Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/78 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/79 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/80 memperoleh kemajuan di dalam masyarakat maju di Banjar khususnya dan Indonesia umumnya. Pendidikan menjadi semakin penting sebagai alat mobilitas sosial.

Semenjak berakhirnya revolusi bersenjata sudah ada kecenderungan yang kuat ke arah sekularisasi pandangan hidup masyarakat Banjar. Masalah-masalah perorangan dan sosial cenderung ditafsirkan dengan nalar yang lebih bersifat duniawi. Kecenderungan sekuralisasi telah berkembang lebih kuat dalam madrasah-madrasah. Murid-murid menghendaki lebih banyak pelajaran sekuler untuk mengimbangi kurikulum dalam sekolah-sekolah dasar negeri. Jumlah murid madrasah yang juga mengikuti sekolah-sekolah umum makin meningkat. Di samping kebutuhan akan kerja lebih mudah, juga mereka merasa dapat mempergunakan ijazah itu untuk melanjutkan pada perguruan tinggi umum. Misalnya lulusan PGAN, MAN dan Aliah dapat memasuki Fakultas Sosial Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unlam. Hal-hal yang semacam inilah memacu anak-anak muda untuk memasuki sekolah Agama yang sekuler. Karena mereka tidak terikat harus memasuki IAIN saja, atau bekerja sebagai kiai atau Tuan Guru, atau terbatas hanya di Departemen Agama saja.

Pandangan mereka, bahwa pendidikan sebagai sarana utama menuju perbaikan. Dahulu perhatian dipusatkan pada alam baka, tapi sekarang tak banyak lagi yang mempunyai pandangan demikian. Pelajaran agama berangsur-angsur akan berkurang kecuali kalau disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri umum pemuda Indonesia semenjak kemerdekaan.

Bagi mereka yang menduduki pendidikan umum dan agama banyak yang telah berhasil menjadi elite pejabat terutama eksponen '66, baik yang studinya diselesaikan di pulau Jawa ataupun di Banjarmasin sendiri. Elite '66 ini merupakan yang dominan menduduki posisi pada struktur tingkat atas ABRI/Sipil, sementara menyusul eksponen '70-an.

Dalam dunia bisnis, elite ekonomi tetap dominan dipegang oleh orang Cina, dan hanya beberapa persen dipegang oleh orang Banjar. Memang dalam realitas jumlah orang Banjar tampak lebih besar, tetapi dalam angka persentasi Cina tetap unggul. Kebiasaan mereka hidup ulet, hemat dan kerja keras tetap mereka pertahankan. Berbeda dengan pengusaha Banjar, belum modal kuat sudah membeli bermacam kebutuhan yang sebenarnya hanya kepentingan gengsi sosial saja. ltulah sebabnya pengusaha Banjar mudah bangkrut dan gulung tikar. Kecuali pedagang Alabio yang tetap bertahan sampai sekarang menjadi saingan pedagang Cina, terutama pedagang-pedagang kain. Organisasi mereka yang kuat, juga mereka umumnya adalah aliran sekuler, atau pembaharu dalam agama.

Golongan yang berikutnya seperti pedagang biasa, pedagang emas, kain, kelontongan, pancarakinan, juga pegawai negeri sipil, ABRI. Menyusul golongan yang terbesar adalah pedagang eceran, kaki lima, nelayan, buruh, buruh tani, tukang, kuli-kuli, gelandangan dan lain-lain.

5.2 Agama dan Adat-istiadat

sunting

Di atas telah dikatakan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan setia memeluk agama Islam yang dianut mereka akan tetapi ternyata kepercayaan kuno tidaklah hapus sama sekali. Lebih-lebih hal itu akan dapat disaksikan di desa-desa dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang menyangkut persoalan adat-istiadat, masalah tradisional dan faktor-faktor sosial hidup masyarakat. Sistem kepercayaan kuno itu bersumber dari sisa-sisa kepercayaan animisme, dinamisme dan Hinduisme yang secara sadar atau tidak sadar masih terus melekat dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, misalnya dalam Adat Perkawinan.

