepalai arak-arakan ini? Dia adalah Theroignede Mericourt, bekas sundal, yang telah terbuka fikirannya, dan yang sekarang menjadi pemimpin wanita. Dan siapakah itu, pemimpin wanita yang berjalan di tengah-tengah arak-arakan 8000 wanita itu, sambil mengaju-ajukan anak buahnya? Dia adalah Rose Lacombe, nama yang terkenal di dalam sejarah perjoangan. Dan apakah benar 8000 orang wanita ini semuanya sundal, semuanya perempuan jalang? Memang demikian tuduhan kaum atasan. Tetapi Jean Jaures, pemimpin besar bangsa Perancis yang termasyhur itu, historikus yang kenamaan, membantahnya dengan tegas dan mutlak. Mereka bukan perempuan-perempuan yang haus darah, bukan pula perempuan sundal, demikianlah katanya. Mereka perempuan-perempuan miskin dari golongan kaum buruh. Mereka di Versailles terpaksa diizinkan masuk ke dalam gedung Majelis Nasional, dan dari sini, bersama-sama dengan ratusan laki-laki yang mengikutinya dan dengan wakil-wakil Majelis Nasional, mereka pergi kemuka istana Raja.
Di sana, tampillah Louise Chably ke muka, terus menghadap Raja, dan menjadi juru bicara wanita-wanita tadi semuanya. Ia mengemukakan kesengsaraan wanita jelata, kemiskinannya yang tidak berhingga, ketidaksenangannya atas segala keadaan, Keinginannya mendapat perbaikan. Raja mendengarkannya dengan hati yang gelisah. Ia kalang-kabut di dalam batinnya. Ia bingung, ia tidak tahu apa yang harus dikata. Ia ... goyang. Maka Ketua Majelis Nasional, yang ikut serta pula pada saat itu, mengambil kesempatan baik daripada keadaan ini, untuk mendesak kepada Raja supaya Raja suka menandatangani naskah "Hak-hak Manusia", yang rancangannya memang telah ia bawa.
Alangkah bingungnya Raja pada saat itu! Belum pula "kerewelan wanita" ini habis, sudahlah ia didesak oleh Ketua Majelis Nasional untuk menandatangani naskah yang lebih hebat. Rasa hati kecilnya memberontak, keangkuhan tradisinya marah dan benci, kemuliaan mahkotanya merasa terancam, sebab menandatangani naskah itu berarti menandatangani vonis mati kepada hak raja yang tak terbatas. Menandatangani naskah itu berarti membunuh kerajaan mutlak. Tetapi ... di luar istana berdiri ribuan rakyat jelata, dengan wanita 8000 orang tadi di bagian yang muka, ... menunggu, meskipun hujan sedang turun dengan hebatnya, ..: menunggu, telah berjam-jam lamanya, .... menunggu, ... dengan muka yang seram. Kejengkelan dan dendam hati terbaca di mata mereka itu! Apa yang Raja hendak perbuat kini?
Akhirnya, apa boleh buat, ia tandatangani naskah itu!
"Hak-hak Manusia" ia syahkan. Hak Raja yang tidak berbatas ia lepaskan, boleh masuk ke lobang kubur. Sungguh satu detik yang maha bersejarah di dalam proses anggapan-anggapan manusia! Jean Jaures, yang telah saya sitir di muka tadi, mengatakan tentang kejadian ini:
"Demikianlah, maka karena desakan kaum wanita Paris, yang hendak meminta roti, telah ditandatangani surat keterangan tentang hak-hak manusia". Ya, desakan wanita! Memang demikian! Manakala 14 Juli – Hari Kemerdekaan Perancis – disebutkan hari kehormatannya kaum laki-laki, maka 6 0ktober adalah hari kehormatannya kaum perempuan. Orang laki-laki pada tanggal 14 Juli telah menaklukkan Bastille, tetapi orang perempuan pada tanggal 6 Oktober telah menaklukkan Hak Raja, – telah menaklukkan Kerajaan!
Tetapi, apakah yang mereka perdapat dengan kemenangan ini buat mereka sendiri ? Sungguh mengecewakan sekali! Sebab keterangan tentang "hak-hak manusia" yang telah ditandatangani oleh Raja itu, tidak berisi satu kalimatpun yang mengatur hak-hak kaum perempuan! Pada waktu Majelis Nasional merancang surat keterangan itu, menyusun kata-kata yang hendak menentukan hak-hak manusia di dalam negara, memformulir faham-faham dasar yang akan menjadi alas-alas prinsipiil bagi gedungnya masyarakat dan negara, pada waktu itu perempuan "di luar pembicaraan". Masyarakat, negara, politik, dan lain sebagainya, hanyalah buat orang laki-laki saja, – tabu buat orang perempuan!
Tetapi kendatipun demikian, 6 Oktober tetap mengandung arti maha penting bagi kaum wanita sendiri. Tidakkah pada hari itu kaum wanita Perancis telah bangkit, telah berani memekik-kan suaranya sendiri, telah mengambil nasib dalam tangannya sendiri, telah mampu memaksakan kehendaknya, telah berhasil memaksa kepada dunia ramai supaya tidak meremehkan lagi kepadanya? Sejak hari 6 Oktober itu mereka menjelma menjadi "tenaga-tenaga pendorong bagi propaganda revolusioner" sebagai Jaures mengatakannya. Sejak hari itu mereka sedar, dan bukan saja mereka lantas menjadi anggota club-club yang didirikan oleh kaum laki-laki, – mereka mendirikan pula perserikatan–perserikatan wanita sendiri, perserikatan-perserikatan wanita yang besar-besar, – perserikatan-perserikatan politik wanita yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan! Di dalam satu kota saja, misalnya di Bordeaux, perserikatan "Amies de la Constitution" mempunyai anggota 2000 orang, dan cabang Paris saja dari perserikatan "Femmes Republicaines et Revolutionaires" mempunyai anggota tak kurang dari 6000 orang.
Perserikatan-perserikatan inilah gelanggang-perjoangannya Srikandi-Srikandi Revolusi Perancis, yang nama-namanya akan tetap tertulis dengan aksara emas di dalam kitab sejarah. Kita jumpai di dalam kitab sejarah itu, nama Madame Roland, anggota dari perserikatan campuran "Patriotes des deux sexes defenseurs de la Constitution", barangkali pemimpin wanita yang paling berpengaruh di zaman Revolusi. Madame Roland adalah satu intelektuil yang cemerlang. Dialah pusat jiwa Gironde. Dialah yang menaikkan bintang suaminya, sehingga suaminya itu dua kali diangkat menjadi Menteri. Dialah yang menulis akta-akta diplomatik yang penting-penting, yang sampai sekarang masih disimpan di dalam arsip-arsip pemerintah negara.
Dialah yang mengumpulkan banyak pemimpin-pemimpin laki-laki di dalam salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru, yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi Revolusi.
Dan kita jumpai di dalam kitab sejarah itu satu nama yang lain, – satu bintang yang amat gilang-gemilang, yaitu nama Olympede Gouges. Dialah yang benar-benar berhak disebutkan singa-betinanya Revolusi. Alangkah tangkasnya, alangkah gagah beraninya, alangkah "hebatnya" wanita ini! Manakala Madame Roland seorang pemimpin wanita dari kalangan atasan, maka Olympe de Gouges adalah pendekar dari kalangan bawahan. Dan manakala Madame Roland mempengaruhi Revolusi dengan kecerdasannya, dengan faham-fahamnya, dengan tidak berjoang aktif sebagai organisator atau pendekar perserikatan, maka Olympe de Gouges adalah organisator wanita dan agitator – wanita yang penuh aksi, organisator wanita dan agitator wanita yang pertama di dalam sejarah pergerakan revolusioner. Olympe de Gouges selalu di tengah-tengah massa. Pidato-pidatonya memetir, kata-katanya menyala-nyala, berapi-api, mengobarkan semangat, puluhan ribu wanita, menyambar dan membakar hangus alasan-alasan fihak laki-laki yang hendak menolak wanita dari pekerjaan masyarakat dan negara. Majelis Nasional sering tercengang kalau membaca tulisan-tulisannya yang tegas dan hebat, malah sering seperti terpukau kalau dihantam olehnya dengan alasan-alasan yang tajam dan terus menuju ke dalam jiwa.
Kekecewaan Olympe de Gouges atas "Hak-hak Manusia" yang semata-mata hanya hak-hak orang laki-laki saja itu, bukan kepalang! Segera sesudah "Keterangan Hak-hak Manusia" itu diumumkan dan disambut dengan kegembiraan gegap-gempita di seluruh Perancis, maka ia mengeluarkan satu manifes, yang ia beri nama "Keterangan Hak-haknya Wanita " . Tajam dan pedas protes Olympe atas ketidakadilan yang termaktub dalam "Keterangan Hak-hak Manusia" itu: "Wanita dilahirkan dalam kemerdekaan, dan sederajat dengan orang laki-laki. Tujuan tiap-tiap masyarakat hukum ialah: kemerdekaan, kemajuan, keamanan, menentang kepada tindasan ... Tetapi sampai sekarang, wanita dipersempit jalannya untuk mengerjakan hal-hal yang karena kodrat memang haknya semata-mata. Natie yang menjadi dasar sendi negara, terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Hukum-hukum negara haruslah gambarnya kemauan yang timbul dari persatuan ini. Sebagaimana halnya dengan warga negara laki-laki, maka warga negara wanitapun harus, dengan jalan persoonlijk atau dengan jalan wakil-wakil yang mereka pilih sendiri, ikut serta pada pembuatan hukum-hukum negara itu. Hukum-hukum ini harus bersifat sama rata buat semua orang. Oleh karena itu, maka semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing menurut kecakapannya sendiri-sendiri, harus diperbolehkan masuk dalam jabatan-jabatan umum dan pekerjaan-pekerjaan umum. Hanya kecakapan dan kepandaian sajalah yang boleh dipakai menjadi ukuran. Wanita berhak menaiki tiang penggantungan, ia harus berhak pula menaiki mimbar. Tetapi hak-hak wanita inipun harus dipergunakan untuk kesejahteraan umum, tidak untuk keuntungan wanita saja ... Perempuan, sebagai juga laki-laki, ikut urun kepada kekayaan negara. Oleh karena itu, ia juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, untuk meminta perhitungan daripada cara memakainya kekayaan negara itu. Sesuatu peraturan negara tidak syah, kalau tidak di-buat oleh jumlah terbanyak daripada semua orang-orang yang menjadi natie ... Bangunlah, hai kaum wanita! Obornya kebenar-an sudah memecahkan awan-awannya kebutaan dan kezaliman! Kapankah kamu sadar? Bersatulah! Taruhlah di hadapan kekuatan kezaliman itu kekuatan kecerdas-an dan keadilan! Dan segera kamu akan melihat, bahwa laki-laki tidak lagi akan duduk di samping kakimu sebagai penyembah asmara, tetapi, – dengan berbesar hati membahagikan hak-hak perikemanusiaan yang abadi itu sama-rata denganmu -, akan berjalan denganmu setindak dan selangkah, serta berjabatan tangan!" .
Demikianlah Olympe de Gouges. Perhatikan: kalimat-kalimat ini diucapkan lebih dari satu setengah abad yang lalu! Kita menjadi kagum, kalau kita kenangkan waktu itu, dan kenangkan pula bahwa Olympe bukan satu "jiwa" yang tinggi-intelek seperti Madame Roland. Kalimat-kalimat manifes yang berapi-api itu, kadang-kadang lebih terang dan lebih jitu daripada ucapan-ucapan kaum feminis di kemudian hari dan boleh dijadikan pedoman yang gilang-gemilang bagi aksi-aksi wanita yang mengejar persamaan hak dengan fihak laki-laki sepanjang masa. Dan memang akibat manifes itu menggempar-kan pula! Dunia ideologi yang "menurut adat kebiasaan", menjadilah ribut oleh karenanya. Kebencian kaum laki-laki kolot memuncak, fitnahan dan tuduhan yang bukan-bukan dilemparkan kepada kepala Olympe. Ya, kaum laki-laki merasa terancam benteng monopolinya. Mereka mengerjakan pertahanannya dengan segala macam cara. Tetapi kaum wanita pun bangkit. Manifes Olympe itu membukakan mata banyak wanita, mengobarkan semangatnya untuk berjoang, membangkitkan keberanian di dalam dada-dada yang tadinya sesak dengan rasa takut. Pidato-pidato, brosur-brosur, surat-surat sebaran yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin wanita, berterbangan di angkasa, – semuanya membenarkan Olympe, semuanya memperkuat tuntut-an Olympe. Sehingga majalah-majalah modepun tak mau ketinggalan! Majalah mode "Journal des Femmes" berobah sifat menjadi majalah perjoangan, dengan nama baru "L’Observateur Feminin". Majelis Nasional dihujani dengan surat-surat permo-honan, usul-usul, protes-protes. "Tuan-tuan sudah menghapuskan hak kelebihan kaum bangsawan, hapuskanlah juga sekarang hak kelebihan kaum laki-laki!" Demikianlah bunyi kalimat dalam salah satu surat protes itu. Malah dalam satu surat protes lain dikatakan: "Rakyat kini telah diberi hak-haknya" bangsa Neger telah dimerdekakan, kenapa kaum perempuan tidak di-merdekakan pula ?"
Dunia wanita di Perancis, terutama di Paris, pada waktu itu sungguh sedang bergelora. Olympe de Gouges mengerti, bahwa inilah saat yang baik buat mempersatukan wanita-wanita itu dalam perserikatan, agar dapat memperhebat tuntutan, dan memperhebat tenaga untuk mendorong tuntutan itu. Didirikanlah olehnya perserikatan-perserikatan politik wanita. Digerakkan olehnya perserikatan-perserikatan itu, untuk menghantam fihak laki-laki dan Majelis Nasional yang tetap berpendirian kolot dan anti emansipasi. Dan bukan saja ia membela wanita. Ia membela pula peri-kemanusiaan. Dengan hatinya yang murni "Hati Perempuan" itu, – Hati Ibu -, ia mengeritik keras kepada Robespierre, yang dengan pemerintahan teror terlalu mudah menghukum mati kepada lawan-lawannya, terlalu mudah mempermainkan jiwa sesama manusia. "Darah merusak kehalusan budi dan fikiran! Satu cara pemerintahan yang zalim, pasti nanti diganti dengan cara pemerintahan yang zalim pula". Kepada Robespierre persoonlijk, yang menjatuhkan hukuman mati ke-pada Raja, ia berkata dengan seram: "Singgasana Tuan pun nanti tiang penggantungan !".
Olympe de Gouges adalah seorang Republikein. Tidak ada keragu-raguan tentang hal ini sedikitpun juga. Ia anti raja, ia anti monarchi.
Ia anti cara pemerintahan yang absolut dan feodal. Tetapi ia seorang perempuan. Ia seorang ibu. Hatinya, jiwanya, memberontak kepada penumpahan darah, jiwanya memberontak kepada kekejaman Revolusi. Mula-mula pemberontakan jiwa ini ia simpan di dalam kalbu. Tetapi akhirnya tidak tertahan lagi. Akhirnya ia protes terang-terangan terornya Revolusi, ia cela terang-terangan banyaknya hukuman mati, ia bela terang-terangan kepalanya raja, ia gasak terang-terangan Robespierre dengan pemerintahan terornya itu. Akhirnya ia sendiri dituduh anti Revolusi ... Ia ditangkap, dilemparkan dalam penjara, dituduh menjadi perkakas kontra-revolusi. Ia diponis di muka hakim. Tiga (3) Nopember 1793 jatuhlah kepala Olympe de Gouges terpenggal oleh algojonya Revolusi.
Olympe de Gouges. Alangkah hebatnya perempuan ini!
Bagaimanakah pendapat sejarah tentang dia? Kaum yang tidak setuju kepada emansipasi wanita, mengatakan bahwa ia adalah seorang perempuan lacur, seorang sundal, seorang wanita yang karena gendamnya asmara, telah meninggalkan halamannya kesopanan. "Karena ia sendiri merdeka bergaul dengan orang-orang laki-laki, maka ia mau menyamaratakan perempuan dengan laki-laki", demikianlah salah satu pendapat kaum itu. Ah, barangkali benar juga, bahwa ia tidak selamanya "suci". Barangkali benar juga, bahwa ia memang sering tenggelam di dalam air putarnya asmara. Tetapi, ya Tuhan, siapa dapat membantah; bahwa ia adalah kampiun hebat daripada hak-hak wanita? Jasanya yang mahabesar dan gilang-gemilang ialah, bahwa ia adalah orang yang pertama–tama mengorganisir pergerakan wanita, pertama–tama mendirikan serikat–serikat politik wanita, pertama–tama membuat tenaga–tersusun dari orang–orang wanita menjadi satu faktor aktif di dalam proses politik.
Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams barangkali lebih dahulu mengeluarkan ide, tetapi Olympe de Gouges adalah yang pertama-tama mengorganisir tuntutann yaitu ide!
Ia telah mati. Dengan muka tersenyum ia telah menjalani hukuman mati itu. Tetapi di dalam tahun 1793 itu, tidak matilah pergerakan yang ia telah bangunkan dan bangkitkan. Di bawah pimpinan Rose Lacombe dan pemimpin-pemimpin wanita lain, perjoangannya dijalankan terus. Aksi menuntut persamaan hak dan aksi memprotes teror tetap bergelora dengan hebatnya Serangan-serangan kepada kaum laki-laki tetap berjalan sebagai cambukan yang amat pedih. Wanita kini ternyata menentang kaum laki-laki. Aksi wanita itu dirasakan oleh kaum laki-laki sebagai satu tentangan kepada "kodrat alam". Sebab, hak kelebihan laki-laki itu katanya adalah memang pemberian "kodrat", – berasal dari "kodrat". Aksi wanita ini dus adalah aksi yang memberontak kepada "kodrat". Dan tidakkah aksi mereka yang terlalu menentang adanya pemerintahan teror membahaya-kan pula kepada Revolusi? Bersifat Kontra Revolusi?
Maka oleh karena itu, segeralah diusulkan oleh "Komisi Keamanan Umum" kepada Majelis Nasional supaya semua perserikatan-perserikatan wanita, tidak perduli partai apapun, dan tidak perduli nama apapun, dilarang dan dibubarkan saja. Buat apa wanita dibiarkan saja berserikat, berkumpul, berpidato, beraksi, dengan nyata-nyata, menentang kepada "kodrat alam" dan nyata-nyata mendurhakai Revolusi? Anggota Komisi Keamanan Umum yang bernama Amar, yang memajukan usul itu dihadapan Majelis Nasional, menyanyikan lagu yang terkenal lama: Perempuan tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan, dan tidak boleh diberi hak-hak politik, oleh karena perempuan tak mungkin mempunyai kecakapan yang perlu buat pekerjaan-pekerjaan semacam itu. "Mampukah perempuan mengerjakan pekerjaan yang berfaedah tetapi maha sukar ini? Tidak! Sebab mereka telah diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting yang telah diberikan oleh kodrat alam kepadanya. Laki-laki atau perempuan, mereka masing-masing telah diberi pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya. Kemampuan-kemampuan mereka terbatas oleh batas-batas yang tak dapat mereka liwati, oleh karena kodrat alam sendiri telah menentukan batas-batas itu bagi manusia. Adakah kesopanan mengizinkan, bahwa perempuan tampil di muka umum, bertukar fikiran dengan kaum laki-laki, dan terang-terangan dihadapan khalayak membicarakan soal-soal yang daripadanya tergantung keselamatan republik? Pada umumnya wanita tidak mampu berfikir tinggi, dan tidak mampu mempertimbangkan soal-soal dengan cara yang sungguh-sungguh dan mendalam"...
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amar guna menjelaskan usul Komisi Keamanan Umum untuk melarang dan membubarkan. perserikatan-perserikatan wanita itu. Tidak tersia-sia usahanya! Pada tanggal 30 Oktober 1793 Majelis Nasional mengambil putusan sesuai dengan apa yang diusulkan: kaum wanita dilarang berserikat, perserikatan-perserikatan wanita harus dibubarkan!
Segera sesudah putusan ini diumumkan, kaum wanita bangkit untuk memprotesnya. Satu gerombolan utusan mereka masuk ke dalam gedung Balai Kota Paris, untuk menuntut batalnya putusan itu bagi kota Paris. Tetapi maksud mereka sama sekali gagal: Mereka tidak pula diizinkan berbicara! Sebaliknya mereka malah diserang dengan sengit oleh Pokrol Jenderal Chaumette, yang berpidato dengan amarah: "Semenjak kapankah perempuan boleh membuang keperem-puanannya dan menjadi laki-laki? Semenjak berapa lamakah adanya ini kebiasaan, yang mereka meninggalkan urusan rumah-tangga dan meninggalkan buaian anak, datang di tempat-tempat umum buat berpidato, masuk dalam barisan tentara, menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang oleh kodrat alam diperuntukkan kepada laki-kaki? Alam berkata kepada laki-laki: peganglah teguh kelaki-lakianmu! Pacuan kuda, perburuan, pertanian, politik, dan lain-lain pekerjaan yang berat, – itulah memang hak bagimu. Kepada wanita, alam berkata pula: peganglah teguh kewanitaanmu! Memelihara anak, bagian-bagian pekerjaan rumah-tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, – itulah memang kerja bagimu! Oleh karena itu, aku angkat kamu menjadi Dewi dalam Candi Rumah Tangga. Kamu akan menguasai segala sesuatu sekelilingmu dengan keelokanmu, dengan kecantikanmu, dengan sifat-sifatmu yang baik. Hai perempuan-perempuan yang ke-blinger, yang mau menjadi laki-laki, – mau apakah kamu ini? Kamu telah menguasai hati kami, orang-orang besar telah duduk di bawah telapak kakimu, kezalimanmu adalah satu-satunya hal yang kami tak mampu mematahkan, karena kezalimanmu itu bernama asmara. Atas nama kodrat alam, tinggallah ditempatmu yang sekarang!"
