Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali/Bab 6

BAB VI

SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL

Suatu sistem pengendalian sosial lahir dari suatu masyarakat yang mempunyai adat istiadat atau kebiasaan tertentu yang dalam perjalannya memerlukan suatu cara atau alat untuk mengatasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam masyarakat tersebut. Karena adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut merupakan suatu kompleks tata kelakuan dari para warganya, yang berupa cita-cita, norma-norma, pendirian, kepercayaan, sikap aturan-aturan, hukum dan sebagainya maka dalam kehidupan masyarakat itu sendiri sangat besar kemungkinannya terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Penyimpangan-penyimpangan terhadap kebiasaan dari masyarakat mungkin terjadi karena sikap individu dari para warga tiap-tiap masyarakat terutama yang mengingat kebutuhan diri sendiri; demikian ia sedapat mungkin akan mencoba menghindari adat istiadat atau menghindari aturan-aturan, apabila adat istiadat atau aturan-aturan itu tidak cocok dengan kebutuhan pribadinya (koentjaraningrat, 1967: 196). Kecuali kebutuhan pribadi dalam masyarakat yang ingin menonjol juga ada kebutuhan dari golongan-golongan atau kelompok-kelompok khusus yang sering juga amat berbeda satu dengan lainnya dan amat berbeda dengan adat istiadat atau tata kelakuan umum dari masyarakat. Karena itulah untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tersebut perlu adanya suatu sistem pengendalian sosial.

MEMPERTEBAL KEYAKINAN.

Pengendalian atas ketegangan-ketegangan sosial-sosial dalam suatu masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara, sesuai dengan proses terjadinya ketegangan itu sendiri. Salah satu caranya adalah dengan mempertebal keyakinan pada para warga masyarakat akan kebaikan dari adat istiadat yang berlaku dan ada di suatu masyarakat. Proses ketegangan itu sendiri dapat dikelompokkan pada tiga sifat yaitu : ketegangan sosial antara adat istiadat dan kebutuhan individu, ketegangan sosial antara kelompok atau golongan khusus yang bertemu dalam perbedaan kepentingannya, dan ketegangan sosial yang terjadi karena adanya kaum deviants yaitu orang-orang yang dengan sengaja menyimpang dari kepentingan masyarakat umum.

Adanya ketegangan sosial seperti tersebut yang bisa membawa masyarakat kepada perpecahan, keretakan ataupun kehancuran

memerlukan suatu tindakan pencegahannya atau pengendaliannya. Cara yang paling umum dan pertama-tama dapat dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat atau kelompok tersebut yang menyimpang tadi kepada suatu pengertian akan kebaikan adat istiadat. Pengertian akan pentingnya suatu norma berlaku, atau suatu aturan dituruti oleh segenap warga masyarakat perlu ditanamkan pada warga masyarakat yang menyebabkan terjadinya keretakan atau ketegangan tersebut. Meyakinkan kembali warga masyarakat atau mempertebal keyakinan masyarakat adalah satu cara dari suatu sistem pengendalian sosial.

Pendidikan.

Mempertebal keyakinan masyarakat pada suatu norma yang berlaku atau akan kebaikan dari adat istiadat yang berlaku dapat dilaksanakan dengan cara pendidikan. Pendidikan itu sendiri mempunyai jangkauan yang amat luas, karena dalam melaksanakan suatu adat istiadat ataupun aturan-aturan yang berlaku di dalam suatu masyarakat para warga masyarakat tersebut memahaminya dengan cara belajar. Satu demi satu secara terus menerus para individu sebagai warga masyarakat mempelajari semua isi dari adat istiadat tersebut dalam suatu proses belajar yang amat panjang.

Proses belajar itu juga mencakup beberapa lingkup dari lingkungan yang berbeda-beda, tergantung pada tingkatan dari pada apa yang dipelajari. Ada pendidikan formal, di mana sesuatu itu dipelajari secara t.eratur dan melewati badan atau lembaga pendidikan yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut. Ada juga pendidikan yang informal sifatnya, di mana sesuatu itu dipelajari walaupun tidak terus menerus dan teratur tetapi lewat lembaga-lembaga masyarakat yang ada.

Melalui jalur pendidikan ini pula segala isi dari adat-istiadat, norma, aturan maupun nilai-nilai yang hidup di masyarakat, secara terus menerus dipelajari dan dipahami oleh segenap warga komunitas. Demikianlah dikenal adanya proses internasionalisasi, sosialisasi maupun institutional dari suatu adat istiadat yang berlaku di suatu komunitas bagi segenap warganya.

1. Pendidikan formal.

Melewati jalur pendidikan formal ini suatu cara pengendalian sosial dari suatu komunitas dapat berbentuk pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat maupun di dalam lembaga-lembaga resmi yang terbentuk di dalam komunitas itu sendiri. Seperti misalnya dalam pendidikan masyarakat yang berupa pertemuan-pertemuan atau latihan-latihan untuk mengenal se-

suatu bentuk adat istiadat, atau memperkenalkan aturan-aturan yang harus diberlakukan di dalam komunitas tersebut, dalam kenyataannya di banyak komunitas dilakukan secara berkala dan teratur.

Peranan ataupun fungsi dari pada jalur pendidikan ini pertama-tama adalah membentuk disiplin para anggota Romunitas dalam mentaati semua aturan-aturan, norma ataupun nilai yang dianggap berlaku bagi seluruh warga komunitas tersebut. Dengan sendirinya jika disiplin para warga sudah dapat dibentuk maka ketaatan para warga pada adat istiadatnya akan menjamin tidak akan terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan dari aturan ataupun norma yang ingin diberlakukan. Dan berarti suatu pengendalian sosial telah dilaksanakan pada tingkat yang paling awal.

Dengan melewati jalur lembaga yang ada yaitu antara anggota dan pimpinan lembaga atatt komunitas maka sistem pendidikan formal dapat berjalan sebagai mana mestinya yaitu dengan tujuan membentuk sistem pengendalian sosial di tingkat komunitas tersebut.

2. Pendidikan non formal

Pada jalur pendidikan non formal ini yang paling menonjol dalam bentuknya adalah pendidikan di tingkat keluarga. Di tingkat pendidikan keluarga ini secara terus menerus proses mempelajari adat istiadat berlangsung; dan pengenalan terhadap sistem aturan, norma maupun nilai yang belaku bagi komunitas tersebut dilaksanakan. Dan pada setiap kesempatan pertemuan antara pimpinan keluarga dan para anggota keluarga selalu terjadi proses belajar tersebut sampai tiba ssatnya dinyatakan bahwa setiap orang dalam keluarga tersebut telah berhak atas sesuatu yang dinyatakan sebagai milik dari keluarga atau komunitas tersebut.

Fungsi dari pada jalur pendidikan ini pada sistem pengendalian sosial bagi komunitas secara keseluruhan, adalah pada jalur pendidikan keluarga ini secara meridasar dipelajari hampir setiap aturan atau norma yang berlaku. Di tingkat inilah setiap individu sebagai anggota keluarga atau pun koniunitas mendapatkan pengalamannya dengan berbagai aturan, atau norma yang akan ditemuinya dalam kehidupan nanti. Dengan tujuan tetap untuk mendisiplinkan para anggota, maka diharapkan bahwa dengan pendidikan ini menyimpang dari para warga terhadap atauran maupun norma yang berlaku dapat dikurangi.

Kebiasaan-kebiasaan dalam tingkah laku ataupun pola-pola hubungan antara sesama anggota komunitas mulai dipelajari ditingkat pendidikan keluarga, sampai pada hal-hal yang ada hubungannya dengan hubungan antar anggota komunitas. Di Bali di mana tingkatan adat istiadat memang merupakan proses belajar di lingkungan keluarga, maka wadah pendidikan non formal ini sangat berperanan dalam membentuk para anggotanya menjadi anggota komunitas yang berdisiplin seperti yang terlihat pada penampilan para anggota banjar yang memang berasal dari lingkungan keluarga-keluarga batih yang disebut kuren.

Sugesti sosial

Suatu sistem pengendalian sosial dengan cara memberikan sugesti sosial kepada segenap warga komunitas dapat berbentuk suatu ceritera, dongeng ataupun pepatah yang tetap menganjurkan bahwa : kebaikan dari pada adat istiadat adalah menjadi tujuan yang utama. Demikian misalnya dalam dongeng yang mengisahkan tentang hubungan antara manusia dan binatang diharapkan bahwa para warga komunitas akan menghargai kehidupan ini, yang tidak hanya kehidupan manusia tetapi juga a1am binatang. Dongeng tentang tumbuh-tumbuhan yang dapat berbicara atau komunikasi antara sesamanya, mengharapkan bahwa alam lingkungan mereka memerlukan perlakuan yang baik termasuk perlakuan terhadap tumbuh-tumbuhan.

Maka lewat sugesti semacam itu para warga komunitas diarahkan kepada suatu sistem ketertiban atau pengamanan yang juga merupakan sistem pengendalian sosialnya.

1. Dongeng - dongeng

Adalah suatu kebiasaan di Bali dan di beberapa daerah lain akan adanya suatu dongeng atau cerita yang diceriterakan kepada anak-anak sebelum ia tidur. Dongeng tersebut biasanya menyangkut kehidupan binatang atau tumbuh-tumbuhan yang dihubungkan dengan sifat dan sikap manusia dalam hidupnya. Lewat cerita binatang atau tumbuh-tumbuhan tersebut, yang dianggap mempunyai pola kehidupan yang sama dengan manusia, diharapkan bahwa para warga komunitas dapat mengambil teladannya. Karena itu dongeng-dongeng itu sendiri biasanya berkisah tentang kebaikan ataupun keburukan kehldupan di dunia ini, dimana juga ada kehidupan manusia.