Dalam menentukan pilihan jodoh misalnya, masih terdapat sistem yang disebut dengan istilah "babilangan", yakni suatu kepercayaan kuno kepada dukun untuk mengetahui apakah nanti perjodohan itu baik atau sebaliknya. Selanjutnya diikuti dengan berbagai macam ketentuan-ketentuan dan pantangan-pantangan yang bersifat pemali bagi calon-calon pengantin itu. Kesemuanya itu merupakan ketentuan-ketentuan sangsi secara mental yang harus dipercayai begitu saja sebagai suatu warisan peninggalan kuno. Misalnya dilarangnya calon penganton wanita untuk terlalu sering bercermin, sebab nanti wajahnya akan berkurang cantiknya disebabkan diambil oleh wajah cermin. Begitu pula pantangan terhadap makanan-makanan tertentu, perbuatan-perbuatan tertentu dan upacara-upacara tertentu menjelang hari perkawinan 6 ).

5.2.1 Pimpinan/Pemuka Agama

Pimpinan dan pemuka agama merupakan tokoh penting dalam masyarakat di Kalimantan Selatan. Terhadap tokoh-tokoh ini masyarakat memberikan kepercayaan mereka terutama kepercayaan terhadap hal-hal yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Pimpinan yang bukan pemuka agama seperti Kepala Kampung pada umumnya figur mereka dihormati oleh masyarakat dan dipercayai sebagai tokoh pemersatu penduduk desa. Sehingga apabila Kepala Kampung meminta kepada penduduk untuk bergotong-royong, maka hal itu ditanggapi dengan baik oleh penduduk pada umumnya. Apabila ada masalah-masalah yang timbul di kampung oleh penduduk selalu dilaporkan dan dimintakan penyelesaian kepada Kepala Kampung.

Prinsip kepercayaan masyarakat terhadap Kepala Kampung ini dalam lingkungan yang lebih kecil dapat beralih kepada Ketua Rukun Tetangga sebagai unit yang paling kecil dalam sebuah desa. Kecuali tokoh Kepala Kampung dan Ketua Rukun Tetangga kadang-kadang di suatu desa terdapat pemuka masyarakat yang disegani yang dianggap sebagai tetuha atau tokoh yang disegani.

Mereka dalam kedudukan di masyarakat selaku pedagang yang dermawan, sebagai contoh pejuang angkatan bersenjata, atau karena sifat-sifat keberaniannya ataupun karena keturunanketurunannya sebagai tokoh yang disegani dalam lingkungan desa itu. Tokoh-tokoh masyarakat yang seperti digambarkan di atas masih terdapat di desa-desa di Kalimantan Selatan. Melebihi tokoh-tokoh yang disebutkan di atas masih terdapat tokoh-tokoh yang lebih utama lagi, yaitu para alim ulama Islam, baik sebagai figur berilmu agama Islam seorang da'i ataupun guru mengaji Kitab Suci Al-Qur'an. Golongan alim ulama ini sering disebut dengan istilah "Tuan Guru”.

Kepercayaan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya terhadap tokoh para alim ulama ini cukup besar karena fatwa-fatwa mereka yang selalu dikaitkan dengan syariat agama Islam yang bersumber kepada Kitab Suci Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad s.a.w. Simpati masyarakat terhadap para alim ulama ini demikian besar, sehingga kegiatan-kegiatan masyarakat yang bersifat massal seperti tablig akbar (penerangan agama Islam), ceramah agama yang dilangsungkan di mesjid-mesjid dan langgar selalu dihadiri oleh masyarakat umum sekitarnya.

Masyarakat sebagai pendengar penerangan agama selalu patuh mengikuti jalannya penerangan, patuh pada susunan acara yang secara rutin diadakan oleh kampung-kampung. Dalam gambaran ini timbul suatu kebiasaan bahwa masyarakat selalu patuh dan menurut apa saja yang difatwakan oleh seorang alim ulama. Hal itu karena masyarakat mempunyai dasar kepercayaan bahwa para alim ulama itu adalah pewaris Nabi.

Dari kenyataan yang demikian maka apabila di dalam masyarakat timbul sesuatu yang baru, maka yang terlebih dahulu memberikan reaksi ialah para alim ulama. Apabila sesuatu yang baru itu ditentang oleh seorang alim ulama maka hal itu sudah pasti pula akan ditentang oleh masyarakat pada umumnya. Sebaliknya manakala hal yang baru itu dapat diterima oleh alim ulama dalam arti menyetujui, lebih-lebih jika turut mendukungnya, maka hal itu adalah lebih mudah pula diterima oleh masyarakat pada umumnya.