Alam, lagi-lagi alam! Alam memperuntukkan wanita bagi rumah-tangga, alam memperuntukkan laki-laki bagi pekerjaan berat seperti pertanian, perburuan, peperangan! Apakah alam barangkali lupa, bahwa di zaman purbakala justru wanita yang menjadi soko-guru pertanian, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berat-berat? Ai, – malahan apa benar: hanya di zaman purbakala saja? Di dalam kitabnya Bebel saya membaca, bahwa di zaman Bebel itu, dus baru beberapa puluh tahun yang lalu saja, di Afrika Tengah dan di Afrika Utara masih ada suku-suku, di mana wanita-wanitanya lebih kuat daripada laki-laki, dan di mana memang wanita-wanitalah yang menjadi panglima-panglima perang; dan bahwa di Afghanistan masih ada suku-suku pula, di mana wanitalah yang pergi ke perburuan dan peperangan, sedangkan laki-laki yang mengerjakan segala pekerjaan di rumah tangga! Mana, mana benarnya alasan kodrat alam itu? Tetapi bagaimanapun juga, pidato Chaumette yang berapi-api itu berhasil segera. Juga Dewan Kota Paris memutus-kan membenarkan putusan Majelis Nasional. Perserikatan-perserikatan wanita di Paris harus dilarang dan dibubarkan, dianggap berbahaya bagi keamanan umum. Malahan Dewan Kota itu memutuskan, tidak mau lagi menerima deputasi-deputasi wanita dalam sidangnya.
Sudah barang tentu fihak wanita masih terus melanjutkan protesnya. Dengan ulet mereka masih terus mencari jalan untuk mendengung-dengungkan suaranya. Surat-surat sebaran, pamflet -pamflet masih terus beterbangan ke kanan-kiri. Majelis Nasional makin menjadi keras, makin reaksioner, makin anti-wanita. Kini Majelis Nasional pun mengambil putusan melarang wanita hadir dalam rapat-rapat umum apa saja. Dan sebagai gong Majelis Nasional mengeluarkan wet, bahwa wanita dilarang bergerombolan lebih dari lima orang. Wanita-wanita yang bercakap-cakap dalam gerombolan lebih dari lima orang, akan ditangkap, dilemparkan dalam penjara ...
Dengan ini, pada zahirnya, menanglah reaksi di atas wanita Perancis. Tetapi tidak demikian pada batinnya: "Man totet den Geist nicht", – "Batin tak dapat dibunuh", demikianlah salah satu ucapan Freiligrath. Sebagai faham, sebagai "isme", sebagai "ide", teruslah tuntutan emansipasi wanita itu hidup. Organisasi dapat dihancurkan, gerak organisasi itu dapat dimatikan, tetapi semangat organisasi itu berjalan terus. Di kemudian hari ia akan menjelma lagi, akan meledak lagi, dalam pergerakan wanita yang lebih modern. Malah sedari mula lahirnya, semangat itu telah dapat menangkap hatinya beberapa orang cendekiawan laki-laki, sebagai mitsalnya Markiesde Condorcet. Di dalam tulisan-tulisan mereka cendekiawan-cendekiawan laki-laki ini membela sungguh-sungguh tuntutan-tuntutan wanita itu. Di dalam tahun 1789, empat tahun sebelum kepala Olympe de Gouges jatuh terpenggal oleh algojo, Condorcet telah menggemparkan dunia intelektuil karena tulisannya di dalam majalah "Journal de la Societe" yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Alasan-alasannya cukup jitu; Revolusi bersemboyan "egalite", bersemboyan "persamaan", tetapi semboyan ini didurhakai karena mengecualikan separoh kemanusiaan daripada pekerjaan membuat hukum. Revolusi bersemboyan egalite, bersemboyan persamaan, tetapi revolusi tidak mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang sama. Orang laki-laki berkata bahwa perempuan jangan diberi hak warga negara karena tubuhnya tak memboleh-kannya – misalnya kalau perempuan sedang hamil – tetapi orang laki-laki toh juga tidak selamanya dalam kesehatan? Orang berkata bahwa perempuan tidak banyak yang berpengetahuan tinggi, tetapi hak-hak warga negara itu toh juga tidak diberikan kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi saja? Jikalau pengetahuan tinggi dijadikan syarat, maka apakah sebabnya hak-hak warga negara diberikan kepada masyarakat laki-laki umum, dan tidak kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi saja? Jikalau orang khawatir kepada pengaruh wanita atas laki-laki, maka pengaruhnya yang "rahasia" toh tentu lebih besar daripada pengaruhnya di muka umum? Mengapa "pengaruh rahasia" ini tidak ditakuti, sedang pengaruh di muka umum di-takuti? Orang khawatir bahwa wanita akan mengabaikan urusan rumah-tangga dan pemeliharaan anak bilamana mereka diberi hak-hak warga negara, tetapi mengapa orang tidak khawatir bahwa laki-laki mengabaikan pekerjaannya sehari-hari padahal mereka diberi hak-hak warga negara? Ini alasan-alasan yang kosong selalu dipakai, kata Condorcet, karena alasan-alasan yang berisi, memang tidak ada. Dengan alasan-alasan yang kosong pula orang membelenggu perdagangan dan kerajinan, orang benarkan perbudakan bangsa Neger sampai ke zaman sekarang, orang isi penuh penjara Bastille, orang pergunakan bangku-bangku penyiksaan. Soal dikasih tidaknya wanita hak-hak warga negara, tidak boleh dibicarakan dengan alasan-alasan yang kosong dan kalimat-kalimat yang melompong, atau dengan banyolan-banyolan yang rendah-rendah. Soal persamaan hak antara laki-laki dan laki-lakipun dulu dipertengkarkan dengan pidato-pidato yang muluk-muluk dan dengan banyolan-banyolan yang tiada harga. Tidak seorangpun mengemukakan alasan-alasan yang tepat. "Maka saya kira, tentang soal persamaan hak antara laki-laki dan wanita, keadaan tidak berbeda daripada demikian juga", demikian Condorcet menyudahi tulisannya.
Tulisan ini menjadi termasyhur. Bukan di Perancis saja ia dibaca orang, tetapi di Inggeris pun banyak orang memperhati-kannya. Pada waktu itu di Inggeris adalah seorang orang perempuan yang tinggi pengetahuannya dan keras kemauannya, yang juga amat merasakan ketidakadilan perbudakan wanita. Namanya ialah Mary Wollstonecraft. Sejak dari mudanya ia telah besar minatnya kepada pendidikan anak-anak gadis. Ia menulis risalah tentang pendidikan gadis itu, dan kemudian menyalin beberapa kitab buat mencari nafkah hidup. Ia bersahabat dengan penerbit tulisan-tulisannya yang bernama Johnson, seorang-orang yang amat bersimpati kepada Revolusi Perancis. Ia bersahabat pula dengan Thomas Paine, seorang-orang yang amat termasyhur karena pernah ikut membantu perang kemerdekaan Amerika dan pernah ikut serta pula dalam pertempuran menjatuhkan Bastille. Dengan demikian, maka ia siang-siang telah belajar mencintai ideologi-ideologi Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Tuntutan-tuntutan yang dikemukakan oleh Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams, tulisan-tulisan yang mengalir dari pena Condorcet, pekik-pekik perjoangan yang memetir dari mulut Olympe de Gouges, semuanya berkumpul menjadi gelora jiwa di dalam kalbunya. Di dalam tahun 1792 gemparlah kaum kolot Inggeris karena terbitnya kitab Mary Wollstonecraft yang bernama "Vindication of the Rights of Woman".
Bukan main kitab ini menggoncangkan fikiran umum. Dengan sekaligus nama penulisnya menjadi terkenal di mana-mana. Bukan saja di negeri Inggeris. Di luar negeri pun orang membaca kitab itu dengan penuh minat. Malah orang menerbitkan salinannya dalam bahasa Perancis dan bahasa Jerman. Di mana-mana ia disambut oleh kaum wanita sebagai obor penunjuk jalan.
En toh, ia sebenarnya kurang radikal, jika dibandingkan dengan Condorcet atau Olympe de Gouges. Sebab, benar ia menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, menuntut persamaan hak-hak kewarga negaraan, menyatakan bahwa pada azasnya antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada perbedaan, – tetapi ia masih mengemukakan syarat–syarat bagi kaum wanita untuk diberi hak-hak warga negara itu: Ia meminta supaya kaum wanita diberi pendidikan lebih dahulu.
Nyata berlainan dengan Condorcet! Sebab Condorcet menuntut supaya wanita segera diberi hak-hak warga negara; ia tidak mau menerima bahwa kebodohan dipakai sebagai alasan untuk tidak memberikan hak-hak warga negara kepada wanita, karena laki-lakipun tidak diperiksa lebih dahulu kecerdasannya sebelum menerima hak-hak itu. Condorcet tidak mengemukakan syarat-syarat; ia berdiri di atas pendirian yang prinsipiil.
Tetapi di lain-lain bagian daripada kitab "Vindication of the Rights of Woman" itu, Mary Wollstonecraft benar-benar revolusioner. Bukan saja ia mencela ke-Rajaan, menyerang jiwa tentara, menggasak kaum bangsawan, ia mengeritik juga keadaan ekonomis yang menjadi pokok asalnya kemudlaratan dan kemiskinan di kalangan wanita. Kemudlaratan dan kemiskinan inilah tempat persemaiannya persundalan dan kejahatan.
Maka oleh karena itu, ia menuntut supaya wanita itu ekonomis dimerdekakan dari kaum laki-laki. Janganlah wanita itu digantungkan kepada kaum laki-laki dalam urusan nafkah hidupnya.
" Merdekakanlah wanita mencari makannya sendiri! " Inilah kalimat Mary Wollstonecraft yang benar-benar radikal, benar-benar revolusioner. Revolusioner buat zaman itu; revolusioner buat zaman sekarang, revolusioner buat zaman yang akan datang. Revolusioner buat semua zaman. Selama wanita ekonomis masih tergantung kepada laki-laki, selama itu maka sosial pun ia akan tetap tergantung kepada laki-laki. "Merdekakanlah wanita mencari makannya sendiri!" Mary Wollstonecraft adalah wanita pertama yang pertama-tama mengeluarkan dalil ini!
Iapun wanita pertama, – barangkali manusia pertama -, yang justru untuk menjaga kesusilaan, menuntut supaya pendidikan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi jangan dipisahkan dalam sekolah sendiri-sendiri. Ia menuntut ko–edukasi, satu cara pendidikan pemuda-pemudi bersama-sama, yang sampai sekarangpun masih menjadi pertikaian faham. Dan iapun wanita pertama, yang menuntut supaya wanita diberi latihan olah–raga. Sebab hanya wanita yang sehatlah dapat melahirkan anak-anak yang sehat. Hanya rakyat yang sehatlah dapat menjadi bangsa yang kuat. Hanya bilamana wanita sehat badannya dan sehat batinnya, maka wanita dapat memenuhi "panggilan alam" dengan sebaik-baiknya. Justru supaya wanita dapat memenuhi panggilan alam yang keramat itu, justru supaya ia dapat bertindak sebagai Ibu yang sejati, yang dari haribaannya akan lahir generasi baru yang sehat badaniah dan rohaniah, justru karena itulah wanita harus diberi hak-hak yang sama dengan laki-laki, dijadikan "warga negara merdeka" sebagai laki-laki, ditempatkan di samping laki-laki dan tidak di belakang laki-laki.
Sebagai saya katakan tadi, bukan main kitab Mary Wollstonecraft itu menggoncangkan fikiran umum. la dibicara-kan orang di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di negeri-negeri lain. la segera dijadikan bulan-bulanan serangan kaum laki-laki yang tidak setuju kepadanya. la, sebagai Olympe de Gouges, dinamakan sundal, dinamakan perempuan yang telah meleset dari rilnya, digambarkan dalam karikatur sebagai orang-banci yang jelek yang tidak tentu laki-laki tidak tentu perempuan. Padahal ia adalah seorang perempuan yang manis, dan halus budi, seorang perempuan yang dalam arti yang sebaik-baiknya adalah seorang Wanita yang Utama. Tetapi memang sudah kebiasaan sejarah juga, bahwa sesuatu orang yang mengeluarkan faham baru, dicerca, diejek, dimaki, ditertawakan, dihina, mungkin dihukum. Mary Wollstonecraft tidak sampai mendapat nasib disiksa atau dihukum, tetapi aksi yang menentang kepadanya dengan cara yang curang dan tidak adil, toh hebat pula. Kendatipun begitu, faham-faham modern yang ia ajarkan itu, tak urung makin lama makin banyak pengikutnya juga. Justru di negeri Inggerislah kelak tempatnya pergerakan emansipasi wanita yang paling hebat. Justru di negeri Inggeris itu nanti lahirnya pergerakan wanita, yang kita kenali dengan nama pergerakan feminisme. Justru di negeri Inggeris berkobarnya aksi wanita " suffragette " , yang terutama sekali menuntut hak perwakilan bagi kaum perempuan.[1]
Di Jermaniapun faham menuntut persamaan hak bagi wanita itu tumbuh. Hampir berbarengan dengan terbitnya kitab Mary Wollstonecraft di Inggeris, terbitlah di Jermania kitab tulisan Theodor von Hippel "Ueber die biirgerliche Verbesserung der Weiber", – yang artinya:
"Tentang memperbaiki kedudukan wanita sebagai warganegara".
Apa sebab Revolusi Perancis, yang katanya menegakkan hak-hak manusia itu, mengecualikan perempuan dari politik dan negara?, demikianlah yon Hippel bertanya dengan heran dan kecewa.
"Sekarang waktunya sudah tiba, untuk mengangkat wanita menjadi rakyat". Sebagai Mary Wollstonecraft, ia minta pendidikan bersama bagi pemuda dan pemudi, menuntut wanita diberi hak memasuki semua jabatan, mengemukakan hak yang sama bagi semua orang laki-laki dan perempuan untuk dididik menjadi warga negara yang sebaik-baiknya.
Ia malahan menganjurkan supaya pemuda dan pemudi di bawah umur 12 tahun diberi pakaian yang sama, agar supaya kesehatan gadis-gadis dapat bertambah. (Pakaian gadis-gadis di waktu itu amat tidak baik buat kesehatan). Ia membantah anggapan, bahwa wanita itu "dari kodrat alam" lebih lemah daripada laki-laki, kalah kekuatan badan dengan laki-laki. Tidakkah keuletan wanita pada waktu bersalin itu justru satu bukti daripada kekuatan tubuh wanita? Merdekakanlah wanita itu supaya negara maju dan sehat! Negara akan menjadi lebih aman, lebih kuat, lebih sejahtera, kalau wanita di bawa serta dalam pembuatan hukum dan pemerintahan. Kalau perempuan di bawa serta, maka "niscaya tidak akan begitu banyak orang-orang yang zalim, yang senang melihat sesama manusia tenggelam bahtera hidupnya, dan tidak akan begitu banyak orang-orang penghisap darah, yang mempermainkan darah dan keringat rakyat dengan tiada hingga dan tiada batas".
Demikianlah von Hippel. Dengan Condorcet dan Wollstonecraft ia adalah penaruh alas-alas teori bagi pergerakan wanita tingkat kedua. Dengan mereka itu ia bersamaan tuntutan, bersamaan tujuan yang dekat, yaitu hilangnya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dasar faIsafahnya adalah agak berbeda. Condorcet menuntut persamaan hak atas nama keadilan; menurut dia, tidak adillah, kalau laki-laki dimerdekakan, dan wanita tidak. Mary Wollstonecraft menuntut persamaan hak atas nama keibuan, atas nama ke wanitaan; perempuan hanyalah benar-benar dapat menjadi Ibu dan Isteri yang sempurna, bilamana ia dimerdekakan juga seperti laki-laki. Theodor von Hippel menuntut persamaan hak atas nama kesejahteraan masyarakat dan negara ; masyarakat dan negara akan lebih sehat, bilamana perempuan di bawa serta.
Condorcet, Wollstonecraft, von Hippel mengemukakan ide. Tetapi Olympe de Gouges memperjoangkan ide, "meng-organisir" ide, "mengaksikan" ide. Nama empat pembela wanita ini, di samping namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams, akan tetap tersimpan di dalam kalbu ingatan wanita-wanita yang sedar di seluruh dunia, ratusan tahun.
Bagaimanakah kisah kelanjutan perjoangan idee persamaan hak ini? Sesudah periode Otis Warren, Smith Adams, Condorcet, Wollstonecraft dan von Hippel, berdirilah kita di muka pintu gerbang abad kesembilan belas. Abad kesembilan belas ini sebenarnya tidak melahirkan ide–ide baru lagi tentang emansipasi wanita. Hanya di dalam tahun 1869 terbitlah kitab John Stuart Mill, sosiolog Inggeris yang termasyhur, yang bertitel "The Subjection of Woman", "Penaklukan kaum wanita". Di dalam kitab ini ia menuntut hak perwakilan bagi wanita dalam parlemen. Dialah yang mengucap-kan kalimat yang termasyhur yang berbunyi: "Mempunyai hak buat memilih orang-orang yang akan memerintah, itu adalah satu cara pembelaan diri, yang menjadi hak tiap-tiap orang". Dialah pula yang mengatakan, bahwa wanita harus dimerdekakan dan dipersamakan dengan laki-laki, supaya ia tidak sebagai sekarang, "lebih dulu menjadi boneka permainan laki-laki dan kemudian penyiksanya dan perewelnya". Sungguh ini satu ucapan yang orisinil!, yang sama jitunya dengan ucapan Havelock Ellis bahwa laki-laki memperlakukan wanita sebagai satu "blasteran antara seorang dewi ... dan seorang tolol"! Tetapi pada pokok-nya, faham-faham John Stuart Mill tentang wanita hanyalah pengulangan-pengulangan belaka daripada faham-faham yang telah dikemukakan oleh penganjur-penganjur yang telah kita sebutkan. Abad kesembilanbelas dus sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru tentang emansipasi wanita itu. Ia hanya menunjukkan kelanjutan perjoangan, di atas dasar fikiran-fikiran yang telah diletakkan lebih dahulu.
Ya, apa yang harus "diteorikan" lagi? Sudah terang dan jelas semua pokok-pokok dasar perjoangan, Hanya perjoangannya yang belum berjalan dengan sempurna. Dan jalannya perjoangan inipun di dalam abad kesembilan belas tidak senantiasa memperlihatkan garis yang menaik. Hanya di bagian kedua daripada abad kesembilan belas itu ada pergerakan wanita yang sangat hebat. Di bagian pertama daripada abad itu semangat seakan-akan padam. Seakan-akan sudah tercapailah puncak gelombang samodra pergerakan wanita di zamannya Olympe de Gouges, tatkala ribuan, puluhan ribu perempuan beraksi massaal menuntut keadilan; tatkala suara pidato di mimbar memetir-metir; tatkala jejak kaki ribuan wanita terdengar gemuruh menuju kerapat-rapat umum, ke istana raja, ke gedung Balai Kota, ke Majelis Nasional. Bagian pertama dari abad kesembilan belas itu, kalau dibandingkan dengan zaman Olympe de Gouges, adalah sunyi, laksana sunyinya alam setelah taufan badai berakhir.
Apa sebabnya kesunyian ini? Sebabnya ialah, bahwa perbandingan-perbandingan sosial ekonomis di dalam masyarakat, sebagai yang saya uraikan di dalam bab III, memang belum membuat masak semua syarat-syarat untuk bergeloranya pergerakan emansipasi itu. Ide, teori, faham, pokok pikiran emansipasi itu telah lahir lebih dahulu, tetapi perjoangan untuk menjelmakan idee, teori, faham, serta pokok fikiran itu masih menunggu panggilan. perbandingan-perbandingan sosial ekonomis yang akan menggerakkan perjoangan itu. Idee memang selalu mendahului pergerakan. Misalnya ide atau faham sosialisme pun telah lahir dan di teorikan dalam kitab-kitab di zamannya Fourier, Proudhon, Marx dan Engels, tetapi pergerakan sosialisme barulah berkobar betul-betul sesudah kapitalisme modern memekar dan menghebat pada akhir abad kesembilan belas. Ide dan faham fascisme telah menelur dalam kitab-kitab Machiavelli dan Nietzsche, tetapi pergerakan fasisme barulah mengamuk betul-betul sesudah kapitalisme itu "im Niedergang" dan memerlukan pembelaan yang tak kenal kasihan. Maka demikian juga halnya dengan pergerakan emansipasi wanita. Badan nyonya-nyonya Otis Warren dan Smith Adams telah lama menjadi debu, Olympe de Gouges dan Condorcet telah lama pulang kerakhmatullah, Wollstonecraft – dan von Hippel telah lama masuk ke alam barzah, – barulah, pada permulaan bagian kedua daripada abad kesembilan belas, pergerakan emansipasi subur dan menggelora.
