Sarinah oleh Soekarno
Bab 6: Sarinah dalam Perjoangan Republik Indonesia

Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat pergerakan wanita sebagai yang saya gambarkan di muka tadi, akan dapat menentukan tepat pergerakan wanita Indonesia di derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum pecahnya perang Pasifik sebagian besar daripada pergerakan wanita Indonesia barulah menduduki tingkatan yang kesatu, – tingkat main puteri-puterian – yang telah dianggap basi di negeri lain berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian kecil menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain pun telah menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial Belanda, maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita Indonesia itu sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak pemilihan buat haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu pun dengan aturan ... "vrije aangifte". Hasil ini amat kecil, jika dibandingkan dengan hasil hak pemilihan yang dicapai oleh wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah tentu tidak! Sebab pemerintah Belanda adalah pemerintah Belanda, dan aksi wanita di Indonesia, jikalau dibandingkan dengan aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia Penyedar di Jermania, adalah laksana kucing dibandingkan dengan harimau. Manakala wanita Indonesia mengira, bahwa mereka dengan pergerakannya itu dulu telah ikut-serta secara "hebat" di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca benggala pergerakan wanita di negeri lain. Alangkah kecil nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya! Alangkah tiada adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya.

Sekarang kita telah merdeka. Kita telah mempunyai Negara.

Kita telah mempunyai Republik. Bagaimanakah aktivitas wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah harusnya aktivitas wanita di dalam perjoangan Republik kita itu? Inilah soal yang amat penting, yang harus diinsyafi sungguh-sungguh oleh semua pemimpin wanita Indonesia. Malahan bila mungkin, jangan ada seorang wanitapun yang tidak insyaf, jangan ada seorangpun di antara mereka yang ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saya dapat mengagumi ucapan Lenin: "Tiap-tiap koki harus dapat menjalankan politik".

Buat segenap wanita Indonesia itulah saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka ikut serta dalam perjoang-an, – supaya mereka mempunyai pedoman dalam perjoangan. Manakala La Passionaria (Dolores Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru:

"Hai wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!", maka saya berkata:

"Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!"

Ucapan saya ini adalah satu variant daripada ajaran yang terkenal: "Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner". "Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan." Camkanlah ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala apa yang saya tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya uraikan di dalam bab ini "terlalu teori". Amboi, umpama saya ada kesempatan memberikan sepuluh kali lebih banyak teori tentang soal wanita daripada ini, saya akan berikan! Sebab, ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! "Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori, tiada berarah tujuan". Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi orang boleh berkata: Teori tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!

Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat Indonesia, sekarang ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan pergerakan, sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-olah demam dengan pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita tidak mengenal istirahat.

Sejak 17 Agustus 1945 kita mempunyai Negara, tetapi sejak itu pula kita malahan makin membanting tulang, makin "demam", makin seperti "keranjingan syaitan"! Arus perjoangan tidak berhenti-henti, arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik kita dan terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, kita ini?

Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan intelek bangsa, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala tidak lama kemudian daripada itu beliau merobah Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka dadanyapun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hajar Dewantara) mendirikan Nationaal Indische Partij, maka dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Mohammad Hatta, dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam Perhimpunan Indonesia, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Sutomo bersama-sama dengan kawan-kawannya intelektuil mendirikan P.B.I., mendirikan Parindra, mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa butir kawan mendirikan Partai Nasional Indonesia, dan kemudian menggerakkan partai itu menjadi partai yang dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus 1945 dengan tekad yang bulat dan keras laksana peluru baja mendirikan Republik, maka dada kita penuh dengan rasa cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi Republik itu dengan kesetiaan kita, mati-matian merealisasikan isi semboyan kita "sekali merdeka, tetap merdeka", maka dada kita semua penuh meluap-luap menyala-nyala berkobar-kobar – dengan apinya cinta tanah air!

Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan cinta tanah air. Tetapi pertimbangan yang mendorong kita kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama. Yang satu mengamalkan cinta tanah air, karena ia merasa perlu membela kepentingan-kepentingan golongan putera-puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air karena perlu menyusun tenaganya golongan kaum dagang Indonesia yang selalu terdesak oleh saingan asing. Yang satu lagi mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh kaum atasan Indonesia dari ikatan penjajah-an agar supaya kaum atasan itu dapat berkembang, yang lain lagi mengamalkan cinta tanah air untuk membela kepentingan kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh imperialisme, Parindra mengamalkan cinta tanah-air sebagai kampiunnya golongan yang agak atasan.

Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali semuanya mengejar Indonesia Merdeka. Tetapi jikalau kita selidiki satu-persatu partai-partai itu, – sejak dari Budi Utomo, sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam, sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis Indonesia, sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, sampai ke Partai Nasional Indonesia dan partai lain-lain – timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam bentuknya yang dulu itu membawa rakyat Indonesia kepada kemerdekaan yang kekal dan abadi?

Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh karena jawabannya itu mengandung pengajaran buat perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur dan tegas haruslah berbunyi: Partai–partai itu di dalam bentuk dan politiknya yang dulu itu tidak dapat membawa rakyat Indonesia kepada kemerdekaan yang kekal dan abadi!

Oleh karena apa? Oleh karena partai-partai itu semuanya satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo hendak meng-ikhtiarkan Indonesia Merdeka, – dapatkah ia berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak banyak itu, dan hampir semuanya bekerja kepada jabatan-jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba meyakinkan pihak Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan kemerdekaan adil? Percobaan yang demikian itu akan sama sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya Parindra merobah Indonesia Rayanya dengan Indonesia Merdeka, dan berjoang untuk Indonesia Merdeka, dapatkah ia berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh karena ia tidak mempunyai pengikut massa dan tidak cukup revolusioner.

Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa "seribu dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra menjadi partai yang revolusioner" oleh karena buminya Parindra memang bukan kaum yang revolusioner, melainkan kaum pertengahan yang belum revolusioner. Atau, pembaca barangkali melayang-kan fikiran kepada Sarekat Islam, yang dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang pemimpinnya pernah ditakuti Belanda sebagai "de aanstaande Koning der Javanen"? Saya pernah duduk di tengah-tengah kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah berdiam di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama itu. Tetapi justru karena itu, saya mengetahui kekurangan-kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam adalah satu partai yang massal, tetapi ia bukan partainya massa. Programnya kurang tegas. Banyak kaum tani menjadi anggotanya, tetapi ada pula tuan tanah, banyak pula saudagar-saudagar dan pedagang pertengahan, pegawai-pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut kemerdekaan mutlak; kapitalisme yang ia perangi ialah, – demikian tertulis di dalam programnya – , hanya "zondig kapitalisme" belaka. Akibat daripada melayani kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah, logis membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. – Semaun c.s. Dengan segala hormat kepada almarhum Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan partainya Semaun c.s. yang justru memisah-kan diri dari Sarekat Islam, karena kekurangan-kekurangan Sarekat Islam itu – bagaimanakah dengan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan dapat mencapai Indonesia Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya dan politik-nya yang dulu, tak dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena mereka justru tidak "tepat" politiknya itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam mengira bahwa kini sudah datang waktunya untuk revolusi sosial. Dan Partai Nasional Indonesia pun, partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena ia terlalu memandang perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu perjoangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan kedudukan perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu Revolusi Besar Internasional.

Lihat – alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita sekarang telah mempunyai Republik, tetapi manakala kita tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada perjoangan kita, – tidak menjalankan perjoangan kita itu dengan sifat yang benar dan pada tempat yang benar -, maka kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa rakyat Indonesia telah merdeka, tetapi untuk memiliki kemerdekaan itu buat selama–lamanya dan mengisinya dengan kesejahteraan sosial, – untuk itu perlulah penglihatan yang tepat dan usaha-usaha yang tepat pula. Mencapai kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus kemerdekaan itu kini menjadi tugas.

Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang dinamakan revolusioner? – dapatkah kita pisahkan Revolusi Indonesia daripada Revolusi Besar Internasional? – haruskah kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial, ataukah harus kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat Revolusi Nasional? – atau haruskah kita jalankan Revolusi Sosial dan Revolusi Nasional itu simultan, serentak bersama-sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu masih harus sifat nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? – bagaimana caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? – dapatkah kita menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa, dan bagaimana jalannya supaya Revolusi itu tetap Revolusinya massa? – bagaimana kewajiban wanita di dalam Revolusi yang berisi sekian banyak soal–soal itu, supaya Revolusi itu menjaminkan kedudukan sebaik–baiknya kepada wanita di kemudian hari? – soal-soal sebagai ini harus berani kita hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita pecahkan. Tidak ada gunanya menghindari soal-soal ini, – semuanya toh pasti akan menerkam kita. Dan mati hidup kita sebagai bangsa tergantung dari padanya!

Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di sana itu, dan di seluruh Indonesia di hari-hari yang kemudiannya, adalah satu peristiwa revolusioner. Sebab pada hari itu dirobek konstitusi Belanda yang menya-takan Indonesia menjadi satu bagian dari Kerajaan Belanda. Tetapi tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa itu adalah peristiwa revolusioner, – sosial (maatschappelijk) pun ia adalah pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah kita maksudkan sebagai langkah pertama ke arah penyeleng-garaan satu tujuan sosial yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup Indonesia yang tidak berkapitalisme, satu pergaulan hidup di Indonesia yang sama sekali berazaskan azas-azas lain daripada yang sudah-sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial, sebagai bagian daripada pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan sosial. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kita lakukan bukan untuk feitnya proklamasi belaka, Negara Republik Indonesia kita bangunkan bukan hanya untuk mempunjai negara belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu sebagai pucukan perjoangan sosial yang revolusioner, – sebagai syaratnya satu perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang revolusioner. Undang-undang Dasar Negara yang kita susun, adalah menunjukkan dengan nyata arah yang revolusioner itu: mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa:

"Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang ber-kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke – Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia " , – mukadammah undang-undang dasar kita ini dengan nyata menegaskan bahwa Republik diadakan untuk penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu langkah yang pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner! Dan langkah pertama ke arah penjelenggaraan satu tujuan yang revolusioner, adalah revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, – dari langkah pertamanya sampai kepada ujung akhirnya -, adalah pula revolusioner!

Tetapi kecuali daripada itu, peristiwa menjadi merdekanya suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, – merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka boneka, – adalah satu peristiwa revolusioner, oleh karena peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: Tidak dapat "diatur", "disedia-sediakan", "dihadiahkan" secara konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu, dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, adalah satu peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara konstitusionil. Dan tidak akan – tidak mungkin! – sengaja diatur atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan bangsa yang daripadanya ia menghisap zat-zat untuk hidupnya atau kesejahteraannya! "Tak pernah sesuatu kelas dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih", demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh karena itulah pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak revolusioner, tetapi isinya kejadian itu! Sering kali banyak darah ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner.

Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa dalam proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan, satu cincin dalam rantai revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak konstitusionil. Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan untuk mengeritiki kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk mengajak segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal Indonesia menjadi satu soal kecil "urusan dalam negeri" konstitusionil! Tetapi ia tidak akan berhasil, ia pasti akan kandas. Sebab memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil, melainkan situasi-situasi revolusioner yang telah menelorkan kemerdekaan Indonesia itu, dan karenanya tiada kekuatan manusia apapun dapat menghapuskannya, tiada muslihat manusia apapun dapat meniadakannya.

Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan Indonesia telah saya lihat menyingsing di cakrawala. – Dengan hati yang berdebar debar karena rasa kegembiraan yang tak tertahan, di dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat yang terkenal: "Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa karena ledakan bom dan dinamit, di situ rakyat Indonesia akan melepaskan belenggu-belenggunya, di situ rakyat Indonesia akan merdeka!"

Ucapan ini bukan satu "nujuman". Ia bukan pernyataan seorang-orang yang melihat gambar hari kemudian terlukis dalam rangkaian bintang-bintang di langit.

Ia bukan pula keluar dari mulutku karena dorongan harapan berdasar "wishfull thinking". Bukan pula sekedar hasutan kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam penjara bertahun-tahun. Ia adalah hasil perhitungan akan datangnya situasi–situasi revolusioner, dan perhitungan akan mempergunakan situasi–situasi revolusioner itu.

Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan duniawipun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah turun (telah "im Niedergang") dan megap-megap mencari nafas dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp dan main drel dengan senapan mesin, – semua itu membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu pasti akan mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru dan seramnya belum pernah dialami oleh kemanusiaan, satu peperangan dunia yang tidak saja akan mempuingkan muka bumi di dunia Barat, tetapi juga akan menggeledek dan menghalilintar di dunia Timur.

Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang segenting-gentingnya, – pasti peperangan itu datang, hantu-hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada ampun, – itu saya tahu -, imperialisme Belanda, akan terseret-serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu godamnya!

Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam atau hampir remuk-redam, maka itu adalah satu situasi revolusioner. Satu situasi revolusioner yang akan menjadi satu anasir–obyektif yang baik untuk melepaskan Indonesia dari cengkereman imperialisme Belanda itu. Manakala kita tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar, maka haruslah kita menunggu kesempatan dan mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam keadaan lemah atau remuk. Tetapi untuk dapat mempergunakan kesempatan itu, kita sendiri harus kuat. Kita harus menyusun anasir-subyektif untuk dapat mempergunakan kesempatan itu: kita harus menyusun tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita, mengkongkritkan kemauan nasional kita.

Di samping situasi revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan (dan kita bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan Belanda di dunia Timur.

Pada saat itulah Banteng Indonesia akan meraung:

Merdeka, Indonesia telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka!

Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya lukiskan di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh daripada bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya Indonesia adalah satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh karena ia, sebagai tadi saya katakan, adalah satu langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh karena ia (nanti saya jelaskan) satu bagian daripada satu proses dunia yang revolusioner.

Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih dianggap tujuan ? Belum dapatkah kita sekarang menjelmakannya, – merealisasikannya? Kaum wanita, yang membaca uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini, sudah barang tentu ada yang tertarik oleh uraian tentang maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga, dan berkeyakinan juga bahwa hanya di masyarakat sosialislah wanita dapat menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita ada yang memperoleh keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar lantas mengerti kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-feminisme dan mengerti, bahwa soal wanita hanyalah dapat memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling bersyukur, sayalah yang paling berbahagia.

Memang untuk memberi keyakinan yang demikian itulah salah satu maksud tangan saya menggoyangkan pena! Tetapi saya pun sedar, bahwa saya masih harus menarik terus garis penerangan saya itu lebih jauh. Saya sedar, bahwa justru oleh karena tertarik oleh kebenaran pendirian "tingkat ketiga" itu, sebagian dari pembaca-pembaca lantas berfikiran: "Ha, tingkat ketigalah yang benar, tingkat ketigalah yang memberi pemecahan soal wanita yang memuaskan, marilah kita pusatkan segala perhatian kita dan keaktivan kita sekarang juga kepada Revolusi Sosialisme! Maka oleh karena itulah lantas mendesak kemuka soal:

Sudahkah sekarang tiba waktunya bagi kita untuk Revolusi Sosialisme? Untuk meniadakan tiap-tiap sesuatu yang berbau kapitalisme? Untuk membasmi borjuasi nasional? Untuk menghapuskan apa saja yang masih bercorak feodal? Untuk melabrak tiap-tiap sesuatu yang masih belum bersifat sosialistis?

" Kesejahteraan sosial " . Dua perkataan yang di dalam Revolusi kita ini telah amat termasyhur! Tetapi justru juga dua perkataan yang mewajibkan kita berfikir dalam-dalam.
"Kesejahteraan sosial"! Ambillah misalnya pergaulan hidup dalam kelompok. Di dalam pergaulan hidup kelompok itu tentu tidak ada kapitalisme, tentu tidak ada borjuasi, tentu tidak ada feodalisme.

Apakah pergaulan hidup kelompok itu "berkesejah-teraan sosial"?

Atau ambillah pergaulan hidup dalam gens, di zamannya matriarchat. Juga di situ tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme. Malah di situ menurut pendapat Engels atau Muller Lyer ada "oercommunisme". Tetapi adakah di situ kesejahteraan sosial?

Apakah yang dinamakan kesejahteraan sosial? Apakah satu masyarakat, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, – yang di dalamnya ada " sama rasa sama rata", tetapi yang di dalamnya misalnya orang harus berjalan kaki atau menaik gerobak kerbau kalau hendak pergi dari Bandung ke Surabaya, karena tidak ada oto atau kereta api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam gelap gulita pada waktu malam karena tidak ada listrik ataupun minyak tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga plongo karena tidak ada percetakan yang mencetak buku-buku atau surat-surat khabar; yang di dalamnya orang harus menderita banyak penyakit oleh karena tidak ada paberik yang membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat bendungan-bendungan air – pengairan oleh karena di dalam tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau, dan palawija sekian pikul sebau oleh karena pertanian masih dijalankan secara di zaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; pendek kata: satu masyarakat kuno-kuno-mbahnya-kuno dengan tiada oto, dengan tiada kereta api, dengan tiada paberik-paberik, dengan tiada surat-surat khabar, dengan tiada radio, dengan tiada rumah-rumah sakit, dengan tiada kapal-kapal, dengan tiada korek api, dengan tiada buku-buku, tiada aspal, tiada sepeda, tiada semen, tiada sekolah, tiada ... ya, entah tiada apapun namanya lagi, – dapatkah masyarakat yang demikian itu, walaupun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan ada " sama rasa sama rata", – dapatkah masyarakat yang demikian itu bernama masyarakat yang "berkesejahteraan sosial"?

Sudah tentu tidak! Masyarakat yang demikian itu bukan masyarakat kesejahteraan sosial, masyarakat yang demikian itu bukan masyarakat sosialisme.

Masyarakat yang demikian itupun tidak mungkin dapat berdiri teguh di dalam dunia kapitalistis yang sekarang.

Ia segera akan menjadi mangsanya imperialisme, yang sedikit-nya akan membanjiri dia dengan barang-barang modern buatan industrialismenya.