Dari sini jelaslah bahwa bagaimana sikap masyarakat itu terhadap sesuatu masalah, hal itu bisa tercermin pada sikap tokoh alim ulamanya. Itu berarti bahwa suara a1im ulama adalah menjadi suara masyarakat di tempat itu.

5. 2. 2Upacara Pertanian

Upacara pertanian bagi penduduk suku bangsa Banjar tidak banyak yang dilaksanakan. Hal itu sering dihubungkan dengan syariat agama Islam dan sedikit berbaur dengan acara kebiasaan yang bersifat tradisional. Sehari sebelum masa bertanam padi di sawah, biasanya pada malam harinya dilaksanakan acara selamatan di rumah masing-masing petani dengan pembacaan doa selamat.

Kebiasaan yang bersifat tradisional ialah makanan yang disuguhkan dalam acara selamatan itu selalu dalam hidangan ketupat dengan ikan tawar yang diberi berkuah. Ketupat-ketupat itu dibikin dalam motif-motif yang disebut ketupat burung, ketupat bangsal, ketupat rasul dan bentuk-bentuk motif lainnya. Sedangkan ikan tawar yang dibikin gulai telah dikhususkan sejenis ikan gabus. Tradisi ini telah berjalan berpuluh-puluh tahun tanpa perubahan dan tanpa pertentangan, dan bahkan selalu dilaksanakan dengan meriah di desa-desa daerah pertanian sawah 8 ).

Apabila tiba masa panen, maka penduduk setempat mengadakan gotong-royong untuk mengetam padi yang disebut dengan istilah "baarian ". Sistem gotong-royong mengetam padi itu dilaksanakan secara ganti-berganti dalam jumlah kelompok yang sama. Misalnya pada minggu pertama bergotong-royong mengetam padi anggota yang satu, maka pada minggu berikutnya bergotong-royong mengetam padi anggota lainnya. Pemilik sawah yang bersangkutan cukup menyediakan makan siang dan kue-kue sekedarnya.

Setelah seluruh padi selesai dituai, di situlah timbul acara "ahui", yakni semacam tarian tradisional untuk melepaskan padi dari tangkainya dengan menggilasnya dengan telapak kaki. Para pemuda dan pemudi yang melaksanakan acara ahui ini berbaris satu persatu sampai menggilas padi dari tangkainya. Kelompok lainnya melagukan beberapa pantun secara bersahut-sahutan dan setelah tiba pada baris terakhir (keempat) serempak mereka semua menyambutnya dengan ”ahui” bersama-sama. Sekarang acara ahui ini disempurnakan dan dijadikan sebuah tarian yang disebut tari ahui dengan perlengkapan alat tabuhan untuk mengiringinya.

Setelah padi disimpan di lumbung, maka pada malam pertama sampai ke tiga di samping lumbung itu diletakan sebuah lampu kecil minyak tanah dan sebuah tempat sirih lengkap isinya dengan kapur, gambir, pinang, tembakau dan beberapa lembar sirih. Hal ini merupakan suatu kepercayaan yang bersumber dari animisme, bahwa roh padi yang baru itu perlu dihormati yang kepadanya disediakan penerangan lampu dan persediaan untuk makan sirih.

5.2.3. Upacara Desa

Upacara desa hanya dilaksanakan apabila desa itu mendapat serangan wabah penyakit. Misalnya pernah terjadi serangan wabah cacar yang menyebabkan setiap hari terjadi kematian beberapa orang karena mendapat serangan wabah cacar. Begitu pula pernah terjadi serangan wabah penyakit malaria, kolera dan disentri. Di samping adanya tindakan-tindakan dari Pemerintah Daerah setempat untuk menanggulangi penyakit tersebut dengan tindakan secara medis, maka penduduk setempat melakukan suatu upacara terbuka oleh beberapa orang yang membacakan mantera-mantera sambil berjalan keliling kampung dengan membawa air tawar.

Upacara ini dikenal dengan istilah upacara tolak bala yang maksudnya agar desa itu terhindar dari datangnya bala wabah penyakit tersebut. Hal yang sama juga dilakukan apabila sawah mendapat serangga hama kupu-kupu putih (sundep atau bluk) dan hama tikus yang sering merusakkan areal persawahan.

