5.1 Perubahan Sosial

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pembangunan kota sudah berjalan, tetapi hanya untuk kepentingan pemerintah dan orang Belanda yang bermukim di kota. Perbedaan colorline tampak sekali dalam bidang pendidikan khusus anak-anak Belanda, tempat rekreasi orang kulit putih, perumahan sehat dan hygiene yang terjamin bagi penguasa. Jalan-jalan bersih, bioskop ramai, penerangan cukup untuk pusat keramaian orang kulit putih, di samping ada tanda-tanda tertentu "Dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing"¹ ). Semua ini contoh berlakunya stratifikasi sosial masyarakat kolonial.

Sesudah tahun 1865 pedagang besar bumiputera semakin terdesak dan hubungan mereka dengan pedagang-pedagang dari luar makin longgar, karena pedagang bangsa Eropa (Belanda) dan timur asing berangsur-angsur menggantikan perdagangan bubuhan saudagar Banjar. Kemudian setelah ada perhubungan langsung dengan kapal KPM antara Banjarmasin dan Surabaya yang secara tetap diadakan tiap-tiap 7 hari sekali, barang-barang impor pedagang bangsa-bangsa asing bertambah banyak masuk-

68

nya ke Banjannasin. Dengan demikian pedagang besar bumiputera makin bertambahbah mundur sehingga tinggal sebagian kecil saja yang masih aktif dalam perdagangan² ). Tetapi dengan masuknya barang-barang dari luar dan mudahnya transportasi ke Jawa, mengakibatkan timbulnya urbanisasi pedagang-pedagang kecil di pedesaan; misalnya pedagang Marabahan, Alabio dan Negara. Sebagian besar sukses dalam usaha mereka. Akibatnya kedudukan mereka naik dalam stratifikasi sosial di desa mereka. Pedagang-pedagang ini sampai sekarang merupakan saingan pedagang-pedagang Cina, Arab dan India di Banjarmasin³ ).-

Pada dasarnya kedudukan pedagang Cina tetap menduduki ranking teratas dalam bidang perekonomian. Gengsi mereka tetap dipertahankan sejak zaman kolonial. Dari generasi kolonial orang Cina ini mengalami perkembangan hingga sekarang ini. Terutama generasi sekarang terjadi pembauran dengan kelompok-kelompok masyarakat Banjar. Mereka tidak terikat harus mendirikan rumah pada kampung Pacinan, tetapi strategi mereka di arahkan pada kepentingan dagang. Mereka mendirikan rumah pada jalan-jalan besar yang strategis, dan di sini mereka membuka toko, kedai/rumah makan. Walaupun demikian pembauran dalam pergaulan dan perkawinan cukup tinggi, jika dibanding tahun 1965 ke bawah. Tampaknya masa Orde Baru mendobrak mereka untuk ikut memacu dan kerjasama dengan masyarakat Banjar.

Penggaruh penyebaran pendidikan dan pelebaran birokrasi telah nampak dalam mobilitas sosial yang bersifat vertikal. Sekolah berfungsi sevagai alat untuk memungkinkan mobilitas yang naik ini dan lembaga birokrasi sering menjadi salurannya. Sukses dalam jabatan akan mempengaruhi nilai terhadap peranan dalam masyarakat. Dengan adanya sekolah maka calon-calon pegawai birokrasi tidak lagi semata-mata berasal dari kalangan bangsawan atau keluarga sultan yang berkuasa secara turun temurun saja. Anak-anak orang dari masyarakat biasa pun mulai dapat memasuki lingkungan yang dahulu sangat jauh dari jangkauan orang tua mereka. Menjadi pegawai pemerintah berarti gaji lumayan dan terlepas dari kerja kasar. Semakin memikat golongan masyarakat biasa untuk menjadi pegawai pemerintah, semakin keras pula persaingan yang harus dihadapi oleh anak-anak golongan bangsawan untuk mendapatkan kedudukan yang mereka anggap sebagai hak istimewa. Maka timbul kegelisahan di kalangan kaum bangsawan. Lambat laun kaum bangsawan yang tidak mampu menghadapi tantangan zaman dalam mobilitas vertikal turun menjadi anggota masyarakat biasa. Sebagian dari kaum bangsawan mulai menjauhkan anaknya dari kemungkinan berkarier sebagai pegawai pemerintah. Sejak bangsa Belanda memperoleh hak istimewa kekuasaan bangsawan Banjarmasin berangsur-angsur hilang. Hak apanase kaum bangsawan masing-masing diberikan dalam wilayah kekuasaan mereka, seperti: pungutan pajak barang-barang, hasil bumi hasil tambang dan pendulangan4). Kemudian pungutan itu diambil alih oleh Belanda.

Gelar-gelar yang dahulunya merupakan kebanggaan mereka telah dihapuskan kolonial. Sebagian dari mereka memang masihada yang menggunakan gelar "gusti" atau gelar lain di bawahnya, tetapi gelar sultan dan pangeran dihapuskan. Gelar-gelar yang mereka pergunakan pun hanya berstatus sebagai lambang saja, tanpa ada pengaruhnya di masyarakat. Lebih-lebih setelah revolusi fisik (1945-1950), gelar dipergunakan oleh siapa saja yang ingin memakainya. Misalnya ada yang memakai gelar raden, pangeran, daeng dan lain-lain. Semua ini menunjukkan betapa merosotnya status kaum bangsawan di dalam masyarakat Banjar.

Dengan berkembangnya pendidikan Barat, kualifikasi pendidikan menjadi lambang prestise dan menjadi keharusan untuk memperoleh status yang tinggi Lambang-lambang ini seperti garis keturunan dan tingkat kekayaan juga menjadi indikasi dari status sosial. Tetapi harus diakui bahwa bagaimanapun, pendidikan mempersiapkan orang secara lebih baik untuk memmemperoleh kemajuan di dalam masyarakat maju di Banjar khususnya dan Indonesia umumnya. Pendidikan menjadi semakin penting sebagai alat mobilitas sosial.

Semenjak berakhirnya revolusi bersenjata sudah ada kecenderungan yang kuat ke arah sekularisasi pandangan hidup masyarakat Banjar. Masalah-masalah perorangan dan sosial cenderung ditafsirkan dengan nalar yang lebih bersifat duniawi. Kecenderungan sekuralisasi telah berkembang lebih kuat dalam madrasah-madrasah. Murid-murid menghendaki lebih banyak pelajaran sekuler untuk mengimbangi kurikulum dalam sekolah-sekolah dasar negeri. Jumlah murid madrasah yang juga mengikuti sekolah-sekolah umum makin meningkat. Di samping kebutuhan akan kerja lebih mudah, juga mereka merasa dapat mempergunakan ijazah itu untuk melanjutkan pada perguruan tinggi umum. Misalnya lulusan PGAN, MAN dan Aliah dapat memasuki Fakultas Sosial Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unlam. Hal-hal yang semacam inilah memacu anak-anak muda untuk memasuki sekolah Agama yang sekuler. Karena mereka tidak terikat harus memasuki IAIN saja, atau bekerja sebagai kiai atau Tuan Guru, atau terbatas hanya di Departemen Agama saja.

Pandangan mereka, bahwa pendidikan sebagai sarana utama menuju perbaikan. Dahulu perhatian dipusatkan pada alam baka, tapi sekarang tak banyak lagi yang mempunyai pandangan demikian. Pelajaran agama berangsur-angsur akan berkurang kecuali kalau disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri umum pemuda Indonesia semenjak kemerdekaan.

Bagi mereka yang menduduki pendidikan umum dan agama banyak yang telah berhasil menjadi elite pejabat terutama eksponen '66, baik yang studinya diselesaikan di pulau Jawa ataupun di Banjarmasin sendiri. Elite '66 ini merupakan yang dominan menduduki posisi pada struktur tingkat atas ABRI/Sipil, sementara menyusul eksponen '70-an.

Dalam dunia bisnis, elite ekonomi tetap dominan dipegang oleh orang Cina, dan hanya beberapa persen dipegang oleh orang Banjar. Memang dalam realitas jumlah orang Banjar tampak lebih besar, tetapi dalam angka persentasi Cina tetap unggul. Kebiasaan mereka hidup ulet, hemat dan kerja keras tetap mereka pertahankan. Berbeda dengan pengusaha Banjar, belum modal kuat sudah membeli bermacam kebutuhan yang sebenarnya hanya kepentingan gengsi sosial saja. ltulah sebabnya pengusaha Banjar mudah bangkrut dan gulung tikar. Kecuali pedagang Alabio yang tetap bertahan sampai sekarang menjadi saingan pedagang Cina, terutama pedagang-pedagang kain. Organisasi mereka yang kuat, juga mereka umumnya adalah aliran sekuler, atau pembaharu dalam agama.