Fungsi dan peranan dari pada dongeng-dongeng ini tetap untuk mendisiplinkan para warga komunitas, sehingga penyimpangan terhadap adat, aturan ataupun norma yang berlaku diharapkan tidak akan terjadi. Tujuannya adalah memberikan sugesti atau pengaruh sosial terhadap tingkah laku para anggota komunitas, sehingga suatu pengendalian terhadap suatu penyimpangan yang terjadi di masyarakat juga dapat dilakukan. Dengan membuat atau mengambil suatu interpretasi dari perilaku binatang atau tumbuh-tumbuhan yang menjadi peran dalam dongeng-dongeng tersebut diharapkan suatu efektifitas dari pada interpretasi tadi sebagai suatu sistem pengendalian sosial dapat terjadi. Dan para anggota komunitas dapat mengambil manfaat dari cerita tersebut.
Sebuah cerita atau dongeng tentang binatang yang mengandaikan tentang keserakahan seekor musang untuk memakan seekor induk ayam dengan anak-anaknya yang akhirnya mencelakakan dirinya sendiri terkenal sebagai cerita atau satua I Siap Selem (cerita tentang Si Ayam Hitam). Interpretasi dari dongeng tersebut lebih memberikan suatu pengertian tentang kehidupan di dunia ini bahwa yang kuat tidak selalu menang, dan ternyata yang lemah seperti induk ayam dengan anak-anaknya yang sudah berada dalam ancaman maut di rumah si musang masih mempunyai akal untuk menghindarkan dirinya dan sekalugus mencelakakan musuhnya dengan menggantikan tempat anak-anaknya tidur dengan seonggokan batu. Si musang yang begitu serakah tanpa memikirkan masak-masak menerkam onggokan batu tersebut sampai giginya rompang.
Demikianlah dongeng-dongeng seperti itu hidup di Bali dengan suatu tujuan interpretasi yang kuat dari para penceritanya, untuk menyampaikan pesan-pesan tentang keserakahan, kebaikan, orang-orang yang lemah terus punya akal dan mendapatkan perlindungan. Masih banyak lagi dongeng semacam yang hidup dan berkembang di Bali, baik dengan mengandaikan binatang ataupun tumbuh-tumbuhan, demikian juga dengan benda-benda alam lainnya. Yang kesemuanya mempunyai tujuan untuk menyadarkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal bahwa dalam kehidupan di dunia ini seisi alam mempunyai hak hidup saling berdampingan. Demikian juga tentang arti kehidupan itu sendiri yang memerlukan suatu keserasian dan keseimbangan dalam adat istiadatnya.

2. Cerita rakyat

Suatu cara pengendalian sosial dengan memakai cerita rakyat atau cerita yang hidup di kalangan warga masyarakat juga mempunyai efektivitas yang cukup tinggi. Cerita - cerita tersebut baik yang berasal dari lingkungan komunitas itu sendiri maupun dari ceritera-ceritera yang berasal dari ajaran-ajaran agama juga berfungsi sebagai satu cara untuk mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan dari adat istiadat yang ada. Cerita-cerita tersebut akan memberikan sugesti yang cukup besar kepada para pendengarnya, apalagi cara membawakan cerita tersebut oleh penceritanya dapat cukup memikat. Kadang-kadang untuk sebuah cerita yang menceriterakan kebaikan atau kepahlawanan seseorang, jika dapat memberikan sugesti yang besar pula, maka tidak jarang bahwa para pendengarnya akan mengidentifikasikan dari mereka seperti peran dalam cerita tersebut. Sedangkan untuk cerita tentang kebodohan atau kejahatan selalu dipakai sebagai suatu cara untuk mengandaikan orang-orang yang mempunyai sifat seperti itu, dan jangan sekali-sekali sampai ditiru atau dituruti oleh anak-anak ataupun anggota keluarga mereka.

Demikian misalnya cerita-cerita wayang yang berasal dari ajaran agama ataupun filsafat, seperti cerita dari fragmen Ramayana, Bharata Yudha atau Maha Brata; terutama tentang tokoh-tokoh kepahlawanan para Pendawa dan Rama sangat berguna dalam menciptakan lakon atau perilaku yang sebenarnya dari para warga komunitas. Tingkah laku dari para tokoh tersebut yang dikenal lewat cerita cerita pewayangan tersebut sangat efektif sebagai suatu cara pengendalian sosial. Apalagi cerita pewayangan tersebut termasuk juga dalam salah satu kelengkapan dari suatu upacara adat atau agama yang dilakukan oleh warga komunitas.

Tentang ceritera rakyat yang lain yang juga hidup di Bali dan dipakai sebagai sarana untuk memperkenalkan norma-norma adat adalah ceritera yang terkenal dengan : Satua I Belog (ceritera Si Pandir). Ceritera ini mengisahkan tentang kelakuan seseorang yang demikian pandirnya sehingga semua tindakannya sendiri mendatangkan celaka bagi dirinya. Demikian banyak versi tentang cerita si pandir ini sehingga masyarakat di manapun mereka berada selalu mempunyai paling tidak satu versi dari demikian banyak versi yang ada. Dan versi-versi tersebut selalu ada hubungannya dengan pencerminan dari keadaan seseorang atau tempat yang ada di lingkungan masyarakat tersebut. Demikian misalnya versi ceritera si pandir yang menceriterakan lakonnya memancing di laut, mengembalakan itik, sebagai penganten baru, dan banyak lagi versi yang lain yang

kesemuanya menceriterakan tentang kepandirannya.

Cerita lain yang juga mempunyai tujuan yang sama tetapi menceritakan tentang kemalasan seseorang dengan akalnya ia dapat memperlihatkan dirinya sebagai orang yang rajin dan pandai ialah Satua Pan Balangtamak ( cerita tentang Pak Balang Tamak). Versi ceritera ini menceriterakan bagaimana masyarakat banyak sebagai suatu komunitas tertipu oleh akal dan tipu muslihat Pan Balangtamak ini. Tujuan ceritera ini dengan sendirinya bukan untuk menganjurkan seseorang untuk berbuat tipu daya, tetapi dengan sendirinya mempunyai tujuan untuk menyadarkan para warga komunitas untuk selalu mawas diri akan banyaknva tingkah laku orang-orang yang hanya ingin enak dan tidak mau bekerja keras, sementara nilai-nilai gotong-royong atau kerja sama antara sesama warga komunitas perlu ditanamkan demi keutuhan komunitasi itu sendiri.


3. Pepatah

Pepatah, peribahasa maupun perumpamaan yang banyak dipakai oleh masyarakat Bali untuk mengumpamakan sesuatu yang ada hubungannya dengan sifat dari manusia itu sendiri, juga termasuk dalam salah satu cara untuk mendidik warga komunitas dalam melaksanakan aturan, norma ataupun nilai dalam masyarakat. Perumpamaan tersebut bisa mengambil perumpamaan pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga gejala alam dan tidak lupa pada manusia itu sendiri. Demikian misalnya pepatah yang bersifat mendidik para warga komunitas untuk introspeksi diri sendiri sebelum bertindak atau mengajukan kritik pada orang lain akan berbunyi : Nyikut baju di awak (mengukur baju di badan sendiri); Buka padine ane puyung nyeleg, ane misi nguntul (Seperti buah padi, yang kosong tegak dan yang berisi nunduk). Perumpamaan ini bermaksud menyadarkan para warga hendaknya menjungjung dan menilai tinggi sifat-sifat kemanusiaan yang bersikap rendah diri dan tidak sombong antara satu sama lain. Karena nilai-nilai tradisional dalam mempengaruhi massa bukanlah dengan cara itu, tetapi sudah ada suatu karisma tertentu dari seseorang untuk mencari pengaruhnya. Demikian juga dalam usaha untuk meyakinkan para warga tentang suatu aturan atau adat yang harus dilaksanakan para pemuka adat dapat melakukan dengan cara lain seperti memberi contoh pelaksanaannya.

Dalam hal ini suatu propaganda untuk mempertebal keya-

kinan warga masyarakat akan suatu adat, norma atau aturan sudah mempunyai cara-caranya sendiri sesuai dengan nilai tradisional yang hidup di lingkungan komunitas yang bersangkutan. Dengan demikian untuk mempertebal keyakinan para warga lewat cara propaganda ini hanya dilakukan pada rapat atau pertemuan-pertemuan khusus untuk tujuan tersebut.

Suatu cara propaganda yang paling sering dilakukan oleh warga komunitas adalah lewat cara-cara pertemuan atau rapat-rapat. Dalam komunitas yang berbentuk desa atau banjar di di Bali, acara rapat, pertemuan secara periodik dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Rapat atau pertemuan yang disebut dengan sangkep atau samuhan , dipakai sarana untuk menyampaikan usul-usul atau pendapat dari para anggota kepada para pemimpin sangkep atau samuhan ini juga dipakai sebagai sarana untuk bertukar informasi antara sesama anggota banjar. Bagi seorang pimpinan atau pemimpin komunitas media Sangkep atau samuhan ini dipakai untuk mempertebal keyakinan para warga tentang sesuatu hal yang harus dilakukan. Dan menjadilah ia sarana untuk propaganda. Walau tidak tertutup kemungkinan akan terjadi komunitas dua arah dalam sangkep tersebut antara para warga dengan pemimpin yang menyampaikan suatu ide atau pendapatnya.

Suatu pertemuan atau sangkep banjar ataupun desa dapat diadakan secara periodik ataupun diadakan karena alasan-alasan tertentu di luar waktu yang telah ditentukan. Dalam keadaan dilaksanakan secara periodik beberapa yang rutin dibicarakan seperti keanggotaan, organisasi atau tentang suatu upacara. Pepatah yang mengutamakan atau menganjurkan kesabaran dan tidak keras kepala dalam menghadapi persoalan atau orang lain akan berbunyi : Tusing ada lemete elung (tidak ada lemas itu patah). Demikian juga tentang perumpamaan yang mengharuskan seseorang untuk berbuat jujur dan terus terang, karena segala kebohongan akan kentara juga di masa yang akan datang, berbunyi : Kenkennang nekepin andus (bagaimana caranya menutupi asap).

Beberapa perumpamaan lainnya yang akan memberikan suatu pedoman atau cara untuk bertindak bagi para warga suatu komunitas, juga ada seperti misalnya mengumpamakan orang-orang yang mempunyai pendapatan dan pengeluaran yang sama sehingga ia tidak pernah bisa menabung, berbunyi : Gede ombak gede angin (besar ombak besar pula angin). Atau suatu perumpamaan yang menganjurkan azas kesatuan dan persatuan yang harmonis baru bisa tercapai apabila dalam kehi-

dupan ini kita bersikap seperti penjepit api, yaitu sebentar berpisah atau berbeda pendapat untuk kemudian jika dipelukan lagi bersatu kembali secara bersama-sama, seperti kata pepatah : Menyama buka sepite (bersaudara seperti penjepit api). Semua pepatah atau perumpamaan tersebut memberikan suatu pedoman untuk bertindak atau suatu bayangan atau perumpamaan bagi para warga terhadap aturan atau norma tindakan sehingga tidak akan terjadi penyimpangan terhadap adat istiadat, aturan-aturan norma komunitas.