Apakah arti sosialisme? Ya, saya menanya: Apakah arti sosialisme?" Sosialismekah kalau orang masih harus berjalan kaki kalau bepergian jauh? Sosialismekah kalau produksi hanya sedikit dan distribusi tidak teratur sentral karena tidak ada banyak alat-alat transport yang mekhanis? Sosialismekah kalau banyak obrolan omong kosong, karena hanya sedikit orang saja dapat membaca, menulis, mengetahui khabar dunia?

Sosialisme kah kalau wanita di rumah lampunya lampu minyak kelapa atau lampu biji jarak, meniup-niup api di dapur tiap-tiap kali ia hendak menanak nasi, memintal dan menenun sendiri tiap-tiap jengkal bahan baju anaknya atau suaminya karena memang tidak ada paberik tenun yang menenun tekstil?

Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif. Adanya industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding, adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi, dll, semuanya secara mempunyai jumlah minimum, dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin, walaupun ia orang anarchist) "di dalam suasana kolektivitas". Alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong–royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah kecukupan pelbagai kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektivisasikan. Sosialisme adalah "keenakan hidup yang pantas" Kecukupan pelbagai kebutuhan itu, adanya "keenakan hidup yang pantas" itu, hanyalah mungkin dengan adanya dan dipergunakannya "secara sosial" alat–alat teknik.

Satu masyarakat yang belum dapat memenuhi syarat-syarat teknik itu sampai kepada sedikitnya satu tingkat minimum yang tertentu, tak mungkin mampu menjelmakan sosialisme!

Sudahkah kemajuan masyarakat kita sekian jauhnya? Sudahkah masyarakat kita politik cukup merdeka, untuk menyediakan "syarat-syarat teknik" sampai kepada sedikitnya satu tingkat "minimum" itu? Pada saat saya menuliskan pertanyaan-pertanyaan ini, lampu yang menyinari kertas saya ialah lampu lilin, karena aliran listrik diputuskan Belanda di Tuntang, dan di berpuluh-puluh tempat dalam Republik, mortir dan bren-gun Belanda berdentam-dentam. Negara Indonesia dalam bahaya! Dapatkah satu Negara, yang sedang dikepung dan diserang oleh musuh, melaksanakan sosialisme? Dan andaikata Belanda tidak mengepung dan tidak menyerang negara kita, sekali lagi saya tanyakan, dapatkah kita sekarang, – sekarang! – , telah melaksanakan sosialisme?

Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita satu kejadian yang tidak konstitusionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia itu satu tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak Negara Indonesia harus melalui satu fase "dalam bahaya". Tidakkah tadi telah saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu kelas dengan sukarela melepaskan kedudukannya yang berlebih? Pekerjaan kita mendirikan negara belum selesai, Revolusi Nasional kita belum berakhir. Revolusi Nasional kita malah sedang menggelora-menggeloranya! Pekerjaan mendirikan negara itu sedikitnya harus selesai lebib dahulu, sebelum kita dapat memasuki fase sosialisme.

Bangsa Indonesia sedang di dalam Revolusi. Tetapi Revolusi bukanlah sekedar satu "kejadian" belaka. Revolusi adalah satu proses. Puluhan tahun, kadang-kadang, berjalannya proses itu. Revolusi Perancis berjalan delapan puluh tahun, Revolusi Rusia empat puluh tahun, Revolusi Tiongkok sampai sekarang pun belum selesai. Revolusi kita pun tentu akan memakan waktu bertahun-tahun, kalau tidak berpuluh-puluh tahun juga. Pasang naik dan pasang surut akan kita alami berganti-ganti, pasang naik dan pasang surut itulah yang dinamakan irama Revolusi! Tetapi geloranya samudra tidak berhenti, gelora samudra berjalan terus. Sejarah berjalan terus, dan klimaks sejarah (atau "inspirasi yang menghamuk" daripada sejarah) yang bernama Revolusi itu pun berjalan terus, melalui beberapa fase.

Revolusi adalah "hamuknya" tenaga-tenaga masyarakat, tetapi tenaga-tenaga itu bukan hanya tenaga-tenaga yang menghantam, menggempur, menghancurleburkan saja, – tenaga-tenaga itu ada pula yang menyusun, membina, membangun. Revolusi bukan hanya proses yang destruktif, ia juga satu tenaga besar yang konstruktif. Keadaan-keadaan dalam masyarakat yang telah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan baru, ia hantam, ia matikan, ia hancurleburkan, – keadaan-keadaan baru yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan baru ia bangunkan. Dan di dalam tiap-tiap fase Revolusi, maka tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu bekerja serempak, bekerja simultan.

Sebagaimana di dalam faIsafah Hindu destruktivismenya Syiwa dan konstruktivismenya Wisynu bekerja serempak simultan, maka demikian pula di dalam tiap-tiap fase daripada Revolusi, destruksi dan konstruksi berjalan serempak simultan.

Apakah fase-fasenya Revolusi kita? Kita mengalami fase nasional, dan akan mengalami fase sosial: fase nasional dalam mana kita mendirikan Negara Nasional, dan fase sosial dalam mana kita mendirikan sosialisme. Dalam fase nasional tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan, dalam fase sosial pun tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan. Eposnya permainan bersama antara hamuknya tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu sekarang sedang berjalan dengan dahsyatnya, gegap gempitalah permainan bersama itu hingga menggoncangkan seluruh dunia. Di dalam fase sekarang ini (fase nasional), maka dihantam digempur diremukredamkan rantai-rantai politik, belenggu-belenggu ekonomi, hukum-hukum penjajahan kolonial, tetapi simultan dengan itu digembleng-dibangunkanlah Negara Baru. Pemerintahun Baru, hukum-hukum dan anggapan-anggapan baru, alat-alat produksi baru, orang-orang produsen baru. Dan bukan saja untuk fase yang sekarang semata-mata! Tetapi di dalam fase yang sekarang ini akan mulai juga berangsur-angsur disiap-siapkan dan disedia-sediakan syarat-syarat untuk berlakunya fase sosial yang akan datang, sebagai misalnya alat–alat teknik dan alat–alat jiwa yang saya maksudkan di muka tadi. Demikian pula, maka di dalam fase sosial bukan saja akan dihancurkan dan dibinasakan segala anasir-anasir kapitalisme, serta dibangunkan dan disuburkan simultan dengan itu anasir-anasir kesejahteraan sosial, tetapi juga akan dipelihara beberapa anasir yang telah terbentuk di dalam fase yang terdahulu, yaitu fase nasional. Fase yang satu dus tidak terpisah dari fase yang lain secara tajam laksana terpisahnya lautan dari daratan atau laksana terpisahnya bilik yang satu dari bilik yang lain, tetapi dua fase itu "sambung-sinambung" satu sama lain laksana "fase kanak-kanak" dan "fase dewasa" di dalam hidupnya manusia atau binatang.

Perhatikan: laksana fase kanak-kanak dan fase dewasa dalam hidupnya manusia atau binatang! Artinya, dua fase ini sendiri–sendiri harus ada, dua fase ini yang satu mendahului yang lain, dan yang lain mengikuti yang satu, – tetapi tidak dapat dua fase ini terjadi berbareng sekaligus, tidak dapat fase dewasa terjadi dengan tidak didahului lebih dahulu oleh fase kanak-kanak. Fase Nasional dan fase Sosial daripada Revolusi kita ini dua-duanya sendiri-sendiri harus ada, tidak dapat Fase Sosial terjadi sebelum selesal lebih dahulu Fase Nasional, tidak dapat pula Fase Nasional dan Fase Sosial terjadi berbareng sekaligus. Ini harus dikemukakan di sini dengan tegas, sebab di dalam kalangan kaum pergerakan Indonesia masih ada orang-orang yang masih berpenglihatan kabur tentang hal ini. Tatkala Revolusi kita baru berlaku beberapa bulan saja, maka dari kalangan beberapa pemuda Indonesia, saya beberapa kali mendengar ucapan-ucapan yang isi maksudnya ialah: Nah, kita sekarang sudah merdeka, kita sekarang sudah ber-Republik, mari kita sekarang segera mulai mengadakan Revolusi sosial!

Hantam-kromo saja mau segera mengadakan revolusi sosial? Seolah-olah sesuatu revolusi, – apa lagi revolusi sosial – dapat "diadakan"! Seolah-olah sesuatu revolusi dapat "dibikin" oleh seseorang pemimpin, dan misalnya disuruh mulai pada bulan sekian, hari tanggal sekian, jam sekian! Seolah-olah Marx tidak pernah berkata, bahwa sesuatu revolusi bukanlah anggitan seseorang revolusioner "pada suatu malam yang ia tak dapat tidur"! Seolah-olah revolusi bukan satu proses masyarakat yang digerakkan oleh tenaga-tenaga masyarakat itu sendiri, – bukan oleh si agitator, bukan oleh si demagoog, bukan oleh si penganjur, bukan oleh si pemimpin!

Di dalam tahun 1927 dan 1928 saya mengalami kesulitan-kesulitan yang semacam dengan itu pula. Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjoangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia. Beberapa saudara komunis yang dapat menyelamatkan diri dari hamuk tabula rasanya pemerintah Belanda itu, di dalam perbantahan dalam kamar tertutup selalu mengemukakan kepada saya:

"Saudara anti kapitalisme, saudara bercita-cita sosialis, kenapa saudara tidak mulai sekarang saja mengadakan aksi sosialis, Mengapa saudara mengadakan pergerakan nasional lebih dahulu? Saudara mengadakan dua kali perjoangan Mengapa saudara tidak mengadakan satu kali perjoangan saja, supaya sosialisme lekas tercapai?

Selalu saya menghadapi kenyataan, bahwa orang belum mengerti bahwa Revolusi adalah satu proses. Satu proses yang bertingkat-tingkatan, satu proses masyarakat yang timbul dari tenaga-tenaga immanent dalam masyarakat itu sendiri. Kita dapat meneruskan tingkatan revolusi yang satu kepada tingkatan revolusi yang lain, kita dapat menyambungkan tingkatan yang satu kepada tingkatan yang lain, tetapi kita tidak dapat melangkahi tingkatan revolusi yang satu, dan terus melompat saja ke tingkatan revolusi yang lain, atau memborong tingkatan revolusi yang satu berbarengan dengan tingkatan revolusi yang lain. Kita dapat mencoba mempercepat jalannya tingkatan revolusi yang satu, agar segera dapat disusul oleh tingkatan revolusi yang lain, kita malahan harus menganggap tingkatan revolusi yang satu itu sebagai ketentuan bagi (batu loncatan kepada) tingkatan revolusi yang lain, tetapi kita tidak dapat meniadakan tingkatan yang satu untuk segera mendapat tingkatan yang lain. Tingkatan yang satu mempunyai periode sendiri dan kewajiban sendiri, tingkatan yang lainpun mempunyai periode sendiri dan kewajiban sendiri.

Tidak dapat kewajiban tingkatan yang kemudian disuruh menyelesaikan oleh tingkatan yang terdahulu, tidak dapat kewajiban tingkatan yang terdahulu ditunda kepada tingkatan yang kemudian. Siapa yang menginsyafi hal-hal ini semuanya dengan benar-benar, bertindak sesuai dengan keinsyafan itu, berjoang, membanting tulang mati-matian untuk mempercepatkan jalannya dan terlaksananya tingkatan-tingkatan revolusi itu, dia adalah benar-benar revolusioner, dan siapa yang tidak mengindahkan adanya tingkatan-tingkatan itu, dan mau main "radikal-radikalan" melompati sesuatu tingkatan atau memborong sekaligus semua tingkatan, dia, meski dengan suara yang menggeledek dan mengguntur dan muka merah padam seperti udang mengatakan dirinya revolusioner, dia tidak revolusioner. Sebab dia hendak mengerjakan satu hal yang mustahil, – hendak mengerjakan satu hal yang sosial – mustahil! Dan – dia tidak radikal pula, meskipun dia mengira bahwa dia radikal. Dia tidak revolusioner oleh karena tidak mengerti proses revolusi dan tidak berjoang menurut proses revolusi; dia tidak radikal, oleh karena tidak ada radikalisme sejati yang bertentangan dengan proses revolusi.

Lilin di hadapan kertas saya tetap menyala! Satu simbul, bahwa Revolusi kita tetap berjalan. Paberik listrik di Tuntang boleh dikuasai oleh Belanda, – Revolusi kita dalam arti yang luas akan berkobar terus, rakyat kita akan berjoang terus memper-tahankan Negaranya.

Satu hari akan datang yang Sang Merah Putih akan berkibar dengan tiada gangguan, di Tuntang, di Semarang, di Surabaya, di Jakarta, di Bandung, di tempat-tempat yang kini diduduki oleh Belanda, – di seluruh Indonesia! Satu hari akan datang, yang imperialisme di Indonesia betul-betul mati binasa, yang Negara kita tidak lagi dalam bahaya.

Tetapi nyata lilin itu membuktikan bahwa Revolusi Nasional kita belum selesai, Revolusi Nasional kita kini sedang berjalan.

Sedang berjalan, dengan gegap-gempitanya, dengan hebatnya, dengan dahsyatnya! Revolusi Nasional ini sebagai satu cambuk gaib mengaktifkan tiap-tiap atom daripada tubuhnya bangsa kita, memasangkan tiap-tiap urat kecil daripada badan-tenaganya rakyat kita, menggeletarkan tiap-tiap bagian daripada jiwa masyarakat kita, dan dia akan mengaktifkan terus, akan memasangkan terus, akan menggeletarkan terus, entah buat berapa tahun lamanya lagi, sampai kewajibannya tertunai. Sebab sebagai saya katakan tadi, tiap-tiap fase mempunyai periodenya sendiri dan mempunyai kewajibannya sendiri, dan tiap-tiap fase menunaikan periodenya sendiri dan menunaikan kewajibannya sendiri. Dan apakah kewajiban fase Revolusi Nasional kita ini? Apakah "tugas bersejarah"-nya Revolusi Nasional kita ini?

Kewajiban atau tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita ini ialah mendirikan satu Negara Nasional Indonesia. Tugas bersejarah ini harus selesai lebih dahulu sebelum Revolusi Nasional itu minta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial Dan berapa lamakah diperlukan untuk menyelesaikan tugas bersejarah itu? Entah berapa tahun, entah berapa windu, – tetapi nyata bukan hanya beberapa bulan saja. Banyak air keringat kita masih harus mengucur, banyak keluhan kita masih harus terdengar, sebelum tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita itu tertunai. Samodera Hindia masih harus bergelora bertahun-tahun lagi, sebelum gelombang-gelombangnya membanting membasahi pantai-pantai kepulauan Indonesia yang telah tergabung teguh dalam satu Negara Naional Indonesia. Ya, bertahun-tahun! Dua tahun lebih kita telah berada dalam kancah Revolusi Nasional, tetapi kesudahannya nyata belum tercapai. Memang, alangkah banyaknya, alangkah sukarnya dan hebat-hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita selesaikan, anasir-anasir "destruksi" dan anasir-anasir "konstruksi"! Merebut kekuasaan pemerintah dari tangan asing, menyusun angkatan perang nasional, membinasakan tiap-tiap kuman kolonialisme, menjalankan semua jawatan-jawatan dengan kekuatan sendiri, membuat peruangan Indonesia, mempersatukan semua kepulauan Indonesia dalam lingkungan-nya satu negara yang merdeka, membanteras kekacauan-kekacauan dari dalam, menyusun teknik Indonesia yang kuat dan modern, menjalankan diplomasi untuk mendapat pengakuan de jure internasional, menindas provinsialisme, menggembleng milyunan rakyat Indonesia menjadi satu bangsa yang berkesadaran nasional, berkesadaran negara, berkesadaran pemerintah, berkesadaran tentara, berkesadaran sosial, membuat pemerintah Nasional menjadi stable government ke luar dan ke dalam, dan lain-lain lagi, – semua itu harus dikerjakan, semua itu harus ditunaikan lebih dahulu, sebelum boleh dikatakan Revolusi Nasional selesai. Ini bukan pekerjaan kecil, ini bukan pekerjaan yang dapat kita selesaikan sambil goyang kaki beberapa hari. lni pekerjaan raksasa, yang membutuhkan pengerahan tenaga, keuletan kemauan, ukuran fikiran dan ukuran timbangan raksasa.

Ini harus selesai lebih dahulu, sebelum kita dapat dengan sungguh-sungguh bercancut-taliwanda menggugurkan benteng-bentengnya kapitalisme di dalam pagar, menjusun dan meng-gembleng masyarakat Indonesia yang berkesejahteraan sosial.

Jangankan masyarakat "yang berkesejahteraan sosial"! Menyusun masyarakat yang "normal" sajapun tak mungkin, sebelum selesainya soal nasional. Tak mungkin sebelum selesainya soal politik! Dengarkanlah misalnya apa yang dikatakan oleh Giuseppe Mazzini, salah seorang pemimpin besar pembentuk Negara Nasional Italia beberapa puluh tahun yang lalu:

"Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan. Anjuran-anjuran dan dayaupaya-dayaupaya yang kubicarakan tadi, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang bersatu dan merdeka. Perbaikan keadaan masyarakatmu hanyalah dapat diperoleh dengan ikut campurmu dalam pergaulan ketata-negaraan bangsa-bangsa. Jangan mengira, bahwa kamu akan dapat memperbaiki nasib hidupmu sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu akan sia-sia!" ...

Sekali lagi, alangkah banyaknya, sukarnya, dan hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita tunaikan.

Alangkah banyaknya isi yang harus kit "isikan" dalam kata-kata " destruksi " dan " konstruksi " yang simultan berlaku dalam tiap-tiap Revolusi, dus juga dalam Revolusi Nasional kita itu, sebelum dapat kita memasuki fase Revolusi yang kemudian!