5.24 Upacara Lelulur

Upacara lelulur bagi penduduk di Kalimantan Selatan, biasanya terdapat pada lingkungan keluarga gusti-gusti, yakni lingkungan keluarga yang mempunyai garis keturunan dengan keluarga kesultanan Banjarmasin. Lingkungan keluarga gusti-gusti banyak berpusat di Banjarmasin dan Martapura. Keturunan mereka yang berikutnya dikenal dengan lingkungan keluarga antung dan anang.

Adapun upacara leluhur yang mereka pelihara sebagai warisan keturunan ialah adat-istiadat yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan di antara keluarga mereka. Antara lain ialah pada saat akan melaksanakan persandingan mempelai, maka pengantin wanitanya harus dimandikan dengan upacara mandi pengantin. Harus dibuatkan pagar mayang dengan langit-langit kuning sebagai ciri dari lingkungan keluarga gusti-gusti. Sementara itu sebagai acara keramaian disajikan pertunjukan tari topeng dengan iringan seperangkat gamelan”).

Biasanya kedua acara ini tidak dapat ditinggalkan dalam melangsungkan suatu perkawinan di antara keluarga mereka. Sebab sering terjadi apabila adat leluhur ini ditinggalkan terjadilah beberapa hal yang tidak diinginkan, yakni seorang atau beberapa orang wanita di antara kegiatan acara itu akan kesurupan. Pada saat kesurupan ini sering orang yang bersangkutan menyebutkan sebab-sebab apa terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan itu. Umumnya hal-hal yang disebutkan itu ialah disebabkan karena tidak terpenuhinya ketentuan adat leluhur yang harus dilaksanakan, ataupun disebabkan pemenuhan ketentuan itu tidak sebagaimana mestinya.

Biasanya yang kesurupan itu wanita, yang kebetulan berada di sini yang fisiknya kurang kuat atau lemah mentalnya dalam berhadapan dengan sesuatu yang gaib. Kesurupan ini bisa berlangsung lama sepanjang tuntutan-tuntutan yang dikehendaki belum dipenuhi. Dalam berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang seperti ini kalau pada mulanya masyarakat kurang mempercayai adanya peristiwa kesurupan itu, maka apabila berhadapan dengan kenyataan yang dapat dilihat sendiri akhirnya akan mempercayai. Dan kepercayaan akan hal itu akan menjadi suatu kekuatan untuk selalu tidak mengabaikan upacara-upacara leluhur yang kadang-kadang dirasakan sebagai beban secara ekonomis.

Kecuali pelaksanaan upacara itu, masing-masing terdapat lagi persyaratan-persyaratan lain sebagai pelengkap, misalnya keharusan untuk menyiapkan sejumlah kue-kue, meskipun jumlahnya tidak perlu terlampau banyak. Orang telah mengenal adanya jumlah 40 macam kue yang harus disajikan, meskipun bukan untuk disajikan kepada para undangan.

Selain dari pada upacara leluhur yang menyangkut lingkungan keluarga gusti-gusti, maka ada upacara lain yang disebut adat batumbang yang juga dilakukan oleh masyarakat umum. Adat batumbang ini dilakukan biasanya pada hari-hari raya Idul Fitri atau hari raya Idul Adha yang dilakukan di rumah atau di dalam mesjid. Biasanya adat batumbang ini dilaksanakan karena adanya hajat seseorang. Apabila adat batumbang itu dilaksanakan oleh keluarga gusti-gusti biasanya dengan dasar leluhur keturunan yang harus diikuti oleh keluarga mereka. Adat batumbang yang diselenggarakan di rumah biasanya lebih besar jika dibanding kalau hanya dilaksanakan di mesjid. Keluarga yang akan melaksanakan adat batumbang menyediakan lima macam kue yang terdiri dari apam putih, apam habang, cucur putih, curu habang dan ketupat. Upacara itu diselenggarakan di ruang besar dalam rumah. Di situ dihamparkan selembar tikar yang baik. Kemudian di tengah-tangahnya disusun lipatan-lipatan kain sarung sampai beberapa puluh lembar, sehingga susunan sarung itu cukup tingginya. Di puncak susunan sarung itu ditutupi dengan selembar kain kaci putih yang kemudian di atas kain putih itu ditaruh selembar daun pisang panurun (jenis pohon pisang yang besar). Tepat di atas daun pisang tadi didirikan di situ dua potong pelepah daun nyiur yang sudah dibersihkan dari daunnya, tetapi masih ada bilah-bilah lidinya sepanjang sejengkal. Tinggi pelepah daun nyiur itu sama tingginya dengan tinggi badan orang yang melaksanakan adat batumbang tersebut. Dinamakan adat batumbang karena tinggi lepepah daun nyiur itu adalah setumbang (setinggi) badan orang yang melakukan adat batumbang tadi. Ujung kedua pelepah daun nyiur itu disandarkan pada dinding rumah dalam ruangan kamar itu agar dapat teguh berdirinya.