Propaganda

Meyakinkan seseorang untuk menuruti atau mengikuti sesuatu aturan bisa juga dilakukan dengan cara propaganda, yang lebih bersifat mengungkapkan sejelas-jelasnya tentang apa saja yang akan diungkapkan dalam topik pembicaraan. Dalam komunitas yang moderen dewasa ini dengan sarana atau peralatan yang ada cara propaganda ini memang mempunyai efektivitas yang tinggi sekali dalain mencapai tujuan. Karena dengan cara propaganda ini berbagai cara lain dapat dilakukan, seperti pidato-pidato, pengarahan, sarasehan., lokakarya dan sebagainya. Namun pada komunitas kecil seperti desa dan banjar di Bali, untuk beberapa tujuan tertentu propaganda dengan cara ini jarang dapat dilakukan. Sedangkan untuk suatu pertemuan kadangkala di luar acara rutin di bicarakan beberapa hal yang mendesak untuk dilaksanakan seperti rencana pembangunan, pemilihan kepala kelompok dan sebagainya.

Bersamaan dengan pembicaraan tentang hal-hal yang rutin dibicarakan tersebut, maka beberapa hal yang menjadi tujuan utama dari sangkep atau samuhan tersebut yaitu mempertebal keyakinan para warga komunitas pada nilai, norma dan aturan yang berlaku tetap diutamakan. Lewat pertemuan-pertemuan semacam ini para warga diajak untuk mengetahui lebih banyak tentang adat istiadat dalam kelompok, tentang kebaikan dari adat istiadat tersebut dan beberapa hal yang ada hubungannya dengan sanksi sosial. Dengan demikian lewat pertemuan seperti ini para warga kelompok dan juga para pimpinan secara bersama-sama membahas hal-hal yang ada hubungannya dengan adat-istiadat.

Kepercayaan dan agama

Keyakinan para warga akan kebaikan dari adat istiadat dapat pula dipertebal oleh adanya kepercayaan dan agama. Sistem kepercayaan (belief system) dan sistem upacara keagamaan (religious

ritual) memberikan kepada para warga komunitas suatu pengertian

bahwa dalam sistem tersebut telah tersimpul suatu pengertian yang lebih luas tentang hidup, pola tingkah laku, pola hubungan, yang seharusnya diciptakan oleh manusia dalam hidupnya. Karena itulah penanaman pengertian yang lebih mendalam tentang sistem kepercayaan dan agama tersebut juga merupakan salah satu jalan untuk mempertebal keyakinan para warga tentang adat istiadat yang berhubungan dengan kedua sistem tersebut. Dan secara keseluruhan hal tersebut merupakan suatu sistem pengendalian sosial pula.

1. Ajaran kepercayaan

Suatu sistem kepercayaan masyarakat sebenarnya lahir dari sistem adat istiadat yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Terutama sistem kepercayaan yang ada hubungannya dengan sistem religi, mengandung bayangan-bayangan orang tentang wujudnya dunia gaib, dewa-dewa, makhluk halus, kekuatan sakti, kehidupan di mana mendatang, wujud dunia dan alam semesta. Sistem kepercayaan tersebut bisa berupa konsepsi-konsepsi tentang faham-faham yang hidup terlepas dalam pikiran orang-orang di samping bisa juga berupa konsepsi dan faham yang terintegrasikan ke dalam dongeng, cerita, aturan-aturan yang bersifat keramat, suci atau tabu dalam suatu religi.

Pada masyarakat Bali ajaran tentang kepercayaan lebih banyak terwujud pada ajaran yang ada hubungannya dengan agama Hindu. Karena itu sistem kepercayaan yang ada lebih banyak berusaha mendekatkan manusia pada agama dengan segala manifestasinya. Demikian misalnya ajaran kepercayaan tentang Tuhan, yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu adanya dan apapun namanya, tetapi lebih banyak disebut sebagai Brahma (Om Saccid Ekam Brahma); atau ajaran yang menyatatakan bahwa Tuhan itu satu dan benar-benar ada (Om sat Ekam Sat). Karena itu Tuhan adalah suatu dari mana asal mula proses kejadian yang serba ada ini terjadi; dan Tuhan menurut pemahaman Hindu adalah sumber atas asal dari segala ciptaan dunia ini (Janma dyasya Yatah).

Suatu sistem kepercayaan yang lain yang erat hubungannya dengan nilai-nilai tradisional yang hidup di Bali, adalah sistem kepercayaan terhadap klasifikasi dualistik. Yaitu suatu sistem klasifikasi alam semesta (makrokosmos) atas dua kategori yang berlawanan, yaitu : dunia atas berlawanan dengan dunia bawah, sacral berlawanan dengan profan, luan (hulu) berlawanan dengan teben (hilir), dewa-dewa berlawanan de-

ngan makluk jahat, gunung berlawanan dengan Jaut dan seterusnya. Klasifikasi tersebut mencerminkan sifat religious masyarakat dan besar peranannya dalam pola tindakan mereka sebagai warga suatu komunitas, demikian juga peranannya dengan penataan desa atau pola menetap mereka.

Adanya kepercayaan tentang klasifikasi dunia atas dan dunia bawah, demikian juga tentang kehidupan sesudah mati dan tentang kelahiran kembali setelah mati (reincarnation), melahirkan ajaran kepercayaan tentang hukum Karma pala (buah perbuatan) yang menetapkan bahwa pala (hasil perbuatan) yang diperoleh selalu sesuai dengan karma (perbuatan) itu sendiri. Ini berarti dengan berbuat baik, maka kebaikan yang akan diperoleh dan dengan berbuat jahat atau buruk maka keburukan yang akan diperoleh. Ajaran ini memotivasi orang atau individu sebagai warga komunitas untuk berbuat baik terhadap sesamanya serta menghindarkan perbuat.an buruk terhadap satu sama lain. Dengan demikian suatu cara pengendalian sosial lewat ajaran kepercayaan mempunyai efektifitas tinggi dalam tujuannya.

2. Ajaran agama.

Ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali, seperti juga agama-agama besar lainnya di dunia mempunyai tiga bagian penting yaitu : filsafat, etika dan rituil. Sistem filsafatnya memberikan kepada para penganutnya pengertian dari agama itu sendiri, seperti pengertian mengenai Tuhan, sifat-sifatnya. Dewa-dewa dan kedudukan manusia di antara kehidupan agama itu sendiri. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memberikan suatu pengertian kepada para penganutnya bahwa Tuhan itu tetap satu adanya. Manifastasi dari ke Esa annya kemudian muncul dalam pengertian Trimurti atau tiga Dewa yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai penganutnya di dunia. Yaitu, Dewa Brahma sebagai pencipta, dewa Wisnu sebagai pemelihara dan dewa Siwa sebagai dewa perusak atau pemusnah. Dengan adanya ketiga dewa tersebut sebagai manifestasi keesaan dari Tuban Yang Mahaesa maka lengkapilah isi dari pada kehidupan di dunia ini, di mana manusia diciptakan untuk hidup kemudian memanfaatkan isi dunia ini untuk kehidupannnya secara serasi.

Demikian misalnya suatu peristiwa atau pekerjaan yang akan dimulai selalu menyebutkan nama kebesarannya, dan para warga tahu bagaimana dalam adat yang ada dan hidup di

masyarakat untuk memulai makan atau minum saja juga harus dimulai dengan menyebutkan namanya. Peristiwa atau kebiasaan untuk membuat banten nasi (sedikit nasi dan lauk yang dimasak setiap hari sebagai sajen), demikian juga membuat segehan (sajen dari nasi warna-warni) yang dihaturkan pada waktu-waktu tertentu memberikan tanda bahwa manusia dalam hidupnya tetap mengadakan hubungan dengan alam sekelilingnya. Yang paling penting dalam hal ini adalah konsepsi dan aktivitas upacara keagamaan yang dilakukan oleh orang Bali, yaitu upacara : Dewa Yadnya, upacara terhadap para Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Upacara ini dilakukan dengan frekwensi dan intensitas yang cukup tinggi serta dalam dan berlangsung pada berbagai tingkat kehidupan seperti keluarga, klen, desa, daerah. Besarnya jumlah dan kuatnya ikatan kepada tempat ibadat (pura), mencerminkan besar dan kuatnya kepercayaan kepada Ida Hyang Widhi, Tuhan Yang Mahaesa.

Di samping upacara Dewa Yadnya tersebut di atas menurut adat istiadat yang berlaku di Bali masih ada serentetan upacara lainnya lagi yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia di dunia, serta yang ada hubungannya dengan alam dunia ini. Upacara-upacara tersebut tergabung dalam adat istiadat atau upacara yang disebut dengan Panca Yadnya, yaitu kompleks dari upacara-upacara : Manusa Yadnya (Upacara untuk kemanusiaan), Bhuta Yadnya (upacara untuk kekuatan lain di dunia) Pitra Yadnya (upacara untuk para leluhur), Resi Yadnya (upacara untuk kependetaan) dan upacara Dewa Yadnya (upacara untuk para dewa itu sendiri).

Dengan melaksahakan upacara-upacara yang menurut ajaran agama yang ada dan sesuai pula dengan tuntutan adat istiadat yang berlaku, maka para warga komunitas secara langsung telah melaksanakan kedua bagian dari ajaran agama yang ada yaitu : ethika dan rituilnya. Setelah mereka mengerti dan menyadari sistem filsafatnya, yaitu pengertiannya kepada isi dari ajaran agama itu dan sistem tindakan mereka sebagai orang yang beragama (ethika), maka. ditingkat akhir mereka melaksanakan upacara atau sistem rituilnya dari agama. Dan sebagai suatu pola berpikir, pola bertindak ajaran agama telah memberikan suatu aturan tentang kehidupan manusia di dunia. Dengan melaksanakan ajaran tersebut maka para individu sebagai warga suatu komunitas telah membawa ke arah kehidupan yang sejati yaitu kehidupan yang serasi dalam hubungan antar sesamanya, antar alam lingkungannya dan dengan Tuhannya.