Golongan yang berikutnya seperti pedagang biasa, pedagang emas, kain, kelontongan, pancarakinan, juga pegawai negeri sipil, ABRI. Menyusul golongan yang terbesar adalah pedagang eceran, kaki lima, nelayan, buruh, buruh tani, tukang, kuli-kuli, gelandangan dan lain-lain.

5.2 Agama dan Adat-istiadat

sunting

Di atas telah dikatakan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan setia memeluk agama Islam yang dianut mereka akan tetapi ternyata kepercayaan kuno tidaklah hapus sama sekali. Lebih-lebih hal itu akan dapat disaksikan di desa-desa dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang menyangkut persoalan adat-istiadat, masalah tradisional dan faktor-faktor sosial hidup masyarakat. Sistem kepercayaan kuno itu bersumber dari sisa-sisa kepercayaan animisme, dinamisme dan Hinduisme yang secara sadar atau tidak sadar masih terus melekat dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, misalnya dalam Adat Perkawinan.

Dalam menentukan pilihan jodoh misalnya, masih terdapat sistem yang disebut dengan istilah "babilangan", yakni suatu kepercayaan kuno kepada dukun untuk mengetahui apakah nanti perjodohan itu baik atau sebaliknya. Selanjutnya diikuti dengan berbagai macam ketentuan-ketentuan dan pantangan-pantangan yang bersifat pemali bagi calon-calon pengantin itu. Kesemuanya itu merupakan ketentuan-ketentuan sangsi secara mental yang harus dipercayai begitu saja sebagai suatu warisan peninggalan kuno. Misalnya dilarangnya calon penganton wanita untuk terlalu sering bercermin, sebab nanti wajahnya akan berkurang cantiknya disebabkan diambil oleh wajah cermin. Begitu pula pantangan terhadap makanan-makanan tertentu, perbuatan-perbuatan tertentu dan upacara-upacara tertentu menjelang hari perkawinan 6 ).

5.2.1 Pimpinan/Pemuka Agama

Pimpinan dan pemuka agama merupakan tokoh penting dalam masyarakat di Kalimantan Selatan. Terhadap tokoh-tokoh ini masyarakat memberikan kepercayaan mereka terutama kepercayaan terhadap hal-hal yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Pimpinan yang bukan pemuka agama seperti Kepala Kampung pada umumnya figur mereka dihormati oleh masyarakat dan dipercayai sebagai tokoh pemersatu penduduk desa. Sehingga apabila Kepala Kampung meminta kepada penduduk untuk bergotong-royong, maka hal itu ditanggapi dengan baik oleh penduduk pada umumnya. Apabila ada masalah-masalah yang timbul di kampung oleh penduduk selalu dilaporkan dan dimintakan penyelesaian kepada Kepala Kampung.

Prinsip kepercayaan masyarakat terhadap Kepala Kampung ini dalam lingkungan yang lebih kecil dapat beralih kepada Ketua Rukun Tetangga sebagai unit yang paling kecil dalam sebuah desa. Kecuali tokoh Kepala Kampung dan Ketua Rukun Tetangga kadang-kadang di suatu desa terdapat pemuka masyarakat yang disegani yang dianggap sebagai tetuha atau tokoh yang disegani.

Mereka dalam kedudukan di masyarakat selaku pedagang yang dermawan, sebagai contoh pejuang angkatan bersenjata, atau karena sifat-sifat keberaniannya ataupun karena keturunanketurunannya sebagai tokoh yang disegani dalam lingkungan desa itu. Tokoh-tokoh masyarakat yang seperti digambarkan di atas masih terdapat di desa-desa di Kalimantan Selatan. Melebihi tokoh-tokoh yang disebutkan di atas masih terdapat tokoh-tokoh yang lebih utama lagi, yaitu para alim ulama Islam, baik sebagai figur berilmu agama Islam seorang da'i ataupun guru mengaji Kitab Suci Al-Qur'an. Golongan alim ulama ini sering disebut dengan istilah "Tuan Guru”.

Kepercayaan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya terhadap tokoh para alim ulama ini cukup besar karena fatwa-fatwa mereka yang selalu dikaitkan dengan syariat agama Islam yang bersumber kepada Kitab Suci Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad s.a.w. Simpati masyarakat terhadap para alim ulama ini demikian besar, sehingga kegiatan-kegiatan masyarakat yang bersifat massal seperti tablig akbar (penerangan agama Islam), ceramah agama yang dilangsungkan di mesjid-mesjid dan langgar selalu dihadiri oleh masyarakat umum sekitarnya.

Masyarakat sebagai pendengar penerangan agama selalu patuh mengikuti jalannya penerangan, patuh pada susunan acara yang secara rutin diadakan oleh kampung-kampung. Dalam gambaran ini timbul suatu kebiasaan bahwa masyarakat selalu patuh dan menurut apa saja yang difatwakan oleh seorang alim ulama. Hal itu karena masyarakat mempunyai dasar kepercayaan bahwa para alim ulama itu adalah pewaris Nabi.

Dari kenyataan yang demikian maka apabila di dalam masyarakat timbul sesuatu yang baru, maka yang terlebih dahulu memberikan reaksi ialah para alim ulama. Apabila sesuatu yang baru itu ditentang oleh seorang alim ulama maka hal itu sudah pasti pula akan ditentang oleh masyarakat pada umumnya. Sebaliknya manakala hal yang baru itu dapat diterima oleh alim ulama dalam arti menyetujui, lebih-lebih jika turut mendukungnya, maka hal itu adalah lebih mudah pula diterima oleh masyarakat pada umumnya.

Dari sini jelaslah bahwa bagaimana sikap masyarakat itu terhadap sesuatu masalah, hal itu bisa tercermin pada sikap tokoh alim ulamanya. Itu berarti bahwa suara a1im ulama adalah menjadi suara masyarakat di tempat itu.

5. 2. 2Upacara Pertanian

Upacara pertanian bagi penduduk suku bangsa Banjar tidak banyak yang dilaksanakan. Hal itu sering dihubungkan dengan syariat agama Islam dan sedikit berbaur dengan acara kebiasaan yang bersifat tradisional. Sehari sebelum masa bertanam padi di sawah, biasanya pada malam harinya dilaksanakan acara selamatan di rumah masing-masing petani dengan pembacaan doa selamat.

Kebiasaan yang bersifat tradisional ialah makanan yang disuguhkan dalam acara selamatan itu selalu dalam hidangan ketupat dengan ikan tawar yang diberi berkuah. Ketupat-ketupat itu dibikin dalam motif-motif yang disebut ketupat burung, ketupat bangsal, ketupat rasul dan bentuk-bentuk motif lainnya. Sedangkan ikan tawar yang dibikin gulai telah dikhususkan sejenis ikan gabus. Tradisi ini telah berjalan berpuluh-puluh tahun tanpa perubahan dan tanpa pertentangan, dan bahkan selalu dilaksanakan dengan meriah di desa-desa daerah pertanian sawah 8 ).

Apabila tiba masa panen, maka penduduk setempat mengadakan gotong-royong untuk mengetam padi yang disebut dengan istilah "baarian ". Sistem gotong-royong mengetam padi itu dilaksanakan secara ganti-berganti dalam jumlah kelompok yang sama. Misalnya pada minggu pertama bergotong-royong mengetam padi anggota yang satu, maka pada minggu berikutnya bergotong-royong mengetam padi anggota lainnya. Pemilik sawah yang bersangkutan cukup menyediakan makan siang dan kue-kue sekedarnya.

Setelah seluruh padi selesai dituai, di situlah timbul acara "ahui", yakni semacam tarian tradisional untuk melepaskan padi dari tangkainya dengan menggilasnya dengan telapak kaki. Para pemuda dan pemudi yang melaksanakan acara ahui ini berbaris satu persatu sampai menggilas padi dari tangkainya. Kelompok lainnya melagukan beberapa pantun secara bersahut-sahutan dan setelah tiba pada baris terakhir (keempat) serempak mereka semua menyambutnya dengan ”ahui” bersama-sama. Sekarang acara ahui ini disempurnakan dan dijadikan sebuah tarian yang disebut tari ahui dengan perlengkapan alat tabuhan untuk mengiringinya.

