Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011/Penjelasan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 (UU/2011/12)  (2011) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

I. UMUM

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap

kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
  1. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
  1. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
  2. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
  3. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
  1. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
  3. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
  5. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
  6. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.

Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundang-undangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pasal 3

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 6

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. ::Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, kepentingan keserasian, dan keselarasan, dan antara individu, masyarakat kepentingan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian bangsa dan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
  1. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
  2. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Pasal 7

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Huruf g
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 8

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Peraturan Menteri" adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "berdasarkan kewenangan" adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Yang dimaksud dengan "menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya" adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

Pasal 13

Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Yang dimaksud dengan "sistem hukum nasional" adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 18

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengkajian dan penyelarasan" adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum" adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud adalah dengan "perjanjian internasional yang tertentu" perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas. - 15

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "pengkajian dan penyelarasan" adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35 . . .

- 15 Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "instansi vertikal terkait" antara lain instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas. Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/68 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/69 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/70 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/71 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/72 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/73 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/74 Halaman:UU-12 TAHUN 2011.pdf/75

Pasal 98

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Perancang Peraturan Perundangundangan" adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234