Sebagai suatu cara membawa manusia sebagai individu ke arah kehidupannya yang serasi dengan adat istiadatnya, dan sedapat mungkin mencegah terjadinya penyimpangan terhadap adat istiadat yang ada, ajaran kepercayaan maupun ajaran agama telah dapat memenuhi fungsinya, dan ternyata mempunyai peranan yang besar dalam membentuk watak masyarakat sendiri. Dengan demikian sebagai suatu cara untuk suatu pengendalian sosial atau sosial kontrol, maka kedua ajaran tersebut di lingkungan masyarakat Bali mempunyai efektivitas yang tinggi dalam mencapai tujuannya.

MEMBERI IMBALAN.

Memberi imbalan atau ganjaran kepada anggota komunitas yang berbuat kebaikan atau memberi ganjaran kepada mereka yang berbuat kurang baik merupakan juga salah satu cara dalam pengendalian sosial. Tindakan-tindakan seperti itu umum berlaku pada berbagai masyarakat, dilakukan oleh para pemimpin ataupun oleh warga komunitas itu sendiri. Dan imbalanpun juga bisa berbentuk konkrit, di samping ada juga yang berbentuk imbalan dalam kepercayaan dan agama.

Imbalan yang konkrit

Imbalan yang konkrit sebagai usaha untuk mengarahkan orang bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan oleh warga masyarakat atau sesuai dengan norma yang berlaku biasa dilakukan pada beberapa masyarakat. Di Bali hal seperti itu juga umum dirasakan pada masyarakatnya. lmbalan itu sendiri dapat berupa benda atau barang yang secara konkrit dirasakan atau dinikmati disamping ada juga yang berupa imbalan konkrit non material seperti penghargaan, pangkat atau kedudukan sosial tertentu.

Ide pemberian imbalan seperti ini sebenarnya mengikat para warga masyarakat terhadap suatu norma tertentu, untuk tidak melakukan pelanggaran atau penyimpangan, dari mana kemudian penghargaan ataupun imbalan tersebut seakan-akan bersifat mengikat bagi mereka yang menerimanya. Demikian misalnya ada imbalan yang berupa barang-barang, makanan, uang tunai sebagai imbalan konkrit yang material, atau yang berupa kenaikan pangkat, piagam dan surat-surat penghargaan, kedudukan sosial tertentu sebagai imbalan konkrit non material.


Pada komunitas yang berbentuk banjar atau desa di Bali, suatu imbalan yang bertujuan untuk pengendalian sosial, atau pe

ngikat warga untuk bertindak berdasarkan aturan dan norma yang hidup di lingkungan mereka dapat berbentuk pemberian barang, makanan, uang. Pemberian imbalan makanan pada waktu pesta kepada mereka yang bekerja lebih berat, yaitu ketika pekerjaan mempersiapkan makanan diserahkan kepada banjar, maka para klian banjar dan para kesinoman mendapatkan semacam laba yaitu pembagian yang lebih banyak dari para anggota banjar lainnya. Demikian pula kepada para wanita yang ikut membantu menyiapkan nasi untuk pesta, untuk sejumlah nasi yang dipersiapkannya maka mereka berhak atas pengetengan yaitu pembagian makanan yang lebih banyak dari para wanita lainnya yang tidak menyiapkan makanan/nasi.

Laba juga diberikan kepada mereka yang bertugas melaksanakan suatu tugas komunitas, seperti menjaga atau mengawasi tanah komunal. Dari tugas tersebut individu mendapatkan bagian dari hasil tanah komunal tersebut yang bisa berupa hasil tanaman, ataupun uang. Dengan adanya laba ini maka para pemimpin ataupun para anggota komunitas diikat pada suatu pelaksanaan tugas tertentu, atau pada suatu aturan tertentu yang diberikan baik karena tugasnya ataupun karena aturannya sendiri yang menentukan demikian.

Dewasa ini di mana sudah banyak dilakukan sistem pemberian hadiah kepada mereka yang berhasil dalam suatu pekerjaan atau dianggap berhasil dalam melaksanakan aturan kelompok, pemberian hadiah barang juga cukup berhasil dan mempunyai efektivitas yang tinggi sebagai suatu cara pengendalian sosial. Karena sistem hadiah tersebut sebagai suatu imbalan kepada mereka yang berhasil, misalnya dalam usaha pertanian, pekerjaan lain, dapat memotivasi para anggota lainnya untuk berbuat serupa. Pada masyarakat di mana orientasi kepada ekonomi uang sudah menjadi orientasi kelompok seperti masyarakat perkotaan maka sistem pemberian hadiah uang sangat memotivasi seseorang untuk turut atau terikat pada suatu norma atau aturan tertentu.

Suatu pemberian imbalan yang bertujuan sebagai cara pengendalian sosial yang lain adalah pemberian suatu kedudukan atau penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berhasil melaksanakan suatu aturan yang berlaku di lingkungan suatu komunitas. Penghargaan yang serupa juga diberikan kepada mereka yang berbasil mengajak anggota lain untuk suatu tujuan yang positip. Dengan tujuan bahwa tindakan dari para pemimpin ataupun warga yang berhasil tersebut dapat menjadi contoh atau pedoman bertindak dalam melaksanakan aturan atau norma yang sesuai bagi para warga lainnya. Pemberian penghargaan seperti ini juga dapat me

motivasi para warga yang lain untuk bertindak sesuai dengan yang mendapat penghargaan, dengan harapan bahwa mereka sewaktu-waktu mungkin akan mendapat pula imbalan seperti itu.

Pada komunitas yang berbentuk banjar dan desa, di Bali penghargaan bisa saja berupa mendudukkan seseorang sebagai pimpinan formal yang ada dalam struktur komunitas. Atau dalam suatu kewajiban untuk menangani pekerjaan yang menjadi kewajiban seluruh warga komunitas, seperti kedudukan dalam kepanitiaan suatu upacara ngusaba desa. Seseorang yang mendapat tugas seperti itu sudah merasakan bertapa berat tugas yang harus dikerjakan, tetapi karena tugas seperti itu akan menjadi sorotan seluruh warga maka kedudukan itu akan merupakan suatu motivasi pribadi untuk bertindak lebih baik dan sesuai dengan norma atau nilai yang berlaku. Dan tugas seperti itu menjadi idaman tiap orang untuk dapat melaksanakannya.

Cara pengendalian sosial yang lain dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak material sifatnya ini, adalah memberikan seseorang pada suatu kedudukan sosial tertentu. Terutama dalam suatu komunitas moderen misalnya memberikan kedudukan sebagai informan kepada individu bekas penjahat, juga merupakan suatu cara untuk mengembalikan seseorang pada jalan yang benar atau pada norma yang berlaku umum pada komunitas tersebut. Demikian juga pada masyarakat pedesaan, mendudukkan seseorang yang banyak menentang kebijaksanaan para pemimpin pada suatu kedudukan yang dianggap bisa dilakukannya juga merupakan suatu cara yang tepat. Demikian misalnya kedudukan sebagai kelian banjar, atau kelian munduk di pesubakan, bagi seseorang yang dianggap mayus (malas) akan menggairahkan individu yang bersangkutan untuk bertindak lebih rajin.

Imbalan dalam kepercayaan

Dalam pengertian ini dimaksudkan suatu pemberian imbalan atau balas jasa berdasar suatu kepercayaan yang ada. Misalnya seseorang akan mendapatkan suatu imbalan seperti rasa senang atau rasa bahagia bila ia berbuat baik sesamanya. Semua rasa itu sendiri baru akan dapat dinikmati atau dirasakan oleh orang atau individu yang mempunyai kepercayaan terhadap hal itu atau kepercayaan seperti itu memang menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan.

Di Bali pada komunitas banjar atau desa maupun pada komunitas perkotaan yang moderen, suatu kepercayaan pada ajaran yang bernama karma pala (buah dari perbuatan) merupakan suatu sistem kepercayaan yang temyata mempunyai efektivitas yang cu

kup tinggi sebagai suatu sistem pengendalian sosial. Dalam pengertian tentang kepercayaan ini, setiap orang atau individu dalam komunitas percaya bahwa buah dari perbuatan jahat adalah kemelaratan dan buah dari perbuatan baik adalah kebahagiaan. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat akan menghasilkan pengucilan atau pengasingan dari masyarakat bersangkutan (sanksi sosial).

Pemberian imbalan dalam kepercayaan yang berhubungan dengan kehidupan masa sekarang lebih banyak berupa kepercayaan seseorang atau masyarakat tentang orientasi dari kehidupan ini. Hal ini meliputi hakekat dari kehidupan manusia sendiri di dunia seperti : hakekat hubungan antara sesama, hakekat hubungan dengan kehidupan alam. Dalam hal ini kepercayaan akan perbuatan baik membuahkan pula kebaikan dan yang sebaliknya akan menghasilkan ketidak bahagiaan akan tercermin dari tindakan para individu dalam komunitasnya.

Medana punya sebagai suatu perbuatan memberikan bantuan kepada sesama, sebagai hakekat hubungan antara sesama manusia, mempunyai suatu pengertian yang mendalam tentang imbalan itu sendiri. Karena dengan tindakan seperti itu seseorang percaya, bahwa imbalan yang didapat dari perbuatannya itu akan terasakan dalam kehidupannya ini yaitu bantuan pada sesama sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Di samping itu perbuatan atau aktivitas dalam upacara sebagai suatu konsepsi mereka tentang hubungan dengan makhluk lain di dunia ini tercermin dalam upacara-upacara : "bhuta yadnya" dan upacara tumpek uduh yaitu korban suci untuk tumbuh-tumbuhan dan upacara tumpek andang atau 'tumpek kandang sebagai upacara kurban suci untuk binatang-binatang ternak yang membantu dan berguna dalam kehidupan. Kesemuanya itu memberikan suatu cara atau tindakan yang memotivasi para anggota komunitas untuk hidup sesuai dengan kepercayaan dan sistem norma yang berlaku.

Pemberian imbalan sebagai suatu cara pengendalian sosial dalam kehidupan di masa datang sebenarnya tetap berhubungan dengan kepercayaan yang ada di masa sekarang. Kepercayaan kepada buah dari pada perbuatan sekarang akan memberikan akibatnya di masa yang akan datang. Kepercayaan yang disebut sebagai kepercayaan kepada karma pala memberikan suatu orientasi kepada individu dan masyarakat dalam kehidupan ini. Bahwa karma pala itu sendiri tidak hanya berlaku buat kehidupan sekarang saja, tetapi juga pada kehidupan setelah mati.