Sudah barang tentu terutama sekali mula-mula di Amerika dan di Inggeris. Apa sebab justru mula-mula di dua negeri itu? Oleh sebab di Amerika dan di Inggerislah perbandingan-perbandingan sosial ekonomis lebih dulu menjadi masak untuk melahirkan pergerakan emansipasi itu: Termasuknya barang-barang buatan paberik dalam rumah-tangga, membuat kaum wanita dari golongan pertengahan dan atasan banyak menganggur. Hidup-nya terserang penyakit kesal karena menganggur. Hidupnya menjadi kosong. Mereka ingin bekerja, ingin "hidup". Mereka lantas bergerak, menuntut "hak untuk bekerja" dan hak-hak politik yang sama dengan kaum laki-laki.[2]
Di dalam tahun 1851 di Inggeris diadakan satu rapat besar oleh kaum wanita atasan untuk menuntut hak perwakilan (buat wanita atasan saja!), dan diambilnya satu mosi yang mereka kirimkan ke Majelis Rendah. Di dalam tahun 1866 mereka itu mempersembahkan satu surat permohonan lagi kepada pemerintah dengan 1499 tandatangan, juga untuk meminta hak perwakilan. Baru setahun kemudian daripada itu, jadi dalam tahun 1867, parlemen mulai membicarakan hak perwakilan wanita itu. Tetapi putusannya ialah menolak hak perwakilan wanita itu, dengan 196 suara lawan 73 suara. Suara yang terbanyak berpendapat bahwa wanita tak perlu dan tak harus ikut politik! Tempat wanita ialah di rumah tangga, di samping buaian anak!
Tetapi fihak wanita tidak putus asa. Mereka beraksi terus. Demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat besar, surat-surat khabar, pamflet-pamflet diadakan. Opini publik terus dikocok. Akhirnya perhatian khalayak itu mulai ada yang condong juga kepada tuntutan wanita. Pemimpin-pemimpin wanita Inggeris di waktu itu memang tangkas-tangkas. Mereka umumnya gagah berani, pandai benar berpidato, cakap menyusun organisasi. Tetapi reaksi kaum laki-lakipun bukan kepalang. Sebagai tembok yang amat tinggi, reaksi laki-laki itu masih menghalang-halangi berhasilnya aksi wanita.
Sampai silamnya abad kesembilan belas aksinya kaum feminis Inggeris itu tetap sia-sia, atau lebih tegas: hasilnya belum sepadan dengan energie yang telah dikeluarkan. Benar sebagian dari tuntutannya, yaitu "hak untuk melakukan sesuatu pekerjaan di masyarakat", telah diluluskan, benar mereka telah diizinkan masuk bekerja di beberapa cabang pekerjaan, benar mereka telah dibolehkan mengunjungi sekolah tinggi, tetapi tuntutannya yang terpenting – hak perwakilan – belumlah terkabul. Padahal hak perwakilan ini amat penting sekali untuk mendapat persamaan hak di semua lapangan, ekonomis, yuridis, sosial! Karena itu, aksi kaum feminis itupun tidak menjadi kendor, sebaliknya malah menghebat, mengeras, menyengit. Tidak ada satu negeri di Eropah, sesudah Revolusi Perancis, yang aksi feminis begitu sengit seperti di Inggeris. Mereka tak berhenti-henti mengadakan demonstrasi-demonstrasi umum yang gegap-gempita, melawan perintah-perintah polisi, sehingga diseret di muka hakim, dilemparkan ke dalam penjara. Di dalam penjara itupun mereka beraksi terus dengan mengadakan pemogokan makan. Pemogokan-pemogokan makan ini meng-goncangkan opini publik di seluruh dunia, menggetarkan perasaan-perasaan pro dan kontra sehebat-hebatnya. Terutama sekali partai feminis yang bernama "Women’s social and political Union" – lebih terkenal lagi dengan nama partai suffragettes -, sangat tajam dalam ucapan-ucapannya dan tindakan-tindakannya. Partai suffragettes inilah yang paling sering bertabrakan dengan polisi, paling banyak pemimpinnya diseret di muka hakim, paling banyak mengalami hukuman penjara. Nama-nama Emmeline Pankhurst, dan tiga anak-puterinya: Christabel Pankhurst, Sylvia Pankhurst, Adele Pankhurst, serta pula Mrs. Fawcett dan Mrs. Despard, tidak asing lagi bagi khalayak umum dan ... hakim kriminil. Emmeline Pankhurst pernah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, karena mencoba membakar rumah menteri Lloyd George, yang menolak tuntutan-tuntutan kaum suffragettes itu!
Dengarkanlah cerita Dr. Aletta Jacobs (seorang feminis Belanda) tatkala menceriterakan pergerakan feminis suffragette itu: "Pada hari Sabtu 9 Pebruari 1907 diadakan satu arak-arakan besar, tetapi tenang, oleh beribu-ribu wanita dari segala lapisan masyarakat. Wanita-wanita dari lapisan yang berdekatan dengan keluarga raja, dari lapisan yang berdekatan dengan pemerintah, – wanita-wanita yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan sosial -, wanita-wanita ini berjalan bersama-sama dengan wanita-wanita yang seumur hidupnya bekerja berat serta menderita kemiskinan. Tenang dan tenteram, dengan tidak merusak keamanan, wanita-wanita ini berjalan melalui jalan-jalan London yang berlumpur, dengan memikul tulisan-tulisan yang menunjukkan kepada pemerintah, bahwa wanita-wanita dari tingkatan masyarakat yang paling tinggi sampai tingkatan masyarakat yang paling rendah semuanya menuntut adanya hak perwakilan ... Sesudah arak-arakan ini berakhir, maka pada hari Rebo 13 Pebruari 1907 diadakan pula arak-arakan oleh "Women’s social and political Union" yang lebih terkenal dengan nama suffragettes. Di bawah pimpinan Nyonya Despard yang tua tetapi angker itu, 800 wanita menuju kegedung parlemen, untuk menyerahkan kepada pemerintah satu resolusi yang menuntut hak perwakilan wanita. Di dalam perkelahian yang terjadi karena arak-arakan ini, banyak sekali perempuan yang luka. Dan 57 perempuan ditangkap oleh polisi. Itu malam, banyak sekali surat-surat khabar besar keluar hingga tiga kali, dengan nomor-nomor ekstra. Dari hal itu dapat kita kenangkan, betapa hebatnya kejadian itu".
Demikianlah salah satu gambaran keuletan wanita Inggeris.
Bermacam-macamlah cara protes mereka terhadap keadaan-keadaan yang merendahkan kedudukan wanita. Hal-hal yang dilarang oleh hukum, tidak segan-segan mereka jalankan, asal untuk kepentingan derajat wanita. Tadi telah saya ceriterakan, bahwa Emmeline Pankhurst mencoba membakar rumah Lloyd George. Sering kali kaum feminis itu mencuri gambar-gambar lukisan dari dalam musium National Gallery, kalau gambar-gambar itu dianggapnya menghina sekse wanita. Pernah buat beberapa waktu National Gallery itu ditutup buat semua wanita yang datangnya tidak dibarengi seorang laki-laki yang baik nama.
Sylvia Pankhurst pernah mengadakan pemogokan duduk, – sitdown-staking -, di tangga gedung parlemen untuk memaksa anggota-anggota parlemen itu supaya meluluskan tuntutan hak pemilihan wanita, berhari-hari lamanya, dengan tidak makan, tidak minum, tidak mengindahkan polisi yang hendak mengusir kepadanya, dengan tekad lebih baik mati daripada takluk dalam perjoangan.
Tetapi fihak laki-lakipun berkeras kepala! Mereka di Inggeris seperti berhati batu. Padahal di Australia pergerakan feminisme sudah lebih dulu mendapat kemenangan: di sana sejak permulaan abad kedua puluh telah diadakan hak-perwakilan wanita yang terbatas, – terbatas kepada wanita-wanita atasan saja. Dan pada tanggal 12 Nopember 1910 parlemen Australia merasa perlu menerima baik satu pernyataan, bahwa hak perwakilan wanita itu tidak merugikan kepada parlemen dan balai-balai kota, tetapi sebaliknya memanfaatkan! Kaum wanita ternyata rajin, – lebih rajin daripada kaum laki-laki! Sebab, di Australia jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum wanita, prosentuil lebih besar dari pada jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, parlemen Australia mengusulkan kepada parlemen Inggeris, supaya tuntutan kaum feminis itu hendaknya dikabulkanlah saja!
Tetapi parlemen Inggeris belum juga mau menurut. Lebih dulu harus datang perang-dunia 1914 – 1918 yang mengadakan perobahan besar dalam kedudukan wanita sebagai produsen masyarakat. Apakah perobahan ini? Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan milyunan kaum laki-laki terpaksa memanggul bedil dibarisan tentara, dan tempat-tempat di dalam paberik dan di cabang pekerjaan lain-lain yang ditinggalkan oleh mereka itu, harus segera diisi, jangan lama-lama lowong, agar supaya produksi buat garis muka dan garis belakang bertambah besar.
Maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh tenaga laki-laki itu, kini diserahkan kepada tenaga wanita. Menyopir mobil, menjalankan tram, mengurus pekerjaan pos, merawat orang-orang di rumah sakit, membuat amunisi, mengatur administrasi, menyelenggarakan pembahagian makanan, dan lain-lain sebagai-nya, – semua itu buat sebagian besar, diserahkan kepada wanita. Dan ... dasar kaum suffragette kaum idealis yang bercita-cita! Mereka yang dulunya begitu sengit melawan pemerintah dan melawan laki-laki, kini menjadi pembantu yang paling setia dari pemerintah dan laki-laki dalam marabahaya. Dulu mereka menggembleng senjata untuk menghantam sitadelnya kekolotan bangsa sendiri, kini mereka menggembleng senjata untuk menghancur-leburkan sitadel kebuasan bangsa, musuh.
Dan segeralah pemerintah juga menjadi “lunak hati".
Pemerintah berputar huluan. Sebab ternyata kaum wanita di dalam peperangan total menjadi satu tenaga vital, satu tenaga yang tak dapat diabaikan. Ternyata mereka bukan "sekse yang lemah". Ternyata jika tak ada mereka produksi alat perang tak akan mencukupi keperluan. Ternyata jika tak ada mereka Britania akan patah tenaga di tengah-tengah pertempuran. Ternyata mereka ikut menjadi satu faktor yang menentukan dalam perjoangan mati atau hidupnya negara. Ada keberatan apa lagi untuk meluluskan tuntutan mereka tentang hak-perwakilan?
Maka hak perwakilan itu diberikan, meskipun dengan terbatas. Perjoangan yang telah lebih satu seperempat abad lamanya, akhirnya mula mencapai kemenangan. Atau lebih tegas lagi: bertambahnya arti perempuan sebagai produsen masyarakat dalam masa peperangan memberi permulaan kemenangan kepada mereka itu.
Ya, hak perwakilan yang terbatas, seperti di Australia.
Tiap-tiap orang laki-laki dewasa, tua atau muda, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, boleh memilih dan dipilih buat parlemen, tetapi perempuan barulah boleh menjalankan hak itu kalau ia sedikit-dikitnya berumur 30 tahun, dan kekayaannyapun harus memenuhi satu syarat minimum pula. Dengan pembatasan ini, hanya 6.000.000 perempuan Inggeris dapat menjalankan hak memilih dan dipilih itu.
Tetapi kemenangan sudah mulai tercapai, dan kegembiraan bukan kepalang. Pada. tanggal 9 Desember 1918 kaum wanita mengadakan rapat raksasa digedung Queen’s Hall yang amat luas itu, rapat pemilihan mereka yang pertama. Kecuali gembong-gembong wanita, maka juga berpidato disitu ... Lloyd George! Lloyd George, yang dulu menentang hak pemilihan bagi wanita, – dan yang dulu rumahnya hampir-hampir saja terbakar habis oleh apinya Emmeline Pankhurst! Dengan disambut tampik sorak serta tepuk tangan gegap gempita dari kalangan hadlirat yang beribu-ribu itu, ia menyatakan kegembiraan hatinya bahwa kaum wanita kini telah mendapat hak perwakilan, serta pula menyampaikan kekagumannya atas jasa wanita di dalam masa peperangan. "Jika tiada bantuan wanita, kita tidak mungkin menang di dalam peperangan ini." Kalimat ini diucapkannya dengan penuh keyakinan.
Demikianlah keadaan di negeri Inggeris. Bagaimana keadaan di negeri-negeri lain? Telah saya ceriterakan, bahwa pergerakan wanita tingkatan kedua itu dalam bahagian kedua dari abad kesembilan belas terutama di Inggeris dan di Amerika berkobar lagi. Di negara New York di dalam tahun 1849 adalah satu kejadian yang luar biasa: seorang wanita yang bernama Elisabeth Blackwell mencapai titel doktor ketabiban. Ini sebenarnya adalah satu kejadian yang menggembirakan, tetapi orang-orang laki-laki Amerika yang "cinta kemerdekaan" itu, menjadi ribut oleh karena kejadian ini! Mereka anggap kejadian itu satu bahaya bagi masjarakat. Perempuan tak pantas menjadi tabib! Sebagai akibat keributan mereka itu, maka sekolah-sekolah tinggi menutupkan pintunya bagi mahasiswa wanita, sehingga di dalam tahun 1857 di seluruh Amerika hanya ada tiga orang tabib perempuan saja.
Kepicikan sikap kaum laki-laki yang demikian itu sudah barang tentu amat menyakitkan hatinya wanita Amerika. Perempuan harus tetap bodoh, dianggap tak pantas masuk masyarakat, dianggap tak pantas mengunjungi sekolah-sekolah tinggi? Padahal belum hilang sama sekali terhapus namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams!
Dan tatkala Amerika tenggelam di dalam kekejiannya kezaliman memperbudak orang-orang Neger, tidakkah seorang-orang wanita yang ikut membangkitkan rasa kemanusiaan bangsa, yakni Harriet Beecher Stowe dengan bukunya yang termasyhur "Uncle Tom’s Cabin". Jauh daripada satu buku biasa yang berisi satu "cerita sentimentil", maka Uncle Tom’s Cabin adalah menunjukkan kecakapan penulisnya untuk membela satu pendirian dalam perjoangan faham yang sedang berkobar di waktu itu. Pro atau anti perbudakan?
Pro atau anti kerja bebas? Uncle Tom’s Cabin disalin dalam berpuluh bahasa, faham-faham yang terkandung di dalamnya mengharukan orang di tiap-tiap pelosok di Amerika dan di Eropa. Dan itu pada waktu dunia belum mengenal banyak surat khabar, belum mengenal gambar hidup, belum mengenal radio! Nyata penulisnya bukan seorang biasa.
Ia seorang kaliber besar. Dan, ia seorang – wanita!
Bukti-bukti kecerdasan otak wanita itu di mana-mana dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin wanita untuk membenarkan tuntutan-tuntutannya: wanita tidak kurang cakap dari laki-laki, asal diberi kesempatan; wanita harus dipersama-kan haknya dengan laki-laki.
Dan walaupun pada mula-mulanya tidak ada hubungan antara aksi-aksi wanita itu di pelbagai negeri, – tiap-tiap negeri mempunyai aksi wanita sendiri-sendiri -, maka akhirnya tumbuhlah rasa perlu kepada hubungan internasional. Bukan saja hubungan internasional yang berupa pekerjaan bersama inter-nasional, tetapi lambat-laun dirasakanlah pula perlunya ada perserikatan internasional. Di dalam tahun 1888 di Amerika didirikan satu "Dewan Wanita Nasional". Negeri-negeri lain segera menyusul. Di dalam tahun 1893 Dewan-dewan wanita nasional telah dapat digabungkan menjadi satu "Dewan Wanita Internasional" dengan mempunyai 50 cabang yang tersebar di beberapa negara.
Sering sekali orang namakan Dewan Wanita Intrnasional ini Induk Volkenbond, karena ia amat mengutamakan sekali persaudaraan internasional. Tetapi ia jauh daripada radikal. Misalnya perserikatan-perserikatan wanita filantropis pun boleh masuk menjadi anggotanya. Lebih radikal daripada Dewan Wanita Internasional ini, lebih militan, lebih politis, lebih "feministis" ialah satu gabungan lain yang bernama "International Alliance for Women Suffrage and Equal Citizenship" – “Serikat internasional buat hak perwakilan wanita dan persamaan hak warga negara".
Alliance ini di dalam tahun 1904 mengadakan Kongresnya yang pertama di kota Berlin.
Utusan-utusan dari Amerika, New-Zealand, Swedia, Norwegia, Denmark, Belanda, Jermania, Inggeris, Austria; Swis, datang mengunjunginya. Satu keterangan azas diterima baik oleh Kongres itu, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, dan oleh karenanya harus mendapat hak yang sama pula. Hak bekerja!
Dan terutama sekali hak pemilihan! Tetapi soal ketidakadilan sosial, yaitu soal nasib kaum perempuan miskin, tidak disinggung-singgung. Nyonya C. Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda, mengatakan bahwa kongres ini sama sekali berjiwa liberalisme borjuis, berjiwa "burgerlijk liberalisme".
Sesudahnya kongres ini, Alliance itu berkembang-biak. Jumlah cabang-cabangnya senantiasa bertambah. Perancis, Belgia, Rusia, Serbia, Portugis, Italia, Kanada, Amerika Selatan, Tiongkok, – juga di negeri-negeri ini tumbuh cabang-cabang Alliance itu. Majalahnya yang bernama "Jus Suffragii" dibaca oleh anggota-anggotanya dari Amerika sampai ke Asia. Alliance menjadi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan. Pergerakan wanita Inggeris yang saya gambarkan di muka tadi, mendapat sokongan keras dari Alliance itu.
Tetapi ... hak pemilihan yang dituntut oleh Alliance itu, -. hak pemilihan yang bagaimanakah? Hak pemilihan umumkah? Yaitu yang memberi hak pemilihan kepada tiap-tiap orang perempuan dewasa, dengan tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin, antara terpelajar dan tidak terpelajar, antara bangsa-wan dan rakyat jelata? Ataukah hak pemilihan terbatas, yang diberikan hanya kepada wanita-wanita yang memenuhi syarat-syarat minimum tentang kekayaan, kecerdasan, keturunan?
Sudah di dalam Kongresnya di Berlin, Alliance tidak mau menjelaskan hal ini, dan di dalam Kongres-kongresnya yang kemudianpun tidak. Tetapi prakteknya di pelbagai negara menunjukkan sifat burgerlijk itu senyata-nyatanya. Di Norwegia misalnya, Alliance terang-terangan telah puas dengan hak-pemilihan terbatas yang tercapai dalam tahun 1907, di Belgia orang menganjurkan hak pemilihan terbatas buat perempuan guna menambah kekuatan reaksi menentang kenaikannya partai-partai proletar, di Jermania pemimpin-pemimpin Alliance mengepalai satu gerakan buat meminta hak pemilihan terbatas di haminte berdasar jumlah pajak buat wanita!
Memang nyata gerakan feminis adalah burgerlijk. Lihatlah misalnya Kongres Besar Alliance itu di Amsterdam 1908. Indah gemerlapan pakaian utusan-utusan yang menghadlirinya, yang datang dari berpuluh-puluh negeri; indah dan gemerlapan perhiasan ruangan Kongres, dengan karangan-karangan bunga dan bendera-bendera dari putuhan negara; "indah" dan "gemerlapan" pula susunan kalimat pidato-pidato yang diucapkan. Presidente Kongres, Nyonya C. Chapman Catt dari Amerika, membuka Kongres itu dengan satu pidato, dalam mana ia memuji tercapainya hak pemilihim wanita di Norwegia 1907 sebagai satu kemenangan gilang-gemilang yang telah memuaskan. Ia tidak jelaskan, bahwa hak pemilihan yang tercapai di Norwegia itu ialah hak pemilihan buat wanita atasan semata-mata. Seorang utusan yang hadlir, yaitu utusan wanita Rusia yang bernama Golowine, berkali-kali minta diberi kesempatan bicara, tetapi selalu ditolak permintaannya. Akhirnya ia diberi kesempatan berpidato ... 5 menit. Di dalam pidato lima menit itu Golowine menuntut hak pemilihan umum, dan bahwa hak pemilihan hanyalah satu dari pada alat-alat saja untuk men-capai susunan masyarakat yang sosialistis. Sambutan atas pidato yang singkat itu, ialah bahwa ia ... tidak mendapat sambutan sama sekali. Di dalam perslah Kongrespun pidato ini sama sekali tidak disebut-sebut! ...
Nyata dan terang, bahwa Alliance adalah perserikatan burgerlijk, perserikatannya wanita atasan, dengan tuntutan-tuntutan yang tuntutannya wanita atasan, dengan mengejar hak pemilihan yang hak pemilihan wanita atasan. Semua fikirannya, keinginan-keinginannya, faham-fahamnya, ideologi-ideologinya adalah burgerlijk, buah-hasil daripada masyarakat burgerlijk. Menurut ideologi mereka, masyarakat hanya mempunyai satu cacat saja, yaitu bahwa kaum laki-laki (tentu saja kaum laki-laki mereka) tidak memperlakukan mereka secara adil. Tidak memberikan hak untuk bekerja kepada mereka, tidak mengasih hak sama di lapangan hukum negara kepada mereka. Kalau ketidakadilan ini telah lenyap, dunia menurut anggapan mereka telah menjadi sorga.