Dan bukan saja Revolusi Nasional ini harus selesai untuk memenuhi syarat-syarat dalam atau innerlijkevoorwaarden untuk memungkinkan Revolusi Sasial, bukan saja Revolusi Nasional ini historis organis adalah satu cincin dalam satu proses masyarakat yang panjang laksana rantai – ia adalah pula satu usaha perlawanan untuk menentang bahaya yang datang dari luar. Seluruh dunia Timur sejak satu abad ini terkepung oleh raksasa-raksasa imperialisme dan kapitalisme, bahkan banyak yang telah dihinggapi dan diodal-adil perutnya oleh raksasa-raksasa itu, dan sebagai satu usaha perlawanan, maka bangsa-bangsa Asia berjoang mati-matian memerdekakan diri, dan di sana-sini berusaha habis-habisan untuk mendirikan negara-negara nasional. India berusaha untuk menjadi negara nasional (sementara gagal, karena berdirinya Pakistan), Tiongkok berusaha untuk menjadi negara nasional (sementara gagal pula), Indonesia berusaha untuk menjadi negara nasional. Philipina, Tiongkok, Siam, Indonesia, Indo-Cina, Burma, India, Afganistan, Iran, seluruh jazirah Arab, Mesir, semua itu masing-masing harus merdeka, untuk memungkinkan mereka menentang dengan efektif dan mengeliminir dengan efektif segala eksploatasi yang datang dari luar.

Saya tidak berkata bahwa tiap-tiap bangsa yang telah merdeka telah pula terhindar dari eksploatasi dari luar!

Tidak! Pembaca kenal nasib Siam, dan kenal nasib Iran, misalnya. Tetapi kemerdekaan politik itu adalah syarat mutlak untuk memungkinkan sesuatu bangsa menentang dengan tenaga maksimum segala eksploatasi dari luar. Karena itulah, maka Revolusi Nasional kita ini bukan saja satu fase yang seharusnya ada dalam pertumbuhan masyarakat kita di dalam pagar, ia juga satu langkah pertahanan yang seharusnya ada untuk penolak bahaya yang datang dari luaran.

Malah tegas, kita bukan hanya sekedar hendak merdeka, kita tegas berjoang mendirikan Negara Nasional. Kita bukan cuma menghendaki Jawa Merdeka (100 %), Sumatera Merdeka (100 %), Kalimantan Merdeka (100 %), Sulawesi Merdeka (100 %), Kepulauan Sunda Kecil Merdeka (100%), Maluku Merdeka (100%), tidak, kita menghendaki berdirinya Satu Negara Seluruh Indonesia (unitaristis atau federalistis) yang teguh kuat.

Kita menghendaki Negara Nasional.

Dan inipun bukan sekedar karena "cita-cita", bukan sekedar karena "idealisme". Cita-cita kebangsaan kita itu adalah satu hal yang tumbuh daripada keharusan-keharusan pertumbuhan masyarakat.

Negara Nasional Indonesia bukan sekedar idam-idaman politikus-politikus yang berjiwa romantis, ia adalah satu keharusan sosial politik. Ya benar, sudah tentu ada cita-cita, sudah tentu ada idealisme; malahan barangkali sudah tentu ada romantik. Mungkinkah sesuatu perjoangan maha hebat dan maha sukar berjalan dengan cukup elan, jika tiada cita-cita, tiada idealisme, tiada romantik? Ah, barangkali malahan saya sendiri terlalu sering memainkan kecapinya idealisme dan romantik! Dengarkanlah lagu yang misalnya saya nyanyikan dalam pidato "Lahirnya Pancasila" atau pidato 17 Agustus 1947:

"Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"- nya dan perasaan orangnya. "l’ame et le desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan.

Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana "kesatuan-kesatuan" itu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan, bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar. Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan ... Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! ... Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Papua".

"Seluruh Rakjat Indonesia, baik di daerah Republik, maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Papua, seluruh Rakyat Indonesia yang merantau di manca negara, saya panggil kamu, untuk meneruskan perjoangan kita mempertahankan Republik sebagai pelopor daripada perjoangan seluruh bangsa Indonesia, sebagai lambang kemenangan Revolusi Indonesia terhadap imperialisme Belanda. Yakinlah, saudara-saudara di luar Jawa dan Sumatera dan Madura, – dengan hilangnya Republik akan hilang pula dibasmi oleh Belanda pergerakan kemerdekaan di luar Republik. Kita yang 70.000.000 jiwa ini, kita bangsa yang satu. Dan kita bangsa yang satu ini mempunjai cita-cita bangsa, mempunyai cita-cita kebangsaan bersama-sama: Ialah, supaya bangsa yang satu ini hidup sebagai bangsa yang merdeka, tersusun di dalam satu Negara yang merdeka, bernaung di bawah satu Bendera Sang Merah Putih yang merdeka. Empat puluh tahun hampir, kita bersama-sama berjoang, bersama-sama menderita, bersama-sama berkorban, untuk mencapai cita-cita kebangsaan kita itu.

Dan hasil pertama yang besar daripada perjoangan bersama, penderitaan bersama, pengorbanan bersama kita itu ialah Republik Indonesia ini! Republik Indonesia, yang kini hendak dihancurkan oleh Belanda, Republik adalah milik kita bersama, milik seluruh bangsa Indonesia. Republik bukan miliknya orang Indonesia yang berdiam di Jawa dan Sumatera saja, Republik adalah juga miliknya saudara-saudara yang berdiam di Borneo, di Sulawesi, di Kepulauan Sunda Kecil; di Maluku, di Papua. Darah saudara-saudara ikut membasahi tanah tatkala kita menjelmakan Republik ini! Republik harus kita anggap sebagai modal kita sekalian, untuk meneruskan perjoangan kita mengejar cita-cita kebangsaan kita, yakni Negara Kesatuan Indonesia. Peliharalah modal ini, belalah modal ini, pertahan-kanlah modal ini!"

Ya, ini barangkali memang berbau idealisme, barangkali memang berbau romantik. Saya memang dapat berlinang-linang air mata pada saat mengelamunkan persatuan Indonesia itu. Tetapi saya mengucap suka-syukur kepada Tuhan, bahwa jiwa saya tidak kosong daripada idealisme dan romantik yang demikian itu. Saya merasa iba kepada orang-orang, yang tidak mempunyai "Romantik Indonesia" itu. Saya merasa bahagia dalam keyakinan, bahwa "romantik" saya itu bukan romantik yang merindukan sesuatu hal yang mustahil, tetapi merindukan sesuatu hal yang saya yakin dapat tercapai dan malahan pasti akan tercapai pula. Tetapi saya tidak mau "ber-romantik" sambil memeluk tangan. Saya mau bertindak aktif. Saya mau berjoang, dan mengajak Massa berjoang. Sebab saya adalah termasuk golongan orang-orang, yang berpendapat bahwa keharusan-keharusan sosial politik dalam masyarakat manusia itu menjelmanya sebagai "kejadian" ialah selalu, bilamana anasir-anasir obyektif mendapat cetusan Wahyu -Cakraningratnya anasir-anasir subyektif yang sehebat-hebatnya dan semassal-massalnya. Karena itulah maka saya gemar menjadi agitator, yang dengan senjata idealisme, dengan senjata "pengalamunan", kalau perlu dengan senjata romantik, aktif menggugah massa, aktif membangkitkan Massa!

Apa sebab saya mengatakan, bahwa Negara Nasional Indonesia satu Keharusan sosial politik? Dus satu hal, yang tidak boleh tidak kelak pasti akan terjadi? Saya tidak berkata, bahwa Negara Nasional Indonesia itu pasti akan terjadi sekarang. Di dalam pidato saya pada 17 Augustus 1947 itupun dengan tegas saya katakan, bahwa Republik (Jawa dan Sumatera) adalah modal bagi kita sekalian, untuk meneruskan perjoangan kita mengejar Negara Indonesia. Tercapainya Negara Indonesia itu entah akan terjadi kapan; entah besok entah lusa, entah sewindu lagi entah dua windu lagi, tetapi ia pasti, tidak boleh tidak, pasti akan terjadi.

Apa sebab? – saudara menanya lagi? Sebabnya ialah bahwa terbentuknya Negara-Negara Nasional itu memang termasuk dalam tingkatan-tingkatan pertumbuhan masyarakat burgerlijk. Di dalam alam masyarakat burgerlijk yang sedang subur, ada dua tendenz yang nyata dan terang: pertama tendenz tergabungnya negara-negara kecil menjadi negara-negara besar, kedua tendenz terjadinya segala macam perhubungan-perhubungan antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Yang pertama dus tendenz terbangunnya negara-negara nasional, yang kedua tendenz terhapusnya batas-batas nasional.

Yang pertama terjadinya ialah pada waktu kapitalisme hendak menyubur, yang kedua terjadinya ialah bilamana kapitalisme telah jadi subur.

Kapan negara-negara kecil di Jermania – Pruisen, Saksen, Beieren, dan lain-lain sebagainya -, kapan negara-negara kecil itu digabungkan menjadi negara nasional Jermania, dan Raja Pruisen dijadikan Kaisarnya? Pada tahun 1871, tatkala kapitalisme di Jermania hendak menaik. Kapan negara-negara kecil di Italia di bawah pimpinan Mazzini, Garibaldi, Cavour digabungkan menjadi negara nasional Italia? Pada kira-kira waktu itu pula, tatkala kapitalisme di Italia hendak menyubur. Kapan daimyo-daimyo Jepang menyerahkan negara-negara kecilnya kepada Meiji Tenno, sehingga terbangun Dai Nippon Teikoku? Pada waktu kapitalisme Jepang hendak berkembang. Demikian pula, maka di lain-lain daerah di muka bumi ini didirikanlah negara-negara nasional, sebagai gelanggang usahanya kapitalisme yang hendak menyubur. Negara-negara kecil yang feodal tidak dapat menjadi gelanggang penyuburan itu, negara-negara kecil itu perlu digabungkan menjadi satu, agar dapat menjadi padang usaha yang mencukupi segala syarat-syarat kapitalisme nasional. Negara–negara multi–feodal diluluh menjadi Negara Nasional!

Dan tatkala kapitalisme-kapitalisme nasional itu telah terbangun, tatkala produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala produksi itu membangunkan export dan import yang membubung tinggi, terbangunlah satu perlalulintasan dan perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional tetapi ekonomi dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan negara yang satu dari negara yang lain. Demikianlah berlaku dialektik dalam alam kapitalisme itu: di satu pihak membangunkan negara-negara nasional, di lain pihak, memecah-kan batas-batas yang memisahkan antara negara-negara nasional.

Dialektik ini di Indonesia pun akan berlaku! Saya tidak berkata bahwa kapitalisme nasional di Indonesia akan membubung tinggi, tetapi Negara Nasional Indonesia akan terjadi. Sebab evolusi menuju kepada "industrialisme".

Dan industrialisme membutuhkan negara nasional itu.

Tetapi, apakah Negara Nasional Indonesia itu akan berupa Negara Kesatuan yang benar-benar Kesatuan (unitaristis), atau akan berupa Negara Kesatuan yang bersifat Negara Gabungan, itu akan membukti sendiri di hari kemudian. Segala sesuatu akan berlaku secara proses, dan proses itu berlaku menuruti geraknya faktor-faktor obyektif di daerah-daerah Indonesia masing-masing. Tetapi nyata sudah, bahwa untuk menjadi "padang-usaha" industrialisme, seluruh daerah Indonesia harus ekonomis menjadi satu, dan supaya ekonomis menjadi satu, maka seluruh daerah Indonesia itu politis harus menjadi satu pula. Atau lebih benar: Kalau ekonomis menjadi satu, maka politis juga menjadi satu. Menilik syarat-syarat yang diperlukan untuk industrialisme, maka industrialisme itu tidak dapat berkembang di atas daerah ekonomis di Indonesia sepulau demi sepulau.

Seluruh Kepulauan Indonesia membutuhkan diri satu sama lain, seluruh kepulauan Indonesia barulah dapat menjadi satu dasar ekonomis yang kuat bagi industrialisme, jika ber-gandengan ekonomis satu sama lain, isi mengisi satu sama lain, bantu-membantu satu sama lain. Dari manakah misalnya Jawa dapat memperoleh besi dan batu bara jika tidak dari pulau lain, dan dari manakah Kalimantan dapat memperoleh tenaga manusia jika tidak dari Jawa? Tidak! Buat membangunkan industrialisme yang luas, tidak ada satu pulau di Indonesia yang dapat berdiri sendiri! Jikalau di Indonesia akan tumbuh industrialisme yang kuat, – dan garis evolusi masyarakat pasti menuju ke situ, dan buat melaksanakan sosialismepun dibutuhkan satu minimum industrialisme, sebagai saya terangkan tadi – , jikalau akan tumbuh di sini industrialisme yang kuat, maka Indonesia ekonomis harus menjadi satu, dan jikalau Indonesia ekonomis harus menjadi satu, maka Indonesia politispun pasti menjadi satu. lni adalah satu kepastian, satu keharusan sosial-ekonomis dan sosial-politis, – bukan lagi satu pengelamunan, atau satu cita-cita semata-mata, atau satu romantik. Dan bukan pula yang orang namakan "imperialisme Jawa" atau "imperial-isme Sumatera" atau "imperialisme Republik"! Alangkah piciknya orang yang menuduh Republik "imperialistis" (hendak "mencaplok" Indonesia Timur, atau "meng-anschluss" Borneo Barat), oleh karena Republik bercita-citakan persatuan Indonesia! Persatuan Indonesia kelak, ekonomis dan politis, adalah nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme, sama dengan persatuannya Pruisen dan Beieren dalarn negara Jer-mania, atau persatuannya Texas dan California dalam negara Amerika, juga nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme. Persatuan Indonesia itu ditentukan oleh garis-garis sosial ekonomis. Malah bukan saja industrialisme yang membutuhkan persatuan. Indonesia itu, perdagangan yang memperdagangkan hasil industrialisme itu, (dus satu anasir daripada industrialisme itu), itupun membutuhkan persatuan Indonesia itu. Kaum perdagangan Indonesia sudah tentu ingin mempunjai "pasar sendiri" yang seluas-luasnya dan sesentausa-sentausanya, ingin mempunjai "home market" sendiri yang tidak dikuasai oleh persaingan asing. Dan "pasar sendiri" untuk hasil-hasil dari Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain sebagainya itu ialah kepulauan Indonesia, seluruh kepulauan Indonesia. Karena itulah maka perdagangan Indonesia, yang kelak dilahirkan oleh industrialisme Indonesia itu, membutuhkan dan tentu ikut melaksanakan Negara Indonesia itu. lni adalah satu macam nasionalisme, – "nasionalisme perdagangan", kalau Tuan mau – , tetapi satu nasionalisme yang benar pula, satu nasional-isme yang halal. Memang menurut salah seorang pemimpin Marxist yang besar "pasarlah sekolah di mana borjuasi belajar nasionalismenya pertama-tama", – " the market is the first school in which the bourgeoisie learns its nationalism".

Orang-orang yang kukuh mau mengadakan negara-negara tersendiri di masing-masing pulau atau di masing-masing daerah, sungguh harus kita ibai. Mereka atau tidak berpengetahuan tentang tendenz evolusi masyarakat, atau sengaja menjadi alat durhaka imperialisme semata-mata yang selalu menjalankan politik memecah-belah. Tetapi tendenz evolusi masyarakat itu tidak dapat dipengaruhi oleh orang-orang semacam itu, yang usahanya bertentangan dengan gerak anasir-anasir obyektif dalam masyarakat itu. Masyarakat berjalan terus menurut hukum-hukum evolusinya sendiri. Terus! Negara Nasional Indonesia pasti berdiri.

Ya, Negara Nasional Indonesia pasti berdiri. Negara Nasional Indonesia itu ialah proyeksi politik daripada hasrat ekonomi daripada masyarakat Indonesia. Ia adalah ujung Revolusi Nasional kita, yang awalnya ialah terdirinya Republik. Ia belum tercapai, Revolusi Nasional kita memang belum selesai. Segenap Nasionalisme kita akan berkobar terus dan membinasa membangun terus, sampai Negara Nasional itu tercapai. Apakah yang dinamakan Nasionalisme kita itu? Segala macam rasa yang hebat dan mulia menjadi anasir Nasionalisme kita itu! Rasa cinta tanah-air yang indah dan permai, rasa cinta bangsa sendiri dan bahasa sendiri, rasa cinta kebudayaan yang telah menjadi irama jiwa sehari-hari, rasa cinta sejarah dahulu yang gilang-gemilang dan rasa ingin membangun sejarah baru yang gilang-gemilang pula, rasa cinta kepada kemerdekaan dan rasa benci kepada penjajahan, rasa ingin hidup sejahtera dan tak mau hidup terhisap, rasa bukan lagi orang Jawa atau orang Sumatera atau orang Sulawesi, tetapi orang bangsa Indonesia saja, – semua rasa-rasa itu mendidih menggelora di dalam satu kancah, menyala-nyala berkobar-kobar di dalam satu kawah yang bernama kancah dan kawahnya Nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia itu mempunyai sumber-sumber, mempunyai "penghidup-penghidup", dan penghidup-penghidup-nya itu ialah tenaga-tenaga masyarakat (s ocialekrachten) yang hebat dan kuasa, dinamis dan revolusioner, – tidak tertahan oleh tenaga apapun juga, meski tenaga imperialisme yang bersenjatakan tentara dan armada sekalipun.

Apakah tenaga-tenaga masyarakat itu?

Pertama tenaga masyarakat yang timbul dari kalangan rakyat jelata yang bermilyun-milyun, buruh dan tani, yang oleh imperialisme turun-temurun dihisap ditindas, dieksploatir laksana ternak, dan kini jiwanya menjadi jiwa rebelli mau cukup bekal hidup, mau sejahtera, mau aman, – kedua tenaga-masyarakat yang timbul dari kalangan kaum perusahaan Indonesia yang oleh adanya imperialisme sama sekali kehilangan alam, dan kini mau mempunyai alam. Kedua-dua tenaga masyarakat ini memberontak kepada: imperialisme itu, yang satu memberontak ingin hidup, yang lain memberontak ingin berkembang: Tujuh puluh milyun manusia tua muda laki-laki perempuan – boleh dikatakan tidak ada satu orangpun yang terkecuali – jiwanya dalam rebelli, benci kepada penjajahan dan rindu kepada kemerdekaan, berpuluh-puluh milyun dari antara mereka itu bangkit aktif, mengambil bambu runcing dan golok dan senapan untuk menyerang dan melawan, – berpuluh-puluh milyun lagi mengambil pacul dan martil dan tangkai pena untuk menyusun, mencipta, membangun. Destruksi dan Konstruksi sedang berlaku simultan dalam satu simfoni yang maha dahsyat.

