Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023/Penjelasan
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2023
TENTANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
I. | UMUM |
Penyusunan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Wetboek van Stafrecht atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Penggantian tersebut merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah, terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembaruan Undang-Undang ini yang diarahkan
kepada misi tunggal yang mengandung makna "dekolonialisasi" Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk "rekodifikasi", dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung berbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan, baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi "demokratisasi hukum pidana". Misi ketiga adalah misi "konsolidasi hukum pidana" karena sejak kemerdekaan, perundang-undangan hukum pidana mengalami perkembangan yang pesat, baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu, penyusunan Undang-Undang ini dilakukan atas dasar misi keempat, yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional. |
masyarakat, dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915: 732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II yang untuk daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad, 1915: 732) dengan segala perubahannya. Sejak saat itu, dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan itu berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, berlakulah hukum pidana materiel yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sejak Indonesia merdeka telah banyak dilakukan usaha untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial tersebut sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaruan atau perubahan, antara lain:
|
|
Berbagai pembaruan atau perubahan tersebut belum dapat memenuhi 4
(empat) misi perubahan mendasar yang telah diuraikan di atas yakni, dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi sehingga penyusunan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus dilakukan secara menyeluruh dan terkodifikasi.
|
pada perlakuan yang adil terhadap Korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Falsafah daad-dader strafrecht dan viktimologi akan memengaruhi perumusan 3 (tiga) permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungiawaban pidana atau kesalahan, dan sanksi (pidana dan tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas hukum pidana yang mendasarinya.
|
pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini.
|
Sedangkan dalam pertanggungjawaban pengganti, tanggung jawab pidana seseorang diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya.
|
|
Wetboek van Strafrecht sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, apresiasi juga dilakukan terhadap berbagai perkembangan Tindak Pidana yang ada di luar Wetboek van Strafrecht, antara lain, Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, pemberantasan Tindak Pidana terorisme, pemberantasan Tindak Pidana korupsi, pemberantasan Tindak Pidana perdagangan orang, dan pengadilan hak asasi manusia.
|
Dengan pengaturan "Bab Tindak Pidana Khusus" tersebut, kewenangan yang telah ada pada lembaga penegak hukum tidak berkurang dan tetap berwenang menangani Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan Tindak Pidana narkotika.
Penjelasan umum dan Penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini merupakan tafsir resmi atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh sehingga tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk itu, penjelasan dalam Undang-Undang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pasal dalam batang tubuh yang mendeskripsikan maksud dan makna yang terkandung dalam pasal tersebut. |
II. | PASAL DEMI PASAL |
Pasal 1
|
Ayat (2)
Pasal 2
Pasal 3
|
Ayat (4)
Pasal 4
Pasal 5
|
Perumusan limitatif yang terbuka ini dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas praktik dan dalam perkembangan formulasi Tindak Pidana oleh pembentuk Undang-Undang pada masa yang akan datang. Fleksibilitas itu tetap dalam batas kepastian menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Penentuan Tindak Pidana yang menyerang kepentingan nasional hanya terbatas pada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional yang dilindungi. Pelaku hanya dituntut atas Tindak Pidana menurut hukum pidana Indonesia.
Pasal 6
Pasal 8
Pasal 9
|
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
|
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
|
Huruf b
Pasal 21
|
Ayat (4)
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
|
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
|
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
|
Yang dimaksud dengan "disabilitas intelektual" adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
|
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
|
berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana, atau membantu Tindak Pidana tersebut.
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
|
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
|
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
|
Pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu model pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku Tindak Pidana (daad-daderstrafrecht) untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara.