Tetapi tertinjau dari sudut burgerlijk, memang besar hasil Alliance ini. Pada waktu ia mengadakan Kongres di dalam tahun 1926, maka dari 43 negeri yang menjadi anggauta, sudah 26 negeri yang mempunyai hak pemilihan wanita. (Terbatas!)
Tertinjau dari sudut umum, sering sekali Alliance itu kecuali burgerlijk, ternyata pula reaksioner. Sebab sering sekali ternyata bahwa pemerintah-pemerintah memberikan hak pemilihan terbatas itu, – dus kepada wanita atasan! – hanya untuk memperkuat kedudukan reaksi di dalam parlemen, guna mengalahkan perwakilan proletar di dalam parlemen yang makin hari makin kuat.
Bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu dus nyata tidak memuaskan, malahan kadang-kadang nyata-nyata satu bahaya. Bagi wanita rakyat jelata feminisme itu tidak memberi "pemecahan soal" malahan sering menjadi lawan dalam perjoangannya untuk "memecahkan soal". Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi. Mereka mencari kemerdekaan sosial. Dan di dalam usaha mereka untuk mencapai kemerdekaan sosial ini, sering sekali kaum feminis tidak berdiri di samping mereka, melainkan berhadap-hadapan dengan mereka, menentang mereka, melawan mereka. Karena itu maka wanita rakyat jelata lantas emoh kepada pergerakan feminis. Mereka mengadakan pergerakan sendiri.
Pergerakan sendiri inilah tingkat ketiga daripada pergerakan wanita. Sebenarnya, tak mungkin bagi saya, menceri-terakan sejarah pergerakan wanita tingkat ketiga ini, dengan tidak menceriterakan sejarah pergerakan sosialisme seluruhnya. Sebab, sebagai telah saya kemukakan di muka, sebenarnya tidak ada "pergerakan wanita spesial" dari tingkatan ini, melainkan tercampurlah ia dengan pergerakan sosialisme seluruhnya. Tetapi marilah saya ceriterakan sedikit-sedikit, sekedar untuk memberi gambaran dan pengertian seperlunya. Sejarah pergerak-an sosialisme telah tertulis dalam buku-buku yang jumlahnya tidak sedikit. Bukan ratusan buku, tetapi ribuan buku meriwayatkannya. Teori sosialisme dan sejarah pergerakan sosialisme telah tersusun dalam satu "perpustakaan sosialis" yang amat luasnya. Saya persilahkan pembaca yang mempunyai minat ke arah itu, untuk menyelami sendiri perpustakaan sosialis itu.
Sebagai di muka telah berulang-ulang saya katakan, perbedaan antara tingkatan kedua dan ketiga ialah: tingkat kedua sekedar hanya mencari persamaan hak saja dengan kaum laki-laki, dan perjoangannya adalah melawan kaum laki-laki. Susunan masyarakat, perbandingan-perbandingan sosial di dalam masyarakat, cara produksi dan pembahagian produksi, tidak dipersoalkan. Keadilan sosial tidak dikejar. Sebaliknya, tingkat ketiga hendak membongkar sama sekali susunan pergaulan hidup yang sekarang, hendak mengadakan satu pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial, dan aksi tingkat ketiga ialah bersama-sama dengan laki-laki, bahu membahu dengan laki-laki. Tingkat kedua adalah pergerakan kaum wanita atasan yang karena tumbuhnya industrialisme kapitalis kekurangan pekerjaan dan lantas menuntut diberi pekerjaan, tingkat ketiga adalah pergerakannya kaum wanita jelata yang karena tunlbuhnya industrialisme kapitalis terlalu ditindas oleh pekerjaan dan lantas menuntut permanusiaannya pekerjaan. Marilah kita perhatikan uraian Lily Braun, wanita sosialis yang kenamaan itu:
"Eerst toen de veelvuldige arbeid der huisvrouw in toenemende mate door het handwerk en de industrie over-genomen werd, en de vrouw, voorzoover zij als lid der bezittende klasse vrije tijd verkreeg, zich overbodig voelde, de leegte van haar innerlijk en uiterlijk levenbegreep; of als lid der bezitloze klasse gedwongen was haar huiselijke bezigheid met loonarbeid buitenshuis en gescheiden van het geziIi te verwisselen, – werd zij zich haar drukkende toestand bewust.... Terwijl de burgerlijke vrouw den arbeid als den grootsten bevrijder zoekt, is deze voor de proletarische vrouw een middel tot knechtschap geworden; en terwijl het recht op arbeid een der voornaamste menschenrechten is, is de verdoeming tot arbeid een bron van verontzedelijking".
Artinya ialah sebagai yang saya uraikan tadi: penghargaan kerja daripada kaum wanita atasan yang kurang kerja, dan daripada kaum wanita proletar yang diperbudak oleh kerja, adalah berlainan satu sama lain.
Malahan beratnya pekerjaan yang membebani kaum wanita jelata itu menjadi sebab, bahwa masuknya kesedaran dan semangat perjoangan di kalangan mereka, agak terlambat. Beratnya nasib sehari-hari, yang sama sekali tidak mengasih kesempatan kepadanya untuk memikirkan lain hal, melainkan kerja, kerja, dan sekali lagi kerja, – kerja di paberik atau perusahaan, kerja di rumah tangga, kerja sebagai produsen masyarakat dan kerja sebagai produsen rumah tangga, – sebagai yang telah saya uraikan di muka, membuat fikiran mereka menjadi seperti tumpul dan buntu. Mereka tak ada waktu lagi untuk berfikir! Kaum proletar laki-laki sudah lama bangkit semangatnya, sudah lama mengadakan serikat ini dan serikat itu, sudah lama "bergerak", – kaum proletar wanita masih saja tinggal tumpul dan buntu ingatan, tak mengerti aksi fihak laki-laki, malahan ada pula yang tidak setuju atau melarang suaminya bergerak. Pertengkaran suami-isteri sering terjadi, pemogokan-pemogokan kaum buruh laki-laki kadang-kadang dikhianati oleh kaum buruh wanita yang menjadi penggantinya kaum pemogok.
Henriette Roland Holst menggambarkan terlambatnya kesadaran wanita jelata itu sebagai berikut:
"Zeer lang heeft het geduurd, voor die vrouwen, die toch werkten in en voor de maatschappij, iets van de maatschappij begrepenen opstonden tegen het maatschappelijk onrecht. De overmaat hunner ellende maakte hen wel ontvankelijk voor de gedachte van verzet, voor de hoop van een betere toekomst; doch de lange arbeidsdagen, de ontzettende afmatting die haar telkens overviel, en het feit dat ze thuis dadelijk weer moesten beginnen met te zorgen voor het eten, voor de was, voor de kinderen, dat zij nooit tijd en kracht vonden zich rekenschap te geven van hun leven en hun omgeving, – en daarbij de oude gewoonte van geduldig en lijdzaam dragen, dit alles maakte, dat zij slechts na langen, langen tijd konden komen tot aaneensluiting en verzet. Reeds tientallen jaren waren de arbeiders bezig den vak-vereehigingsstrijd en den klassenstrijd te strijden, reeds ver waren die op den weg der bevrijding, reeds groot en machtig waren hun organisaties, en nog hingen de vrouwen als een dood gewicht aan hen, de vrouwen van hun eigen klasse. Ze begrepen den strijd hunner mannen niet, en belemmerden dien vaak, en verzetten zich tegen de offers van tijd en geld die die strijd kostte".
Pokok artinya sama dengan apa yang saya katakan tadi.
Lily Braun juga memberi keterangan yang demikian.
Dengarkan uraiannya:
"De arbeid is voor hen (den arbeider) het eenige beroep; de vrouw is we I gedwongen met hem ademloos den wedloop om de broodwinning aan te gaan, maar zij heeft daarnaast nog zooveel weegs af te leggen, dat zij niet slechts bij hem achterblijft en vroeg gebroken is, maar ook niet den minsten tijd heeft om over haren toestand en de voorwaarden van haren arbeid eenigszins na te. denken. Zij is niet alleen arbeidster geworden, zij bleef huisvrouw. Zij is echter ook moeder. Terwijl de man zich op vergaderingen ontwikkelt, zich met zijn kameraden verstaat, boeken en bladen leest, heeft zij te koken, te naaien, te verstellen, de kill;deren te verzorgen, ze op te voeden en op hen te passen; en om der kinderen wi! wordt zij zelfs vaak een heftige tegenstandster der vereeniging, die contributie van haar eischt welke zij zoo volstrekt noodig heeft voor de bevrediging harer behoeften, die haar zelfs tot staking van den arbeid dwingen kan".
Tetapi lama-kelamaan kesedaran itu toh datang juga. Lama-kelamaan proses industrialisme kapitalis yang "memasya-rakatkan" kaum wanita jelata itu toh memasukkan mereka juga ke dalam alam perjoangan kelas proletar, – wanita bersama-sama dengan laki-laki -, dan bukan alam perjoangan burgerlijk, yakni wanita menentang laki-laki. "De burgerlijke vijandschap tegen den man vond haar tegenstelling in de proletarische broeder-schap met den man", demikianlah Henriette Roland Holst berkata.
Oleh karena itu, maka pergerakan wanita jelata ini lantas menjadi satu bagian kekal daripada pergerakan sosialis seumumnya. Jalan-jalan apakah dilalui oleh pergerakan sosialis itu untuk mencapai maksudnya, jaitu masyarakat sosialis?
Jalan itu ada tiga: a. Aksi serikat sekerja. b. Aksi koperasi. c. Aksi partai politik.
Mula-mula, maka kaum buruh laki-laki sendiri di dalam serikat sekerja, koperasi dan partai politik itu tidak senang menerima wanita sebagai anggauta. Bukan saja mereka masih dihinggapi faham kuno bahwa wanita itu tidak cakap buat ini atau itu, yaitu masih dihinggapi prasangka, tetapi terutama sekali buat serikat sekerja adalah sebab lain yang penting: Di dalam paberik, di dalam perusahaan, buruh wanita merupakan satu golongan yang kwalitas pekerjaannya kurang baik, dus satu golongan yang rendah upahnya. Manakala wanita itu diizinkan masuk serikat sekerja, maka kaum laki-laki mengira bahwa hal itu akan berakibat merosotnya upah seumumnya. Tidakkah di dalam perusahaan-perusahaan yang jumlah buruh wanitanya lebih besar daripada jumlah buruh laki-laki, garis upah (loonpeil) selalu mengarah kepada upah wanita yang rendah? Maka oleh karena itu, sedapat mungkin wanita ditolak menjadi anggauta serikat sekerja. Mereka dianggap satu saingan yang tidak baik. Mereka merusak pasar.
Begitu pula di dalam kalangan partai politik. Partai politik menghendaki anggota-anggota yang sedar dan ulet.
Ia menghendaki "penyaringan"; ia menghendaki seleksi. Sedangkan perempuan dianggap kurang cerdas, kurang sedar, kurang ulet, kurang mampu berfikir secara prinsipiil, kurang tenang, mudah terpengaruh oleh sentimen, mudah mendatangkan kekacauan dan keributan!
Tetapi akhirnya, lama-kelamaan datang pula perobahan dalam kekolotan kaum laki-laki ini. Terutama sekali kalangan serikat-sekerja kaum laki-laki itu mulai mengerti, bahwa justru kalau wanita itu tidak dididik dalam semangat pergerakan dan tidak diajak serta dalam pergerakan, mereka akan tetap menjadi ancaman memerosotkan upah. Jangan tinggalkan kaum perempuan! Justru kalau ditinggalkan, mereka karena kebodohannya akan selalu bersedia menjadi pangganti buruh laki-laki dengan upah yang lebih rendah, – menjadi "onderkruipster" kalau buruh laki-laki mengadakan pemogokan. Justru kalau sang isteri tidak dibawa dalam kesedaran, maka ia akan selalu mengomel kalau sang suami malam-malam pergi ke rapat atau ke pekerjaan partai, menggerutu kalau dari uang belanya diambil sebagian kecil buat membayar kontribusi atau abonemen koran. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman ekonomis yang datang dari rendahnya upah wanita, dan ancaman psikhologis dalam perhubungan suami isteri, ialah menyadarkan wanita itu tentang gunanya perjoangan, dan membawa mereka serta di dalam perjoangan.
Dan wanitapun segera sedar. Kesedaran inilah yang membuat dunia manusia pada silamnya abad kesembilanbelas mengalamkan satu pergerakan laki perempuan yang hebat, sebagai yang belum dialamkannya dalam seluruh sejarahnya yang terdahulu. Kesedaran inilah yang membawa "soal-wanita" itu ke atas satu tingkat yang lebih tinggi, satu tingkat yang mengenai soal masyarakat seumumnya, yang tidak hanya memfikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita saja, tetapi memikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang berbahagia seluruhnya. Kesedaran ini membuat wanita berjoang tidak sebagai sekse, tetapi sebagai satu bagian daripada satu kelas.
Di dalam salah satu kongresnya, yaitu di Gotha 1896, maka pergerakan sosialis itu menerima baik resolusi yang mengenai nasib wanita, sebagai berikut:
"Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, – hanya saja lebih hebat dari dia -, dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjoangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjoangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjoangan bersama–sama kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. Tujuan yang dekat daripada perjoangan ini ialah menghambat dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan penjelmaan-nya satu pergaulan hidup sosialistis".
Demikianlah bunyi resolusi Kongres di Gotha 1896. Itu tidak berarti, bahwa kongres-kongres sosialis yang terdahulu tidak membicarakan soal wanita. Tidak. Malah di dalam Kong-res di Eisenach; di dalam tahun 1869, soal itu dibicarakan pula. Tetapi kejernihan faham, kejernihan analise, pada kongres-kongres yang terdahulu itu behun terdapat. Boleh dikatakan kejernihan itu barulah tumbuh sesudah terbit kitab August Bebel: " Die Frauundder Sozialismus " , – "Wanita dan Sosialisme". Kitab ini saya anggap salah satu kitab soal wanita yang fundamentil. Tetapi alangkah banyaknya dulu rintangan-rintangan yang menghalangi tersebarnya kitab ini! Bebel menerbitkan kitabnya itu dalam tahun 1879, setahun sesudah Graf Otto von Bismarck, perdana menteri Jerman, mengeluarkan Undang-undang Sosialis yang amat zalim. Undang-undang Sosialis ini melarang semua perserikatan-perserikatan sosialis, melarang rapat-rapatnya, membungkem propagandis-propagandisnya, membeslah kitab-kitab dan majalah-majalahnya. Sudah barang tentu kitab Bebel itu tak mungkin dibaca terang-terangan di Jermania.
Tetapi pergerakan sosialis di bawah tanah adalah demikian hebatnya, sehingga kitab Bebel yang tebal itu selama ada Undang-undang Sosialis mengalami cetakan ... 8 kali? Dan berkat aksi di bawah tanah yang semakin menghebat itu, yang membuat Undang-undang Sosialis menjadi secarik kertas saja, maka akhirnya di dalam tahun 1890 wet itu ditarik kembali. Baru sesudah itu, pergerakan kaum proletar di Jermania dapat beraksi lagi terang-terangan, berserikat, bersidang, berkonferensi, berkongres. Di dalam Kongresnya di Gotha tadi itulah diambil resolusi tentang soal wanita yang definitif.
Alangkah pentingnya kitab August Bebel itu! Di dalam tahun 1902 ia telah mengalami cetakan yang ke 25 di Jermania, di dalam tahun 1906 cetakan yang ke 40! Saya tidak mengetahui cetakan yang keberapa ia capai sampai saat Hitler bersimaha-rajalela di Jermania. Hitler sudah tentu memasukkan kitab Bebel itu di dalam indeksnya. Bukan saja semua kitab sosialis harus dilarang, dibakar, dibasmi, tetapi Hitler menentang keras cita-cita pengangkatan derajat wanita. Wanita gila yang menghendaki emansipasi, apa lagi menghendaki masyarakat sosialis! Wanita harus tinggal di rumah tangga! Wanita hanya baik buat " empat K " , yaitu – Kirche, Kiiche, Kinder, Kleider! Artinya: wanita hanya baik buat Gereja, Dapur, Anak-anak, dan Pakaian! Goering berkata: "Tempat wanita ialah di rumah. Kewajiban wanita ialah memberi hiburan kepada laki-laki yang pulang dari perjoangan". Dan Goebbels menegaskan: "Kewajiban wanita ialah mencantikkan diri dan beranak" ... Memang kalau orang menanya kepada saya: Apakah perbedaan yang terbesar antara" sosialisme dan fascisme? Maka saya menjawab: Perbedaan terbesar antara sosialisme dan fascisme ialah hal wanita.
Di luar Jermania kitab Bebel itu sangat asyik dibaca orang. Ia disalin dalam lebih daripada sepuluh bahasa. Sebab kecuali mengupas soal wanita dengan cara yang mengagumkan, Bebel adalah salah seorang pemimpin kaum buruh internasional yang amat besar. Ia adalah salah seorang jenderal perjoangan proletar, jenderal yang ulung, sederajat setingkat dengan Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, dan pemimpin lain-lain. Suaranya diperhatikan orang di rapat-rapat raksasa, di konferensi-konferensi partai, di Reichtstag, di kongres-kongres internasional. Bagi wanita sosialis ia adalah maha guru, maha pendekar. Ia adalah salah seorang pemimpin kaum buruh yang pertama-tama membuktikan perlunya kaum wanita diajak ikut serta dalam pergerakan, dan itu pada waktu pemimpin-pemimpin laki-laki umumnya masih belum mufakat dengan faham itu. Ialah yang pertama-tama membawa soal wanita itu ke lapangan ilmu pengetahuan, serta menghubungkan soal wanita itu kepada soal masyarakat seumumnya. Ia membuktikan, bahwa soal wanita bukanlah soal sekse, tetapi soal sosial. Satu problem sosial! Soal wanita bukanlah soal "wanita karena wanita", tetapi soalnya wanita dalam proses pertumbuhan masyarakat. Soal. wanita tidak dapat dipecahkan, bila tidak dipecahkan soal masyarakat seluruhnya. Soal wanita itu jadi bukan soal kaum wanita sendiri saja, tetapi juga soalnya kaum laki-laki pula, – soalnya seluruh kemanusiaan.
Dengan bukti-bukti yang ia ambil dari sejarah evolusi kemanusiaan yang telah ribuan tahun, dan angka-angka statistik yang terang, ditunjukkan olehnya, bahwa corak segala anggapan-anggapan dan perlakuan-perlakuan terhadap wanita, sepanjang masa adalah akibat daripada kedudukan wanita dalam proses produksi. Penting kedudukan wanita dalam proses produksi, – tinggilah penghargaan orang kepadanya; tidak penting keduduk-an wanita dalam proses produksi, – rendahlah penghargaan orang kepadanya. "Soal wanita" bertalian erat dengan "soal sosial"; wanita tak mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka.
Dan wanita hanyalah ekonomis merdeka, di dalam pergaulan hidup yang sosialistis.
Sesudah Undang-undang sosialis dihapuskan, dalam tahun 1890, pergerakan wanita jelata di Jermania berjalan pesat. En toh sebenarnya belum semua rintangan terangkat! Sebab kendatipun undang-undang sosialis telah hapus, masih banyaklah negara-negara di Jermania yang masih melarang orang perempuan campur tangan dalam politik. Larangan-larangan ini harus digempur lebih dahulu. Di dalam tahun 1891 di tiap-tiap kota di Jermania didirikan oleh kaum wanita "komisi-komisi penyedar", – komisi-komisi agitasi -, yang pekerjaannya ialah menyemangatkan kaum wanita untuk berjoang. Di dalam tahun itu juga diterbitkan majalah "Die Arbeiterin" di bawah pimpinan Emma Ihrer, yang kemudian diteruskan oleh Clara Zetkin dengan nama baru "Die Gleischheit".
Sangat giatlah komisi-komisi penyedar itu, dan hebat pula propaganda di dalam "Die Gleichheit". Tetapi hebat pula reaksi dari fihak pemerintah. Sebab fihak pemerintah itu mengerti, bahwa kini pergerakan kaum buruh itu, dengan ikut sertanya kaum wanita, benar-benar berpusat dalam jantungnya massa. Dulu faham-faham revolusioner hanyalah berputar dalam otak kaum buruh laki-laki saja, di dalam rapat-rapat, di dalam lepau-lepau minuman keras, di dalam dok-dok dan bengkel-bengkel. Tetapi kini faham-faham yang berbahaya itu berhinggap pula dalam otaknya kaum wanita, masuk di dalam rumah tangga, bersemayam di dalam jantungnya somah, bersarang di dalam jantungnya keluarga! Di dalam tahun 1895 pemerintah membubarkan semua komisi-komisi penyedar itu, pemimpin-pemimpinnya ditangkap, diseret dimuka hakim dilemparkan ke dalam penjara. Tetapi bukan matinya pergerakan wanita jelata yang ia capai, melainkan justru tambah berkobar-nya pergerakan kaum buruh seluruhnya. Agitasi menyala-nyala. Di mana-mana diadakan protest meeting, menuntut perluasan hak bersidang dan berserikat.