Setelah padi disimpan di lumbung, maka pada malam pertama sampai ke tiga di samping lumbung itu diletakan sebuah lampu kecil minyak tanah dan sebuah tempat sirih lengkap isinya dengan kapur, gambir, pinang, tembakau dan beberapa lembar sirih. Hal ini merupakan suatu kepercayaan yang bersumber dari animisme, bahwa roh padi yang baru itu perlu dihormati yang kepadanya disediakan penerangan lampu dan persediaan untuk makan sirih.

5.2.3. Upacara Desa

Upacara desa hanya dilaksanakan apabila desa itu mendapat serangan wabah penyakit. Misalnya pernah terjadi serangan wabah cacar yang menyebabkan setiap hari terjadi kematian beberapa orang karena mendapat serangan wabah cacar. Begitu pula pernah terjadi serangan wabah penyakit malaria, kolera dan disentri. Di samping adanya tindakan-tindakan dari Pemerintah Daerah setempat untuk menanggulangi penyakit tersebut dengan tindakan secara medis, maka penduduk setempat melakukan suatu upacara terbuka oleh beberapa orang yang membacakan mantera-mantera sambil berjalan keliling kampung dengan membawa air tawar.

Upacara ini dikenal dengan istilah upacara tolak bala yang maksudnya agar desa itu terhindar dari datangnya bala wabah penyakit tersebut. Hal yang sama juga dilakukan apabila sawah mendapat serangga hama kupu-kupu putih (sundep atau bluk) dan hama tikus yang sering merusakkan areal persawahan.

5.24 Upacara Lelulur

Upacara lelulur bagi penduduk di Kalimantan Selatan, biasanya terdapat pada lingkungan keluarga gusti-gusti, yakni lingkungan keluarga yang mempunyai garis keturunan dengan keluarga kesultanan Banjarmasin. Lingkungan keluarga gusti-gusti banyak berpusat di Banjarmasin dan Martapura. Keturunan mereka yang berikutnya dikenal dengan lingkungan keluarga antung dan anang.

Adapun upacara leluhur yang mereka pelihara sebagai warisan keturunan ialah adat-istiadat yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan di antara keluarga mereka. Antara lain ialah pada saat akan melaksanakan persandingan mempelai, maka pengantin wanitanya harus dimandikan dengan upacara mandi pengantin. Harus dibuatkan pagar mayang dengan langit-langit kuning sebagai ciri dari lingkungan keluarga gusti-gusti. Sementara itu sebagai acara keramaian disajikan pertunjukan tari topeng dengan iringan seperangkat gamelan”).

Biasanya kedua acara ini tidak dapat ditinggalkan dalam melangsungkan suatu perkawinan di antara keluarga mereka. Sebab sering terjadi apabila adat leluhur ini ditinggalkan terjadilah beberapa hal yang tidak diinginkan, yakni seorang atau beberapa orang wanita di antara kegiatan acara itu akan kesurupan. Pada saat kesurupan ini sering orang yang bersangkutan menyebutkan sebab-sebab apa terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan itu. Umumnya hal-hal yang disebutkan itu ialah disebabkan karena tidak terpenuhinya ketentuan adat leluhur yang harus dilaksanakan, ataupun disebabkan pemenuhan ketentuan itu tidak sebagaimana mestinya.

Biasanya yang kesurupan itu wanita, yang kebetulan berada di sini yang fisiknya kurang kuat atau lemah mentalnya dalam berhadapan dengan sesuatu yang gaib. Kesurupan ini bisa berlangsung lama sepanjang tuntutan-tuntutan yang dikehendaki belum dipenuhi. Dalam berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang seperti ini kalau pada mulanya masyarakat kurang mempercayai adanya peristiwa kesurupan itu, maka apabila berhadapan dengan kenyataan yang dapat dilihat sendiri akhirnya akan mempercayai. Dan kepercayaan akan hal itu akan menjadi suatu kekuatan untuk selalu tidak mengabaikan upacara-upacara leluhur yang kadang-kadang dirasakan sebagai beban secara ekonomis.

Kecuali pelaksanaan upacara itu, masing-masing terdapat lagi persyaratan-persyaratan lain sebagai pelengkap, misalnya keharusan untuk menyiapkan sejumlah kue-kue, meskipun jumlahnya tidak perlu terlampau banyak. Orang telah mengenal adanya jumlah 40 macam kue yang harus disajikan, meskipun bukan untuk disajikan kepada para undangan.

Selain dari pada upacara leluhur yang menyangkut lingkungan keluarga gusti-gusti, maka ada upacara lain yang disebut adat batumbang yang juga dilakukan oleh masyarakat umum. Adat batumbang ini dilakukan biasanya pada hari-hari raya Idul Fitri atau hari raya Idul Adha yang dilakukan di rumah atau di dalam mesjid. Biasanya adat batumbang ini dilaksanakan karena adanya hajat seseorang. Apabila adat batumbang itu dilaksanakan oleh keluarga gusti-gusti biasanya dengan dasar leluhur keturunan yang harus diikuti oleh keluarga mereka. Adat batumbang yang diselenggarakan di rumah biasanya lebih besar jika dibanding kalau hanya dilaksanakan di mesjid. Keluarga yang akan melaksanakan adat batumbang menyediakan lima macam kue yang terdiri dari apam putih, apam habang, cucur putih, curu habang dan ketupat. Upacara itu diselenggarakan di ruang besar dalam rumah. Di situ dihamparkan selembar tikar yang baik. Kemudian di tengah-tangahnya disusun lipatan-lipatan kain sarung sampai beberapa puluh lembar, sehingga susunan sarung itu cukup tingginya. Di puncak susunan sarung itu ditutupi dengan selembar kain kaci putih yang kemudian di atas kain putih itu ditaruh selembar daun pisang panurun (jenis pohon pisang yang besar). Tepat di atas daun pisang tadi didirikan di situ dua potong pelepah daun nyiur yang sudah dibersihkan dari daunnya, tetapi masih ada bilah-bilah lidinya sepanjang sejengkal. Tinggi pelepah daun nyiur itu sama tingginya dengan tinggi badan orang yang melaksanakan adat batumbang tersebut. Dinamakan adat batumbang karena tinggi lepepah daun nyiur itu adalah setumbang (setinggi) badan orang yang melakukan adat batumbang tadi. Ujung kedua pelepah daun nyiur itu disandarkan pada dinding rumah dalam ruangan kamar itu agar dapat teguh berdirinya.

Potongan-potongan bilah lidi dari kedua potong pelepah daun nyiur itu, ditusukkan di tempat itu masing-masing untuk sepotong apam putih, dan apam habang barisan kiri dan kanan. Kue-kue cucur habang dan cucur putih pada barisan kiri kanan sepotong pelepah daun nyiur yang lainnya. Kemudian di puncak kedua pelepah daun nyiur itu digantungkan beberapa biji ketupat dan akhirnya di puncak sekali dipasang lilin yang menyala. Kadang-kadang juga diberi hiasan dengan beberapa jalur bunga yang dirangkai dari daun pudak. Acara adat batumbang dimulai dengan berdirinya orang yang berhajat batumbang itu di depan sajian tersebut sambil memegang kedua tumbangan (pelepah daun nyiur yang penuh dengan kue-kue) tersebut.

Ketika itu diserukan dengan nyaring ucapan selawat atas Nabi Muhammad s.a.w. sambil menaburkan beras kuning yang bercampur dengan mata uang sebagai hadiah untuk anak-anak yang berhadir di situ. Semua kue-kue yang ditusuk di pelepah daun nyiur tadi kemudian diambil kembali dan disajikan dalam piring. Para undangan yang hadir akan membacakan Surat Yasin dan doa selamat yang kemudian diakhiri dengan makan bersama untuk mengecap kue-kue adat batumbang tersebut. Adat batumbang ini hingga sekarang masih sering dilaksanakan di desa-desa pada hari-hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Untuk adat batumbang yang diselenggarakan di mesjid, biasanya dengan mengambil tempat di mesjid-mesjid yang terkenal sebagai mesjid yang tertua. Kadang-kadang untuk menentukan mesjid itu dipilih mesjid yang cukup jauh jaraknya sampai beberapa puluh kilometer dari tempat tinggal orang yang ingin batumbang.

8.2.5 Upacara Bulan Maulud

sunting

Upacara bulan Maulud dilaksanakan sepanjang bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah. Bulan ini dirayakan dengan upacara mengingat bulan itu adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad saw.

Upacara Maulud ini dilaksanakan dengan tema keagamaan secara massal dengan membaca Kitab Barzanji pada bab-bab yang disebut Barzanji Natsran, Qasyidatul Burdah atau pada bab-bab lainnya. Dalam pembacaan Kitab Barzanji ini terdiri atas kelompok-kelompok pembaca utama yang terdiri dari 2 atau 3 orang yang kemudian diikuti oleh seluruh peserta yang hadir. Setelah selesai pembacaan Kitab Barzanji tersebut upacara ditutup dengan pembacaan Doa Barzanji dan makan bersama-sama.

