Segumpal Emas Dibawah Kakiku/Bab 1

YANG ADA DIBAWAH KAKIKU?

Beberapa tahun yang silam.

la orang akan memasuki kota dari selatan akan dilewati sebuah jembatan. Sebuah jembatan beton yang sangat kokoh Pada kiri kanannya terdapat loteng dari tembok yang sebelah atasnya datar. Lebarnya ada kira-kira empat puluh senti meter. Dan panjang jembatan itu ada kira-kira empat puluh meter ula.

Air sungai mengalir dari ebelah barat. Sesampai di jembatan sebelah timur airnya terjun ebawah. Ada kira-kira enam meter pula tingginya. Gemuruh air itu terjun untuk melanjutkan perjalanannya arah ke hilir. Sungai itu mengalir terus untuk menemui induknya yang bernama Batang Sinamar. Dan nama batang air ini Batang Agam. Sebab datangnya dari Kabupaten Agam.

Dari hulu batang air ini mengalir melewati negeri-negeri Padang Tarab, melintasi jalan raya di sebuah jembatan kereta api. Dan sebelahnya lagi pada masa ini terdapat sebuah danau buatan. Namanya ' Kolam Tando '. Dari Kolam inilah mengalir air menembusi pert sebuah bukit ratusan meter panjangnya. Di sebelah sana air ini terjun di roda-roda tiga buah turbin. Turbin-turbin inilah yang memutar dinamo raksasa dan menghasilkan listerik. Itulah sentral listerik PLTA. yang di kelola oleh seorang insinyur Indonesia yang bernama Ir. Yanuar Muin.

Persis dibawah Titi yang melintasi jalan raya itu terdapatlah sebuah bendungan. Dari bendungan inilah mengalir air untuk mengisi Kolam Tando. Sebelah atasnya terdapat sebuah tugu berbentuk seorang wanita Minang. Ia mengulurkan kedua belah tangannya dan memegang sebuah cerana. Malam hari cerana itu menyinarkan cahaya lampu. Listerik yang terang benderang. Sebab isinya bukannya sirih, tembakau dan gambir melainkan bola bola lampu ratusan watt.

Kita kembali ke jembatan di pintu masuk kota tadi. Sebelah kanan akan memasuki jembatan itu dahulu ialah tempat pembuangan sampah. Setiap manusia yang akan masuk kota naik kendaraan apa saja, maka mata dan hidung mereka akan terbentur pada temasa yang kurang sedap dan bau yang kurang enak. Pemandangan pada bukit sampah dan bau aroma busuk dari bukit sampah itu.

Truk-truk sampah setiap hari memuntahkan isinya menambah tingginya bukit sampah itu. Sungguh tak nyaman bila akan masuk kota harus disambut oleh temasa yang kurang elok itu. Bukit sampah itu semakin hari semakin melebar dan bertambah luas.

Sebenarnya kita kurang ahli. Sebab sampah yang sudah membukit, malahan menggunung itu ialah sumber kompos yang dapat berharga sebagai pupuk. Apakah itu 'kompos'?

Baiklah, saya akan ber ceramah sebentar berlagak sebagai seorang insinyur pertanian yang ahli.

Tumpukan sampah yang membusuk menyebabkan terjadinya pelapukan selama ber bulan-bulan. Sampah-sampah yang mula-mulanya keras dan kasar ber ubah menjadi tambah lunak dan berwarna hitam. Apalagi kalau bercampur pula dengan kotoran ternak kompos yang dihasilkan semakin baik. Akhirnya terjadilah humus pada lapisan itu. Humus ialah lapisan yang subur yang sangat berguna bagi tanaman.

Jika memang tujuannya untuk membuat kompos tumpukan sampah itu sekali sekali harus di bongkar, di aduk aduk dan ditumpuk kembali. Kompos yang sudah siap dapat dipergunakan untuk memupuk tanah yang gersang sehingga menjadi subur kembali.

Tetapi tumpukan sampai di pintu kota itu tidak di olah menjadi kompos. Dibiarkan begitu saja. Sehingga selama ber tahun-tahun menjadi gangguan panca indera penciuman dan penglihatan. Dan tumpukan sampah itu semakin melebar dan meluas saja. Serta semakin padat.

Sebab penduduk kota setiap harinya selalu saja menghasilkan sampah. Apalagi sebuah kota besar. Ber ton-ton sampah di produksi setiap hari. Tanpa guna.