Pasal 66
|
Ayat (3)
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
|
Ayat (2)
Pasal 72
|
Ayat (5)
Pasal 73
Pasal 74
|
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
|
Pasal 78
Pasal 79
Dalam ketentuan ini, pidana denda dirumuskan secara kategoris. Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar:
Penetapan tingkatan kategori I sampai dengan kategori VIII dihitung sebagai berikut:
Pasal 80
Pasal 81
Putusan pengadilan dalam ketentuan ini memuat antara lain:
|
Pasal 82
Pasal 83
Pasal 84
Pasal 85
|
Ayat (2)
|
Ayat (7)
Pasal 86
|
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92
|
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96
Pasal 97
Pasal 98
|
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
Pasal 99
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
|
Huruf b
|
Ayat (3)
Pasal 104
Pasal 105
Pasal 106
Pasal 107
Pasal 108
Pasal 109
Pasal 110
Pasal 111
|
Pasal 112
Pasal 113
Pasal 114
Pasal 115
Pasal 116
|
Pasal 117
Pasal 118
Pasal 119
Pasal 120
Pasal 121
Pasal 122
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125
Pasal 126
|
Ayat (2)
Pasal 127
Pasal 128
Pasal 129
Pasal 130
Pasal 131
Pasal 132
|
Huruf b
Pasal 133
|
Ayat (3)
Pasal 134
Pasal 135
Pasal 136
Pasal 137
|
Pasal 138
Pasal 139
Pasal 140
Pasal 141
Pasal 142
Pasal 143
Pasal 144
Pasal 145
Pasal 146
Pasal 147
|
Pasal 148
Pasal 149
Pasal 150
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154
Pasal 155
Pasal 156
Pasal 157
Pasal 158
Pasal 159
Pasal 160
Pasal 161
|
Pasal 162
Pasal 163
Pasal 164
Pasal 165
Pasal 166
Pasal 167
Pasal 168
Pasal 169
Pasal 170
Pasal 171
Pasal 172
Pasal 173
Pasal 174
Pasal 175
|
Pasal 176
Pasal 177
Pasal 178
Pasal 179
Pasal 180
Pasal 181
Pasal 182
Pasal 183
Pasal 184
Pasal 185
Pasal 186
Pasal 187
|
Pasal 188
|
Ayat (2)
Pasal 189
Pasal 190
Pasal 191
|
Pasal 192
Pasal 193
Pasal 194
Pasal 195
|
Huruf b
Pasal 196
Pasal 197
Pasal 198
Pasal 199
|
Pasal 200
Pasal 201
Pasal 202
Pasal 203
Pasal 204
Pasal 205
Pasal 206
|
Pasal 207
Pasal 208
Pasal 209
Pasal 210
Pasal 211
Pasal 212
Pasal 213
Pasal 214
|
Pasal 215
Pasal 216
Pasal 217
Pasal 218
Pasal 219
Pasal 220
Pasal 221
|
Pasal 222
Pasal 223
Pasal 224
Pasal 225
Pasal 226
Pasal 227
Pasal 228
Pasal 229
Pasal 230
Pasal 231
Pasal 232
|
Pasal 233
Pasal 234
Pasal 235
Pasal 236
Pasal 237
Pasal 238
Pasal 239
Pasal 240
|
Ayat (1)
Pasal 241
Pasal 242
Pasal 243
Pasal 244
|
Pasal 245
Pasal 246
Pasal 247
Pasal 248
Pasal 249
Pasal 250
Pasal 251
|
Pasal 252
Pasal 253
Pasal 254
Pasal 255
Pasal 256
Pasal 257
|
Ayat (2)
Pasal 258
Ketentuan ini bertujuan melindungi kepentingan pembicara terhadap orang yang secara melawan hukum mendengar atau merekam pembicaraan yang dilakukan. Dicantumkannya unsur melawan hukum dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan yang sepatutnya tidak dihukum, terkena ketentuan dalam pasal ini, misalnya jika:
Pasal 259
Pasal 260
|
Yang dimaksud dengan "Pejabat yang berwenang" adalah Pejabat yang diberi kekuasaan atas seluruh kantor atau pegawai yang semata-mata diberi tugas untuk menjaga ketertiban dalam kantor tersebut.