Karena itu adalah menjadi tujuan dalam kehidupan ini untuk berbuat yang baik dan menuruti norma yang ada bila menginginkan kehidupan yang tenang di alam sana. Perbuatan yang melanggar hukum atau menyimpang dari sistem norma yang ada, akan membuahkan kehidupan "neraka" setelah mati. Demikianlah sistem kepercayaan dalam pemberian imbalan, sebagai salah satu sistem pengendalian sosial dapat memberikan pengaruhnya pada kehidupan manusia di masa sekarang, dengan merefleksikan kehidupan sesudah mati.

Imbalan dalam agama

Agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar penduduk pulau Bali, memberikan beberapa ajaran tentang hakekat hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa. Penterapan dan penghayatan hakekat hubungan tersebut dalam kehidupan manusianya memberikan beberapa pola dari hubungan itu sendiri dalam pernyataan Tuhan sebagai pencipta, Tuhan sebagai pemelihara, Tuhan yang maha adil.
Dalam hubungan dengan kehidupan manusia sebagai masyarakat pengertian Tuhan sebagai pencipta alam dan manusia ini, berkembang suatu rasa takut, taat dan patuh pada perintah Tuhan. Demikian pula pengertian tentang "tiada yang abadi selain Tuhan" dalam kehidupan ini, memberikan pada manusia pengertian tentang kehidupan yang bertingkat atau barphase. Dalam kehidupan mana manusia yang hidup di dunia ini akan mengalami phase-phase kehidupan sekarang, kehidupan setelah mati dan kelahiran kembali (reincarnation) setelah suatu masa panjang tentang pembersihan dosa dilalui.
Bayangan tentang kehidupan tersebut, ajaran-ajaran agama dan sistem kepercayaan terhadap hakekat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, merupakan suatu cara pengendalian sosial bagi masyarakat bergama seperti masyarakat Bali. Ajaran-ajaran yang mengarahkan pengertian tentang kehidupan ini, memberikan efektivitas yang besar sekali peranannya serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Kehidupan sekarang

Dalam ajaran agama Hindu disebutkan bahwa kehidupan sekarang adalah kehidupan yang sementara saja sifatnya. Kehidupan ini penuh pengorbanan atau derita, dan bagi mereka yang dapat menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya maka akan ada suatu kehidupan abadi lainnya yang tanpa dosa dan derita. Menitis atau kelahiran kembali ke dunia memberikan tanda bahwa seseorang itu harus menjalani kembali cobaan dan derita hidupnya, sementara moksa adalah suatu kepergian dari seseorang yang suci

tanpa derita dan dosa.

Pengertian-pengertian seperti itu sebagai bagian dari sistem ajaran agama Hindu, memberikan kepada seseorang suatu pandangan dalam kehidupannya di dunia ini; bagaimana harus berbuat dan beramal sesuai dengan sistem norma yang berlaku di masyarakatnya. Serta pandangan ke depan kepada kehidupan di masa mendatang rupanya juga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak oleh manusia sebagai individu dalam masyarakatnya. Dan pengertian seperti itu mempengaruhi setiap individu dalam tindakan dan perilakunya, mengarahkan mereka pada suatu jalan kehidupan yang diajarkan oleh agama.

Dengan demikian suatu perbuatan dalam kehidupan sekarang yang selalu ada hubungannya dengan kehidupan masa mendatang memberikan suatu pedoman bertindak dari para individu dalam masyarakat. Dan itu sudah merupakan suatu cara pengendalian sosial, agar setiap individu berbuat sesuai dengan norma dan nilai yang ada.

Gambaran tentang kehidupan sesudah mati adalah gambaran tentang sorga dan neraka. Sorga adalah tempat bagi mereka yang berbuat baik selama hidupnya, bisa menghayati hidup itu sebagai suatu tempat untuk menguji seseorang dalam menghadapi cobaan-cobaan Tuhan. Hanya mereka yang dapat mengekang hawa nafsu, berbuat buat baik dan beramal kepada sesamanya, dan hidup sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku yang ada kesempatan untuk bisa mencapai sorga. Sebaliknya mereka yang berbuat bertentangan dengan aturan yang berlaku, menuruti hawa nafsu dan berbuat jahat, neraka adalan tempat mereka yang abadi.

Pengertian akan pelukisan tentang kehidupan di sorga yang serba indah dan damai, serta kehidupan neraka yang serba derita dan penuh siksaan, memberikan kepada para warga suatu komunitas suatu pedoman untuk bertindlik dan bertingkah laku. Karena itu merefleksikan suatu kehidupan sesudah mati yang ada dalam ajaran-ajaran agama Hindu, merupakan suatu cara pengendalian

sosial dalam masyarakat yang beragama. Karena dengan suatu bayangan tentang kehidupan di masa mendatang, suatu kehidupan sesudah mati, memberikan suatu pengertian kepada para individu bahwa perbuatan di masa sekarang akan berakibat pada kehidupan di masa datang. Sorga ataupun neraka sebagai suatu imbalan bagi kehidupan sesudah mati, rupanya ditentukan oleh sikap dan tindakan para individu di masa kehidupan sekarang. Pengaruh dari pengertian tersebut pada kehidupan manusia cukup besar.

MENGEMBANGKAN RASA MALU.

Rasa malu adalah suatu rintangan orang untuk berbuat, bertingkah laku di luar nilai-nilai, norma-norma, atau aturan-aturan yang berlaku dalam suatu komunitas kecil. Oleh karena itu makin besar rasa malu seseorang, makin besar pula kemungkinannya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang atau tidak disenangi tersebut. Sebaliknya makin mendorong atau memotivasi seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Sebab itu pengembangan rasa malu, atau menjatuhkan tindakan pada seseorang yang memungkinkan timbulnya rasa malu pada dirinya, merupakan satu cara untuk pengendalian sosial pada komunitas kecil. Sebab rasa malu atau aib dilingkungan suatu komunitas kecil di mana para warga saling kenal mengenal demikian eratnya, perasaan malu karena berbuat yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lingkungan benar-benar membuat seseorang menjadi terpencil dari lingkungannya.

Keadaan yang demikian, terpencil dari lingkungan sosial yang ada bagi seseorang merupakan sejenis hukuman karena mereka tidak bisa lagi berbuat seperti apa yang diinginkannya. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa suatu rasa malu di lingkungan suatu komunitas di mana para anggotanya saling kenal mengenal dengan baik dapat berpengaruh demikian besar dalam usaha pengendalian sosial di lingkungan komunitas tersebut. Dan jenis-jenis rasa malu itu sendiri juga ada bermacam-macam, baik dalam wujudnya, cara pemberian, tempat dilakukan dan sebagainya.

Peranan gunjing

Gunjing atau pembicaraan oleh beberapa orang terhadap seseorang tentang perbuatan yang buruk, atau perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan dan masyarakat. Menjadi pergunjingan di lingkungan masyarakat tertentu seperti komunitas kecil yang berbentuk banjar atau desa, menjadikan seseorang yang menjadi pergunjingan tersebut, mendapatkan rasa malu dilingkungannya sendiri. Karena itu adalah harapan setiap orang dalam komunitas tersebut untuk tidak sampai menjadi bahan pergunjingan, dan itu hanya bisa dicapai dengan berbuat sesuai dengan sistem aturan, norma dan nilai yang hidup di lingkungan komunitas tenebut.

Tempat di mana biasanya pergunjingan dilakukan adalah tempat-tempat di mana ada kemungkinan berkumpulnya para warga komunitas seperti : warung-warung di desa, balai desa atau balai banjar, tempat mandi, pasar, tempat kerja. Juga saat tertentu di mana kemungkinan adanya beberapa orang berkumpul untuk

suatu keperluan seperti : ketika kerja bakti, waktu sebelum rapat

atau pertemuan dimulai, saat mengantar orang mati, atau saat pertemuan ketika ada upacara di pura, tetangga dan sebagainya. Semua tempat dan kesempatan yang ada, di mana kemungkinannya ada orang-orang berkumpul dan dapat saling berbicara, dapat menjadi sarana pergunjingan. Dan yang terpenting dari itu adalah adanya warga komunitas yang dapat dijadikan bahan pergunjingan, karena perbuatannya yang menyimpang dari kebiasaan atau tuntutan komunitas.

Masalah yang dijadikan bahan pergunjingan itu sendiri biasanya hanya berkisar pada masalah atau kebiasaan sehari-hari, yang menyangkut kehidupan masyarakat. Karena itu masalah yang menonjol atau perilaku yang menonjol dari seseorang selalu menjadi bahan yang paling sering untuk dibicarakan. Baik perilaku yang menonjol karena kesalahan yang dilakukan ataupun kebaikan yang terlalu menonjol juga menjadi bahan pergunjingan yang ramai. Misalnya dalam keadaan desa yang agak miskin, kehadiran seseorang atau salah seorang warga dengan suatu keadaan yang agak menonjol dalam materi, segera akan mengundang bahan pergunjingan. Kesalahan seseorang juga menjadi bahan pergunjingan yang utama, baik dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan tersebut maupun hanya untuk bahan keisengan untuk mengunjingkannya. Dan terutama kemalasan seseorang untuk turut serta dalam kegiatan kelompok, seperti kerja bakti, ngayah, gotong royong, dan kunjungan tetangga; menjadi bahan pergunjingan yang utama pula.

Pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh jenis-jenis pergunjingan tersebut sangat besar bagi orang yang menjadi bahan gunjingan tersebut. Terutama dalam mengintrospeksi diri mereka akan perbuatan yang telah dilakukan. Demikian pula bagi mereka yang ada di sekitar: orang-orang yang menjadi bahan pergunjingan menjadi lebih hati-hati dalam tindakan mereka jangan sampai menjadi gunjingan pula. Karena itu secara kenyataannya pergunjingan itu dapat menjadi salah satu cara pengendalian sosial yang sangat efektip dalam komunitas kecil seperti banjar dan desa.


Peranan kepercayaan

Dalam sistem kepercayaan yang ada pada komunitas kecil seperti banjar dan desa, tercakup beberapa hal yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diharuskan, apabila dilakukan oleh individu ataupun beberapa warga komunitas, seperti hal tersebut akan menjadi bahan pembicaraan warga yang lain. Bahkan untuk ini sudah tersedia sejumlah sanksi-sanksi tertentu, baik yang berhubungan dengan kehidupan

sekarang maupun berhubungan dengan kehidupan di masa men

datang atau sesudah mati. Sanksi yang akan dijatuhkan yang berhubungan dengan kepercayaan ini dalam kehidupan komunitas tersebut dapat berbentuk suatu sistem pengendalian sosial.