Tetapi akhirnya terjadilah sebuah perubahan. Seperti semacam permainan sunglap saja. Timbunan sampah yang sudah menggunung itu di tutupi dengan lapisan-lapisan tanah. Sehingga kini sudah ber ubah menjadi lapangan yang hijau. Menyegarkan pandangan mata. Kesan-kesan buruk yang selama ini ditimbulkannya hilang sudah.

Dan jembatan yang melintangi sungai itupun terus pula membuat peristiwa-peristiwa. Sebelum terjadi perubahan penting di sebelah hulunya di jembatan itu tercatat kejadian-kejadian ber sejarah.

Pada suatu kali loneng jembatan yang cukup lebar itu dijadikan para pemuda yang ugal-ugalan menjadi semacam arena perlumbaan. Sebelah pangkal dan ujungnya diberi tangga-tangga dari papan yang lebar. Kemudian diadakan lomba sepeda melewati loneng jembatan itu. Jadi perserta akan melewati atas loneng itu dengan sepedanya. Bayangkan!

Jika gagal peserta akan jatuh kebawah di sambut oleh tembok yang berupa air terjun itu. Ada harapan kepala pecah atau anggota remuk. Dan kemungkinan besar berubah jadi manusia. Sebab itu Pemerintah melarang perlumbaan semacam itu. Resikonya amat besar. Tetapi pada suatu masa tembok itu benar-benar setiap hari menyambut kejatuhan manusia-manusia yang terjun kesana. Bagaimana pula kisahnya? Ya, tentu saja ada ceritanya. Cerita perjuangan.

Atau manusia yang menerjunkan diri untuk bunuh diri sebagai di jembatan Golden Gate di San Fransisco?

Ketika itu akhir tahun 1948 dan awal tahun 1949. Dibawah ini nanti akan ditemui kisahnya.

Beberapa tahun kemudian diatas rerumputan hijau di bekas timbunan sampah itu berdirilah sesuatu. Sesuatu itu ialah sebuah tugu berbentuk sebuah patung seorang wanita.

"... beberapa tahun kemudian berdirilah sebuah tugu berbentuk patung seorang wanita diatas rerumputan bekas timbunan sampah itu......" Tugu itu bisu. Tugu itu tak pandai ber bicara. Jadi kalau tak tahu sejarahnya kita dapat mengartikan macam-macam tentang maknanya. Mungkin seseorang akan men tafsirkan begini:

"Hai penduduk kota! Dibawahku ini ialah timbunan sampah. Lain kali buanglah sampah-sampah itu ke sungai itu!" Patung itu menunjuk ke sungai. Persis ke air terjun.

Tetapi membuang sampah kedalam sungai apalagi kedalam parit dapat menyebabkan penyakit lain lagi. Terjadi pencemaran. Apalagi jika air itu dipergunakan.

Maksud didirikan tugu itu disana tak ada kaitannya dengan sampah. Sedikitpun tidak. Tidak mempunyai hubungan dengan timbunan sampah dibawah kakinya. Namun memang ada hubungannya dengan jembatan dan sungai itu. Justeru karena jembatan itulah di bangun tugu itu. Jembatan itu dinamakan: ' Jembatan Ratapan Ibu'. Apa pula hubungannya jembatan dengan meratap? Tentu ada kisahnya. Dan baiklah tugu itu sendiri kita suruh ber cerita. Kita ibaratkan tugu itu benar-benar sebuah makhluk bernyawa. Dan pandai ber cerita. Ya, supaya agak kocak sedikit.

Namaku si Tugu. Tugu Jembatan Ratapan Ibu. Yang membuatnya seorang pematung bernama Arby Samah. Biayanya dibantu oleh seorang jutawan bernama Haji Marlius yang ber mukim di Ibu Kota. Aku sendiri tak tahu berapa harganya. Tetapi itu bukan masalah.

Belum berapa hari sesudah aku di resmikan datanglah ke tempatku penduduk kota ber duyun-duyun.

Mereka semuanya membawa ber macam-macam alat. Ada yang membawa cangkul, tembilang, linggis dan ada yang membawa buldozer.

Seorang laki-laki ber tubuh tegap, tinggi kekar berdiri diatasku sambil berpidato:

" Tugu ini harus kita runtuhkan kembali!"

" Untuk apa?" seorang bertanya.

" Dibawah kakinya ter pendam emas beberapa kilo banyaknya. Encek Hong Kim beberapa hari sebelum tugu ini dibangun datang dari Padang. Eh,.. eh salah. Sebelum timbunan sampah disini dulu di tutup dengan rumput. Encek Hong Kim datang dari Padang. Ia membawa beberapa kilo gram emas dalam beberapa buah kantong plastik. ....."