Pasal 261
Pasal 262
Pasal 263
Pasal 264
Pasal 265
|
Pasal 266
Pasal 267
Pasal 268
Pasal 269
Pasal 270
Pasal 271
Pasal 272
|
Ayat (3)
Pasal 273
Pasal 274
Pasal 275
Pasal 276
Pasal 277
Pasal 278
Pasal 279
Pasal 280
|
Huruf b
Pasal 281
Pasal 282
Pasal 283
Pasal 284
|
Pasal 285
Pasal 286
Pasal 287
Pasal 288
Pasal 289
Pasal 290
Pasal 291
|
Pasal 292
Pasal 293
Pasal 294
Pasal 295
Pasal 296
Pasal 297
Pasal 298
Pasal 299
Pasal 300
Pasal 301
Pasal 302
|
Ayat (2)
Pasal 303
Pasal 304
Pasal 305
Pasal 306
Pasal 307
Pasal 308
|
Pasal 309
Pasal 310
Pasal 311
Pasal 312
Pasal 313
Pasal 314
Pasal 315
Pasal 316
Pasal 317
Pasal 318
|
Pasal 319
Pasal 320
Pasal 321
Pasal 322
Pasal 323
Pasal 324
Pasal 325
Pasal 326
Pasal 327
|
Pasal 328
Pasal 329
Pasal 330
Pasal 331
Pasal 332
Pasal 333
Pasal 334
Pasal 335
Pasal 336
|
Huruf e
Pasal 337
Pasal 338
Pasal 339
Pasal 340
Pasal 341
Pasal 342
|
Ayat (2)
Pasal 343
Pasal 344
Pasal 345
Pasal 346
Pasal 347
Pasal 348
Pasal 349
Pasal 350
Pasal 351
|
Pasal 352
Pasal 353
Pasal 354
Pasal 355
Pasal 356
Pasal 357
Pasal 358
Pasal 359
|
Pasal 360
Pasal 361
Pasal 362
Pasal 363
Pasal 364
Pasal 365
Pasal 366
Pasal 367
Pasal 368
Pasal 369
|
Pasal 370
Pasal 371
Pasal 372
Pasal 373
Pasal 374
|
Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokolnya (International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929).
Pasal 375
Pasal 376
Pasal 377
Pasal 378
Pasal 379
Pasal 380
|
Pasal 381
Pasal 382
Pasal 383
Pasal 384
Pasal 385
Pasal 386
|
Ayat (2)
Pasal 387
Pasal 388
Pasal 389
Pasal 390
Pasal 391
|
Pasal 392
Pasal 393
Pasal 394
Pasal 395
Pasal 396
Pasal 397
Pasal 398
Pasal 399
Pasal 400
|
Pasal 401
Pasal 402
Pasal 403
Pasal 404
Pasal 405
Pasal 406
|
Pasal 407
Pasal 408
Pasal 409
Pasal 410
Pasal 411
Yang dimaksud dengan "bukan suami atau istrinya" adalah:
|
Ayat (4)
Pasal 412
Pasal 413
Pasal 414
Pasal 415
Pasal 416
Pasal 417
|
berjanji akan memberi hadiah, dan dengan cara tersebut pelaku Tindak Pidana menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau menyesatkan orang tersebut.
Pasal 418
Pasal 419
Pasal 420
Pasal 421
Pasal 422
Pasal 423
Pasal 424
Pasal 425
|
Ayat (2)
Pasal 426
Pasal 427
Pasal 428
Pasal 429
Pasal 430
Pasal 431
|
Pasal 432
Pasal 433
Pasal 434
|
terpaksa membela diri. Pembuktian kebenaran tuduhan juga diperbolehkan apabila yang dituduh adalah seorang pegawai negeri dan yang dituduhkan berkenaan dengan menjalankan tugasnya.
Pasal 435
Pasal 436
Pasal 437
Pasal 438
|
Pasal 439
Pasal 440
Pasal 441
Pasal 442
Pasal 443
Pasal 444
Pasal 445
Pasal 446
|
Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah perbuatan merampas kebebasan seseorang bukan dalam rangka menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, seorang polisi yang menangkap dan menahan seseorang dalam hal kedapatan tertangkap tangan melakukan Tindak Pidana.