Suatu perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan sehubungan dengan kepercayaan yang hidup pada masyarakat Bali adalah perbuatan untuk menggugurkan kandungan karena suatu sebab. Hal ini tidak dapat dilakukan karena menurut kepercayaan yang ada, bayi yang dikandung sudah bernyawa dan merupakan titipan dari Yang Maha Kuasa. Di samping itu, bayi yang lahir kelak adalah titisan (kelahiran kembali) dari leluhur yang sudah selesai menjalani masa kehidupan sesudah matinya. Dan untuk itu memerlukan tempat untuk lahir kembali ke dunia, menumpang kehidupan pada keturunannya.

Seandainya bayi tersebut yang masih dalam kandungan digugurkan, maka perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan; dan perbuatan tersebut dikutuk oleh leluhur yang seharusnya dihormati. Dengan demikian perbuatan menggugurkan kandungan tersebut benar-benar menurut kepercayaan akan dikutuk oleh leluhur (salah pitra). Dan apapun kejadian yang akan dialami di kemudian hari oleh yang melakukan perbuatan tersebut akan selalu dihubungkan dengan perbuatannya menggugurkan kandungan tadi.

Cara untuk menyampaikan atau mengembangkan rasa malu tadi sehubungan dengan kepercayaan yang ada, ialah lewat pembicaraan-pembicaraan antar warga. Setiap kesempatan yang ada dan di manapun berada para warga menceritakan keadaan atau peristiwa pengguguran kandungan tadi. Peristiwa pada peristiwa pengguguran kandungan oleh wanita yang berlum bersuami, pengembangan rasa malu ini benar-benar merupakan suatu hukuman atau sanksi sosial.

Karena itu adalah sangat dihindarkan perbuatan ini untuk dilakukan, demikian juga awal dari peristiwa itu sendiri. Seperti wanita yang mengandung tanpa ketahuan siapa suaminya atau siapa yang melakukan. Keadaan seperti ini baik oleh si wanita sendiri, maupun oleh keluarganya dirasakan sebagai beban mental yang sangat berat karena semua orang akan mengasingkannya dan menuduh mereka sebagai keturunan keluarga yang bermoral bejad.

Sebagai akibat dari sanksi yang dijatuhkan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat maupun para individu akan lebih berhati-hati dalam tindakannya. Umumnya mereka akan menghindari perbuatan yang akan menjurus kepada akibat seperti tersebut diatas. Dengan sendirinya hal ini berarti bahwa sistem kepercayaan. terutama sistem kepercayaan kepada kehidupan sekarang maupun setelah mati, besar pengaruhnya kepada sistem tingkah laku manusia dalam masyarakat. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa kepercayaan terhadap kehidupan setelah mati, atau kepercayaan kepada leluhur dan kepercayaan terhadap nasib mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kehidupan manusia.

Kepercayaan sebagai suatu sistem pengendalian sosial ternyata pengaruh yang kuat, dan efektivitasnya besar dalam menata kehidupan masyarakatnya. Terutama dalam membentuk tata kelakuan kehidupan para warganya.


Peranan agama

Agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan masyarakat, terutama masyarakat Bali yang menganut agama Hindu, sangat merasakan fungsi dari agama tersebut dalam kehidupannya. Hal ini terutama terlihat dari sub sistem agama Hindu itu sendiri yaitu sub sistem upacara, yang bagi para penganutnya sendiri kadang-kadang diartikan sebagai hal yang sangat mutlak. Bahkan tidak jarang ada pengertian agama itu sendiri adalah upacaranya. Kalau tidak melakukan upacara maka kadang-kadang juga diartikan sebagai tidak beragama, atau tidak taat dalam melaksanakan ajaran agama.

Keadaan seperti itu, yaitu pendapat orang lain terhadap sejumlah orang yang tidak dapat melakukan upacara agama tertentu dapat juga mengembangkan rasa malu pada orang tersebut. Dan demi tidak terjadinya hal yang demikian maka setiap orang yang menganut agama berusaha untuk dapat melaksanakan upacara yang ada selengkapnya.

Perbuatan dalam agama yang dianggap dapat mengembangkan rasa malu pada masyarakat atau individu-individu adalah sistem upacara agama yang harus dilaksanakan menurut ajaran agama bersangkutan. Dalam hal ini diartikan bagi setiap penganut agama itu sendiri melaksanakan upacara agama menurut ketentuan yang ada dan berdasar atas urutan-urutan yang berlaku adalah tindakan yang dianggap wajar dan benar. Bagi mereka yang tidak dapat melaksanakan upacara agama tersebut sebagaimana mestinya karena berbagai hal, maka akan merupakan suatu hambatan bagi mereka untuk berada di tengah para penganut agama lainnya. Dalam hal ini rasa malu telah berkembang bagi mereka di antara para warga lainnya yang dapat menjalankan tata cara upacara agama tersebut sebagaimana mestinya.

Seperti upacara daur hidup (life cicle) di kalangan penganut

agama Hindu di Bali, merupakan upacara yang sebaiknya dilaku

kan pada waktunya. Misalnya upacara ketika bayi lahir, kepus pungsed (putus puser), bulan pitung dina (upacara 42 hari), sambutan (upacara 105 hari atau tiga bulan), otonan (upacara 210 hari), dan seterusnya. Semua upacara-upacara tersebut secara berurutan harus dilakukan pada waktunya, walaupun kecil atau sederhana saja sifatnya (madya atau nista), dan tidak harus besar-besaran (utama). Bagi mereka atau warga komunitas yang bertempat tinggal di lingkungan masyarakat yang menganggap sistem upacara adalah sistem agama itu sendiri, tidak akan dapat menghindar dari tuntutan masyarakat dan lingkungan untuk melaksanakan upacara tersebut. Pada keadaan di mana karena suatu sebab mereka tidak dapat melaksanakan upacara itu, maka muncullah keadaan yang mulai tidak enak di lingkungan mereka sendiri. Yaitu masyarakat seakan menuntut dilaksanakannya upacara tersebut, karena akan selalu menghubungkan keadaan si anak dengan upacara yang belum pernah dilaksanakan. Seperti anak cerewet, suka nangis, sering sakit dan sebagainya selalu dihubungkan dengan sistem upacara yang tidak/belum dilaksanakan buat si anak.

Selain upacara daur hidup buat manusianya, dari bayi sampai dewasa; maka yang sering merupakan tuntutan masyarakat dan lingkungan adalah dilaksanakannya upacara yang berhubungan dengan lingkungan, dengan makhluk halus, atau upacara untuk leluhur dan dewa-dewa. Demikian misalnya upacara mecaru (pembersihan), yang harus dilakukan apabila mulai menempati tempat yang baru, atau upacara ngaben dan memukur (upacara yang berhubungan dengan leluhur), yang harus dilakukan apabila terasa ada kemampuan untuk melaksanakannya. Dan upacara Odalan (upacara kuil keluarga) harus dilakukan apabila memang mampu untuk melaksanakan. Semuanya itu menjadi tuntutan masyarakat untuk dapat dilaksanakan apabila warga menyatakan bahwa lingkungan masyarakatnya adalah lingkungan masyarakat yang beragama.

Bagaimanapun keadaannya, bagi masyarakat Bali yang menganut agama Hindu, tata cara upacara agama sebagai bagian dari hidup keagamaan mereka berusaha mereka lakukan. Kadang-kadang semua itu dilakukan bukan karena kesadaran atau pengertian terhadap ajaran agamanya sendiri, tetapi kadang-kadang terdorong oleh rasa malu yang dituntut oleh masyarakat untuk bisa dilakukannya. Dan pengembangan rasa malu ini ternyata merupakan salah satu cara yang mempunyai pengaruh yang besar dalam kebidupan bermasyarakat sebagai pengendalian sosial. Karena rasa malu menyebabkan seseorang berusaha untuk dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan apa yang dituntut oleh masyarakat dan lingkungan yang ada. Dan cara ini ternyata mempunyai efektivitas yang besar, yang berarti agama dan kepercayaan serta rasa malu mempunyai peranan besar pula dalam masyarakat.

MENGEMBANGKAN RASA TAKUT.

Mengembangkan rasa takut dalam jiwa warga masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat istiadat, merupakan unsur-unsur penting dalam banyak sistem pengendalian sosial. Rasa takut itu sendiri bisa bersifat batiniah dan juga lahiriah, yang berarti dapat mencakup kehidupan manusia lahir maupun batin. Sebagai konseksensi perbuatan yang menyeleweng dari aturan-aturan, nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, maka individu yang melakukannya akan mendapat semacam sanksi-sanksi atau hukuman. Karena itu untuk mencegah adanya sanksi atau hukuman seperti itu dan juga mencegah terjadinya penyelewengan dari nilai atau norma yang ada maka masyarakat sendiri mengembangkan semacam rasa takut kepada sanksi-sanksi tadi sebagai suatu cara pengendalian sosial. Dalam hal ini peranan dari faktor-faktor kepercayaan, agama dan hukum adat sangat besar, demikian ·pula fungsinya

dalam kehidupan masyarakat itu sendiri juga besar.

Kepercayaan
Dalam pengembangan rasa takut kepercayaan yang hidup di lingkungan suatu komunitas, bisa berbentuk kepercayaan pada perbuatan yang menyimpang dari adat yang kalau dilakukan akan mendapatkan sanksi. Atau kepercayaan terhadap tempat yang dianggap harus dihormati- atau diperlakukan sebagai tempat umum untuk kepentingan bersama . Misalnya dalam hal ini para indiVidu akan merasa takut karena suatu bayangan bahwa perbuatannya akan mendapat hukuman atau sanksi dari para warga yang lain atau ia membayangkan bahwa kalau perbuatan tersebut ia lakukan, ia akan mendapat hukuman dari leluhur dan kemungkinan pula hukuman itu baru ia akan terima kalau ia mati kelak. Dengan demikian perasaan takut akan sesuatu perbuatan yang dilakukan karena bertentangan dengan tuntutan masyarakat akan mendatangkan hukuman secara lahir batin. Dan mencegah sedapat mungkin kelakuan yang bertentangan dengan kehendak masyarakat, telah mencegah datangnya rasa takut akan jatuhnya sanksi atau hukuman tadi.