Terutama sekali tuntutan hak pemilihan bagi wanita didengungkan di semua pelosok. Sebab perjoangan mengejar sosialisme mengharuskan tuntutan kepada hak-hak politik, yakni hak bersidang dan berserikat dan hak perwakilan. Sebab serikat sekerja, koperasi, partai politik, tiga jalan serangkai di dalam perjoangan mengejar sosialisme yang saya sebutkan di muka tadi, tidak mungkin jika tiada organisasi. Tetapi organisasi tidak mungkin jika tiada hak bersidang dan berserikat, hak bersidang dan berserikat tidak mungkin jika tiada perluasan wet–wet yang masih sempit, perluasan wet-wet yang masih sempit tidak mungkin jika tiada perjoangan dalam Reichstag atau parlemen, perjoangan dalam Reichstag atau parlemen tidak mungkin jika tiada hak perwakilan yang sempurna. Karena itulah hak-hak politik diperlukan. Tetapi bukan untuk memungkinkan organisasi saja, maka hak-hak politik diperlukan!
Juga semua tuntutan-tuntutan wanita yang lain-lain, sepertinya tuntuan bekerja 8 jam sehari dengan mendapat perei pada hari Sabtu petang dan hari Minggu, tuntutan pengurangan jam bekerja pada waktu hamil dan beberapa hari perei pada waktu bersalin, tuntutan jaminan bagi wanita yang mengandung dan lain-lain sebagainya lagi, – tuntutan-tuntutan itu tak mungkin dikemukakan dengan leluasa, selama hak-hak politik belum leluasa pula. Maka oleh karena itulah pergerakan wanita tingkat ketiga ini sangat giat pula menuntut hak pemilihan, – tidak kalah giatnya dengan kaum feminis atau suffragette, malahan barangkali lebih berkobar-kobar semangatnya, lebih tandes dan sengit desakannya, lebih ridla berkorbannya. Perbedaannya dengan kaum feminis dan suffragette ialah, bahwa kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan yang terakhir, sedang wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata-mata di dalam perjoangan menuju pergaulan hidup baru yang berke-sejahteraan sosial.
Alangkah bagusnya kesedaran politik mereka pada waktu itu! Sendiri mereka belum mendapat hak pemilihan, sendiri mereka belum boleh ikut memilih anggota-anggota parlemen, tetapi mereka selalu ikut membantu menghebatkan tiap-tiap kampanye pemilihan dari kawan-kawannya yang laki-laki. Dalam tiap-tiap rapat pemilihan mereka ikut berpidato, dalam tiap-tiap sidang mereka menganjurkan kepada hadlirin dengan semangat yang menyala-nyala, supaya rakyat jelata jangan memilih kandidat-kandidat lain melainkan kandidat-kandidat sosialis. Sebab mereka mengerti, kandidat-kandidat sosialis itu akan membela cita-cita mereka pula; tambahnya jumlah anggota sosialis di dalam parlemen akan menyegerakan terkabulnya tuntutan-tuntutan politik wanita pula. Pemimpin-pemimpin wanita sosialis sebagai Louise Zietz, Rosa Luxemburg, Emma Ihrer, pada waktu kampanye pemilihan yang demikian itu, berpidatolah tiap-tiap hari beberapa kali, pergi dari satu kota ke kota lain, dari satu gedung rapat ke gedung lain. Dan tiap-tiap nomor majalah "Die Gleichheit" memuat artikel Clara Zetkin yang membantu keras pula kepada kampanye pemilihan itu.
Maka hasilnya kampanye-kampanye itu, selalu amat memuaskan. Jumlah anggota sosialis dalam parlemen selalu naik, selalu bertambah. Crescendo! Jumlah anggota sosialis dalam tahun 1903, bertambah dalam kampanye pemilihan tahun 1907. Jumlah anggota sosialis 1907, bertambah dalam kampanye 1912. Di dalam tahun 1912 itu, 110 kursi parlemen dapat direbut oleh wakil-wakil kaum proletar! Dan itu semua berkat bantuannya kaum wanita. Mengenai kemenangan tahun 1912 itu, Louise Zietz menulis, bahwa dalam kampanye tahun itu tidak kurang dari 50 orang agitator wanita tiap-tiap hari tidak berhenti-henti berpidato di dalam rapat-rapat, dan bahwa puluhan ribu wanita pula ikut serta dalam pekerjaan lain seperti menyiarkan surat-surat sebaran, memanggil orang-orang, mengorganisir gerombolan-gerombolan penyemangat, menjaga keamanan, dsb.
Sebaliknya, kaum laki-lakipun membantu keras kepada tuntutan-tuntutan wanita. Di dalam Kongres Sosialis Inter-nasional di Amsterdam tahun 1904, diterima dengan hampir suara bulat satu resolusi yang berbunyi:
"Bij den strijd, welke het proletariaat voor de verovering van het algemeen, gelijk, geheim en direct kiesrecht in staat en gemeente voert, moeten de socialistische partijen het vrouwenkiesrecht in de wetgevende lichamen voorstaan, in de propaganda principieel vasthouden, en er met allen nadruk voor opkomen".
Artinya: "Di dalam perjoangan kaum proletar buat merebut hak pemilihan yang umum sama rata, rahasia dan langsung, dalam negara dan haminte, maka partai-partai sosialis harus menyetujui hak pemilihan bagi wanita dalam badan-badan pembuat Undang-undang, harus memegang teguh secara prinsipiil kepadanya di dalam propaganda yang dijalankan, dan harus menuntutnya dengan sekuat-kuat tenaga".
Maka sejak itu, adalah "saling pengaruh-mempengaruhi", yang prinsipiil dan erat sekali antara "pergerakan laki-laki" dan "pergerakan wanita", yang memang sebenarnya bukan dua pergerakan yang terpisah satu sama lain.
Dua pergerakan itu adalah dua anggota dari satu badan, dua suara dari satu nyanyian, dua gelombang dari satu samodra. Satu keyakinan, satu faham, satu ideologi, satu bezieling menduduki jiwa mereka, membakar jiwa mereka. Misalnya aksi untuk menuntut hak perwakilan wanita di dalam permulaan tahun 1906 adalah satu aksi hebat yang dikerjakan oleh laki-laki-perempuan dalam satu simfoni yang sesempurna-sempurnanya. Seluruh pers sosialis tiap-tiap hari, tiap-tiap nomor, memuat artikel-artikel yang bersemangat menuntut hak perwakilan wanita itu, di dalam tiap-tiap rapat sosialis berpidatolah dengan cara yang berapi-api baik pemimpin-pemimpin laki-laki maupun pemimpin-pemimpin wanita, menuntut hak wanita itu. Louise Zietz mengatakan tentang aksi ini, bahwa "beliau pernah sebelum itu di Jermania ada satu perjoangan bersama yang dengan demikian giatnya dan dengan demikian bersemangatnya menuntut hak-hak politik bagi kaum wanita". Ratusan rapat biasa diadakan, puluhan demonstrasi-demonstrasi raksasa diselenggarakan. August Bebel, kampiun wanita yang ulung itu, mendengung-dengungkan suaranya di Reichstag. Tetapi kaum reaksi dalam rijksdag itu semuanya menentang. Usul-usul Bebel jatuh, tak memperoleh suara yang terbanyak. Tetapi tidak jatuhlah akibatnya agitasi umum yang menuntut hak perwakilan wanita itu. Di dalam bulan Desember 1906 Reichstag tua bubar, tetapi di dalam aksi pemilihan dalam bulan Januari 1907 buat Reichstag baru, kaum laki-laki rakyat jelata serta wanitanya telah bersiap lagi, bercancut taliwanda lagi, dan berhasil merebut tambahan jumlah kursi yang tidak sedikit!
Kepesatan kesedaran wanita yang saya gambarkan di muka ini, mengenai Jermania, yang memang sarangnya pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki-perempuan yang ulung-ulung. Dan saya memang mengambil Jermania sebagai contoh, oleh karena pergerakan sosialis di sana itu dulu sering diambil sebagai "model" bagi pergerakan-pergerakan sosialis di negeri lain. Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa manakala pergerakan di Jermania berkobar-kobar, di negeri-negeri lain ia dingin atau beku. Jauh daripada itu! Misalnya api pergerakan proletar di Rusia kadang-kadang menyala-nyala menyundul langit. Api revolusi di Rusia dalam tahun 1905 bukan membakar hati kaum proletar di sana saja, – api itu cahayanya menyinari juga pergerakan sosialis di seluruh Eropa, membuat pergerakan sosialis di seluruh Eropa itu menjadi bertambah revolusioner dan bertambah prinsipiil, memperkuat tekad di dalam hati proletar internasional, bukan saja kaum proletar laki-laki tetapi juga kaum proletar wanita.
Malah dengan pasti dapat dikatakan, bahwa kehebatan aksi proletar di Jermania dalam tahun 1906 dan 1907 sebagai saya gambarkan tadi itu, adalah buat sebagian akibat daripada ledakan semangat Rusia di dalam tahun 1905
Sejak 1905 itu di semua negeri Eropa terjadi bertambahnya semangat wanita. Apakah yang lebih logis, lebih "semestinya", daripada menggabungkan pergerakan-pergerakan wanita sosialis yang tersebar di negeri-negeri Eropa itu, dan yang kini masing-masing sedang bertambah elannya, menjadi satu aksi yang besar-besaran? Tidakkah pergerakan sosialis sendiri berdasar internasional, tidakkah selalu diadakan kontak dan pekerjaan bersama satu sama lain, tidakkah tiap-tiap tahun diadakan Kongres Sosialis Interriasional di tempat berganti-ganti? Maka pergerakan wanita tingkat ketiga inipun segera mengadakan gabungan internasional yang demikian itu.
Clara Zetkin; -"ibu cesar" daripada pergerakan proletar sedunia -, mengambil inisiatifnya. Olehnya didirikan "Kongres Wanita Internasional". Mula-mula di Stuttgart 1907; kemudian di Kopenhagen 1910. Utusan-utusan wanita dari Jermania, dari Inggeris, dari Austria, dari Perancis, dari Belgia, dari Swis, dari Halla, dari Swedia, dari Norwegia, dari Finlandia, dari Bohemia, dari Estlandia dan dari Belanda datang berkumpul di Stuttgart itu. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan pidato-pidato yang hebat dan teoretis prinsipiil, yang menjadi sendinya resolusi yang berikut:
"Kongres menyambut dengan kegembiraan yang besar konferensi wanita internasional yang pertama, dan menyatakan setuju dengan pendapatnya tentang hak pemilihan bagi wanita. Partai-partai sosialis dari semua negeri wajib berjoang dengan giat untuk adanya hak pemilihan bagi wanita itu ... Kongres mengakui, bahwa ia tidak dapat menentukan satu waktu yang pasti bagi sesuatu negeri, buat mengadakan gerakan hak pemilihan itu. Tetapi ia menyatakan, bahwa jika gerakan yang demikian itu diadakan di sesuatu negeri, maka gerakan itu harus mutlak dijalankan di atas dasar perjoangan sosialistis, artinya – buat menuntut hak pemilihim umum bagi laki-laki dan perempuan".
Dengan ini, maka datanglah periode baru bagi pergerakan wanita tingkat ketiga. Kini ia bukan lagi pergerakan wanita di beberapa negeri yang organisatoris terpisah satu sama lain, kini ia telah menjadi satu organisasi internasional, yang dipimpin dari satu pusat. Clara Zetkin duduk dalam pusat itu, dan "Die Gleichheit" menjadi terompet internasional. Clara Zetkin pula yang di dalam Kongres Wanita Internasional ke 2, di Kopenhagen 1910, menganjurkan adanya Hari Wanita Internasional buat hak Pemilihan yang maksudnya ialah bahwa pada tiap-tiap tahun, di tiap-tiap negeri, di tiap-tiap kota besar, pada hari yang telah ditentukan itu serempak diadakan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran untuk menuntut hak perwakilan wanita. Di Berlin 1911, hari-wanita internasional itu menjadi satu demonstrasi besar yang maha hebat. Tidak mengherankan! Sebab Berlin adalah kota milyunan, dan Berlin adalah kotanya Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Kiithe Duncker, dan lain-lain kampiun wanita lagi! Pengetahuan mereka, ketangkasan mereka, kedinamisan mereka, keberanian mereka, keuletan mereka, dan terutama sekali kecakapan organisatoris mereka, tidak kalah dengan gembong-gembong pemimpin laki-laki. Manakala nama-nama August Bebel, Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Junes Guesde, Karl Kautsky, Wladimir Iliitsch Lenin disebut orang dengan hormat dan kagum di dunia internasional, maka nama-nama pemimpin wanita yang saya sebutkan di muka tadipun disebut orang dengan kagum di dunia internasional. Belum pernah pergerakan politik wanita (juga tidak pergerakan feminis) mempunyai bintang-bintang pemimpin sebagai pergerakan tingkat ketiga di dalam periode yang saya ceriterakan ini. Dan bintang-bintang ini bukan saja memimpin golongan dalam bangsanya sendiri serta di negerinya sendiri, mereka juga selalu pergi ke sana-sini memimpin wanita jelata di berpuluh-puluh negara. Mereka adalah pemimpin-pemimpin di atas gelanggang internasional, dengan pengaruh internasional, nama inter-nasional, kemasyhuran intenasional. Terutama sekali bilamana diadakan Kongres-Kongres Internasional atau Hari-Hari Wanita Internasional, maka udara politik di seluruh Eropa menggeletar dengan suara mereka, nama mereka dicetak dengan aksara besar di surat-surat khabar dari London sampai ke Petersburg.
Sudah saya sebutkan buat Jermania saja nama-nama Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Emma Ihrer dan Kathe Duncker, maka di angkasa Austria cemerlanglah bintangnya Adelheid Popp, Therese Schlesinger dan Emmy Freutldlich, di angkasa Italia bintang Anna Kulishoff, Angelica Balabanoff, di angkasa negeri-negeri Skandinavia bintang Margaretha Strom, Kata Delstrom, Nina Bang, di angkasa Finlandia bintang Hilja Parsinnen, di angkasa Inggeris bintang Dora Montefiore dan Margaret Bondfield, di angkasa Rusia bintang Vera Figner, Vera Sassulitsch, Alexandra Kollontay, Nadeshda Krupskaya dan Katharina Brechkofskaya, di angkasa negeri Belanda bintang Henriette Roland Holst –van der Schalk.
Di bawah pimpinan mereka ini, kesedaran kaum wanita jelata menjadilah kesedaran yang begitu prinsipiil, begitu radikal, sehingga dari fihak pemimpin laki-laki sosialis sendiri (yang reformistis) kadang-kadang terdengar suara yang khawatir kalau-kalau radikalisme wanita itu nanti merugikan kepada keselamatan partai. Demikian suara Scheidemann di Jermania, demikian suara Plechanov di Rusia, demikian suara Troelstra di negeri Belanda. Tetapi pemimpin-pemimpin laki-laki ini lupa, bahwa wanita itu, yang di dalam perjoangannya tidak mengenal tuntutan-tuntutan kecil reformistis yang mengenai hal-hal sehari-hari sepertinya urusan pajak atau urusan rumah sakit buruh, tetapi hanya mengenal urusan besar, yakni hendak merobah anggapan–kolot yang telah berurat-berakar ratusan tahun, tidak boleh tidak mesti berfikir dan bertindak prinsipiil dan radikal, mesti berjiwa prinsipiil dan radikal!
Bagaimana juga, tidak dapat dimungkiri, bahwa misalnya hasil besar yang dicapai dalam kampanye pemilihan tahun 1912 yang dapat merebut 110 kursi Reichstag itu, buat sebagian yang tidak kecil ialah karena bantuannya kaum wanita. Dan oleh karena itu, tidak mengherankan juga, bahwa kaum wanita itu selalu memperingatkan kepada kaum laki-laki, kadang-kadang mengeritik pedas kepada kaum laki-laki, supaya mereka jangan menyimpang sedikitpun dari jalan yang prinsipiil, tetapi hendak-nya lebih tegas, lebih keras, lebih tandas, lebih mutlak menuntut hak pemilihan umum bagi wanita.
Ya, kemenangan-kemenangan memang kadang-kadang membuat semangat menjadi "puas" dan lantas menjadi kendor. Kita sering melihat di dalam sejarah perjoangan partai-partai, bahwa partai-partai yang tadinya sengit dan radikal, sesudah mendapat kedudukan kuat dalam parlemen, lantas "melempem", lantas kurang prinsipill dan kurang radikal. Demikianlah misal-nya dengan S.D.A.P. di negeri Belanda, dan S.P.D. di Jermania. S.D.A.P. yang masih kecil, berlipat-lipat ganda radikalnya dari-pada S.D.A.P. yang menguasai seperempat parlemen. Dulu S.P.D. hebat jiwanya dan berkobar-kobar semangatnya, dulu ia berjoang dengan idealisme yang berseri-seri, tetapi sesudah ia dalam tahun 1912 dapat merebut kursi 110 di dalam Reichstag (dengan bantuan wanita!), maka ia mulai menjadi "puas".
Penyakit kemelempeman menjangkit kepadanya, kuman-kuman kelemahan batin masuk dalam tubuhnya dengan berangsur-angsur.
Pada permulaan tahun 1914, Rosa Luxemburg dengan ketajaman otaknya yang luar biasa itu telah meramalkan, bahwa tidak lama lagi niscaya akan pecah peperangan dunia yang maha dahsyat, dan bahwa partai buruh Jermania, karena telah terjangkit penyakit kelemahan batin, kemelempeman, reformisme, oportunisme, posibilisme, dsb. niscaya akan pecah berantakan dalam peperangan itu. Alangkah tepatnya ramalan Rosa Luxemburg, pemimpin wanita itu! Sebagai angin prahara yang mengamuk, sebagai taufan badai yang maha dahsyat, benar-benar datanglah peperangan dunia itu dalam bulan Agustus 1914, dan benar-benar juga terpecah-belah berantakan-lah partai sosialis Jermania, sebagai satu partai yang tak tahan uji! Sebagian besar dari anggota-anggotanya mengkhianati ideologi-nya yang sediakala, dan mengamini saja ucapan-ucapan fihak reaksioner yang menyetujui dan menyokong peperangan itu. Hanya satu bagian kecil saja tetap berpendirian prinsipiil dengan tidak mau membenarkan dan tidak mau memberi bantuan kepada peperangan imperialistis itu. Bagian yang tersebut belakangan ini memisahkan diri dari partai; mereka ada yang mendirikan partai baru yang bernama U.S.P.D., dan ada yang masuk dalam barisan satu partai baru yang lain pula, yang bernama Spartakusbund.
Dan kaum wanita? Alangkah sulitnya kedudukan pergerakan wanita dalam taufan prahara peperangan itu! Keadaan bahaya, keadaan dalam masa perang, dengan sekaligus menghentikan kegiatan terbuka daripada aksi hak pemilihan, dan perhubungan internasional yang dipeliharanya sejak tahun 1907 itu boleh dikatakan menjadi terputus sama sekali. Meskipun Clara Zetkin dengan keberanian yang amat besar bekerja bagaimana juga kerasnya, supaya dengan jalan majalah "Die Gleichheit" perhubungan internasional tetap terpelihara sedapat mungkin, maka kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sering sekali tak dapat dikalahkan. Hanya semangat dan keyakinan – hanya hati – dapat tetap terpelihara di dalam lingkungan yang dapat dicapai oleh Die Gleichheit itu. Kaum laki-laki Jermania sebagian besar menjadi mabuk peperangan, kaum sosialis Jermania pun sebagian besar menyetujui anggaran belanya peperangan, tetapi kaum wanita jelata, dengan Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg sebagai pemuka-pemukanya, tetap setia kepada pendirian prinsipiil yang semula-mula; peperangan ini adalah kapitalisme, kapitalisme adalah peperangan. Khianat kepada sosialisme, siapa yang menyetujui peperangan ini!
Dan bukan saja mereka tidak menyetujui peperangan 1914 -1918 yang imperialistis itu. Dengan macam-macam jalan, mereka juga menyelundupi keadaan dalam masa perang itu, menjalankan aksi rahasia menentang peperangan, menentang kemabukan yang mengorbankan persaudaraan proletar interna-sional kepada kepentingan kaum kapitalis dan imperialis. Dan di dalam aksi menentang peperangan dan kemabukan peperangan itu, maka tak lupa pula tetap menyalakan obor tuntutan hak pemilihan! Die Gleichheit terus-menerus mereka terbitkan, terus-menerus mereka kirimkan ke segala pelosok di mana dapat. Tetapi alangkah besarnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, alangkah sempitnya kemungkinan-kemungkinan yang masih terbuka! Sensur amat keras, perkhabaran-perkhabaran dari koresponden-korespondennya banyak sekali yang ditahan, nomor-nomor yang telah siap tercetak kadang-kadang dibeslah oleh militer sebelum dapat disiarkan. Dan sebagai puncak dari semua kesulitan wanita ini, pada permulaan tahun 1917 Clara Zetkin dilepas sebagai redaktrise Die Gleichheit. Sebab, Die Gleichheit adalah miliknya S.P.D. Dan S.P.D. adalah pro peperangan; dan Clara Zetkin sudah keluar dari S.P.D. dan anti peperangan; dus tak layak dia tetap mengemudikan Die Gleichheit!