Pasal 447
Pasal 448
Pasal 449
Pasal 450
Pasal 451
|
Pasal 452
Pasal 453
Pasal 454
|
Ayat (3)
Pasal 455
Pasal 456
Pasal 457
Pasal 458
|
Pasal 459
Pasal 460
Pasal 461
Pasal 462
|
Pasal 463
Pasal 464
Pasal 465
Pasal 466
|
Ayat (5)
Pasal 467
Pasal 468
Pasal 469
Pasal 470
Pasal 471
Pasal 472
Pasal 473
|
Ayat (5)
Pasal 474
|
Pasal 475
Pasal 476
Pasal 477
|
Yang dimaksud dengan "pekarangan tertutup" adalah sebidang tanah yang mempunyai tanda batas tertentu, baik berupa tembok, pagar, tumpukan batu, tumbuh-tumbuhan, saluran air, atau sungai.
Pasal 478
Pasal 479
Pasal 480
|
Pasal 481
Pasal 482
Pasal 483
|
Pasal 484
Pasal 485
Pasal 486
Pasal 487
Pasal 488
Pasal 489
Pasal 490
Pasal 491
|
Pasal 492
Pasal 493
Pasal 494
Pasal 495
|
Pasal 496
Pasal 497
Pasal 498
Pasal 499
Pasal 500
Pasal 501
|
lembaran lainnya yang bukan Surat berharga tidak mempunyai nilai sehingga jika dijual, pembelinya tidak akan menerima Barangnya dan perbuatan membebani salinan atau lembaran lainnya dengan hak atas benda merupakan perbuatan penipuan.
Pasal 502
Pasal 503
Pasal 504
Pasal 505
Pasal 506
Pasal 507
Pasal 508
|
Pasal 509
Pasal 510
Pasal 511
Pasal 512
Pasal 513
Pasal 514
Pasal 515
Pasal 516
Pasal 517
Pasal 518
|
Pasal 519
Pasal 520
Pasal 521
Pasal 522
|
Pasal 523
Pasal 524
Pasal 525
Pasal 526
Pasal 527
Pasal 528
Pasal 529
Pasal 530
|
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Oleh karena itu, perbuatan tersebut dalam Undang-Undang ini dikategorikan sebagai suatu Tindak Pidana.
Pasal 531
Pasal 532
Pasal 533
Pasal 534
Pasal 535
|
Pasal 536
Pasal 537
Pasal 538
Pasal 539
Pasal 540
Pasal 541
Pasal 542
|
Pasal 543
Pasal 544
Pasal 545
Pasal 546
Pasal 547
Pasal 548
Pasal 549
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas kecurangan terhadap Surat keterangan Kapal yang dilakukan oleh Nakhoda atau pemimpin Kapal.
Pasal 550
Pasal 551
Pasal 552
Pasal 553
Pasal 554
Pasal 555
Pasal 556
Pasal 557
Pasal 558
|
Pasal 559
Pasal 560
Pasal 561
Pasal 562
Pasal 563
Pasal 564
Pasal 565
Pasal 566
Pasal 567
|
Pasal 568
Pasal 569
Pasal 570
Pasal 571
Pasal 572
Pasal 573
Pasal 574
Pasal 575
Pasal 576
Pasal 577
|
Pengertian "memasang tanda atau alat yang keliru" dapat juga berarti secara sengaja dan melawan hukum memasang secara keliru alat atau tanda yang benar.
Pasal 578
Pasal 579
|
Pasal 580
Pasal 581
Pasal 582
Pasal 583
Pasal 584
Pasal 585
Pasal 586
Pasal 587
Pasal 588
Pasal 589
Pasal 590
|
Pasal 591
Pasal 592
Pasal 593
Pasal 594
Pasal 595
Pasal 596
Pasal 597
Pasal 598
Pasal 599
|
Huruf d
Pasal 600
Pasal 601
Pasal 602
Pasal 603
Pasal 604
Pasal 605
Pasal 606
Pasal 607
Pasal 608
Pasal 609
Pasal 610
Pasal 611
|
Pasal 612
Pasal 613
Pasal 614
Pasal 615
Pasal 616
Pasal 617
Pasal 618
Pasal 619
Pasal 620
Pasal 621
|
Pasal 622
Pasal 623
Pasal 624
|