Itulah Nasionalisme Indonesia yang sedang menjalankan Revolusi Nasional. Yang sedang meneruskan Revolusi Nasional, – yang memang belum selesai, karena memang belum terbangun satu Negara Nasional. Apakah ini berarti, bahwa tujuannya Revolusi Nasional kita itu dus sekedar satu Negara Nasional di dalam arti biasa, seperti Jerman, seperti Italia, seperti Jepang, seperti Perancis? Satu Negara Nasional yang burgerlijk, yang "borjuis", – oleh karena belum tiba saatnya untuk mengadakan sosialisme?

Tidak!

Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, – belum tiba kemungkinannya buat kita untuk mengadakan sosialisme – , sekarang Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti, bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara yang burgerlijk. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa batas antara Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial tidak tajam seperti batas antara bilik yang satu dan bilik yang lain, sebagaimana tiap-tiap proses melalui beberapa fase, yang fase-fase ini juga tidak terpisah tajam antara satu sama lain, maka Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu "fase-peralihan" antara fase burgerlijk dan fase sosialis.

Lihatlah Undang-undang Dasar Republik kita. Jikalau dikatakan, bahwa Undang-undang Dasar Republik kita itu satu undang-undang dasar yang sama sekali sosialistis, maka itu tidak benar. Tetapi juga, jikalau dikatakan, bahwa ia satu undang-undang dasar yang sema sekali burgerlijk, itupun tidak benar.

Pasal 33 yang berbunyi:

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. dan Pasal 34 yang berbunyi:

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, – pasal-pasal itu menghilangkan sifat yang "samasekali burgerlijk" itu.

Di dalam pasal-pasal itu dibuat permulaan daripada usaha membanteras kapitalisme. Pasal-pasal itu adalah pasal-pasal yang mengatur permulaan daripada usaha menyelenggarakan sosialisme. Undang-undang Dasar kita adalah undang-undang dasar satu Negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme, undang-undang dasar satu Negara yang benar dengan kakinya masih berdiri di bumi yang burgerlijk, tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialisme, undang-undang dasarnya satu Negara dus yang tidak "diam", tidak "statis", melainkan dinamis, yaitu bergerak menuju ke susunan baru, berjoang menuju ke susunan baru. Negara kita adalah satu "negara peralihan", satu negara yang dengan sedar memperjoangkan peralihan, – satu negara yang revolusioner.

Memang segenap jiwanya adalah jiwa yang revolusioner. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang revolusioner, nasionalisme yang sekarangpun telah dengan langsung mengemukakan perhubungannya dengan kemanusiaan, – nasionalisme yang biasa saya namakan socio-nasionalisme. Demokrasinya adalah demokrasi yang revolusioner, demokrasi rakyat sepenuh-penuhnya yang sedar akan kekurangan-kekurangannya demokrasi politik ala Barat, dan oleh karenanya berusaha menjelmakan demokrasi politik dan ekonomi, (yang hanya sempurna dalam alam sosialisme), – demokrasi yang biasa saya namakan socio-demokrasi. Ketuhanannya bukan ketuhanan dari satu agama saja, tetapi ketuhanan yang memberi tempat kepada semua orang yang ber-Tuhan. Jiwa revolusioner ini, – terutama sekali socio-nasionalismenya dan socio-demokrasinya – adalah terang satu "pembawaan" daripada sifat peralihan (sifat transisi) daripada Negara kita itu, terang satu "jembatan" antara ideologi-ideologi burgerlijk dan ideologi-ideologi sosialis.

Menjadi nyatalah: Negara Nasional yang kita dirikan, bukan negara burgerlijk, bukan pula negara sosialis. Revolusi Nasional yang kita jalankan, bukan revolusi burgerlijk, bukan pula revolusi sosialis. Bukan burgerlijk, oleh karena kita telah meliwati fase burgerlijk; bukan sosialis, oleh karena kita belum sampai kepada fase sosialis.

Siapakah yang menjalankan Revolusi kita sekarang ini? Boleh dikatakan semua golongan masyarakat Indonesia menjalankannya: kaum pemuda terpelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum pegawai, kaum bangsawan, kaum pedagang, dsb – semuanya ikut semuanya berjoang! Oleh karena itulah boleh dikatakan bahwa Negara kita bukan milik sesuatu golongan, bukan monopoli sesuatu kelas. Negara burgerlijk ia bukan, sebab ia bukan monopolinya kelas borjuis; negara proletar ia bukan, sebab ia bukan monopoli kelas proletar. la adalah negara milik seluruh lapisan Indonesia yang revolusioner.

Dan kewajibannya Revolusi yang kita jalankan ini adalah memang kewajibannya semua lapisan Indonesia yang revolusioner: destruktif menghantam-menggempur imperialisme, menghancurleburkan penjajahan kolonial; konstruktif menyusun membina satu Negara Nasional yang tidak burgerlijk, tetapi (meski belum sama sekali sosialistis) toh telah hamil dengan susunan masyarakat yang sosialistis. Kedua-dua tugas ini, – simultan destruktif dan konstruktif yang demikian – , nyatalah tugas-tugas revolusioner, yang hanya dapat dikerjakan dan diselesaikan oleh golongan-golongan rakyat yang revolusioner.

Apakah yang dinamakan "golongan-golongan rakyat yang revolusioner" itu? la bukan hanya golongan proletar saja, bukan hanya golongan buruh! Bukan pula ia hanya golongan yang galib dinamakan "kaum jembel". la adalah golongan-golongan yang berjoang sesuai dengan kemajuan dalam perjalanan evolusi masyarakat, bukan menentangnya, bukan menahannya, – golongan-golongan yang berjoang mati-matian menghancur –leburka "orde" yang lama dan mempercepatkan datangnya "orde" yang baru, sesuai dengan tendenz-tendenz dalam evolusinya masyarakat itu. Tak perduli dari lapisan mana golongan-golongan itu! Tak perduli dari lapisan proletar, tak perduli dari lapisan tani, tak perduli dari lapisan pedagang, tak perduli dari lapisan pemuda terpelajar, tak perduli dari lapisan ningrat, tak perduli dari lapisan mana, – tetapi lapisan atau golongan yang berjoang menghancur-leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde yang baru sesuai dengan tendenz evolusi masyarakat, – dia adalah revolusioner. lni bukan satu definisi yang terlalu royal dengan sebutan revolusioner. Ini satu definisi tentang arti revolusioner yang meski kaum komunis sekalipun membenarkannya. Misalnya Stalin di dalam bukunya tentang "Soal-soal Leninisme" mengemukakan definisi yang malah lebih "royal" lagi:

"Untuk bernama revolusioner, maka sesuatu gerakan nasional tidak perlu terdiri dari golongan-golongan proletar, tidak perlu mempunyai program republikein, tidak perlu mempunyai dasar demokratis. Perjoangannya Amir Afghanistan untuk kemerdekaan negerinya, obyektif adalah satu perjoangan revolusioner, meskipun Amir itu dan juga opsir-opsirnya berpendirian pada azas monarchisme (kerajaan); sebab perjoangannya melemahkan, mengalutkan, menggali imperial-isme, sedang perjoangan kaum-kaum demokrat, "sosialis", "revolusioner" dan republikein seperti Kerensky dan Tseretelli, Renaudel dan Scheidemann, Tchernov dan Dan, Henderson dan Clynes selama peperangan imperialis itu ialah satu perjoangan reaksioner, sebab hasilnya ialah menggemukkan imperialisme, memperkuat imperialisme, memenangkan imperialisme itu. Demikian pula, maka perjoangannya kaum dagang dan kaum terpelajar borjuis di Mesir untuk mencapai kemer-dekaan Mesir itu adalah satu perjoangan yang obyektif revolusioner, meskipun asalnya dan sifatnya pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di sana itu ialah borjuis, dan meskipun mereka menentang sosialisme; sedang perjoangan pemerintah buruh Inggeris untuk menetapkan Mesir di bawah perwalian Inggeris ialah satu perjoangan reaksioner, meskipun anggota-anggota pemerintah itu berasal dari kalangan kaum buruh, bersifat orang-orang dari kalangan kaum buruh, dan meskipun mereka katanya berkeyakinan sosialisme. Demikian pula, maka pergerakan nasional dalam negeri-negeri penjajahan dan taklukan yang besar seperti India dan Tiongkok, tidak kurang berarti satu pukulan langsung kepada imperialisme, dan karenanya berarti satu pergerakan revolusioner, meskipun ia menentang azas-azasnya demokrasi formil". Demikianlah Stalin!

Jadi, menurut definisinya itu, tiap-tiap pergerakan yang menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme adalah pergerakan revolusioner. Artinya: jangan mengukur pergerakan-pergerakan nasional itu dengan ukurannya keproletaran, kerepublikan, atau demokrasi formil. Satu-satunya ukuran yang harus dipakai ialah hasil, akibat pergerakan-pergerakan itu: memperkuatkah kepada imperialisme, atau melemahkankah kepada imperialisme? Yang memperkuat imperialisme adalah reaksioner; yang melemahkan imperialisme adalah revolusioner!

Maka nyatalah, bahwa di dalam definisi itu tekanan accent diletakkan kepada apa yang saya namakan bagian destruktif daripada pergerakan nasional atau revolusi nasional: Bagian yang menghantam, bagian yang menggempur. Di bagian ini semua golongan di sesuatu negeri, – ningrat, tani, intelek, proletar, pedagang dll – dapat bersatu. Sebab semuanya anti imperialisme, semuanya anti penjajahan, semuanya dengan tiada kecuali satupun, ingin merdeka.

Saya bukan saja mengemukakan bagian yang destruktif, saya mengemukakan juga bagian yang konstruktif, yang membina, membangun. Yang berjalan serempak, simultan, dengan bagian destruktif itu. Yang harus pula kita gelora-gelorakan, kita hebat-hebatkan, agar supaya Revolusi kita lekas selesai. Bagian itu ialah bagian membangun Negara Nasional.

Maka di dalam bagian membangun Negara Nasional ini, juga semua golongan dapat bersatu. Ningrat, kromo, intelek, proletar, pedagang, ulama, pegawai, – semuanya dapat berdiri di satu barisan, semuanya dapat menjadi penjelma dan peng-gembleng Negara Nasional. Dan oleh karena, baik bagian destruktif, maupun bagian konstruktif daripada Revolusi Nasional, dapat menjadi padang persatuannya semua golongan dan semua lapisan, oleh karena, baik di dalam bagian destruktif, maupun di bagian konstruktif, semua kegembiraan, semua semangat perjoangan, semua keridlaan berkorban dari semua golongan dan semua lapisan dapat menggelora bersama-sama menjadi satu simfoni yang maha hebat, oleh karena itulah maka saya selalu berseru: persatuan! persatuan! sekali lagi persatuan! dan haruslah kita mengerti, bahwa Revolusi kita ini barulah dapat bertenaga maksimum, bilamana ia benar-benar bersifat Revolusi Nasional!

Revolusinya Bangsa! Bukan revolusinya sesuatu kelas!

Alangkah seringnya perkataan "bangsa" itu dipermainkan! Sering sekali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan sesuatu golongan atau sesuatu kelas. Kadang-kadang kaum ningrat mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – ditutupilah kepentingan sendiri itu dengan menamakan pergerakannya itu pergerakan "bangsa". Kadang-kadang kaum pedagang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, pergerakannya itupun dinamakan pergerakan "bangsa". Kadang-kadang kaum inteleklah yang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – lagi-lagi dikeluarkanlah dengan muka angker perkataan "bangsa".

Hitler menamakan pergerakannya pergerakan "bangsa", kaum borjuis di Perancis menamakan revolusinya satu setengah abad yang lalu revolusi "bangsa". Tetapi kadang-kadang pula sesuatu golongan buruh hendak meng-anschluss nama "bangsa" itu pula!

Tetapi Revolusi kita ini (harus) benar-benar satu Revolusi Kebangsaan, benar-benar satu Revolusi Bangsa. Sebab umumnya kita telah mengerti, bahwa hanya bilamana semua golongan, semua lapisan, ya semua alam ideologi dalam bangsa kita bertemu menjadi satu di dalam Revolusi kita itu, berjoang dan bergotong-royong menjadi satu, merupakan satu gelombang badai maha hebat yang menggempur-hancur benteng-benteng imperialisme dan menggembleng berdirinya Negara Nasional, hanya bilamana demikianlah, maka tenaganya Revolusi kita menjadi maksimum. Semua golongan dan lapisan dan alam faham itu satu persatunya "revolusioner", – revolusioner oleh karena akibat perjoangannya ialah melemahkan kepada imperialisme, revolusioner oleh karena perjoangannya meng-hantam imperialisme, menghancur-leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde yang baru yang berupa kemerdekaan nasional.

Ya, seluruh Bangsa Indonesia adalah revolusioner, seluruh Bangsa Indonesia ber-Revolusi. Sifat "keseluruhan" ini memang sifat hampir semua Revolusi di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan. Pertentangan kelas tidak menghebat di dalam perjoangan rakyat-rakjat jajahan yang berjoang merebut kemerdekaan.

Yang menonjol ke muka ialah sifatnya kebangsaan, sifatnya nasional. Dengan tepat hal ini pernah dikatakan pula oleh Henriette Roland Holst:

" Di negeri–negeri yang tidak merdeka, maka pertentangan–pertentangan sosial diperjoangkan secara nasional". –

" Desocialletegenstellingenwordeninonvrijelandeninnationalevormenuitgevochten" –

Tidakkah ternyata demikian keadaan di dalam Revolusi kita ini?

Seluruh Bangsa Indonesia ber-Revolusi! Dan kedua-dua bagian dalam Revolusi kita itu, baik yang destruksif maupun yang konstruktif, sama sekali belum selesai! Sudahkah bagian destruktif selesai? Lampu lilin di hadapan saya itu masih saja memperingatkan saya, bahwa Belanda masih berkuasa di Tuntang; kota-kota lain masih mereka duduki; lautan kita masih mereka blokkir; pulau-pulau kita masih mereka kuasai; kekayaan kita masih mereka gali; negara-negara boneka masih mereka tegakkan; kampung-kampung kita masih mereka bakar; wanita-wanita kita masih mereka perkosa; kaum buruh kita masih mereka paksa;

Sang Merah Putih masih mereka hina; si Tiga Warna masih berkibar di banyak tempat di Indonesia, dengan diperlindungi bayonet, senapan, mortir, meriam, bom dan dinamit! Sudahkah, dengan keadaan demikian itu, bagian destruktif daripada Revolusi kita ini selesai?

Dan sudahkah bagian konstruktif selesai? Bagaimana bagian konstruktif dapat selesai, kalau bagian destruktif belum selesai! Segenap jiwa kita yang menggeletar gandrung kepada adanya Negara Nasional Indonesia itu, laksana lautan gandrung kepada angkasa yang biru, masih belum melihat Pemerintah Nasional Indonesia berkuasa di seluruh kepulauan Nusantara. Negara Nasional Indonesia, Republik Indonesia yang Besar, belum tercapai. Yang telah tercapai barulah Negara Republik Indonesia yang sekarang, – "Republik Indonesia yang kecil". .

Tetapi alangkah pentingnya Republik Indonesia yang kecil ini! Alangkah pentingnya Negara Republik Indonesia yang kecil ini!

Biar dia masih "kecil", – dengan dia di dalam tangan kita, kita merasa menggenggam satu senjata yang amat hebat. Musuh kita gempur dengan dia, pengkhianat-pengkhianat dari dalam kita lemahkan dengan dia, segenap tenaga rakyat kita susun dengan dia. Dia adalah alat perjoangan kita, alat Revolusi kita. Destruktif dan konstruktif kita sekarang berjoang dengan dia sebagai senjata. Dan kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata, sampai tujuan kita, yaitu "Republik Indonesia yang Besar", tercapai. Biarpun dia sekarang agak lebih kecil daripada dua tahun yang lalu, – lebih kecil oleh karena musuh menduduki sebagian dari daerahnya -, dia akan kita genggam makin keras di dalam tangan kita, dan akan terus kita perguna-kan sebagai senjata kita yang paling hebat. Biar dia umpamanya "tinggal selebar payung" sekalipun, – kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata!

Negara adalah memang alat–senjata.

Telah berpuluh-puluh tahun kita berjoang, berjiwa nasional dan menggerakkan satu pergerakan nasional, berusaha, menderita, berkorban untuk mencapai cita-cita bersama, tetapi baru dua tahun inilah kita berjoang dengan senjata baru, yaitu Negara. Dulu kita berjoang hanya dengan senjata rapat umum, surat khabar, serikat sekerja, partai, sekarang kita berjoang dengan senjata Negara.

Tenaga-tenaga yang amat hebat kita pusatkan dalam Negara itu, agar supaya ia dapat menjadi alat senjata destruktif dan konstruktif yang sehebat-hebatnya pula.

Dengan tentaranya, dengan seluruh angkatan perangnya, dengan seluruh pertahanan rakyatnya, Negara itu kita hantamkan kepada musuh yang hendak menjajah kita lagi, kita hantamkan menggempur-mendestruksi kepadanya.

Dengan seluruh jawatan-jawatannya, kita kerahkan dia untuk menyusun, membangun, mengkonstruksi produksi yang perlu untuk pertahanan dan ketahanan, dan mengkonstruksi segala hal lain-lain yang perlu lagi.

Dulu serikat sekerja dan partailah alat kekuasaan kita.

