MENEMUKAN TRUK KOSONG

Sekitar dua jam kemudian usaha yang dilakukan Beni tidak sia-sia. Informasi-informasi yang dikumpulkan intelijen APRI di lapangan memang sangat akurat. Dia mencium jejak kendaraan yang pernah melewati jalan itu.

“Kawan-kawan, coba tebak jejak apa ini.”

“Ya Letnan. Ini jenis truk. Tapi kemana arahnya?”

Kemudian mereka menelusuri lebih jauh. Dengan sangat hati-hati dan bergerak secara pelan. Yang lain mengamati keadaan di sekitar.

“Lihat...di balik batu itu pasti ada goa. Arah jejaknya ke sana.”

Kemudian mereka melihat sekeliling. Memastikan keadaan aman, Mereka mendekat ke dalam goa. Sepuluh orang mengamankan perimeter dengan jarak 50 meter. Sedangkan yang ikut mendekat ke pintu goa hanya lima orang.

“Komandan, Ishat..”

Mereka melompat riang. Beberapa orang sercra naik ke dalam truk.

”Truknya kosong..”

“Kita didahului.”

“Harimau Campo keparat..”

“Keparat....”

Alangkah kesalnya Beni menerima kenyataan itu. la melepaskan tembakan beruntun kearah tebing. Ia merasa sangat terkecoh. Dipermainkan. Ia tidak mau kehilangan muka di hadapan anak buahnya. Mengumpulkan mereka kembali. Dan menyelinap di balik batu-batu besar itu.

Suara tembakan tadi terdengar masyarakat. Beberapa orang terlihat mendekat, Mereka mengira ada penghadangan tentara pusat lagi.

“Ayo kita lihat apa yang terjadi,” ujar salah seorang dari mereka.

Beni tidak mau mengambil resiko. Kemudian memberi aba-aba kepada pasukannya dan menghilang dari bukit.

“Lanjutkan rencana cadangan.”

Begitu mantap perintahnya. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Mereka menghilang di balik rimbunan pohon. Menyeruak ke dalam hutan belukar. Bersatu dengan bunyi alam yang tidak lagi bersahabat. Kali ini mereka harus mencari jalan baru. Merka tidak ingin melewati jalan yang biasa dilalui pasukan rimba. Terlalu berbahaya. Sementara itu di sisi rimba lain, angin berhembus dengan kencang. Dedaunan jatuh. Sementara itu dari langit terlihat mendung mulai menghadang, Kabut hitam mulai berarak. Hewan-hewan hutan enggan untuk keluar.

Di sebuah pondok di pedalaman hutan Talang Babungo, seorang lelaki gundah. Sedari tadi ia hilir mudik. Air mukanya keruh.

Matanya merah. Beberapa kali digaruknya kepalanya yang hampir botak itu. beberapa kali juga diisap dalam-dalam daun enau itu. Sudah beberapa hari ini anak buahnya tidak mampu membawakan sebatang rokok pun dari kampung.

“Susah sekarang komandan, pasukan APRI menjamur.”

“Susah sekarang komandan, pasokan susah.”

Serta banyak alasan lain. fa tidak bisa marah. Suasana seperti sekarang ini memang serba susah. Dimana-mana posisi tentara rimba mulai terdesak. Rakyat takut untuk membantu mereka. Jika ketahuan membantu pasukan rimba, akan mendapat hukuman yang Sangat berat.

Beberapa hari yang lalu di pasar Alahanpanjang empat buah kedai dibakar karena sang pemilik dicurigai memberikan kebutuhan pokok kepada pemberontak. Lelaki itu kembali mengisap dalam-dalam daun enau yang digulung kecil.

Beberapa orang anak buah yang semula berada dalam ruangan itu sudah sejak tadi keluar. Mereka tahu sang komandan sedang tidak boleh diganggu. .

Mereka tidak ingin mengganggu atau juga menjadi sasaran kegundahan sang komandan itu.

“Siapa lelaki itu? Kenapa ia ada di dalam rimba seperti itu? Kenapa ia begitu mudah mengerjai Beni dan anak buahnya. Hanya dalam beberapa gerakan saja, empat anak buah Beni ambruk.”

“Tapi dengan begitu jelas ia telah membantuku. Untung ada dia. Kalau tidak saya bisa ketahuan Beni. Itu artinya celaka.”

“Siapa dia?”

“Apakah saya akan bertemu dengan pemuda itu lagi?”

“Setidaknya ta bisa diandalkan untuk operasi ini.”

la terus saja bertanya dalam hatinya sendiri. Peristiwa di hutan beberapa hari yang talu sangat memukul perasaannya. Waktu itu ketika Komandan Resor Solok memerintahkan Beni untuk mencari kembali truk itu, diam-diam dia pun membuntuti Beni.

la curiga Beni merencanakan sesuatu. Ia curiga terhadap lelaki itu. Namun sesampainya di pondok, hari sudah mulai gelap. Ia hampir ketahuan dan tertangkap tangan. Tapi tiba-tiba saja sekelabat bayangan membuyarkan kosentrasi Beni.

“Tok...tok...”

Pintu pondok itu diketuk dan seseorang masuk. Ternyata yang baru datang pangkatnya sama dengannya.

“Sejak dulu saya sudah curiga,” katanya.

“Tentang apa Kapten?”

“Beni. Saya curiga dia adalah anggota mereka?”

“Apa??"

“Tidak mungkin.”

“Dia tentara pusat?"

“Bukan.”

“Dia orang “rantat”.”

“Setidaknya saya sudah dapat bukti yang kuat.”

“Bukti? Mana? Ayo perlihatkan sekarang. Saya akan lapor pada Panglima Tertinggi.” “Saya tidak mengambilnya. Itu akan membuat dia curiga. Saya hanya melihat sebentar sebelum dia sadar dari pingsannya.”

“Kau membuatnya pingsan? Bagaimana caranya”

“Bukan.”

“Lalu siapa?”

“Ada seorang pemuda. Sayangnya saya tidak sempat bicara dengannya. Tapi dari jejak-jejak yang saya pelajari, setidaknya ada lima orang,”

“Apa? Di rimba antah berantah sana ada lima orang pasukan hebat. Mereka mengalahkan pasukan Beni? Kenapa tidak kau bawa mereka ke sini. Mereka pasti bisa memperkuat pasukan kita.”

“Entahlah.”

“Saya akan melaporkannya ke Pangiima.”

“Tentang apa?”

“Semuanya.”

“Tunggu. Kita harus merahasiakan semua ini sebelum ada bukti kuat tentang keterlibatan Beri dengan orang rantai” itu. Ini akan jadi bumerang bagi kitasemua,”

“Ya. Saya tahu.”

“Kalau tidak cukup bukti, kita dituduh menfitnah. Kau tahu apa yang akan terjadi pada orang yang memfitnah orang kepercayaan Panglima.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang.”

“Setidaknya ada dua tugas besar.”

“Ya saya mengerti.”

“Temukan truk, cari jalan ke goa tempat ulama disembunyikan. Kita harus menyelamatkan ulama-ulama itu. Saya mencium gelagat jahat dari Beni. “Saya menduga, kalau dia sudah mendapatkan truk itu, Kau tahu, iruk dan senjata-senjata itu tidak akan pernah diserahkan pada tentara rimba.

Senjata itu akan digunakan untuk menghancurkan kita dan membunuh para ulama itu. Setelah truk ditemukan, ia akan membunuhi para ulama itu.”

"Ya...."

Kemudian sang tamu minta izin dan menghilang bersama beberapa pasukannya dalam kesunyian hutan belantara itu.


***