Potongan-potongan bilah lidi dari kedua potong pelepah daun nyiur itu, ditusukkan di tempat itu masing-masing untuk sepotong apam putih, dan apam habang barisan kiri dan kanan. Kue-kue cucur habang dan cucur putih pada barisan kiri kanan sepotong pelepah daun nyiur yang lainnya. Kemudian di puncak kedua pelepah daun nyiur itu digantungkan beberapa biji ketupat dan akhirnya di puncak sekali dipasang lilin yang menyala. Kadang-kadang juga diberi hiasan dengan beberapa jalur bunga yang dirangkai dari daun pudak. Acara adat batumbang dimulai dengan berdirinya orang yang berhajat batumbang itu di depan sajian tersebut sambil memegang kedua tumbangan (pelepah daun nyiur yang penuh dengan kue-kue) tersebut.

Ketika itu diserukan dengan nyaring ucapan selawat atas Nabi Muhammad s.a.w. sambil menaburkan beras kuning yang bercampur dengan mata uang sebagai hadiah untuk anak-anak yang berhadir di situ. Semua kue-kue yang ditusuk di pelepah daun nyiur tadi kemudian diambil kembali dan disajikan dalam piring. Para undangan yang hadir akan membacakan Surat Yasin dan doa selamat yang kemudian diakhiri dengan makan bersama untuk mengecap kue-kue adat batumbang tersebut. Adat batumbang ini hingga sekarang masih sering dilaksanakan di desa-desa pada hari-hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Untuk adat batumbang yang diselenggarakan di mesjid, biasanya dengan mengambil tempat di mesjid-mesjid yang terkenal sebagai mesjid yang tertua. Kadang-kadang untuk menentukan mesjid itu dipilih mesjid yang cukup jauh jaraknya sampai beberapa puluh kilometer dari tempat tinggal orang yang ingin batumbang.

8.2.5 Upacara Bulan Maulud

sunting

Upacara bulan Maulud dilaksanakan sepanjang bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah. Bulan ini dirayakan dengan upacara mengingat bulan itu adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad saw.

Upacara Maulud ini dilaksanakan dengan tema keagamaan secara massal dengan membaca Kitab Barzanji pada bab-bab yang disebut Barzanji Natsran, Qasyidatul Burdah atau pada bab-bab lainnya. Dalam pembacaan Kitab Barzanji ini terdiri atas kelompok-kelompok pembaca utama yang terdiri dari 2 atau 3 orang yang kemudian diikuti oleh seluruh peserta yang hadir. Setelah selesai pembacaan Kitab Barzanji tersebut upacara ditutup dengan pembacaan Doa Barzanji dan makan bersama-sama.

Upacara Maulud ini lebih ramai lagi dilaksanakan di desa-desa di Kalimantan Selatan secara serempak di dalam sebuah kampung sehingga merupakan sebuah pesta massal. Seluruh desa itu dihiasi dengan kain-kain batik yang dibentangkan setinggi sepuluh meter sehingga merupakan barisan bendera-bendera yang berwarna warni. Dalam pesta Maulud itu dihidangkan bermacam-macam kue dan masakan untuk para undangan yang kadang-kadang datang dari kampung-kampung lain yang jauh jaraknya. Dalam peristiwa bulan Maulud ini terjadi pula upacara khusus bagi suatu keluarga yang karena ada hajat sesuatu atau karena adat turun temurun melaksanakan upacara Ayun Maulud.