Sekarang alat kekuasaan kita ialah Negara! Negara memang bukan sekadar satu hal "kerukunan" belaka, negara adalah satu alat–kekuasaan, satu organisasi kekuasaan. Alat kekuasaan kita sekarang ialah Negara Republik Indonesia. Dengan Republik Indonesia ini, sebagai alat kekuasaan, kita sepuluh kali, seratus kali lebih kuasa daripada dulu. Dengan Republik ini sebagai alat kekuasaan di pihak kita, musuh benar-benar berhadapan dengan kenyataan "kekuasaan kontra kekuasaan". Kekuasaan yang lebih kuasa, – itulah yang akan menang. Kekuasaan hanya dapat dipatahkan dengan kekuasaan pula yang lebih kuasa. Itulah sebabnya, maka musuh sekarang mencoba mematahkan alat kekuasaan kita itu tidak lagi dengan "diplomasi", tetapi dengan kekusaan segenap angkatan perangnya. Manakala mulut manusia tidak berdaya, maka mulut meriam harus bicara! Segenap tank-tanknya yang dari baja, kapal-kapal udaranya, armadanya, bomnya, meriamnya, – semua itu digempurkan olehnya laksana sambaran geledek kepada Negara kita, untuk mencoba meremuk-redamkan alat kekuasaan kita (Negara) itu.

Tetapi, Insya Allah, – ia tidak mudah akan berhasil. Kita seratus kali lebih kuat daripada dahulu. Sebab senjata kita sekarang ialah justru Negara, – Negara (yang sebagai penjelmaan Revolusi Nasional yang meliputi semua golongan dan lapisan) dengannya kita dapat membangkitkan sehebat-hebatnya semua tenaga perjoangan dan tenaga pertahanan di dalam tubuh dan jiwanya Bangsa. Boleh dikatakan, dengan alat Negara itu, tiap-tiap orang Indonesia, tiap-tiap batu di Indonesia kita dapat kerahkan untuk berjoang. Angkatan Perang, – aparat kekuasaan Negara -, di dalam perang kemerdekaan ini kita gempurkan sehebat-hebatnya kepada musuh, dan seluruh rakyat laki-laki perempuan pula, dikerahkan oleh Negara untuk berjoang serta. Musuh yang mempergunakan aparat kekuasaan itu, – tentaranya – dan hanya dapat mempergunakan aparat kekuasaannya itu saja! – musuh bukan saja berhadapan dengan aparat kekuasaan kita, ia berhadapan pula dengan perkembangan kekuasaan seluruh rakyat, perkembangan kekuasaan yang totaliter.

Senjata kita hadapi dengan senjata, plus perlawanan rakyat yang totaliter!

Berkat adanya Negara, maka kita dapat berjoang secara totaliter ; maka musuh tidak akan menang, tetapi kita yang akan menang!

Kita yang akan menang! Dan kita ini akan menang, bukan hanya oleh karena kita dengan alat Negara dapat mengerahkan pertahanan di dalam yang totaliter, – kita pun akan menang oleh karena pertahanan di luar telah bangkit secara hebat. Indonesia tidak lagi Indonesia dari zaman dahulu. Ia tidak lagi berdiri sendiri. Ia sudah satu kali buat selama-lamanya terhubungkan dengan dunia luaran. Memang demikianlah, kata saya di muka tadi, berjalannya dialektik dalam alam industrialisme; di satu fihak berdirinya negara-negara nasional, di lain fihak terhapusnya negara-negara-nasional, di lain fihak terhapusnya batas-batas nasional. Bangsa-bangsa mendirikan kebangsaannya sendiri-sendiri tetapi serempak dengan itu, tenaga-tenaga imperial-ismepun menjadi satu, dan tenaga-tenaga anti-imperialisme pun menjadi satu. Ofensifnya imperialisme kepada kemerdekaan kita sekarang ini, sebenarnya bukan hanya ofensifnya imperialisme Belanda kepada kemerdekaan Indonesia saja, tetapi adalah sebagian daripada ofensif umum yang dilakukan oleh imperialisme internasional di mana-mana.

Di Indonesia, di Vietnam, di Tiongkok, di Balkan, dan di lain-lain tempat lagi (dengan cara-cara yang ditentukan oleh tempat dan keadaan), imperialisme internasional itu serentak sedang dalam ofensif, tetapi tenaga-tenaga anti imperialisme di seluruh duniapun serentak sedang mengadakan perlawanan bersama yang sekuat-kuatnya. Serangan yang dilakukan oleh angkatan perang Belanda kepada kemerdekaan kita itu, dirasakan oleh segenap golongan-golongan anti imperialisme sedunia sebagai bangkitnya reaksi imperialisme internasional yang membahayakan juga kepada mereka. Itulah sebabnya, maka kita dibela oleh mereka, dibantu oleh mereka, atau sedikit-dikitnya mendapat simpati dari mereka.

Dan pada waktu mereka memberi simpati kepada kita atau membela kita itu, mereka tidak menanya-nanya apakah kemerdekaan kita itu "bikinan Jepang atau tidak", tidak pula mengukur-ukur perjoangan kita itu dengan ukurannya demokrasi formil. Benar, Republik kita memang bukan bikinan Jepang, azas kita memang Pancasila yang lebih demokratis daripada demokrasi biasa, tetapi golongan-golongan anti imperialis sedunia yang membantu dan membela kita itu tidak menanya-nanya hal "bikinan Jepang", tidak mengemukakan ukuran demokrasi formil. Apa sebab? Oleh karena mereka mengetahui bahwa perjoangan kita adalah satu bagian dari Perjoangan Besar di seluruh dunia menentang imperialisme ; satu perjoangan yang hasil akibatnya ialah melemahkan imperialisme ; satu perjoangan yang revolusioner.

Dan kita pun, dalam simpati kita kepada perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat Mesir, Vietnam, Birma, Palestina, Korea, India dan lain-lainnya, tidak harus mengukur-ukur perjoangan mereka itu dengan ukurannya demokrasi formil. Kita tidak harus menanya apakah Gandhi benar-benar demokrat, tidak harus menggugat bahwa Mufti Jeruzalem dulu pernah minta pertolongan kepada Hitler, tidak harus menyelidik apakah pergerakan Mesir itu sebenarnya tidak bersifat burgerlijk. Kita harus hargai pergerakan mereka itu sebagai cincin-cincin dalam rantai perlawanan anti imperialis, rantai penggembleng kemerdekaan-kemerdekaan nasional. Kemenangan mereka adalah kekalahan imperialisme internasional, kekalahan imperialisme internasional adalah keuntungan kita; itulah sebabnya kita harus bersimpati kepada mereka; itulah sebabnya kita harus bersedia membantu kepada mereka, sebagaimana merekapun bersedia membantu kepada kita. Mereka dan kita, seluruh pergerakan anti imperialis sedunia dan kita, adalah sama-sama revolusioner. Mereka revolusioner, kitapun revolusioner!

Maka dengan ini nyatalah dan tegaslah, bahwa perjoangan kemerdekaan sesuatu rakyat jajahan atau setengah jajahan janganlah ditinjau dalam "keadaannya sendiri", tetapi harus ditinjau dalam hubungan sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti imperialis sedunia.

Kapitalisme internasional dihidupi imperialisme internasional, imperialisme internasional berakibat perlawanan kepada imperialisme internasional; perjoangan kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan melemahkan imperialisme internasional, lemahnya imperalisme internasional melemahkan kapitalisme internasional; tiap–tiap perjoangan kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan adalah dus revolusioner, dan pantas dibantu, harus dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga-tenaga anti kapitalis di seluruh dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah jajahan, meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri "progresif", atau "demokrat", atau "sosialis" -, ia adalah reaksioner. Ia pada hakekatnya mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia "sosialis", maka ia "sosialis" yang terang-terang mendurhakai sosialisme!

Tetapi Alhamdulillah, tidak semua "sosialis" adalah pendurhaka sosialisme, tidak semua kaum "progresif" adalah iblis berpakaian dewa. Perjoangan kita dengan senjata Negara itu dibenarkan, diberi simpati, dibantu, dibela oleh golongan-golongan yang benar-benar progresif di seluruh dunia. Di Australia mereka membela, di Rusia dan di Eropa Timur, di seluruh Asia, di banyak tempat di Amerika dan Eropa Barat, – ya, di negeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid!) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi:

" Eenvolkdateenandervolkonderdrukt, kannietvrijzijn ".

" Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdeka ".

Sekali lagi, Insya Allah, dengan senjata Negara kita, dengan mengerahkan rakyat secara totaliter, dengan bantuan dari luar, – kita akan menang. Kita akan menang dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia ini terhadap kepada baja dan dinamitnya peperangan kolonial. Dan kita akan menang pula kemudian, dalam perjoangan mendirikan Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia. Kita di situ pun akan menang, oleh karena obyektif kita pasti menang: Negara Nasional Indonesia adalah satu keharusan sejarah, satu kemustian dalam evolusi masyarakat, satu keharusan sosial-historis.

Oleh karena itulah kita obyektif harus menetapi tugas kewajiban tingkatan Revolusi kita sekarang ini, kita obyektif harus kenali dan penuhi "tugas bersejarah" Tingkatan Revolusi kita sekarang ini: Tingkatan Nasional, karena memang masih dalam periode Nasional, dengan tugas kewajiban Revolusi Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional. Dan oleh karena masih dalam tingkatan Nasional, maka penunaian tugas-kewajiban Revolusi itupun obyektif harus dan dapat dikerjakan oleh segenap rakyat Indonesia yang 70.000.000, dari segenap golongan dan segenap lapisan, dari segenap kepercayaan dan segenap agama, dalam persatuan yang seerat-eratnya dan sehebat-hebatnya.

"Obyektif kita pasti menang, Apakah ini berarti, bahwa dus dengan sendirinya kita pasti menang? Tiada kemenangan dengan tiada perjoangan! Tiada kemenangan dengan tiada kemauan subyektif dari manusia, untuk mencapai kemenangan itu! Segenap semangat kita harus dikobar-kobarkan, segenap kesediaan kita untuk membanting tulang dan bermandi keringat harus dijelmakan, segenap keuletan kita dalam perjoangan harus diamalkan, segenap kerelaan kita untuk berkorban, berkorban, berkorban, dan sekali lagi berkorban, harus diwujudkan, – di atas dasar–dasar obyektif itu – untuk mencapai kemenangan itu. Kemenangan tidak akan tercapai jikalau manusia tidak mau mencapai kemenangan itu, dan kemenangan pasti tercapai jikalau anasir-anasir obyektif memungkinkan kemenangan itu, dan manusia mau mencapai kemenangan itu.

" Pada akhirnya, manusialah yang menentukan " . Demikianlah kalimat yang dituliskan oleh Fritz Sternberg sebagai kalimat pengunci daripada bukunya tentang Nazi Jermania yang bernama "Hoe lang kan Hitler oorlog voeren?" Di dalam buku itu ia buktikan, bahwa obyektif kapitalisme pasti akan mati, facisme pasti akan runtuh, rakyat jelata pasti akan menang, tetapi ia pun memperingatkan, bahwa pada akhirnya manusialah yang menentukan. Jikalau "manusia" rakyat jelata ini tidak berbuat, – tidak berdiri, tidak membangun, tidak berjoang, tidak melawan, tidak berkorban – , maka ... ya ... maka ...(Sternberg tidak sebutkan ini) ... maka kapitalisme dan fascisme mungkin masih lama akan berdiri, – atau ... maka dunia akan jatuh di dalam chaos (kekacauan) yang sekalut-kalutnya dan segelap-gelapnya, chaos yang "peteng dedet lilimengan", Entah berapa puluh tahun lamanya atau berapa windu atau abad lamanya pula. Kapitalisme dan fascisme pasti akan runtuh, – itu bukan soal lagi -, pasti akan runtuh, oleh karena terobek-robek oleh pertentangan-pertentangan dalam tubuh dan batin sendiri, tetapi apakah yang akan berkembang di atas runtuhan-runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu, bilamana tidak dari tadinya ada rakyat jelata sebagai "manusia" yang bertindak meruntuhkan kapitalisme dan fascisme itu, dan cukup kekuatan dan keuletan pula untuk mencipta, membangun, menyusun dunia baru di atas runtuhan-runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu?

Karl Marx sendiri di dalam salah satu tulisannya menyata-kan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak otomatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyalah berdiri jikalau didirikan. Jikalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh chaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun!

Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan "keharusan sosial historis" mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya diganti oleh sosialisme.

Padahal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat jelata bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang "pasti" itu hanyalah adanya anasir-anasir obyektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir obyektif guna runtuhnya kapitalisme, anasir-anasir obyektif guna berdirinya sosialisme.

Maka demikian pulalah keadaan kita sekarang ini: Anasir-anasir obyektif untuk pasti menangnya Revolusi Nasional kita telah ada semuanya, telah tersedia semuanya, sebagai yang saya terangkan di muka tadi. Maka berdirilah, hai kawan-kawan semua, di atas anasir-anasir obyektif itu, janganlah menyimpang sedikitpun daripada anasir-anasir obyektif itu, tetapi janganlah pula kurang hebat memobilisir anasir-anasir subyektif yang ada pada kita. Perhebatlah semangat, bulatkanlah tekad sekeras baja, berkorbanlah seikhlas-ikhlasnya, bantinglah tulang dan peraslah keringat, berjoanglah sehebat-hebatnya sehingga gemuruhnya perjoanganmu itu terdengar di lima benua dan di tujuh samudera, – berjoanglah massal semassal-massalnya dengan semangat Persatuan Bangsa yang sehidup-hidupnya. Jangan memprovosir pertentangan kelas di dalam fase sekarang ini, jangan curiga-mencurigai satu sama lain, jangan terpecah-belah satu sama lain, bersatulah, rukunlah, isi mengisilah satu sama lain, kuat perkuatkanlah satu sama lain! Jangan memeluk tangan! Perkawinkanlah anasir-anasir obyektif itu dengan anasir-anasir subyektif secara sedinamis-dinamisnya dan sehebat-hebatnya, buatlah dua pool itu selalu mengelektris satu sama lain sedahsyat-dahsyatnya, – gelorakanlah dinamik Amal Nasional!

Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Henriette Roland Holst (meski beliau sekarang sudah banyak sekali luntur) di dalam bukunya yang terakhir " Eenovergangtothet Socialisme " (1945):

"Ya, het kapitalisme is dood, althans in Europa, evengoed dood als het Tzaristisch-theocratische Rusland dit was in 1927. Het zal niet weder opstaan. Maar wat in zijn plaats komen zal, dat moog in de sterren geschreven of, theologisch uitgedrukt, door Gods ondoorgrondelijk raadsbesluit van eeuwigheid af vastgesteld zijn. Een zachte stem in ons binnenste zegt met een accent van absolute overtuiging:

" Hetmensenlotisinmensenhandgegeven " , en wij voelen dat zij waarheid spreekt. De groei naar het socialisme voltrekt zich met noodzakelijk als de groei van een dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en de middelen tot verwezen-lijking, vaste wil en wijsheid, zelfbeheersing en zelfver-loochening ... Zich allerlei opofferingen getroosten terwille van de algemene zaak; met zorgvuldige hand uitgaan tot zaaien, wetend, dat anderen zullen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de Russische bolsjewisten:

"Wij zijn mest op de velden der toekomst". O neen, menselijke wezens zijn Dimmer enkel mest. Wij willen de dragers der toekomst zijn, de stenen aandragen tot haar bouw, haar fundamenten leggen.

Wij zijn akkers, ook in ons ontkiemt het zaad!".

Artinya:

"Ya, kapitalisme memang telah mati, setidak-tidaknya di Eropa, sama matinya dengan Rusia Tzaristis teokratis di tahun 1927. Ia tak akan bangun kembali. Tetapi apa yang akan menggantinya, itu boleh jadi telah tertulis di bintang-bintang atau telah ditetapkan di dalam Luh Mahfudz. Satu suara kecil dalam jiwa kita berkata dengan keyakinan yang pasti: "Nasib manusia terletak dalam tangan manusia sendiri", dan kita merasa, bahwa suara itu benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti pertumbuhannya binatang atau tanaman. Pertumbuhan ke arah sosialisme itu meminta pengetahuan yang terang tentang ujud-ujudnya dan cara-cara melaksanakannya, kemauan yang keras dan kebijaksanaan, pengekangan diri dan peniadaan diri ... Keridlaan berkorban untuk keperluan umum; dengan cermat menyebar benih, meski mengetahui, bahwa orang lainlah yang akan memetik buah; – itulah yang perlu. Kita tidak berkata seperti kaum bolshevik Rusia "Kita ini pupuk tahi sapi saja di ladang-ladangnya hari kemudian".

O tidak, makhluk manusia bukan hanya pupuk tahi sapi belaka! Kita mau menjadi pemikul-pemikul hari kemudian, membawakan batu-batu yang perlu untuk membinanya, memasang alas-alasnya. Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih!"

Alangkah bagusnya kata-kata penyair ini:

Menselijkewezenszijnnimmerenkelmest!

Wijzijnakkers, ookinonsontkiemthetzaad!

Manusia bukan hanya pupuk tahi–sapi belaka!

Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih! –

Kita tidak harus sekedar menunggu.

Kita harus bertindak, berjoang, membangun, membina! –

Sekali lagi, kemenangan pasti di pihak kita, asal kita berjoang sehebat-hebatnya, dan asal kita berdiri tepat di atas kewajiban obyektif daripada tingkatan evolusi sekarang: Tugas kewajiban Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional, karena masih dalam tingkatan dan periode Nasional. Apakah ini berarti, bahwa kita dus samasekali tidak boleh berangan–angan sosialisme ? Tidak boleh menyebar-nyebarkan cita-cita sosialisme?

Tidak boleh berideologi anti kapitalisme?

Tidak boleh dari sekarang juga bekerja dan berjoang untuk terlaksananya cita–cita sosialisme ?

Sama sekali tidak! Alangkah piciknya orang yang menyangka begitu! Kalau semua hal yang ditanyakan itu tidak boleh, – buat apa saya menulis ini buku? Buat apa saya sendiri Marhaenis? Buat apa saya dengan susah-payah menjelas-jelaskan kepada kaum wanita, bahwa hanya di dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat menjumpai kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna? Buat apa kita telah dari sekarang berikhtiar supaya Negara kita itu satu "jembatan" antara Negara burgerlijk dan Negara sosialis? Buat apa kita dari sekarang telah mengucapkan perkataan "kesejahteraan sosial"?