Tetapi Clara Zetkin tidak lantas memangku tangan. Permulaan tahun 1917 ia kehilangan Die Gleichheit, Juni 1917 ia telah muncul lagi di dalam "lembaran wanita" daripada surat-khabar Leipziger Volkszeitung. Di sini ia meneruskan propa-gandanya buat sosialisme dan hak perwakilan wanita. Dan di sini pun ia tetap setia kepada azas, tetap prinsipiil, tetap radikal. Di sini ia tetap melawan faham-faham yang menyimpang, faham-faham yang "nyeleweng", seperti misalnya faham Dr. Quark dari S.P.D., yang menganjurkan supaya wanita jelata dalam aksinya mengejar hak perwakilan bekerja bersama-sama dengan kaum feminis. Bagaimana dapat bekerja bersama-sama dengan kaum feminis, demikianlah Clara Zetkin, kalau dasarnya, azasnya aksi hak pemilihan wanita jelata dan aksi hak pemilihan feminis bertentangan satu sama lain? Kaum feminis menuntut hak pemilihan buat kelasnya. Mereka menuntut hak pemilihan itu supaya kelasnya bertambah kursinya di dalam parlemen, bertambah kuat di dalam parlemen, untuk menentang aksi kaum proletar yang makin lama makin mendesak. Bekerja bersama-sama dengan kaum feminis, berarti memperkuat kedudukan musuh yang hendak menikam dada kita sendiri.
Ya, alangkah telah melempemnya partai sosialis Jermania diwaktu itu! Sehingga pun pada waktu pemerintah Kaisar telah ambruk dalam bulan Nopember 1918, pada waktu Wilhelm telah lari ke negeri Belanda, pada waktu "Revolusi Weimar" telah berhasil, dan pemerintahan telah jatuh ke dalam tangannya sosialis-sosialis tua, dibantu dengan tenaga beberapa pemimpin borjuis, – sehingga pun pada waktu sosialis-sosialis ini telah memegang tampuk pimpinan pemerintahan, mereka masih saja ragu-ragu mengizinkan adanya hak perwakilan wanita yang leluasa. Momok radikalisme wanita, momok keprinsipiilan wanita yang ditakuti oleh Scheidemann itu, rupanya ditakuti pula oleh sebagian besar daripada sosialis-sosialis tua yang kini duduk di kursi pemerintahan.
Tetapi kawan-kawan yang setia kepada pendirian semula, tidak tinggal diam. Mereka mendesak kepada pemerintah supaya mereka dibawa serta di dalam pemerintah itu. Akhirnya kaum tua itu tak tahan lagi menentangnya. Beberapa pemimpin U.S.P.D. dimasukkan dalam kementerian. Dan dengan ini, hak perwakilan umum bagi wanita – goal! Semua wanita Jerman, asal saja sudah umur 20 tahun, tidak perduli kaya atau miskin, tidak perduli tua atau muda, tidak perduli terpelajar atau tidak, boleh memilih dan dipilih untuk parlemen atau dewan haminte. Semua wanita Jerman mulai umur 20 tahun sejak itu mempunyai hak pemilihan umum, aktif dan pasif. Perjoangan yang berpuluh-puluh tahun, kegiatan yang tak putus-putus, keuletan dalam penderitaan yang tak berhenti-henti, kesetiaan pada ideologi yang tak mengenal reformisme, akhirnya mencapai kemenangan yang gilang-gemilang! ...
Kemenangan mencapai hak pemilihan. Belum kemenangan dalam segala tujuan! Sebab sedari mulanya telah difahami oleh wanita-wanita gemblengan ini, bahwa hak pemilihan itu bukan tujuan yang terakhir, melainkan hanya salah satu alat perjoangan belaka untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni sosialisme. Dan alat perjoangan inipun kelak akan dirampas lagi dari tangannya wanita jelata oleh Hitler, – cakrawarti Jermania yang memerintah dengan cambuk dan konsentrasi kamp, yang tidak mau tahu kepada hak pemilihan apapun juga, tidak buat wanita. Yang memandang wanita hanya dari sudut keisterian dan keibuan saja, dan mengguntur mengenyahkan mereka itu dari lapangan politik dan kemasyarakatan, dan meransel mereka itu kembali ke alam Kirche, Kiirche, Kleider, Kinder! ...
Dan di dalam limabelas tahun, antara tercapainya hak pemilihan dan berkuasanya Hitler itu, di dalam limabelas tahun persamaan hak politik dengan laki-laki itu, mereka mendapat buktinya kebenaran yang memang selalu menjadi keyakinan mereka dari tadinya – yaitu, bahwa persamaan hak dengan laki–laki, belum berarti kebahagiaan sosial yang sempurna.
Masih saja penderitaan menjalar. Masih saja kemiskinan bersemayam di rumah-rumah tangga. Masih saja persundalan bercabul. Masih saja pengang-guran merajalela. Masih saja jalan-jalan penuh dengan pengemis wanita. Masih saja wanita yang pulang dari kerja di paberik dan telah seperti remuk badan itu, di rumah terpaksa lagi membanting-tulang buat suami dan anak. Masih saja ia tak dapat dengan bahagia menjalankan dharma Cinta dan dharma Keibuan. Masih saja jiwanya menderita "scheur", menderita "retak"...
Di dalam limabelas tahun praktek hak pemilihan itu, mereka mendapat pula pelajaran "praktek Sekolah Hidup", bahwa persamaan hak dengan laki-laki itu tidak mampu memecahkan soal-soal hidup wanita sampai keakar-akarnya, kalau tidak dibarengi dengan perobahan sama sekali daripada susunan masyarakat yang sekarang.
Terutama sekali di Jermania sesudah peperangan 1914-1918 itu, alangkah kejamnya hantu realitasnya hidup! Kemiskinan makin hari makin bertambah. Angka-angka pengangguran menaik, membubung ke udara. Persundalan bagi ribuan wanita menjadi satu-satunya jalan untuk mencari sepotong roti. Kapitalisme yang tadinya seperti telah terhantam remuk oleh palu godam peperangan, lambat-laun bangun kembali, dan malahan akhirnya mengadakan "pembelaan diri yang penghabisan", dengan diktatur fascisme Hitler yang seseram-seramnya. Dan di dalam kekejaman realitas hidup ini, – wanita lah jang paling menderita ...
Alangkah benarnya perkataan Henriette Roland Holst yang telah saya sitir di muka tadi, tetapi yang akan saya sitir di sini sekali lagi, agar lebih dicamkan lagi dengan sungguh-sungguh oleh para pembaca:
" Geefdevrouwhetkiesrecht, schafalle wetteljkebepalingenafdiehaarbijdenman achterstelleneninhaarvrijheidbelemmeren, openvoorhaardetoegangtotalleberoepenen bedrijven, maakhaaropleidingenopvoeding gelijkaandievandenman, zodatzijzoveel mogelijkgelijkekansenheeft, zultgijdaarmedehetlotvandemillioenenarbeidstersin loondienstverbeteren, zultgijdezeopheffen uitdeproletarischeellende, zultgijde ongezonde, sleehtbetaaldehuisindustrie waarinanderemillioenenzwoegenensloven, uitdewereldhelpen, zultgijhet raadseloplossenvandesfinxderprostitutie ? Neen, datalleszultgijniet! Aldit vrouwelijdenzitvastaandeburgerlijke maatschappijvorm, aanhetkapitalistisch stelselvanvoort –brenging ".
Salinannyapun saya berikan lagi:
" Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan semua aturan–aturan yang membelakangkan mereka dari laki–laki dan merintang–rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya jadi sederajat dengan pendidikan laki–laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita upahan yang berjuta–juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri – di rumah yang tidak sehat dan rendah–upah itu yang di dalamny aberkeluh–kesah pula miliun–miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasia hantu persundalan ?
Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu!
Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang burgerlijk, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis!"
Demikianlah memang, yang juga selalu diajarkan dan diperingatkan oleh Clara Zetkin, oleh Rosa Luxemburg dan pemimpin-pemimpin wanita sosialis lain, kepada semua wanita yang menghendaki perbaikan keadaan. Hak pemilihan hanyalah satu fase perjoangan saja. Dan memang Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, beserta pengikut-pengikutnya yang berjuta-juta itupun, tidak lantas diam, tidak lantas berhenti berjoang sesudah hak pemilihan tercapai, – mereka malah mempergunakan hak pemilihan itu untuk memperhebatkan perjoangannya menjadi perjoangan yang lebih besar, yaitu perjoangan menggempur kapitalisme, mendatangkan susunan masyarakat baru yang lebih adil.
Di dalam perjoangan yang lebih besar inilah Rosa Luxemburg menemui ajalnya. Bersama dengan kawannya Karl Liebknecht, pada tanggal 15 Januari 1919, ia dibunub oleh musuh. Pada saat itu ia berusia 49 tahun, sedang kuat-kuatnya dan sedang tangkas-tangkasnya. Ia mati sebagai satu Srikandi kaum wanita, tetapi juga sebagai pahlawan ulung daripada segenap pergerakan sosialis, – sebagai singa betina Revolusi Sosial, yang raungnya terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain. la adalah Olympe de Gouges-nya abad keduapuluh, – teoretis malah lebih besar dari singa-betina Revolusi Perancis itu. Banyak pemimpin-pemimpin laki-laki sosialis memandang dia sebagai gurunya. Henriette Roland Holst menulis satu kitab yang menceritakan tarikh hidupnya, sebagai satu tanda hormat kepadanya. "Ware Rosa Luxemburg in India geboren, haar volk zou haar een mahatmaya, een grote ziel, genoemd hebben". – "Umpama Rosa Luxemburg dilahirkan di India, niscayalah rakyatnya menamakan dia seorang mahat-maya, seorang yang berjiwa besar". Di dalam gambaran satu kalimat ini saja, tampaklah kebesarannya Rosa Luxemburg itu. la bukan saja seorang pendekar yang amat dinamis, bukan saja seorang Srikandi yang tak kenal takut, iapun seorang teoretikus yang amat ulung. Teori-teorinya, – terutama sekali "spontani-teits-theorie" dan "verstikkings-theorie" -, menggemparkan seluruh dunia teori sosialisme. Bukan orang lain, melainkan Lenin sendiri, meladeni teori Luxemburg itu, karena dianggap-nya tidak benar. (Di dalam dunia sosialisme sering ada perbantahan yang demikian itu, tanda hasrat akan ilmu pengetahuan). Tetapi lebih-lebih lagi, Rosa Luxemburg adalah seorang manusia sosial dalam arti yang sebaik-baiknya, seorang manusia yang selalu memikirkan sesama manusia yang lain, dan selalu sedia menderita buat sesama manusia yang lain. Seorang wanita yang berhati besar, yang di dalamnya ada tempat buat cinta kepada seluruh kemanusiaan. Kaum buruh seluruh dunia dan kaum wanita seluruh dunia, pantas menghormat asmanya pemuka wanita ini, yang jatuh di padang kehormatan.
Nama Clara Zetkin pun pantas kita hormati setinggi-tingginya.
Bukan hanya buat berkata-kata, kalau orang menamakan dia "Ibu Revolusi Proletar". Sampai kepada mengamuknya Hitler di Jermania, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan, majalah-majalahnya dan surat khabarnya dilarang terbit, pemimpin-pemimpinnya yang dapat ditangkap dilemparkan dalam konsentrasi kamp atau didrel mati mentah-mentahan, partai-partai lain di-anschluss, ia masih terus berjoang untuk kepentingan sosial-isme. Salah satu sidang Reichstag merdeka yang terakhir, dialah yang membukanya: pada waktu itu ia telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa kebanyakannya sudah rapuh dan sudah tiada tenaga semangat.
Di dalam pidato pembukaannya, lbu Revolusi ini menghantamkan serangannya kepada kaum Nazi. Atas anjuran kawan-kawannya, ia melolos-kan diri dari Jermania ke Rusia, agar tidak menjadi mangsa kezaliman Hitler. Akhirnya, ia dipanggil pulang kerakhmatullah, dalam usia yang amat tinggi.
Demikianlah pergerakan wanita tingkat ketiga di Jermania.
Bagaimana di negeri-negeri lain? Saya kira tidak begitu perlu saya ceriterakan pergerakan tingkat ketiga di negeri-negeri lain itu satu-persatu. Yang perlu bagi pembaca hanyalah mengetahui garisnya tingkat ketiga ini. Sebagai rempah-rempah akan saya berikan saja nanti beberapa ucapan-ucapan pemimpin-wanita tingkat ketiga ini yang ulung-ulung dari beberapa negeri. Tentang "sejarahnya" cukuplah yang dari Jermania saja menjadi contoh. Memang sebagai tadi telah saya katakan: pergerakan di Jermania itu dulu adalah satu "model" bagi pergerakan-pergerakan di negeri lain. Memang di Jermania organisasinya paling sempurna, pengalasan teorinya paling mendalam, sepak-terjangnya paling tangkas. Negeri-negeri yang lain selalu memandangkan matanya kepada Jermania itu.
Siapa yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pergerakan wanita tingkat ketiga di negeri-negeri lain, haraplah mentelaahnya sendiri dalam perpustakaan sosialisme yang bergudang-gudang. Terutama bagi Rusia Baru saya minta perhatian istimewa, oleh karena kedudukan Rusia dalam soal-perempuan memang satu kedudukan yang istimewa. Rusia, yang belum lama yang lalu wanitanya masih bodoh, miliunan tak dapat membaca dan menulis, miliunan hidup dalam tahyul yang mendirikan bulu, yang puluhan miliun rakyat wanitanya yang berbangsa Asia dulu belum pernah mendapat sinar kemodernan sedikitpun juga, belum pernah mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat ternak dan tingkat benda, belum pernah merasakan diri terlepas dari ekses-ekses patriarchat. Rusia itu telah berhasil memetik buah yang amat banyak di lapangan memperbaiki kedudukan wanita. Fasal 122 daripada undang-undang dasar Sovjet Rusia memberi hak-hak sepenuhnya kepada wanita. Bagaimanakah cara sepak terjang Rusia untuk mengangkat wanita-wanitanya itu? Sempitnya halaman risalah ini tidak memungkinkan saya menceriterakan tentang hal itu panjang lebar, tetapi biarlah pembaca membaca misalnya dua kitab Fannina W. Halle " De Vrouw in Sovjet Rusland" dan "De Vrouw uit het Sovjet-Oosten". Terutama sekali "De Vrouw uit het Sovjet-Oosten" itu memberi pengertian yang mengagumkan kepada. kita, betapa hebatnya pekerjaan yang telah dijalankan di Rusia-Timur untuk membanteras ekses-ekses patriarchat dan mengangkat kedudukan wanita yang tadinya benar-benar masih amat rendah sekali, ketingkatan yang lebih tinggi.
Sungguh sayang saya tak dapat menceriterakan lebih panjang lebar tentang usaha di Rusia itu. Tetapi "teori" pergerakan wanita tingkat ketiga, – di Jermania lah terutama asal mula tem-patnya. Teori itulah yang saya berikan kepada pembaca. Rusia adalah terutama sekali tempat usaha. Usaha di sana memang hebat, dan ... betapa mengharukan hati kita kadang-kadang! Siapakah tidak pernah mendengar tentang penderitaan Maria Spiridonova, atau penderitaan Vera Figner? Dan usaha-usaha di negeri-negeri lainpun saya tak dapat ceritakan kepada pembaca. Nasehat saya kepada pembaca cuma satu: bacalah, carilah buku-buku, bacalah sebanyak-banyak mungkin, untuk menambah pengetahuan!
Sekarang, marilah saya bubuhkan beberapa ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin wanita, untuk menjadi sekedar bunga-rampai dalam kitab ini. Dengarkanlah kritikan pedas yang keluar dari mulut Emilia Marabini di Roma terhadap kepada pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki, yang dalam teori memeluk sosialisme, tetapi dalam prakteknya masih bersikap kolot terhadap kepada wanita:
"Menggelikan hanyalah mereka, yang dengan mulutnya mengatakan begini, dengan perbuatannya berbuat begitu.
Menggelikan hanyalah mereka, yang membela sosialisme dengan banyak kata-kata dalam rapat-rapat, tetapi yang menentangnya di dalam peri-kehidupan sehari-hari, oleh karena mereka menjauhkan begitu banyak tenaga-tenaga yang baik dari propaganda. Menggelikan hanyalah mereka, yang berjoang dalam barisan-barisan kaum sosialis, tetapi yang karena oportunisme yang salah, melupakan keyakinannya terhadap kepada kaum wanita. Menggelikan, ya lebih jahat dari menggelikan, adalah mereka, yang meskipun mereka tadinya datang menggabungkan diri dengan kita untuk menentang penindasan, toh di dalam batinnya sendiri belum meniadakan nafsu untuk menindas kaum wanita."
Anna Kulishoff, pemuka wanita Italia yang lain, cantik dan tangkas, terkenal dalam kongres-kongres internasional, tajam fikiran dan setia kepada keyakinan, di dalam satu tulisan menganjurkan kepada kaum wanita supaya percaya kepada diri sendiri:
"Janganlah mendengarkan omongan orang, yang mengatakan bahwa Tuan tidak cakap dan tidak bersedia buat perjoangan politik.
Belum pernah ada orang belajar sesuatu hal dengan tidak bekerja.
Orang tak dapat belajar berenang dengan tidak terjun ke dalam air. Orang tak dapat belajar menjahit, jika orang tidak mulai mengambil jarum di dalam tangannya. Kaum proletar laki-lakipun tadinya tak cakap dan tak bersedia. Hanya dengan latihan orang dapat memperoleh kecakapan-kecakapan".
Karena tulisan ini, Anna Kulishoff mendapat hukuman dua tahun penjara! Ia dianggap berbahaya buat keamanan negara ...
Di bawah ini saya cantumkan ucapan Maria Spiridonova yang mengharukan. Ia bukan sosialis tulen, tetapi salah seorang pemuka dari partai sosial revolusioner di Rusia. Puluhan tahun ia meringkuk dalam penjara, dibuang dari satu tempat ke tempat lain, sering menghadapi maut oleh karena disiksa, atau oleh karena di dalam selnya penjara penyakit batuk darah menyerang dia dengan hebatnya. Tetapi ia tak pernah goyang keyakinan, tak pernah mengaduh, tak pernah takut. Sesudah revolusi 1917 berhasil, dimerdekakanlah ia, dan di dalam pidato untuk menyambut pangayubagia ia berkata:
"Satu kebahagiaan yang besar, satu kesenangan yang meresap ke dalam jiwa, ialah mengabdi kepada rakyat, yang demikian lamanya, bertahun-tahun seperti tiada hingga, tersiksa di bawah telapak perbudakan.
Pujian Tuan saya terima dengan segala rasa kekecilan diri, dan saya bawakannya kepada azas-azas yang kita abdii, azas-azas perjoangan buat kaum pekerja dan buat persaudaraan internasional. Bukan untuk saya, tetapi atas nama Tuan-Tuan ... Saya dapat menderita banyak, saya tidak takut sakit atau kemelaratan ... Tidak tahukah Tuan-Tuan, bahwa saya ini termasuk golongan orang-orang yang tersenyum di kayu salib? Saya akan tertawa di dalam penjara. Sebab orang menderita buat satu cita-cita, dan cita-cita itu adalah begitu indah, begitu luhur, sehingga semua perasaan-perasaan yang mengenai diri sendiri lenyap oleh karenanya."
Dan perhatikanlah ucapan pahlawan wanita Rusia yang lain, yang juga termasuk golongan Manusia Besar: Vera Figner. Sudahkah Tuan pernah membaca kitabny "Nacht over Rusland"? Sebagai Maria Spiridonova, iapun berpuluh-puluh tahun meringkuk dalam penjara Czaar. Iapun tak kenal goyang fikiran, tak kenal bimbang di dalam perjoangan. Di dalam satu rapat yang besar ia pernah berkata:
"Kamu mau apa, kawan-kawanku wanita? Apakah kamu mau memandang pekerjaan revolusi sosial ini sebagai pekerjaan kaum laki-laki saja? Kamu toh juga satu bagian dari kelas buruh, yang membungkuk di bawah penindasan? Kamu, kaum wanita, toh justru yang paling menderita karena kemiskinan dan kemelaratan yang didatangkan oleh penghisapan kapitalistis itu? Dan kamu toh tidak menyangka, bahwa kemiskinanmu dan kemelaratanmu itu pekerjaan suami-suamimu? Tidak, baik kamu, maupun suami-suamimu, adalah korban daripada sistim yang merajalela di sini telah berpuluh-puluh tahun. Sistim itulah harus kamu tentang, sistim itulah harus kamu perangi bersama-sama dengan suami-suamimu, kalau kamu ingin merdeka, benar-benar merdeka
Satu tangkai bunga-rampai lagi dari Vera Sasulitsch, yang juga termasyhur namanya:
"Kita telah berjoang berpuIuh-puluh tahun, untuk memerdekakan peri-kemanusiaan daripada siksaan terbesar yang pernah mengazab dia, – yaitu daripada kapitalisme dengan segala macam cara-cara penghisapannya. Perjoangan ini selalu tumbuh, dan terus akan tumbuh, sampai tercapai cita-cita kita. Di dalam perjoangan ini, kita bersama-sama mengalami kesenangan dan kesedihan, tetapi tidak ada kesenangan yang begitu besar sebagai yang kita alamkan beberapa tahun yang terakhir ini: kesenangan melihat makin banyak wanita ikut serta dalam barisan kaum proletar yang berjoang. Ikut-sertanya wanita dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan masyarakat dapat mencapai tujuan masyarakatnya, selama tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita kepada wanita buruh adalah singkat dan jelas: Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjoangan-mu itu dengan ulet, bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati".