Upacara Maulud ini lebih ramai lagi dilaksanakan di desa-desa di Kalimantan Selatan secara serempak di dalam sebuah kampung sehingga merupakan sebuah pesta massal. Seluruh desa itu dihiasi dengan kain-kain batik yang dibentangkan setinggi sepuluh meter sehingga merupakan barisan bendera-bendera yang berwarna warni. Dalam pesta Maulud itu dihidangkan bermacam-macam kue dan masakan untuk para undangan yang kadang-kadang datang dari kampung-kampung lain yang jauh jaraknya. Dalam peristiwa bulan Maulud ini terjadi pula upacara khusus bagi suatu keluarga yang karena ada hajat sesuatu atau karena adat turun temurun melaksanakan upacara Ayun Maulud.

Upacara Ayun Maulud ini adalah upacara khusus mengayun bayi dalam perayaan Maulud tersebut. Sebuah ayunan yang terdiri dari tiga lapis dari kain kuning digantungkan di tengah-tengah ruangan rumah tempat upacara maulud itu diselenggarakan dengan dihadiri oleh para undangan. Seluruh bagian dari ayunan itu digantungi dengan bermacam-macam bunga-bungaan yang dikarang dari daun pudak terdiri dari bunga mawar, cempaka, kenanga, melati, kacapiring. Di situ pula digantungkan bermacam-macam kue seperti cucur, cincin, wadai gelang dan bermacam ketupat seperti ketupat rasul, ketupat bangsul, ketupat burung lepas, ketupat bujur, dan lain-lain. Diberikan pula hiasan-hiasan janur motif Banjar seperti anyaman halilipan, kambang sarai, sarang samut, kambang gagalangan, payung dan ular-ularan. Khusus untuk tali ayunan itu dipakai benang lawai dan ada pula yang mempergunakan tali belaran hutan. Sebelum acara ayun maulud dimulai, maka terlebih dulu dalam ayunan itu diisi dengan batu pipisan yang dibungkus dengan kain kuning. Di bawah ayunan itu diletakan seperangkat piduduk yang berisi beras, gula merah, nyiur, garam, telur ayam dan rerempah lainnya. Di samping itu diletakkan di tempat itu sebuah perapin dan gelas berisi air. tawar serta tempat sirih (Banjar: panginangan). Apabila tiba saatnya para undangan membawakan ayat Asrakal dalam Kitab Barzanji, maka seluruh hadirin akan serempak berdiri. Dan pada saat itu batu pipisan tadi dikeluarkan dan bayi diletakkan ke dalam ayunan sambil diayun oleh salah seorang keluarga.

Setelah habis asrakal para undangan duduk kembali dan bayi dalam ayunan diberi air tapung tawar di atas ubun-ubunnya, sebagai tanda merestui akan keselamatannya. Pada saat itu dibacakan doa Barzanji dan upacara ayun maulud selesai dengan makan bersama. Menurut adat leluhur, perhiasan-perhiasan ayunan tadi, kecuali kue-kue, selama tiga hari baru dilepaskan dari ayunan itu. Sedangkan kain kuning yang dipergunakan untuk ayunan tersebut tetap dipakai untuk selama-lamanya.

5.2.6 Upacara Bulan Rajab

Dalam bulan Rajab tahun Hijriyah di Kalimantan Selatan terdapat upacara yang disebut Memhaca Riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad s.a.w. Sepanjang bulan Rajab ini pada tiap-tiap mesjid dan langgar diadakan upacara untuk menerangkan riwayat jalannya Isra dan Mi'raj yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama seperti alim ulama atau muballigh lainnya. Riwayat Isra dan Mi'raj yang sekalipun pada umumnya sudah dikenal dengan baik oleh penduduk Kalimantan Selatan, khususnya kaum muslimin, selalu dibacakan kembali dengan mempergunakan waktu yang cukup lama. Dalam acara tersebut biasanya selalu diselingi dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an.

5.3 Seni Budaya

Perkembangan seni budaya cukup pesat, seperti seni tari, seni rupa, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni sastera. Di Kotamadya Banjarmasin memiliki 25 buah organisasi, 40 penari, 27 penabuh, jadi 67 penari dan penabuh.

Umumnya tari-tarian klasik itu diiringi dengan lagu-lagu dari perangkat gamelan yang terdiri atas: babun, gender, dau, gambang, saron, salantang kadenong, salantang besar, kenong ketek, gong besar, gong kecil, kangsi, rantai, rantani unang-unang, suling, paksur, dan rebab. Sedang lagu-lagu yang dimainkan di antaranya adalah: ayakan lima, wani-wani, pancar buang, paksi mandong, paksi muluk, kabur, sumbu gelang, mas gemitir, gunjang ganjing lima, gunjang ganjing babun, kambang muni, ketawang, kembang gayam, lagu kencang, sitru anam, dan sebagainya11).

Di samping gamelan juga dikenal alat-alat musik lainnya seperti: kuriding, kecapi Dayak dan kurung-kurung. Sedangkan orkes-orkes maupun band yang ada di daerah Kalimantan Selatan telah menggunakan alat-alat elektronis misalnya gitar, biola, organ, piano, sello, alat-alat musik tiup, dan sebagainya. Teater yang bersifat tradisional adalah: Mamanda, wayang gong, wayang kulit, damarwulan, kuda gepang, dan topeng. Teater mamanda umumnya mementaskan cerita dari syair Abdul Muluk karangan Saleha (saudara dari Raja Ali Haji). Itulah sebabnya mamanda juga dinamai Badamuluk. Selain itu juga cerita-cerita dari Seribu Satu Malam dapat dipentaskan melalui mamanda ini. Sedang wayang kulit selalu cerita dari Mahabrata dan Ramayana. Yang lainnya umumnya mementaskan cerita panji.

Teater modern yang dikenal sebagai perkumpulan sandiwara atau grup drama banyak muncul pada waktu akhir-akhir ini, lebih-lebih setelah terbentuknya Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan, perkembangan dari grup-grup yang ada itu makin terarah dan terbimbing12).

Sastra Banjar yang sangat mirip dengan sastra Melayu di Sumatera dan di Malaya sejak awal abad XX sudah mulai kehilangan pendukungnya. Yang dapat bertahan hanya beberapa jenis sastra lisan, misalnya madihin dan balamut. Madihin karena bentuknya agak bebas sehingga ada unsur kelincahan dalam perkembangannya sesuai dengan tuntutan zaman. Sedang balamut yang sangat terikat dengan alur cerita dan bahasa serta lagunya yang sangat tertentu itu sudah sangat terdesak. Yang telah tenggelam adalah andi-andi. Andi-andi ini merupakan salah satu sastra lisan Banjar yang isi ceritanya sangat mirip dengan cerita panji. Cerita ini dibawakan oleh penyairnya pada saat menuai padi di tengah sawah. Karena kegiatan gotong royong menuai padi seperti dahulu itu sejak beberapa waktu yang lewat sudah tidak dilaksanakan lagi maka baandi-andi juga mulai tidak dikenal lagi. Kesukaran lain juga karena cerita yang dikisahkan itu panjang sekali.

Cerita rakyat yang melukiskan pertarungan antara buruk dan baik, tentang alam semesta, tentang binatang, sampai sekarang belum pernah dibukukan. Yang pernah diusahakan untuk mengumpulkan cerita rakyat itu adalah cerita sekitar tokoh yang dikenal dengan nama "Palui". Tetapi isi ceritanya sudah dirombak dan disesuaikan dengan kehidupan modern sekarang, sekalipun penerbitannya masih menggunakan bahasa Banjar. Penggarapan cerita Palui ini diusahakan oleh Harian Banjarmasin Post.

Kepandaian mengukir dan memahat kayu dengan motif tumbuh-tumbuhan atau binatang untuk keperluan hiasan rumah sudah sejak lama di daerah Kalimantan Selatan tidak terdapat lagi. Kepandaian melukis di atas kanvas dengan menggunakan cat minyak, sejak awal abad XX sudah mulai dipelajari. Kepandaian mengukir logam, seperti emas, perak atau kuningan.