Suatu kepercayaan atas perbuatan yang bertentangan dengan aturan atau nilai yang hidup di dalam komunitas seperti banjar dan desa, misalnya mencuri atau mengaku hak atas sejumlah barang milik bersama. Perbuatan ini berakibat at.as sejumlah sanksi, baik sanksi yang dijatuhkan oleh banjar atau desa secara nyata (lahiriah) yang berupa dosa, atau denda, atau sanksi lain yang lebih ditingkatkan, seperti dikeluarkan dari keanggotaan banjar dan desa. Perbuatan dengan sanksi yang lebih besar adalah puikin banjar atau desa, yaitu perbuatan yang sudah lebih besar nilainya sehingga individu yang bersangkutan tidak diajak bicara oleh segenap warga banjar.

Perbuatan melawan kehendak orang banyak dengan sejenis sanksi yang dijatuhkan tersebut sebenarya tidak berakhir demikian saja, karena suatu kepercayaan orang banyak menyatakan bahwa orang yang mendapat hukuman atau sanksi seperti itu, di kemudian hari keturunannya masih akan menanggung akibat dari sanksi tersebut. Misalnya kesalahan yang paling besar dengan sanksi yang paling berat pula, adalah mecoran banjar (suatu peristiwa mengangkat sumpah di hadapan segenap anggota banjar). Tindakan ini benar-benar sudah merupakan perbuatan yang berani dan bertentangan dengan sistem nilai dan norma yang hidup dilingkungan komunitas yang bersangkutan. Sistem kepercayaan yang ada menunjukkan bahwa, mereka yang kalah di cor (ternyata memang salah walaupun berani mengangkat sumpah), tidak saja hidupnya sekarang tetapi juga keturunannya sampai beberapa tingkatan masih akan merasakan akibatnya.

Sanksi atau hukuman yang dijatuhkan pada individu yang melakukan pelanggaran atau perbuatan yang bertentangan dengan sistem nilai atau norma yang hidup di masyarakat dapat berbentuk sanksi nyata dan sanksi yang tidak nyata (lebih bersifat sanksi sosial). Misalnya hukuman atas perbuatan karena malas ikut kerja gotong royong untuk keperluan ekonomi dapat berupa dijatuhkannya denda sejumlah tertentu. Denda ini akan meningkat pada setiap kegiatan yang sama yang secara berturut-turut dilakukan.

Pada jenis sanksi yang berbentuk puikin banjar, jelas sekali bahwa para anggota banjar lainnya dilarang uniuk mengadakan komunikasi atau berbicara dengan individu yang dikenakan sanksi tersebut. Sehingga bagi individu tersebut dan keluarganya dengan hukuman tersebut mereka akan menjadi orang-orang yang dikucilkan atau terisolir. Sementara itu sanksi untuk melakukan mecoran di banjar dan orang yang kalah di cor, mempunyai akibat yang lebih besar lagi dalam sistem sanksi sosialnya. Yaitu mereka sudah dianggap orang yang berdosa dan kaJau perlu dihindari berbicara bahkan bertemu dengannya.

Baik puikin banjar maupun kalah di cor sama-sama mempunyai akibat lain yaitu menurut kepercayaan akibat hukuman

but masih akan ditanggung oleh para keturunan individu yang melakukannya. Akan sangat dihindari untuk mengadakan suatu perjanjian bahkan perkawinan dengan anak atau keturunan mereka yang kalah di cor, karena akan buruk akibatnya dan tidak bahagia akhirnya. Demikianlah sistem kepercayaan yang ada, yang dapat dihubungkan dengan adanya sanksi-sanksi tertentu, dan karena itu sangat dihindari oleh para warga untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin akan berakibat jatuhnya hukuman seperti tersebut;

Cara dari pelaksanaan sanksi tersebut, bisa dengan diumumkan di depan para anggota banjar atau desa, di mana jumlah denda dan nama yang kena denda diumumkan. Demikian pula pada sanksi yang berupa puikin banjar, semua anggota banjar atau desa diberi tahu bahwa akan dijatuhkan atau akan dikenakan sanksi tersebut pada seorang warga yang ternyata telah melakukan perbuatan yang perlu dikenakan sanksi tersebut, Sedangkan pada pelaksanaan sanksi mecoran maka seluruh warga banjar ataupun desa turut serta.

Dengan cara seperti itu maka sekaligus dalam pelaksanaannya para warga suatu komunitas sudah dapat mengetahui bahkan ikut serta dalam pelaksanaannya sendiri. Dan cara ini juga telah berkembang menjadi suatu cara untuk pengembangan rasa takut terhadap kepercayaan yang hidup di masyarakat sebagai Salah satu cara untuk pengendalian sosial.

Akibat yang ditimbulkan oleh inti kepercayaan, cara-cara pelaksanaannya, dan cara menginterpresikan isi dari kepercayaan tersebut menjadi suatu cara pengembangan rasa takut, untuk berbuat yang bertentangan dengan nilai atau norma yang hidup di masyarakat ternyata mempunyai pengaruh yang besar. Karena dengan adanya sanksi yang berlaku tidak pada kehidupan sekarang tetapi juga kehidupan di masa mendatang cukup membuat ngeri dan takut. Apalagi kemudian dikaitkan dengan akibat yang masih harus ditanggung oleh anak dan keturunan untuk jangka waktu yang lama. Dengan demikian telah dikembangkan satu sistim kepercayaan, bahwa perbuatan sekarang dan hukumnya sekarang masih berakibat pada kehidupan yang akan datang dalam jangka waktu yang lama.

Agama

Dalam sistem kepercayaan dari agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali ada satu hal yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk mengembangkan rasa takut. Hal itu adalahh kekepercayaan terhadap adanya tempat atau benda dan peralatan suci, atau tenget yang harus mendapatkan perlakuan yang khusus.

136 Demikian juga pengertian pada perbuatan yang menurut ajaran agama tidak boleh dilakukan, dan bila dilanggar akan mendapat sejumlah sanksi atau hukuman. Adanya pengertin atau kepereayaan seperti itu, dalam beberapa keadaan dapat mengembangkan rasa takut dari para warga. Atau ajaran agama yang menyebutkan tentang perbuatan yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan menurut sikap dan perilaku orang yang beragama. Dengan cara seperti itu para warga akan lebih berhati-hati dalam tindakannya, hidup sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lingkungan. Dan suatu cara pengendalian sosial telah berkembang dari ajaran atau sistem kepercayaan agama yang dianut.

Perbuatan yang dilarang untuk dilakukan sehubungan dengan adanya kepercayaan atau ajaran agama tentang tempat atau benda yang suci dan tenget, tentunya perlakuan yang sewenang wenang terhadap tempat ataupun benda ters but. Tindakan atau perbuatan yang langgia, degag, tulah,tempal (durhaka) dapat digolongkan kepada perbuatan yang melanggar ajaran agama dan karena itu hukumnya adalah hukuman bersifat bathiniah. Misalnya saja seorang wanita yang sedang haid (datang bulan) masuk ke pura (kuil) yang memang disucikan. Yang mengetahui persoalan ini hanyalah wanita yang bersangkutan, dan ia merasakan bahwa ia telah menodai kesucian pura karena tindakannya. Karenanya secara bathin ia merasakan dirinya bersalah, dan ia merasa takut akan akibat dari perbuatannya. Untuk itu ia harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya, dengan suatu upacara untuk mensucikan diri atau meminta pengampunan atas kesalahan tersebut.

Tidak hanya perbuan seperti tersebut di atas yang dapat dikatakan dapat mengembangkan rasa takut, tetapi hampir tiap perbuatan yang melanggar kesucian atau tengetnya tempat atau benda yang dianggap suci. Dengan demikian perbuatan yang bertentangan dengan kemauan atau tuntutan masyarakat, atau tidak sesuai dengan nilai dan norma yang hidup dapat mengembangkan rasa takut. Dan perasaan takut ini terasa oleh mereka yang melakukan sehingga mereka akan lebih hati-hati dalam perbuatannya bahkan kalau perlu menghindari untuk berbuat.

Dalam ajaran agama maupun dalam sistem kepercayaan, karena sifatnya memang idiil sekali maka tingkatan sanksi yang berlaku sebenarnya lebih banyak berupa sanksi sosial atau perasaan atau bathinlah yang merasa terhukum kalau seseorahg memang melakukan suatu perbuatan atau kelakuannya melanggar sistem aturan, nilai atau norma yang ada; Walaupun demikian untuk beberapa jenis perbuatan yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku, khususnya perbuatan yang melanggar kesucian atau tengetnya suatu tempat atau benda dapat diadakan upacara penawar dengan melukat (membersihkan diri) atau mecaru (persembahan kurban untuk pembersihan).

Upacara-upacara yang dilakukan untuk mengurangi perasaan takut atau bersalah tersebut hanya bersifat upacara lahir saja, sementara perasaan yang bersalah teJah meJakukan sesuatu yang bertentangan dengan sistem norma dan nilai agama yang berlaku tetap saja ada. Dan hal inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu perasaan takut, was was atau ngeri terhadap kesucian, tenget atau angkernya suatu tempat, benda dan ajaran. Sistem sanksinya sendiri berkembang kemudian setelah yang berbuat salah merasakan betapa perasaan mereka menjadi terganggu karena perbuatan mereka sendiri. Serta tuntutan dari masyarakat sendiri serta lingkungan mereka yang menginginkan adanya sistem sanksi tersebut.

Cara pengembangan rasa takut itu sendiri melewati ajaran agama, terutama yang berhubungan dengan tempat, benda ataukah perbuatan, dilakukan lewat cerita adat kebiasaan dan contoh-contoh da1am perbuatan. Artinya agar setiap warga mengetahui bahwa suatu tempat itu suci atau tenget, maka diperlukan suatu perbuatan yang membuat atau menjaga agar tempat itu tetap terjaga dari perbuatan yang tidak suci. Demikian juga halnya dengan benda-benda lainnya, yang tetap memerlukan perlakuan yang mensucikannya dari perbuatan yang tidak suci.