Justru oleh karena saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis ini buku. Justru oleh karena kita mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat sampai di masyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan tuntunan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu tuntunan-perjoangan, satu cara berfikir, satu denk methode. Teori sosialismelah yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan obyektif di dalam masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat dunia. Teori sosialismelah yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme.

Itulah "jasa" teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita itu terangkat naik ke tingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang sekarang ini ; memusatkan, membulatkan, mengkon-sentrasikan segenap tenaga rakyat kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga perjoangan daripada segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan, – mempraktekkan satu Persatuan Nasional Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang di dalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun syarat-syarat tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan hidup yang sosialistis.

Semua itu berkat "jasa" teori sosialisme, sesuai dengan kebenaran bahwa "tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner"!

Karena itu, sekali lagi saya katakan: piciklah orang yang mengatakan, bahwa karena tingkatan sekarang tingkatan Nasional, orang dus tak boleh berfikir dan berjoang "sosialistis". Picik! Sebab perjoangan untuk mendirikan Negara Nasional dengan isi–isi sebagai yang saya terangkan di muka, adalah berarti perjoangan untuk tercapainya sosialisme. Nasionalis Indonesia yang sosio-nasionalistis di dalam fikirannya dan di dalam segenap tindakan-tindakannya, adalah sosialis di dalam arti yang sesehat-sehatnya. Tetapi sebaliknya "sosialis" Indonesia yang dari sekarang telah nabyak-nabyak hendak "mengadakan" revolusi sosial, dia adalah "sosialis" pengrusak Revolusi!

Sungguh, berangan-angan sosialisme adalah perlu. Tetapi tidak kurang perlu pula adalah berilmu sosialisme. Siapa yang berangan-angan sosialisme, – di dalam dadanya dapat bersarang satu idealisme yang hidup, satu idealisme yang menyala-nyala, yang dapat mewahyui dia untuk bekerja habis-habisan dengan tiada mengenal lelah, berjoang mati-matian dengan berani menghadapi segala rintangan dan risiko, berkorban seikhlas-ikhlasnya dengan tidak menghitung-hitung untung rugi bagi dirinya sendiri. Ucapan Krishna dalam Bagavad Gita kepada Arjuna, yang berbunyi: " Kerjakanlah kewajibanmu dengan tiada menghitung–hitung akan akibatnya bagimu " , – ucapan itu hanyalah dapat menjadi semboyan hidupnya orang yang bercita–cita. Dan oleh karenanya, hanya orang yang bercita-citalah dapat mengamalkan perbuatan-perbuatan yang Besar.

Tetapi angan-angan itu janganlah angan-angan yang kosong.

Berapakah tidak, di dalam sejarah dunia ini, tenaga manusia dan jiwa manusia terbuang tersia-sia sebagai sampah, karena mengejar cita-cita yang kosong? Sosialisme yang harus menjadi angan-angan kita itu janganlah "sosialisme angan-angan", yaitu janganlah sosialisme utopis yang merindukan bulan dan yang tak dapat dilaksanakan, tetapi haruslah sosialisme penjelmaan evolusi masyarakat yang sebenarnya. Haruslah sosialisme yang berdasarkan anasir-anasir yang bukan anasir-anasir pengalamunan, tetapi anasir-anasir yang nyata, – sosialisme yang "obyektif".

Sosialisme yang demikian itulah yang boleh! Yang boleh diangan-angankan" dari sekarang; yang boleh dicita-citakan dari sekarang; dan yang boleh dipakai dari sekarang sebagai pedoman perjoangan. Dengan memahami sosialisme yang demikian itu (wetenschappelijk socialisme), kita dapat mempelajari berapa jauhnya tingkat evolusi masyarakat kita pada waktu sekarang, menentukan sifat apa harusnya Revolusi kita sekarang, menyusun strategi perjoangan kita sekarang. Dengan dia kita dapat memimpin Revolusi kita ke tingkatan yang lebih tinggi, menentukan arah yang harus diambilnya, mempastikan kemenangan. Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, – meski sosialisme yang "obyektif" sekalipun! – tetapi kita harus memahami teori sosialisme, memahami cara–berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme!

Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para pemegang obor, harus memahami ilmu itu. Dapatkah orang memimpin dengan baik, – menunjukkan jalan kepada rakyat, mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga-bekerja dan tenaga perjoangan rakyat, mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan korban yang sesedikit-sedikitnya -, bila orang tidak tahu jalan-jalan apa yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila tidak dengan tuntunan ilmu ? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila sendiri tidak tahu jalan?

Dan angan-angan sosialisme serta ilmu sosialisme itu tidak hanya "baik" buat pemimpin saja, rakyat jelata pula (sedapat mungkin) harus memahaminya. Berilah kursus sebanyak-banjaknya dan sepopuler-populernya kepada rakyat jelata itu. Tetapi terutama sekali angan–angan sosialisme harus dinyala-nyalakan di kalangan rakyat jelata itu, dikobar-kobarkan dalam jiwa mereka, angan–angan sosialisme harus menjadi Bintang Bimashaktinya perjoangan mereka. Mereka harus insyaf akan arti mereka dalam perjoangan dan dalam proses produksi sekarang dan proses produksi yang akan datang, mereka harus mengerti, bahwa dunia sosialisme adalah dunia mereka " , dan bahwa dus perjoangan Nasional sekarang ini (yang menuju kepada sosialisme) harus buat sebagian besar terpikul oleh semangat mereka, keringat mereka, korbanan mereka, darah dan daging mereka. lni berarti: Rakyat jelata harus dibuat sedar akan arti–golongannya sendiri. Mereka harus dibuat zelf–bewust, – harus dibuat self–conscious.

Mereka harus diinsyafkan harga kelasnya, – harus dibuat class–conscious. Mereka harus diinsyafkan, bahwa hanya dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat sejahtera, tetapi juga, bahwa masyarakat sosialisme itu tidak dapat tercapai jika tidak dengan tenaga mereka. Mereka harus mengerti, bahwa mereka lah soko-gurunya hari yang akan datang. Mereka harus mengerti bahwa tingkatan Nasional ini ialah tingkatan–mutlak ke arah Revolusi Sosialisme, – artinya, bahwa mereka dalam tingkatan sekarang ini harus mengutamakan " kenasionalan " – boleh berkesadaran kelas, tetapi tidak boleh mengobarkan perjoangan kelas! – bekerja bersama-sama dengan semua golongan dan lapisan yang menghendaki kemerdekaan nasional, – tetapi juga jangan diperdulikan oleh sesuatu golongan yang lain untuk kepentingan golongan yang lain itu.

Mengetahui arti golongan sendiri dan tidak mau diper-kudakan untuk kepentingan golongan lain, – itulah makna perkataan sadar akan diri sendiri dan berkesadaran kelas.

Tidakkah "perkudaan" itu sering terjadi, terutama bila perjoangan bersifat perjoangan “nasional", dalam mana semua golongan dan semua lapisan berjoang bahu-membahu? Dalam perjoangan-perjoangan "nasional" itu sering sekali pada zahirnya " seluruh bangsa" yang bergerak, tetapi pada hakekatnya golongan borjuis atau golongan feodallah yang "berjoang", dengan memperkudakan rakyat jelata. Hakekatnya perjoangan nasional Jerman adalah demikian, hakekatnya perjoangan nasional Jepang adalah demikian.

Dan hakekatnya perjoangan nasional di negeri-negeri lain adalah demikian pula.

Karena itu, jagalah jangan sampai rakyat-jelata kita diperkudakan orang: Buatlah rakyat–jelata kita sadarakan diri sendiri!

Ini sungguh bukan satu kejahatan. Ini bukan mengadu-dombakan golongan dengan golongan, ini bukan (dan jangan!) menghidup-hidupkan perjoangan kelas. lni bukan memecah-belah bangsa.

Salahlah mengkobarkan perjoangan kelas di dalam Revolusi Nasional! Saya selalu mengatakan, bahwa semua golongan dan lapisan di dalam Revolusi Nasional ini harus bekerja bersama-sama menyusun satu Persatuan Nasional yang kuat, menghantam dan menggempur imperialisme. Saya tetap berkata: bersatulah, bekerjalah bersama-sama, bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh! Tetapi bekerja bersama-sama itu tidak berarti, bahwa satu golongan boleh memperkudakan golongan yang lain. Membuat rakyat jelata sadar akan diri sendiri hanya berarti, bahwa rakyat jelata harus diberi pengertian tentang tugas bersejarah golongan rakyat jelata itu sendiri. Mereka, rakyat jelata, adalah basis sosial perjoangan kita. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, kita dapat memobilisir segenap tenaga-tenaga potensiil yang ada di kalangan mereka. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri Revolusi kita dapat berjalan pesat, dapat bersifat Revolusi yang progresif, yang menuju kepada tingkatan sosial yang lebih tinggi. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, Revolusi kita dapat bersifat Revolusi yang revolusioner, dan bukan Revolusi yang dipengaruhi oleh anasir-anasir kontra-revolusioner.

Alangkah sering ditakuti orang, perkataan "kesadaran diri" ini, jika ditinjau dari sudut kenasionalan! Sering orang berkata: "Jaga persatuan bangsa, jaga persatuan semua golongan, – jangan massa dibuat sadar akan diri sendiri". Atau: "Buatlah masing-masing golongan melupakan kepentingan golongan sendiri, hilangkanlah kesedaran golongan, buatlah semua golongan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja!". Demikianlah sering sekali diucapkan orang. Terutama, sekali golongan-golongan yang bukan golongan rakyat jelata sangat fanatik mencintai "kebijaksanaan" semacam ini! Apa sebab? Oleh karena golongan-golongan itu sendiri memang "tidak membuat dirinya sendiri berkesadaran diri"! Althans pada zahirnya! Pada batinnya, sudah barang tentu mereka membela kepentingan golongan sendiri, tetapi mereka (untuk pembelaan kepentingan mereka itu) membutuhkan bantuannya seluruh Bangsa, membutuhkan tenaganya dan simpatinya semua golongan dalam lingkungan Bangsa. Oleh karena itu, maka mereka lantas pura-pura tidak sadar akan diri sendiri, pura-pura tidak mementingkan golongan sendiri, – dan mengharap supaya lain-lain golongan (terutama sekali golongan rakyat jelata) sungguh–sungguh tidak sadar akan diri sendiri, dan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja. Lama-kelamaanpun mereka sendiri lantas seperti sama sekali "nasional".

Sama sekali "Pro Patria"! "Untuk tanah air"!

"Untuk Bangsa"! "Untuk Negara"!

Tetapi coba ancam kepentingan mereka itu! Coba bahayakan kepentingan mereka itu! Mereka akan membela kepentingan mereka itu mati-matian, meski misalnya ternyata bahwa kepentingan Bangsa menghendaki lain. Mereka akan merapatkan barisan di golongan mereka sendiri, membuat front pertahanan yang kuat, berteriak dari semua atap rumah bahwa "keselamatan Bangsa" dalam bahaya.

Ya, merekalah yang anti kesadaran dirinya rakyat jelata.

Tetapi saya harap semua orang yang menghendaki Revolusi kita sekarang ini berjalan pesat dan progresif, mengerti bahwa perlu sekali rakyat jelata kita dibuat sadar akan diri sendiri. Dan, oleh karena itu, saya harap kitapun mengerti perlunya persatuan yang erat dengan rakyat jelata. Terjunlah di kalangan rakyat, bergaul lah dengan mereka, didiklah mereka, berjoanglah dengan mereka dan untuk mereka, – buatlah rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan tindakannya, buatlah Revolusi kita semassal-massalnya, buatlah Rakyat jelata itu betul-betul basis sosialnya Revolusi.

Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separoh daripada politisi kita adalah salon politisi, yang mengenal Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira dapat menyelesaikan Revolusi sekarang ini, meski tingkatannya tingkatan Nasional sekalipun, tidak dengan rakyat murba? Politikus yang demikian itu sama dengan seorang jenderal tak bertentara. Kalau dia memberi komando, dia seperti orang berteriak di padang pasir. Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata, jika tidak terjun di kalangan mereka, mendengar-kan kehendak-kehendak mereka, menyusun program ekonomi yang menarik mereka, menyadarkan mereka akan diri mereka sendiri, membuat Revolusi ini Revolusi mereka?

Terutama sekali program–ekonomi (buat sekarang dan buat kemudian) yang menarik hati mereka, – itulah yang amat penting. Tetapi, untuk semua itu, perlulah bekerja di kalangan massa. Dan bekerja di kalangan massa itu adalah baik pula buat si pemimpin sendiri:

Di sana, di kalangan rakyat murba, di sana, laksana intan yang tiap-tiap hari digosok oleh ribuan pasir lembut, ia dapat membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh reaksioner, dapat makin lama makin menjadi "sosial revolusioner", dapat benar-benar menjadi penyala api kancahnya Revolusi. Di sana ia dapat mengajar Massa dan belajar daripada massa. Tahukah kita, pemimpin-pemimpin dan kaum intelek, penyakit kita yang paling sangat? Penyakit kita yang paling sangat ialah, bahwa kita senantiasa gemar mengajar kepada massa tetapi tidak pernah sudi belajar daripada massa! Penyakit yang demikian itu adalah penyakit yang paling buruk. Jikalau pemimpin tidak terjun di kalangan massa, maka pimpinannya sering terlalu "teoretis", dan hampir selamanya terlalu "eenzijdig". Pemimpin melihat segala keadaan selalu "dari atas", tidak pernah "dari bawah". Massa melihat segala keadaan "dari bawah", tidak "dari atas". Kedua-duanya “eenzijdig". Tetapi jikalau pemimpin dan massa bersatu, massa dan pemimpin isi mengisi satu sama lain, maka segala hal lantas terlihat dari atas dan dari bawah, – pengalaman pemimpin disempurnakan oleh pengalaman massa, – Revolusi berjalan dengan baik dan pesat, Revolusi ... revolusioner!

"Gerakkanlah Massa itu"! Itu adalah semboyan yang benar. Tetapi dapatkah orang menggerakkan Massa jika tidak mengetahui kehendak-kehendak massa, dan dapatkah orang mengetahui kehendak-kehendak massa, jika tidak bergaul dengan mereka! Alexander Herzen pernah berkata, bahwa kita hanya dapat menarik orang lain, apabila kita dapat melihat keinginan orang lain itu lebih terang daripada dia sendiri. Maka untuk melihat keinginan massa lebih terang daripada massa sendiri, perlulah terjun di kalangan massa itu dan bergaul dengan massa itu. Dan bilamana kita telah mengetahui kehendak-kehendak massa itu lebih terang daripada mereka sendiri, baru bilamana demikian, kita dapat mempengaruhi mereka, menarik mereka, membangkitkan mereka berjoang, memenuhi semboyan yang saya katakan benar itu tadi: "Gerakkanlah massa itu!"

Dan dalam pada menggerakkan massa itu, – dengan membuat mereka sadar akan diri sendiri – , maka kita harus menggabungkan tenaga massa itu dengan semua, sekali lagi semua tenaga anti imperialisme yang ada di dalam pagar, dan dengan semua tenaga anti imperialisme yang ada di luar pagar. Nasional kita pelihara persatuan, internasional kita pelihara pula persatuan.

Nasional kita gabungkan tenaga massa itu dengan tenaga kaum intelek Indonesia, kaum alim-ulama Indonesia, dlsb. yang sama-sama anti imperialisme, sama-sama menghendaki kemerdekaan Indonesia, – berkesadaran kelas, tetapi jangan mengobarkan perjoangan kelas, kata saya tadi -, internasional kita hubungkan dengan pergerakan-pergerakan buruh dan pergerakan-pergerakan nasional di negeri-negeri lain.

Dan di atas lapangan internasional ini, kita tidak harus hanya mencari bantuan dari luar, tetapi kalau dapat juga memberi bantuan kepada luar. Sebab, sungguhpun pada hakekatnya Revolusi kita telah berarti bantuan kepada Revolusi Umum (Revolusi Dunia): anti imperialisme dan anti kapitalisme, – karena satu bagian daripadanya -, maka tidak ternilai artinya sesuatu bantuan yang nyata yang kita berikan kepada sesuatu cabang perjoangan itu di dunia luaran.

Rasa persatuan perjoangan sedunia menjadi tebal oleh karenanya, rasa persatuan nasib menjadi lebih rill, rasa menghadapi musuh yang sama menjadi lebih menjelma. Dan rasa bertindak – aktif dan positif – menjadi lebih kuat. Hilangkanlah negativisme yang hanya mengharap pertolongan dari luaran, hilangkanlah jiwa lemah yang selalu menunggu-menunggu dan menyambat-nyambat. Hilangkanlah segenap bencana jiwa yang diwariskan oleh perbudakan kolonial beratus-ratus tahun yang bernama inferioriteits complex. Jiwa kita menjadi jiwa yang di dalam perjoangan bersifat ofensif, jiwa menyerang, jiwa berani, jiwa memberi, jiwa positif yang tidak menggantungkan nasib kepada orang lain.

Tetapi "tidak menggantungkan nasib kepada orang lain" itu tidak boleh berarti, bahwa kita tidak harus insyaf bahwa perjoangan kemerdekaan kita adalah bergandengan erat dengan Revolusi Dunia. Tadi saya telah katakan, bahwa perjoangan kita itu adalah satu bagian dari Revolusi Dunia itu. Kita sekarang harus mengatasi fase fikiran yang dahulu, bahwa kita dapat menyelesaikan perjoangan kemerdekaan kita itu tidak dengan hubungan dengan dunia. Tidakkah fikiran yang demikian itulah salah satu kesalahan kita di periode perjoangan yang lalu? Di muka telah saya katakan, bahwa salahnya Partai Nasional Indonesia yang saya pimpin dulu itu ialah bahwa Partai Nasional Indonesia itu terlalu menjatuhkan titik berat kepada "percaya kepada kekuatan diri sendiri", kepada "self-help", kepada "self-reliance". Terlalu! Sebab, ya benar, percaya kepada diri sendiri adalah mutlak perlu self-help dan self-reliance adalah menguatkan dan mempositifkan jiwa, tetapi jikalau titik berat terlalu dijatuhkan di atasnya, maka menjadilah ia semacam politik katak di bawah tempurung. Menjadilah ia semacam politik "menyendiri", semacam politik isolasionisme. Menjadilah ia bibit chauvinisme, – bibit kecongkakan nasional.