" Lalu apa hubungannya dengan meruntuhkan tugu ini?" tanya yang lain.

" Malam itu Encek Hong Kim mati. Keluarganya tak tahu apa yang dibawa oleh almarhum. Dan kantong-kantong itu dibuang, dimasukkan kedalam keranjang sampah. Tukang sampah membawanya dengan gerobak dan membuangnya kesini. Persis setentang tuju ini berdiri sekarang.

Baik keluarga HongKim atau tukang sampah mengira kantong-kantong itu ber isi batu. Tidak tahunya emas. Baru beberapa hari yang lewat diketahui. Nah, sekarang kita harus membongkar tugu ini dan menemukan emas itu kembali. Sesudah kita temukan kita bangun kembali tugu ini. Lebih agung, lebih bagus, lebih mahal dan lebih mempunyai arti......"

Maka semua mereka mulai ber siap-siap akan mempergunakan alat perkakasnya untuk membongkar tugu itu.

Maka dengan takdir Allah pada saat itu aku benar-benar menjadi hidup Hidup, pandai bergerak dan berbicara,- dengan suara yang lantang pula.

Aku menunjuk kepada kerumunan manusia itu dan berseru kuat-kuat:

" Hai, Insan! Engkau terperdaya kepada omong kosong seseorang. Kalian katakan ada segumpal emas dibawah kakiku. Memang benar. Dibawah kakiku ada segumpal emas. Tidak segumpal malahan mungkin dua, tiga atau lebih.

Tetapi emas itu sebenarnya ialah nilai dari arti aku berada di tempat ini. Dibawah kakiku terpendam sebuah kisah, sebuah sejarah perjuangan yang tak dapat dinilai dengan emas Dan nilai butir-butir emas itulah yang harus kalian cari untuk pusaka sampai kepada anak cucu kalian.

Kalau tidak, maka aku tak lebih dari se onggok batu yang di beri bentuk seperti manusia dan diberi kata kata dibawah kakiku Diberi gambar gambar relief yang tak lebih dari sebuah lembaran buku komik.

Aku punya cerita yang lebih berharga dari emas ber bungkal. Dan kiasan dan tamsilan dari cerita itulah harus kalian pedomani...."

Maka kerumunan manusia itu bertemperasan melarikan diri. Mereka tidak mengira bahwa sebuah tugu yang bisu akan mampu menyampaikan isi dari tujuan tugu itu ber ada disana. Dan barangkali tugu itu benar! Demikian pulalah makna dan tujuan dari banyak tugu-tugu yang sudah ber diri di seluruh Indonesia ini. Hampir di semua kota ter dapat tugu. Bermacam bentuk, berbagai-bagai pula harga pembangunannya. Semuanya itu punya arti. Dan kita harus mengetahui apa arti yang dikandungnya. Dan itu ber arti segumpal emas. Sebuah kisah bernilai segumpal emas yang harus kita ketahui. Supaya kita tahu bahwa kemerdekaan ini didirikan diatas pengorbanan harta, nyawa, keringat, tanpa pamrih. Tanpa mengharapkan sesuatu balas jasa.

Jika di kotamu, atau di desamu ada sebuah tugu engkau harus mengetahui apa tujuan tugu itu berdiri. Apa kisah yang terpendam disana. Berapa nilai gumpalan emas yang terpendam dibawah kakinya.

Tugu itu ada yang mempunyai nilai sejarah perjuangan, pembangunan, biografi seseorang yang sudah ber jasa, sebuah cukilan sejarah dan sebagainya.

Tetapi jika tidak punya arti dan merusak pemandangan belaka tugu itu boleh saja di bongkar. Atau barangkali peninggalan kolonial yang membelokkan ati sejarah yang sebenarnya.

Dan kini dengarlah kisahku!

Ini sebuah kisah dari seribu kisah. Atau barangkali dari ribuan kisah.

Batang Agam itu mengalir arah ke timur. Palungnya tidak lurus saja tetapi ber belok-belok. Laksana seekor ular yang sangat besar. Di sebuah tempat sungai itu berbelok membentuk sebuah lingkaran. Pada sisi yang lain sungai itu terpecah sehingga lingkaran yang terjadi merupakan sebuah pulau kecil. Tanah pulau itu subur. Sebab setiap sungai itu bah tanah lumpur yang subur menutupi pulau itu.