Yang perkembangannya agak menonjol hingga taraf nasional adalah bidang seni rupa. Hal ini berkat karya Gusti Sholihin bin Gusti Hasan yang lahir pada tahun 1925 dan mendapat bimbingan dari pelukis Jepang pada zaman Jepang yakni Kawazura dan Kusaka (1942-1945). Gusti Sholihin kemudian mengembangkan bakatnya di Jawa dan Bali bersama-sama dengan pelukis-pelukis Sudarso, Zaini, dan Wakijan. Pada tahun 1953 ia bersama dengan Affandi dan Kusnadi mewakili Indonesia dalam pameran Internasional di Sao Paolo. Kemudian mengadakan perlawatan ke Nederland dan Perancis. Dalam tahun 1957-1958 Sholihin bekerja di Banjarmasin dan mendirikan sanggar Tunas Pelukis Muda. Sholihin meninggal dalam tahun 1961 di Bali, dan sisa-sisa dari lukisan Sholihin sekarang berada di Museum Lambung Mangkurat Banjarmasin untuk dipelihara dan diabadikan13).

5.4 Pendidikan

Perkembangan pendidikan di Kotamadya Banjarmasin pada periode 1950-1965, menunjukkan arah yang menaik mulai Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Dari data yang ada dapat diuraikan perkembangan sekolah-sekolah yaitu:

1) Pendidikan Sekolah Dasar

2) Pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama 3) Pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas

4) Pendidikan Tinggi.

5.4.1 Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar

Pada periode 1950-1965 Pendidikan Sekolah Dasar telah menunjukkan kemajuan yang cukup memadai secara kuantitas dibanding periode sebelumnya. Beberapa kampung dalam Daerah Kotamadya Banjarmasin telah didirikan sekolah-sekolah rakyat yang pada saat itu dinamakan sekolah Rakyat Negeri VI tahun. Pada umumnya hampir setiap SR Negeri, pendidikan yang dilaksanakan berjenjang sampai enam tahun atau kelas satu sampai dengan VI. Pada pihak lain dengan dipelopori oleh swasta bermunculan pula madrasah-madrasah dan Sekolah Rakyat swasta. Madrasah-madrasah merupakan pendidikan Dasar yang lebih berkecenderungan untuk menyajikan pelajaran agama, sedangkan penyajian mata pelajaran umum sangat rendah sekali persentasenya, seluruhnya madrasah swasta¹⁴).

Untuk sekolah Rakyat Negeri rata-rata penerimaan murid baru dari anak-anak yang sudah berumur enam sampai dengan delapan tahun. Pemerataan kesempatan belajar belum menjadi pemikiran utama.

Dalam periode ini belum terlaksana wajib belajar pada tingkat umur tujuh - duabelas tahun. Keseimbangan antara yang bersekolah dan tidak bersekolah relatif persentasenya cukup besar. Walaupun demikian kesadaran untuk menyekolahkan anak putri sudah tidak menjadi permasalahan lagi. Hanya sebagian kecil masyarakat yang masih berpikir bahwa anak putri cukup sampai tamat sekolah dasar pendidikannya.

Pada daerah Kotapraja Banjarmasin yang kemudian berpredikat Kotamadya Banjarmasin hingga tahun 1965 sudah tercatat hampir tujuh puluh empat buah Sekolah Dasar Negeri, lima buah Sekolah Dasar Subsidi dan 9 buah Sekolah Dasar Swasta¹⁵). Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/96 3) Untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berpendidikan menengah baik secara umum maupun secara khusus. Dalam hal ini adanya tujuan tertentu dalam waktu singkat.

Dari pemikiran tersebut di atas didirikanlah oleh Pemerintah dan sebagian oleh masyarakat swasta sekolah-sekolah menengah pertama yang pengawasannya oleh Kementrian Pendidikan dan Pengajaran yang pada saat itu di Kalimantan Selatan bernama Daerah VIII.

Untuk memasuki Sekolah Menengah Pertama diperlukan ujian masuk dan sebagian mata pelajaran yang diujikan datang dari pusat (Jakarta).

Dalam periode tahun 1950-1965 tercatat di Kotamadya Banjarmasin sampai akhir tahun 1965 ada 7 (tujuh) SLTP¹ ⁶). Negeri dan 8 (delapan) SLTP Swasta.

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama tersebut keadaannya sebagai berikut:

Periode Negeri Swasta
Tahun 1950 1 2
Tahun 1951 1 2
Tahun 1952 1 3
Tahun 1953 1 4
Tahun 1954 1 4
Tahun 1955 2 5
Tahun 1956 3 5
Tahun 1957 3 5
Tahun 1958 3 5
Tahun 1959 3 6
Tahun 1960 4 6
Tahun 1961 6 6
Tahun 1962 6 6
Tahun 1963 6 6
Tahun 1964 6 6
Tahun 1965 7 8
Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/98 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/99 Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/100 Berikutnya tahun 1973 terjadi perkembangan jumlah sebanyak 2 buah yakni masing-masing 1 buah pada sekolah tingkat SMTP dan 1 buah untuk sekolah SMTA, yang kalau diprosentasikan tahun 1973 ini terjadi sekitar 6,6%. Ini berarti jumlah keseluruhan sekolah tingkat SMTP dan SMTA di Kotamadya

Banjarmasin sampai dengan tahun 1973- ada sebanyak 32 buah · -- -·-dengan perincian sekolah tingkat SMTP sebanyak 20 buah dan sekolah tingkat SMTA sebanyak 12 buah. Sampai dengan tahun 1975 perkembangan boleh dikatakan dalam tingkat sederhana yaitu perkembangan tahun 1974 hanya mengalami pertumbuhan ± 3%, sedangkan pada periode berikutnya yakni tahun 197 5 sama sekali nol pertumbuhan. Perkembangan yang dapat .dikatakan pesat terjadi pada tahun 1976 dan tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1976 terjadi pertumbuhan kurang lebih 15% atau terdapat pertambahan sebanyak 5 buah sekolah SMTP dan SMTA sejak periode terakhir sebelumnya. Pada tahun 1979 jumlah SMTP dan SMTA di Kotamadya Banjarmasin sudah mencapai 61 buah dengan perincian 38 buah sekolah tingkat SMTP dan 23 buah sekolah tingkat SMTA. Kalau dibuat prosentasi perkembangan dari tahun 1976 sampai dengan 1979 terjadi perkembangan 59,8% atau 20% pertahunnya. Perkembangan persekolahan khususnya sekolah tingkat SMTP dan SMTA sebenamya bukanlah hanya terjadi secara kuantitatif belaka. Perkembangan juga terjadi secara kualitatif misalnya pengadaan laboratorium dan fasilitas belajar lainnya. Kalau dilihat secara keseluruhan perkembangan pendidikan untuk tingkat SMTP dan SMTA sejak tahun 1965 sampai dengan tahun 1979 (dalam kurun waktu 15 tahun) mengalami peningkatan kurang lebih 14%. Pada tahun 1965 jumlah sekolah SMTP dan SMTA hanya 25 buah dengan perincian 15 buah SMTP dan 10 buah SMTA. Pada tahun J 979 jumlahnya meningkat menjadi 61 buah SMTP dan SMTA dengan perincian 38 buah SMTP dan 23 buah SMTA• 9 ) Apabila dilihat dari kapasitas daya tampungnya, pada tahun 1965 SMTP dan SMTA hanya mempunyai daya tampung kurang lebih 12.000 orang. Daya tampung SMTP kurang lebih 7.200 orang, dan daya tampung SMTA kurang lebih 4.800 orang. Sedang kurang lebih 15 tahun sejak 1965 kapasitas daya tampung SMTP dan SMTA meningkat menjadi 29.000 orang lebih. Apabila diperinci maka daya tampung tingkat SMTP kurang lebih 18.000 orang dan untuk tingkat SMTA kurang lebih 11.000 orang.

Jadi perkembangan pendidikan SMTP dan SMTA Kotamadya Banjarmasin, untuk periode 1965 sampai dengan 1979 mengalami beberapa kemajuan, yang apabila diprosentasekan terdapat perkembangan 144% atau perkembangan rata-rata pertahun 9,5% (apabila dihitung dari perkembangan permulaan).Perkembangan 144% ini terjadi dalam ruang lingkup waktu 15 tahun.

Dalam hal kesempatan belajar bagi SMTP dan SMTA pada tahun 1965 pada umumnya dapat dikatakan seimbang. Dalam hal ini maksudnya antara kapasitas daya tampung di tingkat SMTP dan SMTA masih berimbang dengan permintaan akan fasilitas belajar, sehingga sedikit kemungkinan siswa yang tidak tertampung.