Dan akhirnya, satu tangkai lagi:
Maukah pembaca satu contoh keberanian wanita, satu contoh keuletan pendirian, yang tak mau goyang meski di bawah ancaman hukuman berat? Bacalah ucapan Sofya Bardina di bawah ini, yang ia ucapkan tatkala perkaranya diperiksa di muka hakim Czaar:
"Saya tak pernah menentang hak milik perseorangan, saya malahan berani mengatakan bahwa saya membela hak milik perseorangan itu, manakala saya mengatakan bahwa tiap-tiap manusia berhak penuh atas tenaga kerjanya dan atas hasil-hasil tenaga kerjanya itu. Maka sekarang saya bertanya: sayakah yang merusak hak milik perseorangan, ataukah si majikan paberik, yang membayar kepada kaum buruh hanya sepertiga dari harga kerjanya dan mengambil keuntungan dari yang duapertiga lagi dengan tak membayar apa-apa? Bukanlah si spekulan yang merusak hak milik perseorangan, yang bermain dagang dibeurs dan menjerumuskan ribuan keluarga ke dalam kecelakaan, memperkaya diri sendiri atas kerugian mereka itu dengan tiada mengeluarkan keringat setetespun juga? Kami memandang hak kaum buruh atas hasil tenaga kerjanya lebih tinggi daripada hak apapun juga ...
Juga berhubung dengan soal keluarga, maka saya hanya dapat bertanya: bukankah susunan masyarakat yang memaksa wanita meninggalkan keluarganya, masuk ke dalam paberik untuk mencari upah yang sangat rendah, dan di sana binasa bersama dengan anak-anaknya, – bukankah susunan masyarakat yang membinasakan keluarga, karena ia memaksa wanita, terdorong oleh kemiskinan, memasuki alam persundalan, – atau kamikah yang membinasakan keluarga itu, oleh karena kami hendak membanteras kemiskinan itu, yang menjadi sumber semua kejahatan-kejahatan sosial? ...
Bagaimana juga nanti nasib saya, tuan-tuan hakim, saya tahu tak akan mendapat ampunan, dan memang saya tidak mengingini ampunan itu. Tuntutlah kami terus-menerus sekehendak tuan-tuan saya yakin bahwa pergerakan sekuat ini – yang jelas dibangunkan oleh semangat masa sendiri – tak dapat ditahan dengan penindasan yang bagaimanapun juga. Barangkali ia mungkin dihambat buat sejurus waktu, tetapi ia akan bangun kembali dengan tenaga yang lebih besar, dan demikian terus-menerus, sampai cita-cita kami mencapai kemenangan akhir. Tuntutlah kami sekehendak tuan-tuan! Tuan-tuan buat sementara waktu menggenggam kekuasaan zahir, tetapi kami memiliki kekuasaan batin: kekuasaannya kemajuan sejarah, kekuasaannya Cita-cita. Cita-cita tak dapat dimatikan dengan bayonet-bayonet"
Sekian saja sajian bunga-bunga rampai! Tetapi saya tidak mau menutup bab ini, sebelum membuat sedikit pemandangan lagi yang mengenai tingkat kedua dan tingkat ketiga daripada pergerakan wanita.
Manakala saya di muka tadi sering-sering mencela pergerakan wanita tingkat kedua, maka itu tidak berarti bahwa saya tidak mengakui beberapa sifat yang baik daripadanya. Kalau saya tinjau pergerakan feminisme itu seumumnya, maka haruslah saya mengatakan, bahwa ia adalah satu pergerakan yang progresif juga, – satu pergerakan yang membawa kemajuan dalam masyarakat. Hal ini telah nyata. Progresif adalah tuntutan hak pemilihan; sebab dulu tidak ada hak pemilihan wanita itu. Progresif adalah tuntutan hak untuk bekerja; sebab dulu wanita tidak boleh bekerja dalam pekerjaan di masyarakat. Tetapi bumi pergerakan feminisme itu nyata bumi burgerlijk; anggota-anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan burgerlijk; dan motifnya nyata motif burgerlijk pula. Ia telah puas dengan hak pemilihan yang terbatas, yang memasukkan perempuan-perempuan atasan saja ke dalam dewan-dewan, dan tidak perempuan jelata juga. Dengan demikian, maka kaum wanita feminis memperkuat kelas atasan, kelas borjuis, di dalam dewan, sebagai satu imbangan kepada tambah kuatnya kelas proletar. Mereka tentu membantah hal ini sekeras-kerasnya. Malah mereka mengira benar-benar berjoang buat semua perempuan, dan menga-takan pula bahwa mereka berjoang dengan tidak memperbedakan kelas-kelas. Karena itu pula mereka menolak dengan keras adanya perjoangan kelas, menolak adanya klassenstrijd. Tetapi tidak dapat dibantah, bahwa pada hakekatnya pergerakan feminis adalah pergerakan burgerlijk.
Nyonya Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda yang amat lunak, pernah menulis:
"Het was de laatste stap van de heerschappij der bourgeoisie, die men verlangde. De vrouwen van die klasse moesten ook het kiesrecht verkrijgen."
Artinya: "Tuntutan itu adalah langkah terakhir untuk memperkuat kekuasaan bursoasi. Wanita-wanita dari kelas itu harus mendapat hak pemilihan pula".
Dan Nyonya Henriette Roland Holst yang brilliant itu berkata:
"In werkelijkheid echter is haar beweging een klassen-beweging, wat zij wil is voornamelijk de opheffing der wetten, het doorbreken der tradities en de verandering der zeden, die de vrouwen der bezittende en heersende klassen nog juridisch, sociaal, economisch en politisch, bij de mannen van deze klassen achterstellen. Zij wil haar deel veroveren aan de voorrechten – materieele zowel als ideele voorrechten – van de mannen der bourgeoisie, wil met hen samen de wereld bezitten en de wereld beheerschen. Zij wil al het genot en de pracht van die wereld, de stoffelijke en geestelijke goederen, mede genieten.
Zij wil, in het kort, dat aan de heerschappij en de uitbuiting die tot nu toe door de mannen der heerschende klassen gevoerd en bedreven werden, ook de vrouwen dier klassen zullen deelnemen".
Artinya: "Pada hakekatnya, pergerakan mereka itu adalah pergerakan kelas; yang mereka tuju ialah terutama sekali hapusnya hukum-hukum, pecahnya kebiasaan-kebiasaan dan robahnya adat-adat, yang di atas lapangan yuridis, sosial, ekonomis dan politis masih membelakangkan wanita-wanita kelas atasan daripada kaum laki-laki kelas itu. Mereka mau merebut bahagian mereka dalam hak-hak lebih kaum laki-laki bursoasi, – hak-hak lebih jasmani maupun rohani. Mereka mau ikut mengecap semua kenikmatan dan keindahan dunia itu, mau ikut mengecap semua kekayaan-kekayaan jasmani dan rohani dalam dunia itu. Pendek kata, mereka berkehendak, supaya kaum wanita kelas atasan itu ikutserta dalam kekuasaan dan penghisapan yang sampai sekarang dilakukan oleh kaum laki-lakinya".
Di dalam kitab riwayat hidupnya, Mr.P.J.Troelstra (pemimpin sosialis Belanda yang terkenal) menceriterakan tentang hal pengalamannya dengan pergerakan kaum feminis. Pada waktu kaum buruh Belanda menuntut hak pemilihan umum buat semua laki-laki dan perempuan, maka dari fihak kaum feminis dijumpai rintangan!
Di dalam Congres voor Vrouwenkiesrecht 29 Agustus 1898, nyonya Versluys-Poelman berkata: "Eerst het kiesrecht voor de vrouw, en dan pas algemeen kiesrecht", – yang artinya: "lebih dulu hak pemilihan bagi wanita, baru kemudian hak pemilihan umum". Troelstra mengejek, bahwa yang dimaksudkan dengan "hak pemilihan buat wanita" itu sebenarnya tak lain tak bukan ialah " dameskiesrecht " semata-mata! Seruan nyonya Versluijs-Poelman itu dinamakannya satu seruan yang keluar dari hati kecil kaum feminis sebagai bagian dari bursoasi. Seruan itu ialah keluar dari "het streven der vrouw uit de bourgeoisie om zich de rechten en voorrechten harer klasse te veroveren", artinya: keluar dari "ikhtiarnya wanita borjuasi untuk ikut memiliki hak-hak dan hak-hak lebih daripada kelasnya".
Maka oleh karena gerakan wanita tingkat kedua dan tingkat ketiga itu datangnya dari dua alam, tumbuhnya dari dua jiwa, sumbernya dari dua kepentingan yang bertentangan satu sama lain, maka fihak tingkat ketiga selalu secara prinsipiil menolak bekerja bersama-sama dengan fihak feminis. Benar ada beberapa persamaan, benar ada beberapa titik persentuhan antara kedua aliran itu, tetapi perbedaan-perbedaannya adalah begitu besar, sehingga dua pergerakan ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah ataupun sebagai dua gelombang yang sesuai jalannya.
Di dalam Konferensi Wanita Internasional di Stuttgart 1907, yang sudah saya ceriterakan di muka tadi, ditetapkan penolakan bekerja bersama-sama dengan wanita atasan itu dalam kalimat resolusi yang berikut:
"Wanita-wanita sosialis harus menjalankan perjoangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak bersama-sama dengan wanita-wanita borjuis, tetapi bersama-sama dengan partai-partai sosialis".
Di dalam Kongres di Gotha 1896, sebenarnya penolakan ini telah amat terang dan tegas:
"Sebagai perajurit dalam perjoangan kelas, wanita proletar itu sama saja butuhnya kepada persamaan hak yuridis dan politis dengan laki-laki, seperti wanita dari golongan pertengahan dan dari golongan intelek borjuis. Sebagai pekerja yang berdiri sendiri, dia juga sama saja butuhnya kepada hak untuk menguasai penghasilan sendiri dan diri sendiri, seperti wanita dari golongan bursoasi. Tetapi kendati adanya persamaan di atas lapangan tuntutan-tuntutan yuridis dan politis itu, maka wanita proletar itu di atas lapangan kepentingan ekonomi yang besar-besar sama sekali tidak ada persesuaian dengan wanita-wanita dari kelas-kelas lain. Oleh karena itu, maka usaha me-merdekakan wanita proletar itu tidak mungkin pekerjaan wanita-wanita dari semua kelas, tetapi hanyalah pekerjaannya kaum proletar seluruhnya, dengan tiada membeda-bedakan perempuan atau laki-laki".
Dus: menolak pekerjaan bersama dengan kaum feminis secara prinsipiil. Apakah ini berarti, bahwa tidak ada faedahnya mencoba mempengaruhi kaum feminis itu? Sudah barang tentu ada faedah itu. Terutama sekali di negeri-negeri, di mana pergerakan feminis telah cukup kuat untuk menjalankan pengaruh yang tidak baik di atas massa, maka ikhtiar mempengaruhi itu adalah perlu. Di negeri-negeri yang demikian itu misalnya adalah berfaedah untuk mempengaruhi kaum feminis, sedapat mungkin, supaya tuntutannya hak perwakilan yang terbatas itu dirobah menjadi tuntutan hak perwakilan umum. Sebab, tidakkah sejarah menjadi kitab pelajaran bagi rakyat jelata pula? Di dalam sejarah itu senantiasa terbukti, bahwa massa selalu dipakai, diambil tenaganya, diperkudakan oleh kelas-kelas lain yang berjoang untuk keperluannya sendiri. Di dalam Revolusi Perancis nyata benar perkudaan ini, di Jerman Hitler pun demi-kian pula. Pergerakan feminispun dulu sering mencoba memperkudakan massa, menyuruh massa itu menarik kereta yang merekalah duduk di atasnya, kesatu tempat yang merekalah mendapat keuntungan di sana.
Oleh karena itu, kewajiban pemimpin wanita tingkat ketiga ialah pertama-tama menyedarkan massa, membukakan mata massa jangan mau dijadikan kuda, – dan kedua: di mana mungkin dan di mana dapat, mempengaruhi pemimpin-pemimpin feminis itu supaya tuntutan-tuntutannya tidak terlalu bertentangan dengan kepentingan massa.
Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip tidak bekerja bersama- sama dengan mereka, sebab pergerakan tingkat ketiga tidak mengikatkan diri kepada mereka, tidak mengorbankan kemerdekaan dirinya kepada mereka, tidak mengasih konsesi sedikitpun kepada mereka.
Satu contoh: Dulu Serikat Wanita Liberal di Inggeris sangat "anti" kepada tiap-tiap usaha kaum buruh wanita supaya diadakan, hukum-hukum yang melindungi buruh wanita.
Sebab memang demikianlah prinsip liberalisme: anti bahwa negara ikut-ikut campur dalam urusan produksi. Tetapi lama-kelamaan Serikat Wanita Liberal itu akhirnya toh menyetujui pula kepada diadakannya wet-wet yang melindungi buruh wanita. Apa sebab? Sebabnya ialah oleh karena mereka lama-kelamaan kena pengaruh pemimpin- pemimpin tingkat ketiga. Terutama sekali Miss Amie Hieks rajin sekali mempengaruhi rapat-rapat Serikat Wanita Liberal itu dengan pidato-pidato yang jitu dan meyakinkan. Di tiap-tiap rapat ia minta ikut bicara, di tiap-tiap rapat ia mendebat atau menganjur-kan hal-hal yang perlu dianjurkan. Kegiatan Miss Amie Hicks itu boleh dijadikan teladan.
Tetapi inipun tidak boleh berarti, bahwa boleh diharapkan pergerakan feminis itu akan "mlungsungi" sama sekali menjadi pergerakan tingkat ketiga. Sama sekali tidak! Sebab dasar kemasyarakatan pergerakan feminis itu ialah kelasatasan, dan pergerakan feminis itu akhirnya tak dapat bersifat lain daripada mengerjakan tugas yang diberikan oleh sejarah pada kelasatasan. Yang mereka dapat kompromisi niscaya tidak lebih daripada kompromis-kompromis kecil yang tidak mengubah kepada garis-garis besar tugas sejarah kelas atasan. Tidak!, politik mencoba mempengaruhi pergerakan feminis itu tidak boleh berarti mengharap-harapkan kerbau menjadi harimau, atau harimau menjadi gajah. Ia hanyalah harus berarti, bahwa massa harus dijaga jangan sampai ia terlalu menjadi korban kenaikannya wanita borjuasi. Yang paling penting ialah tetap: mendidik wanita massa, menyedarkan wanita massa, mengorganisir wanita massa, memparatkan wanita massa, meng-gerakkan wanita massa. Itu dan itu sajalah tetap alif-ba-ta-nya pergerakan wanita tingkat ketiga!
Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan wanita sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai: bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa sebagai isteri dan ibu ? Bagaimanakah menghilangkan " scheur, diedoorhaarwezengaat " ?
Sesuai dengan tuntutan emansipasi, maka wanita atasan sekarang sengaja keluar dari kurungan pingitan, keluar bersekolah, belajar sesuatu " beroep " , belajar menjadi juru-rawat, menjadi guru, menjadi juru-ketik atau juru-tulis atau komis, menjadi dokter atau insinyur atau adpokat, – tetapi kelak, kalau mereka sudah menjabat pekerjaan itu, ... datanglah lagi-lagi ujian–jiwa yang amat sulit: mereka harus memilih antara pekerjaan itu dan ... hidup bersuami! Lagi-lagi datanglah bagi tiap-tiap orang wanita yang telah terlepas dari pingitan dan telah menjabat sesuatu pekerjaan yang umum satu saat yang ia terpaksa memilih antara pekerjaan itu dan panggilan kodrat alam. Mana yang harus dipilih? Mana yang harus dilebih beratkan?: pekerjaannyakah, – atau bersuamikah? Terus bekerjakah, – atau kembali ke dalam kurungan rumah tangga tetapi mempunyai kekasih, mempunyai laki-laki, mempunyai anak? Buat apa tadinya membuang uang dan tempoh begitu banyak buat spesial bersekolah menjadi juru-rawat atau guru atau dokter atau adpokat, kalau akhirnya semua kepandaian itu toh musti dikesampingkan, karena alam akhirnya toh menuntut bagiannya pula?
"Tiap-tiap gadis menunggu datangnya hidup berlaki-isteri sebagai satu hal yang akan mengisi dan memenuhi hidupnya sama sekali. Pekerjaannya (di dalam masyarakat) itu buat dia bukan pekerjaan buat seumur hidup, tetapi sekedar satu tingkatan peralihan saja kepada pekerjaan yang sebenarnya, yaitu hidup berlaki-isteri".
Demikianlah gambaran jiwa, yang saya baca di dalam tulisan salah seorang pemimpin wanita feminis. Sekali lagi, – buat apa belajar sesuatu pekerjaan, kalau pekerjaan itu kelak toh harus dilepaskan lagi karena keharusan hidup berlaki-isteri? Mana yang harus diberatkan: pekerjaankah, atau cinta dan jadi ibukah? Inilah ujian jiwa yang sulit. Dan jikalau dua-duanya diambil, seperti halnya dengan kaum wanita bawahan, yang ya bekerja di paberik ya bersuami-isteri dan beranak -, maka wanita atasan itu rasanya tidak sanggup menderitaka "scheur" atau "retak" yang membelah jiwa raganya kaum wanita bawahan.
Dan jikalau wanita atasan itu memilih hidup bersuami-isteri daripada meneruskan pekerjaannya; jikalau ia dengan rasa masygul mengikuti panggilan kodrat alam dan meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di lapangan pekerjaan lain, maka fihak feminis memberi hiburan kepadanya yang berbunyi: "Jangan masygul, jangan kecewa, sebab pengetahuan yang engkau dapat di sekolah dulu itu toh berfaedah juga buat kau pakai dalam rumah tangga". lni namanya "lari dari kenyataan"! Sebab, jikalau benar maksud bersekolah itu hanya buat berfaedah di rumah tangga saja, maka lebih baik jangan gadis-gadis disekolahkan mengetik, jangan disekolahkan dagang, atau insinyur atau adpokat, atau kimia atau kesusasteraan, tetapi masukkanlah mereka semua ke sekolah-sekolah rumah tangga, – huishoudscholen, yang vak-vaknya semata-mata buat kesempurnaan rumah tangga dan keibuan! Jikalau tujuan hidup wanita hanya suami dan anak-anak saja, maka wanita tak perlu mempelajari lain-lain pekerjaan, melainkan pekerjaan keisterian dan keibuan saja! Tidakkah kita merasa geli memfikirkan pendirian kaum feminis itu, yang tadinya mati-matian menuntut hak untuk bekerja, tetapi kemu-dian melepaskan pula pekerjaan yang telah diperdapat itu? Mereka merasakan adanya scheur, merasakan adanya retak, tetapi mereka tidak berjoang meghilangkan sebabnya retak itu, tidak berjoang menyembuhkan retak itu, melainkan memilih salah satu di antara dua belah yang dipisahkan oleh retak itu. Coba perhatikan satu ucapan lagi dari seorang pemimpin feminis, nyonya van Itallie van Embden, yang berbunyi:
"Weest niet bang, maakt U niet ongerust! Wanneer de vrouw gaat voelen, dat haar kinderen lijden onder haar dubbel werk, dan komt zeterug ... Als ze moet kiezen, dan kiest ze het kind".
Artinya: "Jangan takut, jangan kuatir! Kalau wanita merasa, bahwa anak-anaknya menderita karena pekerjaannya yang dobel itu, ia akan kembali ... Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih".
Isinya ucapan ini benar. "Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih". Memang demikianlah jiwa wanita. Memang demikianlah harusnya jiwa wanita. Wanita yang tidak mengutamakan anak, tidak pantas bernama wanita. Itu bukan soal lagi. Tetapi yang menjadi soal ialah: apasebab ada retak, dan bagaimana menghilangkan retak itu? Dengan memakai perkataan-perkataan Nyonya Itallie van Embden sendiri, maka soalnya ialah: apa sebab "anak-anaknya menderita karena pekerjaannya yang dobel itu"? Tidakkah mungkin diperdapat satu susunan masyarakat, yang anak-anak tidak menderita, walaupun ibunya mengerjakan pekerjaan dobel?
Ucapan Nyonya Itallie van Embden, seperti ucapan pemimpin feminis lain yang saya sitir di atas tadi, lagi-lagi satu perbu-atan "lari dari kenyataan", lagi-lagi satu "vlucht uit de werkelijkheid". Lagi-lagi orang terpaksa bertanya: buat apa mengotot minta hak untuk bekerja, kalau pekerjaan itu nanti toh akan dilepaskan lagi? Tidak! pokok pangkal dari semua "vlucht" itu ialah, bahwa feminisme memang tidak mampu memecahkan soal! Tidak mampu memecahkan soal bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan (pencaharian) dan keibuan!
Tidak bersuami dan tidak beranak, – bertentangan dengan panggilan kenikmatan alam.
Tetapi bersuami beranak dan bekerja di masyarakat, – bertentangan dengan kesempurnaan kedua-duanya!
Inilah pertentangan itu!
Maka oleh karena itu, di kalangan feminis sendiri lantas timbul satu golongan yang tidak puas dengan feminisme itu. Golongan inilah yang menyebutkan dirinya kaum neo–feminisme. Mereka bermaksud "mengoreksi" feminisme itu.
Tetapi koreksi mereka itu ... makin salah!
Makin menandakan kelemahan pendiriannya! Hanyalah barangkali ... lebih jujur!
Sebab, bagaimana pendirian neo-feminisme? Di dalam satu kitab tulisan D.L.Daalder "Feminisme en Nieuwfeminisme" diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup wanita ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak. Maka oleh karena itu, tujuan pergerakan wanita haruslah: menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak. Maka neo-feminisme bermaksud: mendidik dan mempersiapkan wanita, terutama gadis, supaya ia kelak dengan sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai isteri dan sebagai ibu. Neo-feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan, tidak mengutamakan lagi persamaan hak. Hak atas pekerjaan, dan hak pemilihan, tidak lagi menjadi titik berat aksinya. Suami dan anak, cinta dan keibuan, kesitulah pandangan matanya ...
"Menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak"!
Dengan samar-samar saya melihat lagi jirimnya pergerakan wanita tingkat kesatu. Sesudah hampir dua ratus tahun pergerakan wanita, – kini kembali lagi ketingkat itu! ...
Tanda apa ini? Tak lain tak bukan tanda ketidakmampuan. Tidak mampu menemukan pemecahan satu soal. Dicoba begini, dicoba begitu, akhirnya dicoba begini lagi ... Pemecahan tidak terdapat, – jalan yang diturut ternyata jalan buntu. Dan karena jalannya buntu, lantas mundur. Mundur kembali ke tempat yang ditinggalkan dua ratus tahun yang telah lalu!
Karena jalannya buntu, lantas mau menjalankan "koreksi".
Tetapi koreksi itu bukan mendobrak kebuntuan itu, melainkan membiarkan kebuntuan itu, dan ... mundur kembali.
Mundur kembali ke "suami dan anak saja". Mundur kembali ke "penyempurnaan wanita". Mundur kembali ke sarang rumah tangga, dengan melepaskan pekerjaan di masyarakat, melepaskan persamaan hak, melepaskan hak perwakilan, dan lain-lain lagi tuntutan progresif yang sebagainya.
Alangkah bedanya pergerakan wanita tingkat ketiga!
Pergerakan wanita tingkat ketiga dengan tegas menyatakan, bahwa koreksi satu-satunya yang benar ialah: menghilangkan pertentangan antara pekerjaan untuk masyarakat dan cinta dan keibuan itu! Menghilangkan pertentangan antara dua hal itu dengan mengadakan satu susunan pergaulan hidup di mana dua hal itu tidak berkonflik satu sama lain, tetapi justru isi–mengisi satu sama lain, mengharmoni satu sama lain, mensintese satu sama lain.
Ya, isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni yang satu dengan yang lain, – mengangkat pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itu ketingkatan yang lebih tinggi, di mana dua hal itu tidak mengantitese, tetapi justru mensintese satu sama lain. Wanita harus mengerti, bahwa mereka, jikalau mereka mengorbankan salah satu dari dua hal itu, – memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat, atau memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan -, sebenarnya menerima kekalahan di dalam perjoangan. Memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan yang telah diperjoangkan beratus-ratus tahun; memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan alam. Karena itu, satu-satunya jalan yang benar ialah jalan yang bukan saja menuju kepada hilangnya pertentangan antara dua hal itu, tetapi malahan kepada sintese dua hal itu, – jalan yang menuju ke tempat di mana dua hal itu kedua–duanya dapat dipenuhi bersama-sama, dalam suasana isi-mengisi kebahagiaan masing-masing.
Usaha yang dapat mendatangkan sintese antara pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itulah kemenangan!
Kemenangan, oleh karena tidak ada satu langkah yang mundur. Tidak mundur di atas lapangan tuntutan kemasyarakatan, tidak mundur di atas lapangan tututan alam. Malahan di atas kedua-dua lapangan satu kemajuan.
Di atas lapangan kemasyarakatan satu kemajuan, oleh karena pekerjaan di masyarakat menjadi satu kegembiraan; di atas lapangan cinta dan keibuan satu kemajuan, oleh karena wanita dapat cukup waktu untuk menjalankan cinta dan keibuan, itu – dan dapat menjalankannya dalam suasana kebahagiaan pula.
Pembaca masih ingat, apa yang menyebabkan retak dalam jiwa wanita yang mengerjakan pekerjaan masyarakat. Pertama ialah oleh karena di dalam sistim kapitalisme pekerjaan masyarakat itu laksana meremukkan jasmani dan rohani; duabelas jam, tigabelas, empatbelas jam tiap-tiap hari kadang-kadang wanita harus bekerja di dalam paberik atau perusahaan, dan itupun dalam keadaan pekerjaan yang amat berat dan tidak sehat. Kedua, – kalau wanita, di dalam keadaan jasmani dan rohani yang telah amat letih itu, sore-sore atau malam-malam pulang di rumah, maka ia harus bekerja lagi amat berat di rumah tangga, mengerjakan seribusatu pekerjaan rumah tangga tetek-bengek yang tidak ringan, yang diwajibkan kepadanya oleh cinta dan keibuan. Memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menjelumat baju, memelihara anak, menyediakan sarapan buat besok pagi dan lain sebagainya, masih harus ia kerjakan, sehingga kebahagiaan cinta dan keibuan menjadi amat terganggu oleh karenanya. Sebagai yang saya katakan di muka, maka wanita di dalam sistim kapitalisme itu amat berkeluh-kesah memikul beban yang dobel, – bebannya kerja berat sebagai produsen masyarakat, dan bebannya kerja berat sebagai produsen rumah tangga. Yang satu tidak membahagiakan yang lain, yang satu malah memelaratkan kepada yang lain. Tetapi kedua–duanya harus dikerjakan, kedua–duanya harus ditunaikan, – tidak dapat salah satu dari dua itu dilepaskan, dengan tidak mengkhianati kepada atau panggilan kemasyarakatan, atau panggilan alam. Dan walaupun retak yang begini itu terutama sekali mengenai wanita bawahan, – di kalangan wanita atasanpun pada pokoknya ia ada. Karenanya, maka satu-satunya kemenangan ialah: satu pergaulan hidup baru, yang melenyapkan retak itu, menghapuskan pertentangan antara panggilan masyarakat dan panggilan alam, mensintesekan pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu dalam satu sintese yang berbahagia raya.
Apa, apa yang menyukarkan Sarinah untuk masuk secara bahagia ke dalam pekerjaan masyarakat, – yang ia toh masukinya juga karena hasrat kemerdekaan dan karena paksa-annya tuntutan perut? Ialah, bahwa rumah tangga terlalu bersifat " perusahaan sendiri " . Pekerjaan-pekerjaan untuk keperluan rumah tangga itu terlalu terlingkung dalam lingkungannya somah. lnilah yang seperti merantai Sarinah kepada kewajiban-kewajiban tetek-bengek dalam rumah tangga, yang beratnya telah hampir mematahkan tulang belakang. lnilah yang menghebatkan pertentangan antara cinta dan keibuan dan pekerjaan masyarakat, menghebatkan retak dalam jiwanya. Maka pertentangan dan retak itu dus hanya dapat dilenyapkan, kalau, antara lain-lain, Sarinah dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah-tangga yang tetek bengek itu, – dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah tangga yang ia harus pikul sendiri sebagai akibat sifat rumah tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri. Pertentangan dan retak itu hanya dapat kita lenyapkan, kalau kita pecahkan sifat rumah-tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri itu, – Operkan sebagian besar dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu kepada umum, kepada masyarakat.
Artinya: Sebagian besar daripada pekerjaan–pekerjaan rumah–tangga itu, kita angkatkan dari lingkungan keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya Kolektivitas!
Mungkinkah ini? Ini mungkin!
Bahkan hal ini sekarang sedang berjalan berangsur-angsur! Berkat jalannya evolusi masyarakat, maka pengoperan sebagian kewajiban-kewajiban rumah tangga kepada masyarakat itu bukan lagi satu cita-cita kosong, bukan lagi satu utopi, tetapi mulai menjadi satu kejadian, satu realitas. Lihatlah!: Di zaman dulu, semua pekerjaan untuk keperluan rumah tangga dilakukan di dalam rumah tangga, dan menjadi tanggungannya Sarinah sendiri sama sekali. Tetapi di zaman sekarang sudah banyak berangsur-angsur pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan partikelir di luar rumah-tangga, atau kepada perusahaan-perusahaan kolektif. Di zaman sekarang telah berangsur-angsur berkurang sifat rumah tangga sebagai perusahaan milik sendiri. Makanan sudah banyak yang dimasak di luar rumah, lauk-pauk dibeli dari ideran atau di kedai, pakaian dijahit oleh tukang penjahit atau langsung dibeli telah jadi dari toko, pendidikan anak-anak dilakukan kolektif, pemeliharaan orang sakit dikerjakan di rumah-sakit, penerangan terdapat dari sentral elektris, pemberian air ditanggung oleh dinas water-leiding, pembuangan sampah diselenggarakan oleh haminte, dan demikian sebagainya lagi. Pendek kata, banyak sekali bagian-bagian kerja rumah tangga yang dulu sama sekali menjadi tanggungan wanita di rumah, sekarang dikerjakan oleh orang lain di luar rumah itu, (secara perusahaan, bahkan banyak yang secara kapitalistis), atau – dan ini penting! – dikerjakan oleh "umum" secara kolektivitis dengan berupa negara, haminte, atau koperasi. Jadi: tendenz evolusi masyarakat ialah: berangsur-angsur mengoper fungsi-fungsi keluarga serumah kepada "umum", kepada masyarakat. Negara, atau haminte, atau koperasi akan bertambah mengoper makin banyak fungsi-fungsi itu, sesuai dengan bertambahnya sifat negara menjadi negara rakyat, haminte menjadi haminte rakyat, koperasi menjadi koperasi rakyat. lni amat meringankan tanggungan Sarinah di rumah! Perusahaan-perusahaan partikelir masih mencari untung-besar merogoh kantong Sarinah, tetapi pengoperan fungsi-fungsi oleh badan-badan kolektivistis sebagai negara, haminte, atau koperasi itu, membawa kebahagiaan kepadanya. Tidak lagi ia, kalau ia sore-sore sudah pulang dari bekerja di paberik atau di perusahaan, di rumah lantas masih terpaksa lagi membanting tulang, mengulurkan tenaga, memeras keringat.
Tidak lagi ia harus berkeluh-kesah di rumah sampai jauh-jauh malam. Tidak lagi badannya masih terasa letih dan payah, kalau ia besok paginya bangun dari tempat tidurnya. Dan kebahagiaan ini mencapai puncaknya yang tertinggi di dalam masyarakat kesejahteraan sosial, di dalam masyarakat sosialis. Di sana ia mencapai "bekroningnya" yang gilang-gemilang! Tidak lagi Sarinah dirogoh kantongnya bilamana mengoperkan fungsi-fungsi kerumah tanggaannya kepada tenaga lain di luar rumah tangga. Dengan kontribusi yang ringan, atau dengan cuma-cuma sama sekali, fungsi-fungsi itu dioper oleh koperasi, oleh haminte, oleh negara. Sepulang dari pekerjaan masyarakat, ia cukup waktu untuk beristirahat, cukup waktu untuk berkasih-kasihan dengan suami dan anak-anak. Cukup waktu untuk mendengarkan lagu-lagu merdu dari radio, cukup waktu untuk menambah pengetahuannya di kursus-kursus atau di rapat-rapat. Tidak lagi ia harus membikin bersih lampu minyak tanah, lampu listrik telah menyala dengan memutar kenop di dinding. Tidak lagi ia harus memasang api, dapur elektris kecil-kecilan telah menganga dengan memutar kenopnya pula.
Tidak lagi ia harus mencuci pakaian suaminya dan anaknya dan pakaiannya sendiri, – tadi pagi ia telah serahkan pakaian kotor itu kepada pesuruh binatu kolektif. Tidak lagi ia harus memasak makanan, – kecuali yang ia inginkan sebagai traktasi sendiri yang istimewa -, sebab makanan telah dikirim oleh dapur umum, malah menurut pilih-annya sendiri dari daftar-mingguan. Tidak lagi ia harus menyediakan sarapan buat suaminya, anaknya dan dirinya sendiri besok pagi; sebab sarapan itupun urusan dapur umum, dan tempat pekerjaan atau sekolah ada pula yang mempunyai bufet kolektif.
Pulang dari pekerjaan masyarakat, belum letih, ia masih segar badan! Langit tampaknya cemerlang, bunga-bunga tampaknya indah, sebab pekerjaan masyarakat yang kolektif bukan penghisapan dan penindasan, tidak meletihkan jasmani dan rohani, melainkan membahagiakan, menggembirakan. Dan sedatangnya di rumah, – hanya pekerjaan yang kecil-kecil saja harus ia kerjakan. Banyak waktu terluang baginya! Ia dapat bercakap-cakap, bersenda-gurau dengan suami dan anak-anaknya, memutar radio dengan mereka, pergi ke gambar hidup dengan mereka, mengunjungi rapat atau universitas rakyat. Ia dapat mendidik anak-anaknya dengan penuh kebebasan, membahagiakan mereka, melihat gambar-gambar majalah dengan mereka, menyusun karangan bunga dengan mereka, disaksikan oleh suaminya yang bersenyum simpul.
Ia dapat minum dari mata air cinta dan keibuan dengan bebas dan leluasa. Kodrat, kodratnya Isteri dan kodrat Ibu, berkembang lagi seharum-harumnya ...
Ah, keadaan bahagia! Di sinilah pekerjaan masyarakat, – pekerjaan masyarakat yang untuk kepentingan masyarakat, dan bukan lagi pekerjaan masyarakat untuk keuntungan per-seorangan; pekerjaan masyarakat kolektivistis, dan bukan lagi pekerjaan masyarakat kapitalistis -, di sinilah pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu tidak bertentangan lagi satu sama lain, tidak mengantitese lagi satu sama lain. Di sini dua hal itu isi-mengisi satu sama lain, mensintese satu sama lain. Keaktifan pekerjaan masyarakat membahagiakan cinta dan keibuan, kebahagiaan cinta dan keibuan mengaktifkan pekerjaan masyarakat.
Utopi? Impian kosong? Idealisme yang lupa daratan? Semuanya itu tidak! Sebab, sebagai di muka tadi telah saya katakan, masyarakat memang telah berangsur-angsur bergerak ke situ, tendenz evolusi masyarakat nyata telah menuju ke situ. Di Rusia misalnya, yang walaupun keadaan di sana masih belum sempurna, sudah banyak tercapai hasil di lapangan sintese itu. Sampai kepada pemiliharaan anak bayi pada waktu ibunya mengerjakan pekerjaan masyarakat, di sana diurus secara kolektif di dalam "creches". Siapa ingin mengetahui lebih jelas hasil-hasil yang tercapai di sana itu, bacalah perpustakaan yang mengenainya.
Saya tahu, ada orang-orang yang menamakan sintese antara pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu satu utopi. Dan saya tahu apa sebab orang-orang itu sebenarnya mencurigai pengoperan sebagian dari fungsi-fungsinya rumah tangga kepada masyarakat. Mencurigai pengoperan itu, padahal sebenarnya telah mulai berlaku pengoperan itu berangsur-angsur! Tak lain tak bukan sebabnya ialah kelambatan jalannya jiwa manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, kekonservatifan jiwa manusia kepada barang-barang yang baru. Kelambatan jiwa. Inersi psichis. Kekolotan psichis.
Yang menjadi sebabnya curiga itu ialah individualisme, yang di dalam masyarakat sekarang ini di dalam somah (gezin) itulah benteng–pertahanannya penghabisan.
Di dalam somah itu individualisme masih mendapat semacam hiburan, mendapat semacam tempat pelepaskan lelah, mendapat semacam kesempatan menarik nafas. Di dalam somah itu individualisme merasa dirinya tidak terganggu, merasa dirinya selamat. Sebab di luar somah itu, di masyarakat sekarang ini, hanya kepahitan dan kesukaran saja yang dijumpainya, di luar somah itu taufan praharanya perjoangan mencari sesuap nasi memenuhi angkasa. Di luar keprimpenannya somah itu manusia diuber-uber oleh hantu struggle for life, dicambuk, dilabrak, digiring, diseret oleh hantu ketidak-adilan sosial, dengan tiada maaf dan tiada ampun, tiada tempoh beristirahat dan tiada kesempatan menarik nafas. Maka somah menjadi semacam gumuk pengungsian, semacam bukit tempat berlindung, buat berlindungkan diri dari hamuknya banjir keharusan yang berhukum "bekerja mati-matian, atau lapar", – semacam tempat maya untuk melupakan pahitnya perjoangan hidup. Maka somah makin menjadi tempat bersarangnya individualisme, satu "tempat keramat" yang tak boleh dimasuki oleh apa saja yang mengurangi kepribadian individualisme itu, sebagai mitsalnya faham-faham "kemasyarakatan", faham-faham "kolektivisme", faham-faham "pengoperan fungsi-fungsinya somah kepada umum".
Tetapi di dalam satu Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, di mana manusia tidak diuber-uber sampai hampir putus nafas oleh hantu struggle for life, di dalam satu Dunia Baru di mana pencaharian hidup bukan satu azab yang meremukkan jasmani dan rohani, tetapi satu kewajiban yang gembira, di dalam. Dunia yang demikian itu manusia tidak "takut" kepada pekerjaan di dunia-ramai, dan somah dus tidak pula menjadi tempat perlindungan atau tempat mengembalikan nafas.
Di dalam Dunia yang demikian itu, maka batas antara somah dan masyarakat akan makin menjadi tipis, bahkan akan makin menjadi indah, laksana batas antara warna-warnanya pelangi hujan yang bersambung satu dengan yang lain dan menyusun satu harmoni yang gilang-gemilang.
"Wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten", – demikianlah Henriette Roland Holst menulis sesuai dengan pendapat saya ini – , "wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten, dan zullen de grenzen tussen gezin en gemeenschap, die nu scherp en hard getrokken staan, vervagen tot een lichtende mist".
Artinya: "Jikalau dunia telah menjadi satu sarang orang-orang yang bersahabat, maka batas-batas antara somah dan masyarakat, yang sekarang tajam dan keras itu, akan mengkabut menjadi kabut yang bercahaya".
Apa gerangan yang akan tertinggal bagi somah kelak, kalau batas itu telah menjadi "laksana batas warna-warnanya pelangi-hujan", – telah hampir hilang menjadi "kabut yang bercahaya"? Ah, janganlah orang nanti mengatakan lagi ini satu utopi! Kalau batas itu telah mengkabut, maka somah lantas benar-benar satu tempat cinta dan keibuan, di mana tiada gangguan 1001 pekerjaan tetek-bengek beraneka-warna membungkukkan tulang-belakang Sarinah sampai jauh-jauh malam, tetapi satu tempat di mana laki-laki, perempuan, dan anak-anak hidup bersama seperti burung di dalam sarangnya. Di situ hanya pekerjaan-pekerjaan persomahan yang istimewa saja dikerjakan, dengan kemerdekaan kemauan dan kegembiraan. Di situ laki-laki dan perempuan memenuhi kodratnya, melimpahi turunannya dengan pemeliharaan dan kasih sayang yang tiada gangguan, menjaga dan membesarkan turunan itu laksana burung menjaga anaknya. Di situ tidak ada lagi perempuan yang "senewen" karena tubuh dan jiwanya patah lelah tertimpa beban hidup sehari-hari, tidak ada Sarinah yang seperti gila menderita penyakit "retak". Dan sebagaimana tidak ada burung yang melepaskan anaknya sebelum berbulu, maka sungguh fitnah semata-mata perkataan orang, bahwa di dalam dunia baru itu anak dipisahkan dari ibunya. Tidak! Di dalam dunia baru itu anak tidak dipisahkan dari ibu, dan ibu tidak dipisahkan dari anak, melainkan hanyalah pemeliharaan anak itu mendapat bantuan besar dari pergaulan masyarakat. Kalau ibu pagi-pagi pergi ke pekerjaan di dalam masyarakat yang ia cintai, ia dapat menitipkan anak bayinya kepada "creches", yang menjaganya, memeliharanya, sampai nanti sore diambil lagi oleh ibunya.
Dan kalau pada waktu malam sang ibu perlu pula pergi ke rapat atau ke kursus atau ke gedung kumidi, maka pintu creches itupun terbuka pula untuk mengoper anak bayinya beberapa jam.
Demikianlah misalnya, bantuan masyarakat kepada pekerjaan Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu menjadi keramat sekeramat-keramatnya!
Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang sekarang! Mereka "mengeramatkan" somah, mereka katanya melindungi somah, mereka menolak percampuran tangan dari masyarakat ke dalam urusan somah, tetapi justru sistim masyarakat yang mereka bela itu memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru sistim masyarakat yang mereka ikuti itu mengisi somah dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru sistim masyarakat kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari, mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan kemudian melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-pekerjaan rumah- tangga yang bermacam-macam ragam sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan isi–mengisi satu sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya keramat. Hanya bilamana demikian, maka somah benar-benar menjadi satu sarang.
Sarangnya Orang, sarang Manusia! Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia, berkat bantuan masyarakat, berkat percampuran tangan masyarakat yang berupa pengoperan sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh masyarakat, dan berkat alat-alat teknik yang diasakan ke dalam somah oleh masyarakat itu. Tidakkah keramat sarang yang demikian itu? Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi Sarinah dapat terbang keluar untuk dengan hak penuh mengembangkan kepribadiannya dalam masyarakat, dan kemana ia pada waktu sore dapat terbang kembali untuk dengan hak penuh mengembangkan dharmanya sebagai yang diberikan oleh kodrat alam kepadanya?
Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan menjelmakan keadaan ini satu "sarang orang-orang yang bersahabat", satu "nest van genoten".
Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat!
Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya, ribuan, milyunan sarang-sarang kecil.
Sarang-sarang kecil Manusia!
Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka!
Mungkinkah Indonesia menjadi Sarang Besar yang demikian itu?