Bahren seorang penduduk desa dekat tepi sungai itu me manfaatkan kesuburuan tanah pulau. Di olah-nya tanah itu dan ditanamunya dengan ber macam-macam tanam-tanaman. Ubi kayu, ubi jalur, sayur-sayuran seperti terung, kacang, buncis, labu, dan sebagainya. Dari jauh kelihatan menghijau. Senang hati memandangnya.

Setiap hari Sabtu diambilnya hasilnya. Besoknya dibawanya ke pasar. Dari hasil penjualan sayur-sayuran itu dia mendapat rezeki yang lumayan juga. Dengan hasil itu ia dapat menghidupi isterinya dan seorang anaknya laki-laki yang baru ber umur lima tahun. Ber tiga beranak mereka setiap hari ber ada di kebun pulau ditengah sungai itu. Isterinya ikut membantu menyiangi kebunnya. Anaknya ber main-main di kebun. Dan kadang-kadang di tepi sungai. Sebab disana airnya dangkal, ber tabur kersik putih.

Palung sungai yang sebelah kiri memang dalam. Bahren dan isterinya tidak pernah membawa anaknya ke pinggitan sungai yang sebelah sana itu. Tetapi yang sebelah kanan airnya dangkal.

Tetapi sejak beberapa lamanya Bahrein tak menjual hasil kebunnya lagi ke kota. Malahan pergi ke ladangpun mereka tak pernah lagi. Apakah yang terjadi?

Pagi-pagi sebelum waktu subuh kini Bahrein sudah ber siap-siap. Isterinya membungkuskan nasi. Dibawanya 'kembut sandangannya'. Isinya ber macam-macam. Semua penduduk desa yang laki-laki berbuat seperti apa yang dilakukan Bahrein. Dan sebelum matahari terbit semua laki-laki sudah menghilang dari desa itu. Kemana?

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi kedua ke daerah Republik Indonesia. Kota-kota di duduki mereka. Mereka menganggap bahwa daerah Republik Indonesia sudah berada dibawah kekuasaannya kembali. Presiden Sukarno dan beberapa orang pejabat penting ditawan mereka lalu di asingkan ke Bangka.

Tanggal 24 Desember bulan itu juga kota Payakumbuh diduduki mereka. Tidak ada perlawanan dari pihak kita. Sehingga memuncaklah kesombongan mereka. Maka setiap hari mereka melakukan patroli ke desa-desa yang deket-deket kota. Semua laki-laki yang dijumpai mereka ditangkapi. Lalu diangkut dengan truk. Desa-desa yang sering menjadi jarahan mereka ialah: Tiakar, Payobasung, Air Tabit dan desa-desa lainnya dekat kota.

Penduduk desa yang sempat ditangkap mereka dibawa dengan truk. Semuanya dituduh ekstrimis atau dalam istilah mereka 'pemberontak'.

Biasanya kepada orang-orang tangkapannya itu tak pernah dilakukan peradilan. Semua tangkapannya itu di ikat-ikatanya empat-empat orang. Tangan kiri yang satu di ikatkan ke tangan kanan yang lainnya. Tangan kiri yang satu ini di dikatkan ke tangan kanan yang lain lagi.

Lalu sesampainya di jembatan Batang Agam itu semuanya di perintahkan naik dan berdiri diatas loneng jembatan. Lalu seorang serdadu Belanda menembaki mereka dari salah satu ujung jembatan, Kadang-kadang kena semuanya tembus di hantam peluru. Dan merekapun jatuh kebawah, ke tembok yang meluncurkan air batang Agam.

Kadang-kadang yang kena tembak hanya seorang atau dua orang. Tetapi korban membawa kawannya yang tidak kena tembak dan ter cemplung kedalam air. Akhirnya mati juga.

Serdadu-serdadu itu melakukan kebiadaban itu dengan tertawa-tawa seolah-olah hal itu semacam permainan yang menggembirakan mereka, Lalu air Batang Agam menghanyutkan korban-korban itu ke hilir sampai kedalam batang Sinamar.

Pada masa itu penduduk desa yang tinggal sepanjang batang air itu sering melihat mayat-mayat yang hanyut be rangkai-rangkai itu, Biasanya tidak dikeluarkan tetapi di tolakkan ketengah supaya dihanyut kan air terus ke muaranya.