Setelah memasuki era 1970-an maka pelan-pelan permintaan akan fasilitas belajar menanjak. Di sini daya tampung sudah mulai berkurang jika dibanding dengan permintaan yang mulai naik. Kurangnya daya tampung sekolah di tingkat SMTP dan SMTA jika dibanding dengan permintaan fasilitas belajar ini terus menanjak sejak periode akhir 1970-an. lni artinya setiap tahun berjalan semakin besar kekurangan daya tampung sekolah sehingga akhirnya antara .fasilitas SMTP dan SMTA yang tersedia dengan permintaan fasilitas belajar pada kedua tingkat sekolah ini tidak seimbang. 5.4.4 Pendidikan Tinggi

Di Kotamadya Banjarmasin pada periode 1950-1979 telah tumbuh pula perguruan-perguruan tinggi yang dibina oleh pemerintah maupun swasta.

Perguruan tinggi. yang tertua adalah Akademi Pimpinan Perusahaan (APP). Setelah UNLAM berkembang, mahasiswanya banyak memasuki Perguruan Tinggi. UNLAM. Unlam sekarang mempunyai 8 Fakultas: Fakultas Hukum, Ekonomi, Ilmu Sosial Politik, Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Pertanian, Kehutanan, Tehnik dan Perikanan.

Pada tahun 1958 didirikan BI Pendidikan Jasmani di Banjarmasin. Tahun 1962, BI tersebut diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan· IIGP Bandung Cabang Banjarmasin. Dengan adanya Departemen Olah Raga, maka jurusan Pendidikan Jasmani IKIP Bandung Cabang Banjarmasin dilebur menjadi STO, di bawah Direktorat Olah Raga 2 0).

IAIN Antasari dalam tahun 1975, memasuki Dies Natalisnya yang ke-11. Pada mulanya bercliri meliputi 4 Fakultas, kemudian berkembang menjadi 9 Fakultas. Tetapi diadakan integrasi yang didasarkan rasionalisasi dengan menggunakan kriteria minimal, maka Fakultas yang kurang atau tidak memenuhi syarat terkena peraturan, sehingga menjadi 6 Fakultas.

5. 5 Pelacuran

5.5.l Faktor Penyebab (Motivasi) Pelacuran

Dalam mempersoalkan sebab-sebab orang menjadi pelacur, sangatlah komplek. Akan tetapi dari data yang penulis dapatkan dari Departemen Sosial dan Binmas Kotamadya Banjarmasin,dikatakan bahwa hampir setiap wanita pelacur mengatakan faktor ekonomi yang menyebabkan dia melacurkan diri. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa ada pula pelacur yang mempunyai kondisi ekonomi baik, dan ia melacurkan diri hanya sekedar iseng. Di samping faktor tersebut masih banyak faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan yang rendah, kekacauan dalam keluarga, kondisi kemampuan dan tempat tinggal yang berdesakan membuat semakin banyak wanita yang mengambil jalan pintas.


Kalau kita menengok ke belakang tentang keadaan Banjarmasin pada tahun 1965-an tidak banyak berbeda dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 1965-an sangat buruk, di mana tingkat inflasi membubung tinggi, dan harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat sehingga kehidupan masyarakat khususnya masyarakat desa yang umumnya pendidikannya rendah dan jumlah keluarganya yang besar sangatlah memprihatinkan. Dalam keadaan demikian inilah masyarakat desa berusaha untuk dapat hidup lebih baik dan mereka mengimpikan bahwa kehidupan yang baik akan dapat diperoleh dengan mengadu nasib ke kota. Hal inilah yang m~rupakan faktor penyebab munculnya banyak wanita-wanita pelacur di Kotamadya Banjarmasin saat itu. Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan yang penulis dapatkan dari seorang wanita penghuni gang Mufakat (Komplek pelacuran Tiung) yaitu Rukayah asal Barabai. Dia datang ke Banjarmasin beserta wanita-wanita lainnya dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini sehingga dapat membantu beban orang tuanya. Menurut informasi dari orang terse but dan seorang lakilaki tua yang dulunya suka pelesir di komplek Tiung dan di Rumah kuning pasar Kupu-Kupu (laki-laki tersebut tak mau disebut namanya, hanya mengatakan ia tinggal di Banjarmasin sejak tahun 1927) bahwa komplek Tiung dan pasar Kupu-Kupu dihuni oleh wanita-wanita . yang datang dari desa-desa antara lain dari desa Pandahan, Parigi wilayah kabupaten Tapin dan desa-desa lainnya daerah Hulu Sungai 2 1). Wanita-wanita yang datang dari desa Pandahan, sering disebut wanita yang berprofesi Gandut (wanita yang pandai menyanyi seperti pantun untuk menghibur laki-laki dan otomatis bisa menemani tidur laki-laki yang dihibur tersebut). Komplek-komplek tersebut pada umumnya dihuni oleh wanitawanita desa yang berlatar belakang pendidikan rendah dan kondisi yang rendah pula.

Di desa, apalagi di kota tidak mudah bagi wanita yang berpendidikan rendah untuk memperoleh pekerjaan. Hal itu menyebabkan mereka mengambil jalan pintas demi mencapai berbagai hal yang diinginkan, terlepas dari soal baik buruknya pekerjaan yang dipilih. Kehidupan kota banyak menjerat wanita-wanita desa sehingga dia bemasib malang. Wanita desa sering terpengaruh oleh wanita lain sedaerahnya yang tampak berhasil meningkatkan taraf hidupnya di kota, dan hal ini akan membahayakan bagi mereka yang berpendidikan rendah. Wanita desa sering tertipu oleh kehidupan kota, sehingga dalam kekecewaan ini sangat mudah masuknya janji-janji palsu atau kebohongan yang dilancarkan oleh orang-orang yang ingin mencari untungnya sendiri, misalnya dengan menjanjikan pekerjaan tertentu dengan gaji besar. Tapi kenyataannya lain. Wanita wanita itu diperjual-belikan. Banyak wanita melacur karena kehilangan tempat bergantung. Laki-laki yang semula menjanjikan berbagai hal ternyata menghilang sehingga meninggalkan kekecewaan yang mendalam, mengakibatkan wanita mengambil jalan pendek yang paling mudah untuk dilewatinya.

5.5.2 Tempat-Tempat Operasi Pelacuran Liar Di Kotamadya Banjarmasin

Pada tahun 1965 tempat pelacuran liar terdapat sekitar Pelabuhan Lama (sekarang jalan Laksamana R.E. Martadinata). Di malam hari tuna susila berkeliaran mencari mangsanya. Tempat ini sangat strategis, karena awak-awak kapal, dan awak-awak perahu layar sangat memerlukan hiburan-hiburan dari wanita-wanita tuna susila, setelah beberapa lama mengarungi lautan yang ganas dan kehidupan di laut yang keras. Di sekitar pasar Kupu-Kupu (Jalan Pos), di bawah jembatan Coen, (Jembatan J enderal A. Yani KM 1) di sekitar jalan Kertak Baru juga 96 ada rumah-rumah tempat pelacuran liar, yang dimiliki germo - germo, WTS-nya ada yang menetap di rumah-rumah tersebut dan ada pula yang datang pada malam hari atau datang pada waktu-waktu tertentu saja.


Setelah tahun 1965, yaitu tahun 1966, 1967, 1968, 1969,1970, 1971, 1972, 1973, 1974, 1975, 1976, 1977, 1978, dan 1979 ternpat-tempat pelacuran liar masih tetap seperti tempat-tempat tersebut di atas, bahkan tempat operasi tuna susila mencari mangsanya makin bertambah sesuai dengan perkembangan kotamadya Banjarmasin. Seperti di sekitar pasar Antasari, pelabuhan Tri Sakti dan lain-lain 2 2). Di samping itu di tempat-tempat hiburan, bioskop-bioskop dan night club-night club sering terjadi transaksi pelacuran liar. Misalnya seorang hostes dari sebuah night club yang tugasnya menemani tamu-tamu minum dapat melacurkan diri, dengan jalan bersedia diboking laki-laki iseng untuk di bawa ke hotel-hotel, penginapan-penginapan atau tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya praktek pelacuran liar, yang tentu saja mendapat imbalan yang lumayan. Pelacuran liar ini mungkin saja terjadi di tempat mana pun, manakala WTS masih menjalankan praktek pelacuran liar.

5.5.3

Pelacuran Liar di Kotamadya Banjarmasin dan Masalahnya

Pelacuran liar di Kotamadya Banjarmasin mernpunyai latar belakang yang bermacam:-macam. Tetapi yang paling dominan adalah sebab tekanan ekonomi dan sikap materialistis serta terlalu rnernandang keduniawian. Di samping itu ditunjang oleh adanya tempat-ternpat hiburan, bioskop-bioskop, restoranrestoran, night club-night club, penginapan-penginapan, hotelhotel dan lain-lain. Sehingga memberi kemungkinan dan kesempatan kepada tuna susila mengadakan praktek pelacuran liar.