Dan menjadilah ia satu siasat perjoangan yang salah, yang merugikan, bahkan membahayakan kedudukan perjoangan kita, karena tidak sesuai dengan kenyataan obyektif: persatuannya imperialisme internasional.

Terhadap kepada imperialisme yang bersambung-sambung satu sama lain laksana rantai itu, kita dulu terlalu berjoang secara "sendiri". Padahal teranglah sudah, bahwa imperialisme inter-nasional hanya dapat dikalahkan secara internasional. Hanya dapat dikalahkan dengan hantaman internasional!

Dulu, di dalam abad kesembilanbelas, imperialisme belumlah bersambung satu sama lain. Dulu ekonomi belumlah ekonomi dunia, tetapi ekonomi itu dulu bersifatlah ekonomi "negeri sendiri-sendiri", "ekonomi negeri individuil". Sekarang ekonomi itu telah bersifat ekonomi dunia, dan imperialismepun bersifat imperialisme dunia. Sekarang rakyat di negeri sendiri-sendiri tidak dapat menghantam mati imperialisme itu, jika tidak bersama-sama rakyat-rakyat korban imperialisme di negeri-negeri lain.

Sekarang perjoangan harus perjoangan internasional.

Tetapi pembaca mungkin akan menanya: Tidakkah kita telah nyata meledakkan Revolusi kita pada tanggal 17 Agustus 1945 itu "atas kekuatan sendiri"? Tidakkah dus kita merebut kemerdekaan kita itu tidak dengan bantuan orang lain, tidak dengan hubungan internasional?

Orang yang bertanya demikian adalah salah kupas. Pertama:

Situasi-situasi revolusioner yang saya uraikan di muka tadi, yang memungkinkan proklamasi kemerdekaan kita itu, adalah hasil daripada pergolakan dan pergeseran internasional. Dapatkah kita memperoleh situasi revolusioner yang masak untuk proklamasi itu, jika tidak terlebih dulu dunia imperialisme internasional terbakar sehebat-hebatnya, terkacau kalut mawut oleh peperang-an dunia ke II laksana kebun ubi dirusak oleh babi? Dapatkah kita mendapat situasi revolusioner itu jika kekacau-balauan internasional itu tidak meremuk-redamkan imperialisme Belanda? Jika tidak sekeliling Indonesia seluruh dunia Timur gegap-gempita bergerak menuntut merdeka laksana menjadi kawah Candradimuka? Jika tidak di seluruh dunia segala kaum progresif menentang penjajahan dan bersimpati kepada kita?

Dan sebagai di muka saya katakan, soal kita bukan saja memproklamasikan kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan kemerdekaan itu seterusnya. Di dalam mempertahankan kemerdekaan itu kita lebih-lebih lagi butuh kepada simpati dan bantuan internasional. Perjoangan kita yang berupa pertahanan konkrit, usaha kita di lapangan diplomasi, jerih-payah kita di lapangan pembangunan, semua itu jangan sampai terpencil, jangan sampai kena diisolir, semua itu harus kita usahakan dalam suasana internasional. Tidakkah fihak Belanda selalu mencoba mengisolir pertikaian Indonesia-Belanda ini menjadi satu soal "dalam negeri"?

Memang banyak sekali orang heran, bahwa justru di Indonesia dan di Vietnam revolusi meledak, dua negeri yang orang kira pergerakan nasionalnya tidak terlalu hebat. Mengapa tidak di Korea? Atau di India? Atau di Philipina? Mengapa justru di Indonesia dan di Vietnam? .

Keterangannya ialah, bahwa dunia imperialisme SEBAGAl SATU KESELURUHAN – dengan ekonominya yang telah ekonomi dunia -, telah masak untuk revolusi. Maka di dalam keseluruhan dari Barat sampai ke Timur, dari Utara sampai ke Selatan yang telah masak untuk revolusi itu, revolusi meledak di tempat–tempat di mana rantai imperialisme itu paling lemah.

Dan di mana rantai imperialisme itu paling lemah?

Di Indonesia dan di Vietnam. Di dua negeri itu imperialisme Belanda di satu fihak dan imperialisme Perancis di lain fihak paling mendapat pukulan-pukulan hebat dari peperangan dunia ke II, di dua negeri itu rakyatnya paling tertindas, paling terhisap, paling jembel, paling dendam dan paling marah. Di dua negeri itu bisul revolusi yang menghinggapi seluruh tubuh imperialisme dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai ke Selatan, paling dulu menjebrot dan memecah! Di dua negeri itu rantai imperialisme terputus, dan oleh karenanyalah maka sekarang semua cincin-cincin rantai itu yang belum terputus lantas bekerja bersama-sama untuk menyambungkan lagi rantai imperialisme itu di tempat-tempat yang terputus itu.

Inilah artinya ofensif–umum daripada imperialisme–internasional yang sekarang sedang bertubi-tubi di atas tubuhnya Republik Indonesia dan Republik Vietnam, yang kedua-duanya digempur dengan bom dan dinamit, dengan tank dan kapal-udara!

Tetapi terutama rakyat Indonesia mempertahankan diri dengan gagah dan berani. Segenap tenaga nasionalnya dimobilisir, segenap tenaga progresif sedunia dipanggilnya.

Kontra revolusi di Indonesia dan di Vietnam adalah satu bagian saja daripada kontra revolusinya imperialisme sebagai satu keseluruhan, tetapi Revolusi di Indonesia dan di Vietnam pun adalah satu bagian saja daripada Revolusi Internasional yang merobek-robek tubuhnya imperialisme sebagai satu keseluruhan.

Kesudahannya tak dapat disangsikan lagi!

Imperialisme pasti binasa, – Kemerdekaan pasti menang!

...............................................................................................

Agak panjang uraian saya tentang beberapa soal yang mengenai perjongan Republik kita. Pokok-pokoknya ialah:

Bahwa fase perjoangan kita sekarang ini ialah fasenya Revolusi Nasional. Dharma kita di dalam fase ini ialah menyusun Kemerdekaan Nasional, dan mengisi Kemerdekaan Nasional itu dengan syarat–syarat jiwa dan syarat–syarat materiil, agar supaya Kemerdekaan Nasional itu dapat menjadi batu–loncatan kepada Kemerdekaan Sosial di kemudian hari.

– "Penuhilah sepenuh-penuhnya segala syarat Revolusi Nasional, perkuatkanlah Negara, – sekali lagi perkuatkanlah Negara -, susunlah persatuan Nasional, kejar dan capailah Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang berdaulat seratus prosen! Isilah Revolusi Nasional ini dengan angan–angan sosialisme dan dengan syarat–syarat yang diperlukan untuk penyelenggaraan sosialisme itu: buatlah tehnik kita dan ekonomi kita berkembang, buatlah semangat kita semangat gotong-royong, didiklah rakyat jelata kita menjadi rakyat jelata yang benar-benar sadar akan diri sendiri tetapi jangan sekali-kali mengadakan perjoangan kelas, carilah hubungan rapat dengan segenap tenaga progresif di seluruh dunia!", demikianlah sari-patinya anjuran-anjuran yang saya anggap penting.

Tetapi, – apakah kewajiban wanita dalam penyelenggaraan segala hal–hal itu ?

Jawab saya adalah tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti, bahwa hanya sosialisme sajalah yang dapat menolong dia, dan karenanya, wanita harus ikut serta dalam penyelenggaraan segala hal-hal yang saya sebutkan sebagai pokok-pokok perjoangan kita itu dengan cara yang sehebat-hebatnya. Tidak saya akan puas dengan "setengah-setengahan"! Tidak saya akan berhenti, sebelum wanita Indonesia seluruhnya betul-betul ikut aktif dalam Revolusi Nasional dengan isi yang saya maksudkan itu. Pernah saya di waktu masih muda remaja tertangkap hati oleh anjuran Ernest Douwes Dekker (Setyabudi) yang berbunyi:

"Men moet zich geheel geven, geheel! De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder!" – yang artinya: "Janganlah setengah-setengahan, berilah jiwa-ragamu sama sekali!" – maka anjuran yang demikian itu pula sekarang saya berikan kepada wanita Indonesia di dalam Revolusi kita. Tidakkah segenap macam perjoangan yang saya sebutkan di atas itu pada intinya berarti menyusun hari kemudian wanita juga? Tetapi bagai-mana wanita dapat ikut-serta sehebat-hebatnya, kalau wanita sendiri belum sadar, dan kalau fihak laki-laki emoh kepada ikut-sertanya wanita itu, karena laki-laki sendiri masih dihinggapi oleh faham-faham kolot tentang wanita?

Ah ya, terutama kepada kaum laki-laki saya serukan supaya mengerti betul-betul mutlak–perlunya wanita ikut-serta dan dapat ikut-serta dalam perjoangan itu. Ingatlah pengalaman-pengalaman perjoangan di negeri lain! Apa sebab misalnya hasil perjoangan rakyat India kurang memuaskan? Oleh karena wanita – India belum ikut-serta semutlak-mutlaknya dalam perjoangan bangsa. Gandhi sendiri dengan tegas menyatakan (bacalah "India of my dreams"):

" Banyak sekali pergerakan–pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita " . Tetapi apa sebab, misalnya lagi, pemerintahan sovyet dapat mengadakan kemajuan yang begitu pesat di segala lapangan di Rusia Timur, yang dulunya toh begitu amat terbelakangnya? Kemajuan di atas lapangan pengajaran, di atas lapangan pertanian, di atas lapangan pemerintahan, di atas lapangan ketentaraan, sampai pun di atas lapangan tehnik dan industrialisasi ?

Tak lain tak bukan, ialah oleh karena pemerintah sovjet siang-siang sekali mengerti, bahwa wanita di Rusia Timur, bagaimanapun juga kolotnya dan bagaimanapun juga jumudnya, harus lekas-lekas dididik dan dibawa ikut-serta mutlak di dalam kesadaran, – di "ingeschakeld" mutlak di dalam perjoangan dan pembangunan! Tidak dapat Rusia Timur itu dibawa ke padang kemajuan, kalau hanya fihak laki-laki saja yang dikerahkan, atau lebih tegas lagi: kalau fihak wanita tidak dibawa ikut-serta sehebat-hebatnya di dalam pengerahan jiwa dan tenaga itu, – demikianlah kenyataan yang siang-siang dimengerti oleh pemerintah sovjet itu. Oleh karena itulah maka boleh dikatakan yang paling dulu diusahakan oleh pemerintah sovjet di Rusia Timur ialah: menyadarkan wanita, membuka mata wanita, memutuskan belenggu wanita, "merevolusionerkan" wanita. Wanita, wanita, separoh dari tenaga manusia, harus disadarkan lebih dahulu! Wanita sadar adalah syarat mutlak bagi pembangunan masyarakat vertikal dan horizontal! Dan hasil dari pembangunan umum yang dicapai dengan lebih dulu menyadarkan wanita itu, di Rusia Timur adalah mengagumkan.

Fannina W. Halle menceriterakan tentang hal ini di dalam bukunya yang telah saya sebutkan.

Malah mungkin sekali bahwa pemerintah sovjet siang-siang mengerti pentingnya soal wanita itu, bukan hanya oleh karena "tahu teori", yaitu teori yang telah disusun oleh pemimpin-pemimpin wanita tingkat ketiga. Mungkin sekali pengalaman pun memberi petunjuk kepada mereka.

Apakah pengalaman itu? Pengalaman itu ialah, bahwa revolusi proletar di Rusia Pusat itu dipelopori oleh wanita. Umum belum begitu mengetahui akan hal ini. Umum mengira bahwa revolusi di Rusia Pusat itu hanya dipelopori oleh kaum buruh laki-laki saja. Tetapi bacalah pernyataan-pernyataan dari historisi yang saya sitir di bawah ini!

"Kesadaran kelas yang sehat membuat kaum buruh wanita menyokong pemogokan-pemogokan, dan tidak jarang wanita- wanita itu mengorganisir sendiri dan memimpin sendiri pemberontakan-pemberontakan paberik".

Demikianlah pernyataan Alexandra Kollontay yang saya baca dalam kitab Fannina W. Halle. Tetapi lebih tegas adalah pernyataan- pernyataan berikut:

"Kaum buruh wanita sudah ikut-serta aktif pada pemberontakan-pemberontakan buruh dalam tahun 1874 di Petersburg di paberik-paberik tenun. Dalam pemberontakan buruh yang termasyhur di Orjechowo Sujewo, di daerah tekstil Wladimir, yang berhasil mencapaikan larangan kerja malam bagi wanita dan kanak-kanak dari pemerintah, maka wanitalah yang berdiri di barisan yang paling depan. Memang adalah menarik perhatian, bahwa sumber-sumber pemogokan-pemogokan dan pemberontakan-pemberontakan buruh, yang selalu menggelorakan dunia proletar Rusia di kanan-kirinya tahun tujuh puluhan dan di bagian pertama dari tahun delapan puluhan, terutama sekali terdapat pada cabang-cabang perusahaan tenun, yaitu cabang-cabang perusahaan yang kaum buruhnya buat bagian yang terbesar terdiri dari wanita. Dengan demikian maka tidaklah dilebih-lebihkan, jika orang mengatakan, bahwa bagian yang terbesar ( hetleeuwenaandeel ) daripada perjoangan-perjoangan ekonomis dan politis dalam masa itu ialah dilakukan oleh wanita!".

Dan bagaimanakah rol wanita dalam revolusi-revolusi Rusia yang kemudian?

Trotzky menceriterakan tentang Revolusi Maret 1917 (di Rusia dinamakan Revolusi Februari):

"Adpokat-adpokat dan jurnalis-jurnalis daripada kelas-kelas yang terhantam oleh Revolusi ini tidak sedikit menghamburkan tinta untuk membuktikan, bahwa dalam bulan Februari itu sebenarnya telah terjadi satu pemberontakan wanita, yang kemudian dilimpahi oleh pemberontakan serdadu". Tetapi keadaan pada zahirnya memang sebenarnya begitu! Sebab Trotzky sendiri mengatakan juga: "Kenyataan tetaplah, bahwa revolusi Februari itu mulainya ialah dari bawah, dan inisiatifnya datanglah secara spontan dari bagian proletar yang paling tertindas dan paling tertekan, yaitu kaum buruh tenun wanita, sedangkan di antara mereka itu banyak juga isteri-isteri serdadu ... Kurang lebih sembilan puluh ribu kaum buruh wanita mogok pada hari itu. Semangat perjoangan meletus dengan berbentuk demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat umum dan perkelahian-perkelahian dengan polisi ... Sejumlah besar wanita-wanita, malahan bukan semuanya wanita kaum buruh, berarak-arak ke balai kota dengan maksud meminta roti ...

Hari wanita ini berakhir dengan hasil yang memuaskan, dengan semangat, dan dengan tiada korban".

Seorang-orang lain jang menyaksikan kejadian-kejadian pada waktu itu, menceriterakan tentang hari 23 Februari (8 Maret) sebagai berikut:

" Sebagai angin taufan yang membinasakan segala sesuatu yang mengadang di jalannya, bergeraklah kaum buruh wanita yang telah mata gelap karena siksaannya lapar dan siksaannya peperangan itu.

Bangkitnya kaum buruh wanita yang dendam–benci kepada penindasan yang telah ratusan tahun, itulah cetusan api yang menyalakan api revolusi Februari, revolusi yang nantinya meremuk–redamkan Tzarisme sama sekali ".

Dan surat kabar Pravda menulis seminggu kemudian:

"Lama sebelum perang, maka Internasional Proletar telah memproklamasikan hari 8 Maret (23 Februari) sebagai Hari Pesta Wanita Internasional. Tetapi seminggu sebelumnya maka pemerintah di Petrograd telah mengeluarkan larangan merayakan hari itu.

Sebagai akibat larangan itu terjadilah mula-mula perkelahian-perkelahian di paberik-paberik Putilow, yang kemudian menjalar menjadi satu rapat-raksasa, satu revolusi.

Hari pertama dari revolusi, – itulah Hari Wanita, hari Internasional kaum buruh wanita. Hormat kepada wanita! Hormat kepada Internasionale!

Wanitalah yang paling dulu keluar ke jalan–jalan Petrograd pada hari mereka itu.

Di Moskow wanita pada hari itu acapkali menentukan sikapnya prajurit-prajurit militer: mereka masuk ke asrama-asrama, menasehati serdadu-serdadu supaya memihak kepada revolusi, – dan serdadu-serdadu itu mengikuti seruannya.

Hormat kepada Wanita!"

Dan pada hari-hari yang berikutpun, wanita tetap memelopori revolusi. Trotzky menceriterakan tentang hari-hari yang berikut itu demikian:

"Dengan keberanian yang melebihi keberanian laki-laki, wanita-wanita itu mendesak-mendekati barisan-barisan serdadu, senapan-senapan serdadu itu dipegangnya, dan mereka meminta, ya hampir-hampir memerintah:"Balikkanlah bayonetmu, pindah-lah ke pihak kami!"

Maka serdadu-serdadu itu terkena hatinya, mereka merasa malu, mereka memandang satu sama lain, mereka goyang hatinya seorang-orang daripada mereka mulailah memberanikan diri – dan bayonet-bayonet itu berputar di atas pundak-pundak wanita yang mendesak mendekati mereka itu, pagar batin yang memisahkan mereka itu gugur, dan pekik hura yang penuh dengan kegembiraan dan rasa terimakasih bergegap-gempitalah memenuhi angkasa, serdadu-serdadu itu dikerumuni sama sekali, pembicaraan-pembicaraan, usul-usul dan peringatan-peringatan mulailah dengan asyiknya, – revolusi telah maju ke depan selangkah lagi" .