Selain perbuatan yang memberikan contoh tersebut ada juga cerita yang dikembangkan kepada setiap warga sehingga tercipta suasana suci, terhadap sesuatu yang ingin disucikan. Ceritera atau contoh yang dikembangkan tersebut dilengkapi dengan sistem sanksi yang akan dikenakan seandainya terjadi pelanggaran terhadapnya. Demikian pula sistem upacara yang harus dilakukan seandainya terjadi pelanggaran juga dikembangkan lewat cara-cara itu. Dengan demikian secara lengkap suatu cara untuk mengembangkan rasa takut terhadap suatu perbuatan yang melanggar sistem nilai atau norma agama sudah berkembang dengan sendirinya sejalan dengan perkembangan sistem agama itu sendiri.

Pengaruh yang dapat ditimbulkannya adalah suatu keteraturan sosial da1am masyarakat, sesuai dengan nilai serta norma agama yang berJaku. Karena pengembangan rasa takut itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu cara pengendalian sosial di dalam suatu komunitas. Sebagai masyarakat yang beragama, maka lewat ajaran sidtem agama juga dikembangkan suatu cara pengendalian sosial. Efektivitas dan peranan cara ini ternyata cukup besar dalam membina para warga komunitas bersikap dan berperilaku sesuai dengan sistem nilai, aturan dan norma yang berlaku. Hanya sayang dalam setiap ajaran agama, karena itu merupakan suatu keyakinan individu dan kelompoknya maka efektivitas dan peranan agama sebagai cara pengendalian sosial hanya berlaku bagi penganutnya saja. Atau efektivitas tersebut hanya terbatas pada para pendukung dari komunitas tertentu saja. Karena itu dalam setiap sistem agama disamping sub-sub sistem ajaran, upacara, tata kelakuan berkemban juga g sistem pengenalian sosialnya.

Hukum adat

Dalam suatu komunitas kecil seperti banjar atau desa, suatu aturan adat istiadat berkembang bagi segenap warganya. Di antara semua adat atau kebiasaan tersebut ada beberapa diantaranya yang mempunyai akibat hukum atau sanksi hukum yang disebut dengan hukum adat. Biasanya untuk mengetatahui secara resmi mana adat atau kebiasaan yang mempunyai akibat hukum dari suatu komunitas agak sukar, karena memang sukar untuk mengkategorikan mana adat yang mempunyai sanksi hukum dan mana yang hanya mempunyai sanksi adat saja. Kadang-kadang ada kebiasaan atau adat yang mempunyai sanksi secara bertingkat, dari sanksi yang berupa peringatan adat, meningkat menjadi denda dan pada tingkat akhirnya menjadi pemecatan dan seterusnya. Dengan contoh mana dapat dikemukakan bahwa aturan adat itu bisa mempunyai sanksi hukum apabila tingkat pelanggarannya sudah semakin tinggi. Yang berarti apabila pelanggaran terhadap aturan adat istiadat itu dilakukan sampai berulang-ulang kali maka suatu sanksi hukum akan dikenakan kepada pelanggarnya. Dan sanksi hukum itu sendiri berarti suatu cara pengendalian sosial dalam suatu komunitas, agar para warganya berlaku sesuai dengan sistem aturan, nilai dan norma yang berlaku.

suatu perbuatan dikategorikan melanggar adat, apabila dirasakan telah terjadi ketidak sesuaian lagi dengan aturan, Nilai atau norma yang dianggap berlaku dalain komunitas tersebut. Sebagai suatu contoh di lingkungan banjar atau desa, hadir dalam sangkepan (rapat) banjar atau desa, demikian pula kerja gotong royong untuk kepentingan banjar dan desa; merupakan suatu keharusan bagi setiap anggota. Ketidak hadiran satu kali tanpa suatu alasan yang jelas, akan dikenakan sanksi peringatan; tidak hadir dua kali meningkat menjadi denda dan seterusnya.

Contoh lain untuk tindakan atau perbuatan yang dikategorikan bertentangan dengan adat dan wajib dikenakan sanksi hulkum adalah tindakan melegandang (melarikan anak gadis orang untuk dikawini tanpa persetujuan atau kesepian si gadis}. Walaupun dalam sistem pelaksanaan perkawinan di Bali ada sistem ngerorod (kawin lari tapi atas persetujuan kedua pasangan dan belum persetujuan orang tua si gadis); melegandang dan ngerorod tetap dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar adat. Karena dalam sistem perkawinan yang hidup di Bali secara idealnya pelaksanaan perkawinan dilakukan sepengetahuan kedua belah pihak, baik orang tua maupun kedua pasangan yang akan kawin. Tindakan tersebut harus dikenakan sanksi hukum, yang kadang-kadang pelaksanaan hukumpya hanya diketahui oleh segenap anggota komunitas saja seperti upacara mejejauman (upacara berkunjung kerumah mempelai perempuan dengan membawa bermacam-macam barang yang dilakukan oleh segenap keluarga pihak laki). Sekalian acara kunjungan ini diartikan sebagai acara minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Demikian juga untuk tindakan-tindakan me ngawini wanita dari kelompok kasta yang lebih tinggi, juga dikenakan sanksi hukum dan wajib dipenuhi.

Sebagai suatu cara untuk mengembangkan rasa takut di kalangan warga komunitas, maka suatu cara pemberian sanksi kepada mereka yang dianggap melakukan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan kehendak sistem norma yang berlaku adatlah tepat. Apalagi pengenaan sanksi secara bertingkat dan diumumkan di depan para warga lainnya, memperlihatkan bahwa dalam aturan pelaksanaannya pengenaan sanksi tersebut masih bersifat mendidik, yaitu mendidik para warga mengerti akan sistem nilai/norma kelompoknya, dan harus ditaati pelaksanaannya.

}Untuk mengerti dan tahu bahwa suatu adat atau kebiasaan itu mempunyai sanksi hukum memang sukar. Tetapi dengan adanya pemberian sanksi ·secara bertingkat, para warga komunitas menjadi tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah salah satu bertentangan dengan sistem norma yang berlaku. Sebagai contoh, peringatan pertama bagi mereka yang ketahuan melakukan kesalahan, seharusnya sudah menyadarkan ia bahwa tindakannya salah. Untuk tindakan yang sama kedua kalinya, maka sistem denda atau peringatan yang lebih keras menyusul. Demikian seterusnya, yang berarti bahwa para warga tetap diberitahu atau dididik bahwa tindakan mereka salah atau menyimpang dari tindakan umum. Sampai kepada pengenaan sanksi dikeluarkan dari kelompok seperti spekin banjar, puikin banjar (dikeluarkan dan tidak diajak berkomunikasi oleh segenap warga banjar ), merupakan tindakan pengenaasanksi yang paling akhir. Dan ini diartikan sebagai tingkat tindakan kesalahan yang paling besar, dan paling bertentangan dengan sistem nilai, aturan dan norma yang berlaku.

Dengan demikian pengenaan sanksi dan jenis-jenis sanksi yang ada cukup memberikan gambaran bahwa pengembangan rasa takut pada para warga yang berbuat sa1ah sudah dilakukan sejak kesalahan yang pertama dilakukan. Dan pengenaan sanksi yang ringan pada tingkat pertamanya memberikan tanda bahwa sanksi tersebut lebih bersifat mengingatkan, lalu mendidik, dan tingkat akhirnya baru menghukum.

Cara pengembangan rasa takut lewat pengenaan sanksi hukum berdasarkan adat istiadat yang berlaku ialah dengan benar-benar memberikan/mengenakan sanksi kepada mereka yang bersalah. Di samping itu cara-cara lain seperti pemberian contoh-contoh yang baik oleh para pimpinan formal maupun non formal, tentanq kelakuan yang baik dan patut ditiru juga tepat adanya. Hal-hal lain yang dapat juga mengembangkan rasa takut lewat sanksi hukum dari adat kebiasaan ini adalah memberikan ketentuan tegas tentang apa-apa dari adat itu yang dapat dikenakan sanksi hukum, dan mana yang hanya berupa peringatan saja.

Gambaran mengenai tingkat hukuman yang terakhir, untuk kesalahan yang paling besar yaitu spekin banjar atau puikin banjar memberikan suatu cara pelaksanaan sanksi hukum dari adat yang berlaku. Karena bagi setiap warga komunitas, dapat hukuman dikeluarkan dari keanggotaan komunitas banjar atau desa akan membawa banyak sekali risiko dan tantangan. Miaalnya saja, keanggotaan da1am komunitas berarti mendapatkan jaminan akan kehidupan kelompok, bantuan tenaga dalam kesempitan, bahkan jaminan untuk bidang keagamaan dan tempat penguburan jika ada kematian. Seseorang yang telah dikeluarkan dari keanggotaan banjar atau desa secara hukum, akan mendapatkan kesuaahan dikemudian hari seandainya mereka mempunyai kematian. Tanah kuburan desa, demikian juga tempat persembahyangan umum di desa tertutup buat mereka, dan ini berarti malapetaka, dan rasa takut yang menghantui hidup mereka.

Sebagaimana halnya dengan pengaruh sanksi hukum pada umumnya bagi para warga yang terkena, maka pengaruh dari sanksi hukum adat ini juga cukup besar pada mereka yang terkena. Dalam mengembangkan rasa takut secara khusus, dan mengembangkan ketertiban komunitas secara umum (sebagai cara pengendalian sosial) cara ini tepat sekali. Di samping itu adanya sanksi hukum untuk beberapa perbuatan yang jelas bertentangan dengan adat atau kebiasaan yang berlaku, akan memberikan atau menciptakan masyarakat atau komunitas yang tertib.

Efektivitas dan peranan dari hukum adat ini sebagai aalah satu cara untuk mengembangkan rasa malu di masyarakat banjar atau desa, juga besar karena di samping itu cara ini juga berusaha mendidik warga dengan jenis serta cara pemberian sanksi. an misalnya, cara pemberian sanksi secara bertingkat memperlihatltan, efektivitas pada tingkat mana saja sanksi terbanyak dikenakan. Seandainya ada pengenaan sanksi hukum sampai pada tingkat yang paling keras, maka tindakan tersebut juga akan setara dengan kesalahan yang dilakukan oleh mereka yang melakukannya.

Dengan demikian pengembangan rasa takut sebagai salah satu cara pengendalian sosial dilingkungan komunitas kecil banjar ataudesa, lewat hukum adat ini mempunyai berbagai peranan. Peranan yang terbesar adalah mendidik para warga supaya bertindak sesuai dengan sistem aturan, nilai dan norma yang dikehendaki oleh komunitas.–