Pelacuran liar rnernbawa dampak negatif yang sangat luasterhadap semua bidang kehidupan masyarakat, khususnya mengakibatkan kemerosotan moral, bukan saja terhadap laki-laki dewasa, tetapi yang lebih fatal terhadap pemuda-pemuda dan remaja-remaja yang merupakan harapan bangsa. Di samping itu membawa pengaruh juga terhadap ketertiban umum, tradisi dan lain-lain.

Pelacuran liar merupakan suatu penyakit masyarakat, yang harus ditanggulangi secara khusus. Walaupun untuk membasmi secara tuntas itu tidak mungkin, tetapi untuk menghentikan kegiatannya mungkin saja dengan memakan waktu yang sangat lama.

Kebanyakan dari WTS yang mengadakan pelacuran liar adalah wanita-wanita ibu rumah tangga yang mempunyai suami dan anak, karena tekanan ekonomi atau keluarga yang tidak harmonis, atau janda yang kesepian, bahkan gadis yang masih mempunyai orang tua dan saudara, melacurkan diri pada malam hari tetapi pada siang hari dapat bersikap wajar sebagai wanita-wanita baik-baik dalam masyarakat23). Hal ini dapat terjadi karena pengaruh sikap kota yaitu masyarakat yang menjurus kepada sikap acuh tak acuh pada tetangga. Pelacuran liar sukar ditanggulangi, karena operasinya sembunyi-sembunyi dan liar.

Dari dinas-dinas dan jawatan pemerintah sudah ada usaha untuk menanggulangi pelacuran liar di kotamadya Banjarmasin, seperti seringnya diadakan razia-razia terhadap tempat-tempat yang diperkirakan tempat operasi pelacuran liar. Dalam razia sering juga ada WTS yang terjaring petugas. Namun jumlahnya sangat kecil, karena tuna susila seolah mengetahui akan adanya razia dan bersembunyi serta menghentikan kegiatannya sementara dilakukan razia.

WTS yang terjaring petugas dan dibawa ke tahanan sementara untuk dikirimkan ke tempat rehabilitasi wanita-wanita tuna susila yang dikelola Departemen Sosial, sering mencucurkan air mata minta dikasihani kepada petugas-petugas, dengan mengatakan bahwa dia melakukan pelacuran karena terpaksa, dengan alasan untuk mencari sesuap nasi. Oleh sebab itu dia minta dilepaskan disertai dengan janji bahwa mereka tidak akan melakukan pelacuran lagi. Tapi para petugas tidak menghiraukan, karena janji tersebut tidak dapat dipercaya.

Di lain fihak petugas-petugas Departemen Sosial yang bertugas di panti rehabilitasi wanita tuna susila sering juga mengalami hambatan-hambatan, yakni wanita-wanita tuna susila yang sedang direhabilitasi di panti ada saja yang dapat melarikan diri, kemudian kembali menjalankan praktek pelacuran liar.

Padahal di panti rehabilitasi wanita-wanita tuna susila diberi pendidikan, seperti pendidikan agana, dan bahkan diberi bermacam-macam keterampilan wanita, yang diharapkan dapat menjadi bekalnya kembali dalam masyarakat dan kembali menjadi wanita baik-baik. Sehingga sebagian dari wanita-wanita tuna susila yang telah direhabilitasi itu dapat benar-benar sadar dan insaf. Dan ternyata memang ada sebagian yang dapat sadar dan insaf kembali ke dalam masyarakat menjadi wanita baik-baik, dan tidak melakukan pelacuran liar lagi. Mereka dapat mandiri dengan modal keterampilan yang diperoleh di panti rehabilitasi wanita tuna susila tersebut.

5.5.4 Pelacuran Pemukiman

Pada tahun 1960-1970, bahwa lokasi perumahan yang mula-mula adalah di Tiung. Tiung adalah pekuburan Cina yang terdapat di jalan Jati. Di sekitar tempat pekuburan ini terdapat dua gang yaitu: gang Sepakat dan gang Sempurna Di gang-gang inilah dibangun perumahan-perumahan yang berjumlah tidak kurang dari 200 buah. Lokasi ini bukan tempat pelacuran yang terlokalisasi secara resmi melainkan pelacuran gelap yang berada di rumah-rumah dan lama kelamaan tempat ini menjadi ramai sehingga menarik bagi laki-laki iseng yang sering pelesir di sana dan juga menarik juga bagi wanita-wanita yang datang dari daerah maupun dari sekitar Banjarmasin sendiri untuk mencebur ke lembah ini sebagai wanita penghibur. Karena lokasi ini musnah terbakar maka pemerintah daerah memindahkan pemukiman di Jalan Jati Gang Sederhana dan Gang Sempurna ini ke lokasi baru yaitu di Begao, yang sekarang tumbuh menjadi tempat pelacuran yang terlokasisasi secara resmi dengan penghuni yang cukup banyak24 ).

Di samping lokasi pelacuran Tiung, terdapat lokasi yang cukup besar yaitu di Pasar Kupu-Kupu, belakang RRI lama jalan Lambung Mangkurat. Lokasi ini pernah jaya di tahun 1965-1970-an. Sebenarnya masih ada lokasi-lokasi lain.

5. 6 Kebakaran

Kotamadya Banjarmasin merupakan kota yang terlalu banyak menderita kerugian akibat bencana kebakaran. Sebagai faktor penyebabny antara lain: 1) rumah yang berdempet-dempet tidak teratur dan terbuat dari dinding kayu atap daun nifah atau rumbia.

2) ketidakteraturan itu membawa pada pola tingkah laku yang tidak hati-hati terhadap api di dapur, lebih-lebih pada bulan puasa angka kebakaran cukup tinggi.

3) kemungkinan tindakan disengaja oleh salah satu oknum untuk kepentingan tertentu.

Pada tahun 1965, terjadi enam kali kebakaran. Jumlah itu turun pada tahun 1966 hanya 3 kali, turun lagi 1967 hanya 2 kali, tahun 1968 juga hanya 2 kali dan tahun 1969 1 kali serta tahun 1970 hanya 1 kali. Hal ini disebabkan kerja sama masyarakat terutama di surau-surau, mesjid-mesjid, radio dan radio-radio amatir ikut membantu memperingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap bahaya kebakaran25 ).

Angka itu naik lagi pada tahun 1971 sebesar 2 kali, naik lagi tahun 1972 sebesar 6 kali, kemudian turun tahun 1973 sebesar 4 kali, dan naik pada tahun 1974 sebesar 5 kali. Kemudian masyarakat makin sadar, maka kebakaran turun menjadi 2 kali tahun 1975 dan tahun 1976 dua kali. Tetapi anehnya kenaikan jumlah kebakaran makin meningkat tahun 1977 sebesar 21 kali, dan tahun 197 8 turun menjadi 10 kali, sedang pada tahun 1979 naik lagi secara drastis sebesar 20 kali2 6).

Secara keseluruhan jumlah kebakaran dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1979 naik lagi sebesar 87 kali. (lihat lampiran IV sampai dengan VIII).

Pemerintah daerah tingkat II Kotamadya Banjarmasin melihat jumlah kebakaran yang cukup tinggi di Banjarmasin, berusaha mengatasi dengan cara menambah jumlah pemadam baik pemerintah maupun swasta, memberikan penerangan-penerangan agar berhati-hati menyalakan api di dapur dan kompor serta instalasi listrik. Yang utama pemerintah memberikan fasilitas rumah kredit yang nyaman dan teratur.

5. 7 Rekreasi

Berbagai usaha pengembangan dan pembinaan aneka wisata telah dilakukan di Banjarmasin:

I) Wisata Remaja

Pembinaan terhadap kegiatan wisata remaja, berpedoman pada buku "Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Wisata Remaja" yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Parawisata. Agar aktivitas wisata remaja dapat berhasil guna dan berdaya guna sehingga dapat membawa dampak positif kepada wisatawan remaja, maka telah diadakan kerjasama dengan organisasi pecinta alam (Kompas Borneo, Repala, Jakawana, Bantaz, Banjarmasin Rescue). Di samping itu telah dilaksanakan pula koordinasi dengan beberapa instansi pemerintah yang berkaitan.