Fannina Halle menambah pernyataan-pernyataan ini dengan kata-kata berbunyi:

"Maka demikianlah kita melihat wanita Rusia itu di atas jalan yang panjang dan penuh duri, – jalannya Revolusi yang menuju kepada Rusia yang baru: wanita dengan keberanian hati yang sering sekali membuat malu kawan-kawan yang laki-laki, dengan penuh penyerahan jiwa raga, dengan tak takut kepada maut, dengan berjalan di sana-sini di tempat yang paling depan, dengan selalu kepalanya tegak, dengan pandangan-mata yang menuju ke masa depan yang telah melambai-lambai di seberangnya perjoangan dan korbanan-korbanan darahnya itu".

Dan akhirnya bacalah pendapat bapak revolusi Rusia sendiri yang saya cantumkan di bawah ini, yaitu pendapat Lenin!

"Di Petrograd, dan di Moskow sini, di kota-kota dan di pusat-pusat industri, di daerah-daerah pedalaman, wanita-wanita proletar bersikap dengan cara yang mengagumkan.

Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai. .. ltulah keyakinan saya. Alangkah beraninya mereka itu dulu, alangkah beraninya mereka itu sekarang! Coba bayangkan segenap penderitaan-penderitaan dan kemelaratan-kemelaratan yang mereka derita. Mereka tahankan semua penderitaan itu, oleh karena mereka menghendaki adanya sovyet, dan oleh karena menghendaki kemerdekaan, menghendaki komunisme.

Ya, sesungguhnya, wanita-wanita proletar kita adalah wanita-wanita pejoang kelas yang amat jempol. Mereka selayaknya harus kita hormati, mereka harus kita cintai!"

Kulebih-lebihkankah, jikalau aku mengatakan tadi, bahwa revolusi di Rusia Pusat jaya oleh karena dipelopori oleh wanita? Atau setidak-tidaknya: oleh karena wanitanya ikut-serta mutlak dalam revolusi itu?

" Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai!

" ... Demikianlah, kata demi kata, – "woordelijk" -, ucapan Lenin! Maka sebagai saya katakan tadi, mungkin pengalaman di Rusia-Pusat inilah – di samping segala teori – yang menjadi sebabnya pemerintah sovyet pagi-pagi telah mengerti, bahwa buat pembangunan di Rusia Timur yang masyarakatnya masih kolot bin kolot itu, yang paling dulu harus disadarkan, disemangatkan, dibangkitkan, digelorakan, ialah fihak wanita-wanitanya.

Dan itulah mereka kerjakan! Wanita di Rusia Timur mereka "serbu". Kemudian: dengan masyarakat wanita yang telah sadar itu, pembangunan umum di Rusia Timur (sudah barang tentu juga dengan masyarakat laki-laki yang disadarkan pula) berjalan-lah dengan pesatnya: pertanian, pengajaran, pemerintahan, pertahanan, peternakan, pengkolektivan, tehnik! , industrialisasi, – semuanya melancar pesat di luar dugaan, semuanya lantas membuat Rusia Timur menjadi satu dunia "laksana sulapan", sebagai dikatakan oleh seorang penulis yang namanya saya lupa, – kalau tidak salah Arthur Feiler.

Dan bagaimana kita?

Ah, apakah barangkali memang benar, bahwa beberapa kekalahan yang kita derita di dalam revolusi kita ini, sebabnya antara lain ialah oleh karena wanita kita belum mutlak ikut-serta di dalam revolusi kita itu?

Apa sebab fase pertama daripada revolusi kita di Kalimantan belum berhasil memuaskan? Mungkinkah karena wanita Kalimantan belum aktif seluruhnya? Apa sebab di Sulawesi pula fase pertama itu tidak jaya? Dan di Kepulauan Sunda Kecil? Dan tidakkah kita di Jawa dan Sumatera pula menderita beberapa kekalahan? Lagi-lagi saya ingat kepada ucapan Gandhi yang telah saya sitir tadi itu: "Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita", dan lagi-lagi pula saya ingat pernyataan Lenin yang dengan tegas menyatakan bahwa "Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai"!

Ah, teringatlah saya lagi kepada mata wanita di belakang tabir dulu itu! Berapa laksa atau keti, mungkin berapa milyun wanita Indonesia, terutama sekali di luar pulau Jawa, masih hidup secara begitu!

Dapatkah kita berjoang sehebat-hebatnya, membangun sehebat-hebatnya, dengan masyarakat yang berisi milyunan wanita yang begitu itu? Dan di pulau Jawa sendiri, ya, pingitan sudah jauh berkurang atau hampir habis sama sekali, – tetapi berapa prosenkah sudah ikut berjoang secara mutlak, dan dari itu lagi berapa prosenkah berjoangnya dengan penuh faham-kesadaran ?

Banyak golongan-golongan yang harus kita sadarkan dan harus kita kerahkan, banyak lapisan yang harus kita dinamisir. Pemuda, buruh, tani, pegawai, pedagang, alim-ulama, semuanya kita tarik ke dalam kancah, sekarang marilah kita dengan lebih banyak energi lagi mendinamisir pula kaum wanita, di seluruh Indonesia.

Kita, – artinya pemimpin-pemimpin wanita dan pemimpin laki–laki pula!

Sebab, terhadap kepada soal wanita ini, – soal wanita dalam segala seluk-beluknya -, sebenarnya pihak laki–laki masih harus rnengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara yang sehebat-hebatnya. Dalam, ya amat dalam dilihatnya orang laki-laki, sekalipun laki-laki yang mulutnya selalu mengkernak-kernikkan "persamaan hak antara laki-laki dan perempuan" atau yang selalu mendengung-dengungkan "sosialisme" – sama rasa sama rata", seringkali masihlah ber-semayam Sang Hantu “Aku Laki-laki, Tuannya wanita", Sang Hantu "wanita blasteran dewi dan si tolol"!

Sampai di kalangan-kalangan sosialis-sosialis kiri, malahan di kalangan-kalangan komunis, penyakit “patriarchat" ini belum juga sembuh. Bacalah sekali lagi misalnya keluhan Emilia Marabini yang saya sitir di muka itu. Atau bacalah ucapan Lenin di bawah ini:

"Perjoangan komunistis kita di antara kaum wanita, perjoangan politik kita di antara mereka itu harus berisi pula satu bagian besar perjoangan mendidik kaum laki–laki. Kita harus mencabut jiwa ’Tuan’ itu sampai ke akar-akarnya habis-habisan. Mencabut, di kalangan partai dan di kalangan massa."

Saya bukan orang komunis. Tetapi maksud ucapan Lenin yang mengemukakan perlunya pendidikan kepada kaum laki-laki atau pendidikan diri-sendiri oleh kaum laki-laki itu, saya setujui sama sekali. Memang, hantu kecongkakan patriarchat belum mati sama sekali. Umumnya kaum laki-laki (obyektif) masih produknya periode "pemerintahan kaum lelaki". Tetapi sekalipun umpamanya tidak untuk membela pendirian "perempuan sederajat dengan laki-laki", atau "perempuan sama rata dengan laki-laki" – bangkitkanlah wanita itu ikut-serta mutlak sehebat-hebatnya dalam revolusi kita ini guna kepesatan revolusi itu. Buatlah wanita itu di Jawa dan lebih-lebih lagi di kepulauan Indonesia yang lain di mana keadaan wanita masih begitu amat terbelakang, benar-benar menjadi roda perjoangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi sayap garuda nasional kita yang satu lagi. Jika wanita tiada mutlak ikut serta, kereta kita terdampar di tanah, garuda nasional kita terpaku di bumi. Belajarlah mengerti, bahwa soal wanita adalah soal kita yang teramat penting. Belajarlah menilaikan wanita itu sebagai elemen–mutlak dalam perjoangan kita.

Dengan sengaja saya beri kepada kitab saya ini dua motto ucapan Gandhi dan ucapan Lenin tentang wanita, dan saya cantumkan dua motto itu di kaca yang paling depan, dan di bawah ini buat keempat kalinya lagi, untuk menonjolkan harga wanita itu dalam perjoangan. Perhatikanlah isi peringatan itu benar-benar.

– " Banyak sekali pergerakan–pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita " – Gandhi.

– " Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai " – Lenin

Dan kamu, kaum wanita Indonesia, – akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada kaum laki-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjoangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjoangan. Dan di dalam perjoangan yang garis-garis besarnya telah saya guratkan di muka tadi itu, bantu-membantu mutlak antara laki-laki dan perempuan harus diselenggarakan benar-benar. Perkataan saya bahwa syarat mutlak bagi kemenangan Revolusi Nasional ialah Persatuan Nasional, sudah barang tentu juga mengenai perhubungan wanita dan laki-laki. Janganlah di dalam Revolusi Nasional ini wanita misalnya terlalu meletakkan titik berat kepada mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutannya perjoangan membela kemerdekaan Negara dan kemerdekaan Bangsa. Sebaliknya, adakanlah penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya, adakanlah perjoangan nasional yang sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan bersama kesatu tujuan, – tiada satu tenagapun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jikalau golongan-golongan itu ada -, janganlah menentang satu sama lain, tetapi berjoanglah bahu-membahu serapat-rapatnya membela kemerdekaan nasional. Semua, semua tenaga harus diarahkan kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.

Saya tahu, seribu satu soal-soal cabang daripada soal wanita ini harus kita pecahkan. Saya sendiri telah seringkali ber-musyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia, dan selamanya banyaklah soal-soal cabang yang menjadi acara permusyawaratan itu. Demikian pula sering sekali saya menerima keluhan-keluhan dari kalangan wanita, yang mengemukakan keluhan bermacam-macam ragam. Misalnya soal bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit kompleks inferieur yang telah turun-temurun bersarang dalam jiwa mereka, soal bagaimana mendinamiskan jiwa wanita itu, soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengeficientkan rumah-tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit tentara sekarang, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui yuridis politis dalam undang-undang dasar Republik, soal hal wanita di daerah-daerah pendudukan Belanda, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita di pulau-pulau lain, dan lain-lain soal seribu satu lagi yang penting-penting, tetapi juga sampai yang setetek-bengek-setetek-bengeknya pun, – soal-soal cabang yang demikian itu sudah sering saya hadapi. Soal-soal itu ada yang mirip-mirip "tingkat kesatu", ada yang nyata-nyata soalnya "tingkat kedua", dan ada yang mengenai "retak" yang di muka tadi berulang-ulang telah saya bicarakan berhu-bung dengan "tingkat ketiga" daripada perjoangan wanita itu.

Itu sama sekali tergantung dari sifatnya kalangan yang mengemukakan soal itu. Memang masyarakat kita terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga "tingkat" itu: Ada golongan atasan, ada golongan buruh dan tani, ada golongan yang terkungkung oleh faham-faham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam permusyawaratan-permusyawaratan yang demikian itu, saya selalu hanya memberi petunjuk garis–garis besar saja, dan selalu saya peringatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita sendiri. Terutama sekali di dalam prakteknya pemecahan soal-soal cabang, soal-soal ranting, – siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi, tidak pula mencari jalan?

Saya sefaham dengan Vivekananda yang selalu, jikalau ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipiil) lantas menjawab:

"Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku? ... Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Handsoff! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!"

Ya, wanita sendiri harus bertindak, wanita sendiri harus berjoang! Tetapi ini tidak berarti, bahwa wanita harus berusaha terpisah sama sekali dari fihak laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda hebat dalam Revolusi Nasional; wanita di dalam Revolusi kita ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanitapun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan! Jangan ada yang memeluk tangan!

Di dalam Revolusi Nasional kita ini semua golongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan ke satu tujuan pula, – jangan ada dua golongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka sejak dari tahun 1928 saya menganjurkan kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga–tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang yang mahasakti, memborong tingkat kesatu + tingkat kedua + tingkat ketiga itu (yang di dalam masyarakat kita obyektif tentu ada) di dalam satu sintese program perjoangan wanita, yang bersama–sama dengan laki–laki (tidak antilaki–laki) betul–betul menggegap-gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam Revolusi Nasional kita ini, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintese–program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat daripada Revolusi Nasional kita ini, – Revolusi Nasional Totaliter -, dengan isi-isi sebagai yang saya uraikan panjang-lebar di muka tadi.

Jikalau umpamanya di Indonesia ini ada bermacam-macam perserikatan-perserikatan wanita atau partai-partai wanita, – entah dari tingkat kesatukah, atau feminiskah, atau neo-feminis-kah, atau sosialiskah, – jadikanlah perserikatan-perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar yang di bawah panji-panjinya sintese program itu menggelombang ke satu arah, ke arah benteng penjajahan, yang harus diremuk-redamkan bersama-sama, dihantam hancur-lebur bersama-sama. Buatlah Revolusi Indonesia ini betul-betul Revolusi Nasional, Revolusi Nasional yang Totaliter!

Revolusi Nasional yang Totaliter, dengari isi-isi sebagai yang saya uraikan itu, sebagai pembuka pintu kepada masyarakat sosialisme, – satu-satunya masyarakat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada wanita!

Apakah ini berarti satu anjuran tersembunyi kepada wanita Indonesia, supaya menjadi anggota daripada mitsalnya "Partai Sosialis?" Sama sekali tidak! Saya mengharap wanita bergerak, tetapi saya bukan propagandis sesuatu partai. Saya tidak mengutamakan sesuatu partai. Faham sosialisme saya kemuka-kan di dalam kitab ini di dalam artinya yang umum, tidak berhubungan dengan anggapan atau program atau organisasi sesuatu partai. Cita-cita sosialisme memang bukan monopolinya sesuatu partai, bukan milik sendirinya sesuatu golongan manapun juga. Lama sebelum partai-partai yang sekarang ini berdiri, lama sebelum Revolusi kita ini berjalan, ya, lama sebelum perang Pasifik pecah yang memungkinkan Revolusi kita itu meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, – sudah mewahyui nasionalisme kita menjadi sosio-nasionalisme dan demokrasi kita menjadi sosio-demokrasi.

Ya benar, saya memakai perkataan "sosialisme", – tetapi pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya sama, yakni satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan ber-keadilan sosial.

Yang di dalamnya tiada eksploatasi manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara, karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit "retak" yang membingungkan menggilakan kepadanya.

Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh karena perkataan sosialisme telah lazim, oleh karena saya tak dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh karena dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosia-lisme dan gerakan wanita sosialis di buku-buku lain, – bukan oleh karena saya hendak mengutamakan sesuatu partai. Saya hanya mengharap, bahkan membangkitkan segenap jiwa-ragaku dalam usaha, supaya seluruh rakyat Indonesia laki-laki perempuan, tua-muda, berjoang, berjoang, berjoang dan sekali lagi berjoang, – aktif dan dinamis -, di dalam perjoangan nasional bersama dengan isi-isi tujuan ke arah sosialisme itu, tidak perduli di dalam partai manapun juga atau gerakan manapun juga. Saya mengutamakan keaktifan dan isi keaktifan itu, tidak mengutamakan nama-nama dan formalitas!

Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme, tetapi saya cinta pula kepada sosialisme oleh karena fikiran saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam masyarakat sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat. Saya mengajak segenap wanita Indonesia dan segenap rakyat Indonesia mencintai dan mengejar sosialisme itu (via Revolusi Nasional) oleh karena fikiran saya berkata, bahwa hanya dalam sosialisme lah wanita Indonesia dan rakyat Indonesia dapat kebahagiaan, bahkan seluruh wanita sedunia dan seluruh kemanusiaan sedunia pula. Memang kebahagiaan kemanusiaan sedunia itulah tujuan sosial kita yang terakhir, idam-idaman sosial kita yang terakhir!

Dan ... entah ini dimengerti orang atau tidak ... saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah kepada Tuhan. Saya mencintai sosialisme, oleh karena saya cinta kepada Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjoang untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis: Sama sekali percapa kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan. Tetapi untuk menerangkan hal ini, bukanlah tempatnya di dalam kitab ini.

Saja menulis kitab ini melulu buat mengupas soal wanita dan membicarakan kewajiban wanita dalam perjoangan Republik Indonesia. Buat mencoba mencetuskan api idam-idaman jiwaku kepada segenap wanita Indonesia, yang jika tiada mereka tak mungkin kita mencapai kemenangan sosial. Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku ini, buat engkaulah aku menggoyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjoanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu! Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebab sebagai tadipun telah kukatakan, tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!

Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap kuman inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan perjoangan ringan, perjoanganmu adalah perjoangan raksasa. Memang tujuan yang kugambarkan di kitab ini bukan tujuan yang kecil, tetapi tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada mengatasi kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan pengorbanan-pengorbanan.

Agust Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut namanya di muka tadi, mengunci bukunya "Die Frau und der Sozialismus" dengan kata-kata:

"Juga di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, – bahwa mereka telah bertetap hati ikut–serta dalam perjoangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban, membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mereka dalam perjoangan.

Jangan satu orangpun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halanganpun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir pasti nanti datang.

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permulaannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.

Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kitapun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak memperdulikan soal "di mana" atau "kapan" batu-batu tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.

Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi kewajiban kita sebagai manusia, dan dengan keyakinan, bahwa tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!"

Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada kamu, wanita-wanita Indonesia. Malah saya tambah lagi: bandingkanlah zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-undang Sosialis sekalipun, masih bernama aman jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita, kita sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang sepuluh, seratus kali lebih gegap-gempita daripada zamannya Bebel itu. Kita sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur di angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, – segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik kita yang diserang itu. Sungguh seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan dengan keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorangpun boleh ketinggalan, – betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun, harus kita gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan untuk membela Negara yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania adalah dulu itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang Sosialis, tetapi di sini perjoangan adalah perjoangan membela hidup terhadap serangan kontra-revolusi yang sedang memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang mengamuk, membinasa, membunuh, membakar! Tidak seorangpun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang semacam itu!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.

Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan-sosial.

Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!