Oleh sebab itulah laki-laki lebih-lebih pemuda-pemuda sebelum waktu subuh sudah menyingkir dari desa. Nanti waktu senja pulang kembali ke desa. Sebab malam hari mereka tak pernah ber patroli, Terpaksa harus main kucing-kucingan dengan serdadu-serdadu Belanda,

Pada pagi itu Bahrein terlambat bangun, Isterinya juga terlambat. Anaknya sejak tadi ber main-main di halaman,

Mereka baru terbangun ketika didengarnya derum bunyi mobil di segenap pelosok kampung. Anak mereka datang berlari-lari sambil berteriak-teriak:

" Anda asyuk,... anda asyuk,...." terus menerjang kedalam rumah. (Belanda masuk,..Belanda masuk ).

Bahrein kalang kabut. Wajahnya pucat pasi.

"Tak mungkin lari lagi kanda," kata isterinya. " Sembunyi saja keatas loteng...."

Bahrein menggapai-gapai untuk naik keatas loteng karena tangga tidak ada pula. Tetapi sebelum ia sampai keatas loteng suatu suara guntur terdengar dihalaman:

" Hayo,... semuwa lelaki turuuuuun,... turuuun!" Seorang opsir Belanda, tinggi besar, rambutnya perang, matanya biru, kulitnya seputih susu sudah berdiri didepan pintu, Ditangannya di putar-putarnya sebuah pistol, Bahrein tak dapat mengelak lagi. Ia di giring serdadu Belanda itu ke sebuah truk yang berhenti dipinggir jalan.

" Jangan bawa suami saya, tuan!" jerit isteriya, " dia bukan tentara!"

" Kowe diaaam, God ver dikki," bentak Belanda itu sambil mendorong-dorong Bahrein dengan pistol di punggungnya. Anaknya ber lari-lari menuruti ayahnya.

" Papa,...papa,..." jerit anaknya, Tetapi Belanda itu menghadapkan laras senjatanya kepada anak kecil itu sambil berseru:

" Zeg, keleine, ayo pulang, kowe punya ayah tida apa-apa....." Anak kecil itu gementar ketakutan,

Dan pagi itu mereka berhasil membawa membawa beberapa orang laki-laki, Mereka ialah yang terlambat berangkat. Atau memang sudah janjiannya akan ber nasib sial ditangkap serdadu Belanda,

Setelah menggeledah kampung beberapa lamanya patroli Belanda itu berangkat dengan membawa satu truk orang tawanannya. Diantaranya termasuk Bahrein.

Sepininggal patroli itu ibu itu membgwa anaknya ke kebunnya di tepi batang Agam, Ia ingin menghibur anaknya yang selalu bertanyakan ayahnya.

" Ayah kemana bu? Kapan ayah pulang?" ber tubi-tubi pertanyaan anaknya. Satupun tak dapat di jawabnya.

Isteri Bahren lalu memetik sayur-sayur di kebunnya. Karena sudah sekian lama tidak di jenguk maka buah terung sudah ber gelantungan di batangnya. Lada bermerahan di rantingnya, petola ber gayutan di tangkainya.

Tiba-tiba anaknya ber teriak-teriak,

" Papa,...papa,...!"

Ibu anak itu melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak ada seorangpun yang datang. Tidak ada suaminya ataupun orang lain, Ia melayangkan matanya ke tengah sungai yang airnya sepagi itu agak keruh dan besar. Semalaman tadi turun hujan lebat,

Ia melihat serangkai mayat-mayat di bolak balikkan air, Yang seorang, yang ter ikat di tengah pakai baju kaos merah, celana belacu..... tak salah lagi, Itu suaminya, Itu ayah dari anaknya. Isteri itu roboh pingsan, Anaknya menjerit-jerit disampingnya. Dalam satu putaran tangan mayat ber baju kaos merah itu ter angkat keatas. Seakan-akan dia melambaikan tangannya mengucapkan selamat tinggal kepada isteri dan anaknya:

" Selamat tinggal,...selamat tinggal.,..!"

Ya, Bahren tak pernah pulang lagi setelah serdadu Beoanda itu membawanya dengan truk, Dan begitulah caranya, Demikianlah salah satu contoh bagaimana Belanda melepaskan dendam kasumatnya.

Tidak ada catatan yang resmi berapa orang korban yang gugur diatas loneng jembatan Batang Agam itu, Berapa orang ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena menjadi korban ke biadaban serdadu Belanda di atas jembatan itu. Sehingga dinamakanlah jembatan itu dengan ' Jembatan Ratapan Ibu',

.//.