2) Wisata Budaya

Obyek wisata budaya adalah perwujudan dari pada ciptaan manusia yang berupa karya budaya, karya seni, dan benda-benda purbakala yang kesemuanya punya daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya. Untuk melestarikannya, maka diadakan hubungan kerja sama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I Kalimantan Selatan. Oleh Bidang Permuseuman, serta Kepurbakalaan Kalimantan Selatan telah diadakan penggalian dan penelitian yang lebih seksama terutama pada: bekas Candi Agung di Amuntai dan rumah-rumah Banjar yang punya ciri khas "Bubungan Tinggi" di Martapura. Wisata budaya semakin menarik bagi wisatawan setelah diresmikan Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru tahun 1979 sebagai pusat informasi budaya dan kepurbakalaan daerah Kalimantan Selatan dan diresmikannya Mesjid Raya Sabilal Muhtadin pada tahun 1981 di Banjarmasin dengan fungsinya selain tempat ibadah juga sebagai pusat kegiatan Islam. Khususnya kedua obyek tersebut di atas, sangat banyak mendapat perhatian dan kunjungan para wisatawan asing maupun domestik.

3) Wisata Alam/Rimba

Dimungkinkan oleh keadaan alam Kalimantan Selatan yang kaya dengan hutan belantara dengan pepohonan tropis, dan menghilir riam dengan menggunakan rakit bambu. Keadaan hutan yang masih dianggap perawan tersebut teryata mengundang banyak minat bagi wisatawan asing maupun domestik/lokal, khususnya bagi grup pecinta alam untuk mengadakan "Adventure Tour". Misalnya ke daerah terpencil Datar Alai, dan Suku Terasing Loksado yang sudah populer. Kini tengah diadakan suatu perencanaan untuk membuat route wisata alam yang benar-benar adventure, yaitu dari Batu Licin ke daerah Loksado Kandangan dengan menembus gunung dan hutan belantara. Kerja sama penjajagan akan dilaksanakan dengan grup pecinta alam.

4) Pengembangan dan Pembinaan Obyek Wisata

Pengembangan, pembinaan dan pengelolaan obyek wisata yang berjumlah 108 buah, sebagian kini ditangani oleh Pemerintah Daerah Tingkat II setempat dan pengusaha swasta. Di samping itu, kami menginventarisasi beberapa obyek wisata yang benar-benar sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut dengan pembangunan fisik (sesuai dengan kemampuan dana yang tersedia)² ⁷ ). Beberapa obyek wisata yang sangat mendapat perhatian dan kunjungan para wisatawan diantaranya ialah:

a) Floating Market dan Floating Life

Terletak di pinggiran kota Banjarmasin yang dapat ditempuh melalui perjalanan sungai/river tour lewat sungai Kuin, sungai Martapura dan Sungai Barito. Pada Floating Market, para wisatawan akan dapat melihat aktivitas/transaksi dagang antara pembeli dan penjual yang kesemuanya dilakukan di atas perahu-perahu. Barang dagangan yang diperjualbelikan berupa barang kebutuhan primer dan sekunder, serta di sana akan ditemui pula "Floating Restoran" yang menyajikan makanan dan kue-kue Banjar tradisional. Di samping sungai Kuin, akan terlihat suatu pemandangan unik tentang kehidupan terapung di atas air, misalnya "Floating House", aktivitas ibu-ibu di atas lanting sambil mencuci pakaian, mandi, ngobrol dan menunggu para penjual di atas perahu lewat serta ditambah ramainya anak-anak yang bermain-main di air.

b) Pulau Kembang

lstilah Pulau Kembang ini timbul dari pedagang-pedagang Inggris pada sekitar tahun 1698 yang membuka suatu kantor dagang di Banjarmasin. Hubungan dagang antar Banjarmasin dengan lnggris ini tidak begitu lama berjalan dan ini ditandai dengan hubungan yang tidak begitu baik, hingga timbul hasrat untuk menghancurkan kekuasaan raja Inggris yang berdomisili di daerah itu. Dalam penghancuran itu raja Banjar tidak sendirian, melainkan dibantu atau bergantung kepada tenaga penduduk asli golongan Biaju di daerah Barito.

Pada tahun 1757 malam hari sekitar 3000 orang Biaju

turun ke muara Cerucuk. Di sana mereka memulai dengan aksi

103

nya melakukan penyerangan terhadap loji-loji serta benteng-benteng Inggris, sedang sisanya bertugas menghancurkan kapal-kapal yang berada di Sungai Barito. Menurut cerita orang tua bahari, bangkai kapal itu lambat-laun tertimbun lumpur Sungai Barito, sehingga menjadi sebuah pulau di tengah-tengah Sungai Barito. Pulau inilah yang kemudian dinamakan orang Pulau Kembang.

Versi lain mengatakan bahwa tanah yang baru muncul di permukaan air itu mengambang atau menguap, sehingga makin lama makin meluas dan akhirnya pulau itu dinamakan pulau kambang atau pulau meluap. Versi lain lagi mengatakan bahwa setelah pulau ini muncul di permukaan air dan ditumbuhi hutan, hutan ini didiami sekelompok monyet. Orang-orang desa sekitarnya menganggap monyet-monyet ini tidak lain adalah orang-orang halus yang memakai sarungan monyet. Sekelompok monyet ini diperkirakan mempunyai seorang pemimpin berupa seekor monyet yang besar sekali. Ia diberi nama si Anggur. Kemunculan pulau yang baru ini bagi masyarakat Banjar, merupakan salah satu keanehan, sehingga mereka selalu beranggapananeh-aneh saja hingga pulau kembang ini dijadikan mereka tempat bernazar, apabila mereka berkunjung ke sana tak lupa pula selalu membawa sesajen seperti pisang, telor, nasi ketan dan sebagainya. Dan kesemuanya ini selalu disertai mayang pinang dan kembang-kembang, sesajen ini biasanya diberikan kepada sekelompok monyet.

Jadi berdasarkan versi-versi di atas jelaslah, mengapa pulau ini dinamakan Pulau Kembang, karena setiap orang yang berkunjung, berekreasi, atau berhajat ke tempat ini, selalu dibarengi. dengan penaburan kembang, sehingga dinamakan Pulau Kembang.

5) Arus Kunjungan Wisata

Jumlah wisatawan asing dan domestik dari tahun ke tahun mempunyai kecenderungan meningkat, ini berdasarkan laporan 16 buah hotel sebagai berikut2 8).

Tahun Domestik % tumbuh Asing % Tumbuh
1969 4.115 - 1.917 -
1970 5.733 39 2.512 31
1971 5.973 4 2.523 0,4
1972 6.212 4 2.503 0,7
1973 6.235 0,3 3.973 59
1974 7.535 20 4.600 16
1975 13.548 79 3.035 - 34
1976 17.330 51 3.323 9
1977 18.833 8 3.179 - 4
1978 16.873 - 10 3.232 2
1979 19.984 18 2.416 - 14
1980 26.724 34 2.799 16
1981 29.522 10 3.191 14
1982 30.498 3 4.108 29
1983 29.800 - 2 3.198 - 22
1984 37.400 26 3.386 6

Sumber: Sensus dan Statistik 1969-1984 1) M. ldwar Saleh, Banjarmasih (Banjarbaru, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1981-1982) hal. 35

2) ibid, hal. 37
3) H. Ramli Nawawi, Tamny Roeslan (Tim), Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1984 hal. 30
4) ibid, hal. 31
5) Sartono Kartodindjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial, Lembaran Sejarah No. 4 Yogyakarta, Fak. Sasdaya UGM, 1969, hal. 56
6) Abas Alibasjah (Team Ed), Monografi Daerah Kalsel, Depdikbud, Jakarta, 1977, hal. 47
7) ibid, hal. 49
8) ibid, hal. 50
9) ibid, hal. 51

10) ibid, hal. 53

11) Kodam X/LM Membangun, Kodam X/LM, Banjarmasin, 1962, hal. 20

12) M. Idwar Saleh, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1977/1978, hal. 145 13) ibid, hal. 146

14) Kandep Kotamadya Banjarmasin, 1960

15) Kantor Dinas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Banjarmasin, 1965

16) Kandep Kotamadya Banjarmasin, 1965

17) Kandep Kotamadya Banjarmasin, 1965

18) Kandep Kotamadya Banjarmasin, 1966

19) Kandep Kotamadya Banjarmasin, 1979

20) Abas Alibasjah, (Team Gd), Op Cit, hal. 45

21) Informan Mursidi

22) Departemen Sosial, Kodya Banjarmasin, 1950-1979

23) Informan Galuh Sari

24) Departemen Sosial Kotamadya Banjarmasin, 1960-1979

25) BPK Kotamadya Banjarmasin, 1965-1979

26) ibid

27) Bapparda Tingkat I Kalimantan Selatan 1979

28) Sensus dan Statistik 1969-1984.