Upacara Ayun Maulud ini adalah upacara khusus mengayun bayi dalam perayaan Maulud tersebut. Sebuah ayunan yang terdiri dari tiga lapis dari kain kuning digantungkan di tengah-tengah ruangan rumah tempat upacara maulud itu diselenggarakan dengan dihadiri oleh para undangan. Seluruh bagian dari ayunan itu digantungi dengan bermacam-macam bunga-bungaan yang dikarang dari daun pudak terdiri dari bunga mawar, cempaka, kenanga, melati, kacapiring. Di situ pula digantungkan bermacam-macam kue seperti cucur, cincin, wadai gelang dan bermacam ketupat seperti ketupat rasul, ketupat bangsul, ketupat burung lepas, ketupat bujur, dan lain-lain. Diberikan pula hiasan-hiasan janur motif Banjar seperti anyaman halilipan, kambang sarai, sarang samut, kambang gagalangan, payung dan ular-ularan. Khusus untuk tali ayunan itu dipakai benang lawai dan ada pula yang mempergunakan tali belaran hutan. Sebelum acara ayun maulud dimulai, maka terlebih dulu dalam ayunan itu diisi dengan batu pipisan yang dibungkus dengan kain kuning. Di bawah ayunan itu diletakan seperangkat piduduk yang berisi beras, gula merah, nyiur, garam, telur ayam dan rerempah lainnya. Di samping itu diletakkan di tempat itu sebuah perapin dan gelas berisi air. tawar serta tempat sirih (Banjar: panginangan). Apabila tiba saatnya para undangan membawakan ayat Asrakal dalam Kitab Barzanji, maka seluruh hadirin akan serempak berdiri. Dan pada saat itu batu pipisan tadi dikeluarkan dan bayi diletakkan ke dalam ayunan sambil diayun oleh salah seorang keluarga.

Setelah habis asrakal para undangan duduk kembali dan bayi dalam ayunan diberi air tapung tawar di atas ubun-ubunnya, sebagai tanda merestui akan keselamatannya. Pada saat itu dibacakan doa Barzanji dan upacara ayun maulud selesai dengan makan bersama. Menurut adat leluhur, perhiasan-perhiasan ayunan tadi, kecuali kue-kue, selama tiga hari baru dilepaskan dari ayunan itu. Sedangkan kain kuning yang dipergunakan untuk ayunan tersebut tetap dipakai untuk selama-lamanya.
Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/92 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/93 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/94 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/95 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/96 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/97 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/98 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/99 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/100 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/101 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/102 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/103 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/104 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/105 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/106 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/107 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/108 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/109 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/110 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/111 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/112

103

nya melakukan penyerangan terhadap loji-loji serta benteng-benteng Inggris, sedang sisanya bertugas menghancurkan kapal-kapal yang berada di Sungai Barito. Menurut cerita orang tua bahari, bangkai kapal itu lambat-laun tertimbun lumpur Sungai Barito, sehingga menjadi sebuah pulau di tengah-tengah Sungai Barito. Pulau inilah yang kemudian dinamakan orang Pulau Kembang.

Versi lain mengatakan bahwa tanah yang baru muncul di permukaan air itu mengambang atau menguap, sehingga makin lama makin meluas dan akhirnya pulau itu dinamakan pulau kambang atau pulau meluap. Versi lain lagi mengatakan bahwa setelah pulau ini muncul di permukaan air dan ditumbuhi hutan, hutan ini didiami sekelompok monyet. Orang-orang desa sekitarnya menganggap monyet-monyet ini tidak lain adalah orang-orang halus yang memakai sarungan monyet. Sekelompok monyet ini diperkirakan mempunyai seorang pemimpin berupa seekor monyet yang besar sekali. Ia diberi nama si Anggur. Kemunculan pulau yang baru ini bagi masyarakat Banjar, merupakan salah satu keanehan, sehingga mereka selalu beranggapananeh-aneh saja hingga pulau kembang ini dijadikan mereka tempat bernazar, apabila mereka berkunjung ke sana tak lupa pula selalu membawa sesajen seperti pisang, telor, nasi ketan dan sebagainya. Dan kesemuanya ini selalu disertai mayang pinang dan kembang-kembang, sesajen ini biasanya diberikan kepada sekelompok monyet.

Jadi berdasarkan versi-versi di atas jelaslah, mengapa pulau ini dinamakan Pulau Kembang, karena setiap orang yang berkunjung, berekreasi, atau berhajat ke tempat ini, selalu dibarengi. dengan penaburan kembang, sehingga dinamakan Pulau Kembang.

5) Arus Kunjungan Wisata

Jumlah wisatawan asing dan domestik dari tahun ke tahun mempunyai kecenderungan meningkat, ini berdasarkan laporan 16 buah hotel sebagai berikut2 8). Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/114 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/115 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/116