RAHASIA LETNAN BENI

Keikutsertaan Harimau Campo dalam beberapa kali penghadangan tentara pusat akhirnya sampai juga ke telinga Kapten Mangkuto. Dia ingin sekali bertemu dengan anak-anak muda itu.

Beberapa orang anak buahnya dipanggil embicarakan hal tersebut. Sersan Malik dan Sersan Mansur adalah dua orang kepercayaan Mangkuto.

“Saya mendengar sewaktu penghadangan di Aie Dingin ada kelompok yang menamakan dirinya Harimau Campo. Menurut kabar yang saya dapat, mereka begitu hebat. Siapa mereka? Kamu Mansur, tentu tahu hal itu, kamu kan berasal dari Alahanpanjang juga.”

“Ooo, tentang itu Pak, ch Kapten,” jawab Mansur tergagap.

“Jangan panggil Pak atau Kapten, Mansur. saya tidak biasa formal-formalan. Panggil nama saja." “Baik Mangkuto. Saya mendengar mereka itu masih dari Aie Dingin juga dan anak murid Buya Malin Mandaro. Mereka meinang hebat, murid silat andalan.”

“Apa?”

Ia terkejut. Seakan ingat dengan nama yang baru saja disebut Mansur itu.

“Buya Malin Mandaro...” ta terlihat seakan berpikir.

“Oohh...”

Mangkuto mengelus-elus janggultnya. Setidaknya 2 mendapat titik terang. Ia masih mencoba mengingat-Ingat.

“Mansur...”

Ia setengah berteriak. Mansur terkejut.

“Saya Ingat nama itu masuk dalam salah satu 'rantai' yang ingin dihabisi pasukan Beni. Ya, saya sempal membaca nama itu dalam dokumen Beni.”

“Rantai? Apa maksudnya Mangkuto?” Mansur dan Malik terbelalak.

“Baik. Sudah saatnya saya menceritakan semuanya kepada kalian.”

“Kalian tahu dimana Beni sekarang?”

“Setahu kami dia menjalankan tugas seperti biasa Mangkuto. Seperti kita. Berpindah dari satu hutan ke hutan Jain. Bergerilya dan sesekali menghadang pasukan musuh.”

“Menghadang pasukan musuh, he em.”

Ia mengangguk-angguk kecil.

“Apa yang kalian ketahui tentang Beni?”

Yang ditanya menjadi semakin tidak mengerti. Kemudian mereka menggaruk-garuk kepala. Entah memang gatal atau karena memang tidak mengerti apa maksud pembicaraan komandannya. “Ya. Sebatas dia adalah pejuang yang handal dan selalu dipuji-puji komandan di hutan ini,” jawab mereka sekenanya,

“Kalian salah.”

“Salah?”

Mercka terkejut.

“Kenapa?” tanya Malik.

“Dia itu orang yang licik dan berbahaya.”

Mansur dan Malik saling pandang.

“Apa?”

"Ya...."

“Apa tidak salah komandan? Nanti didengar orang lain dampaknya sangat besar.”

“Tidak...”

“Kami semakin tidak mengerti?”

“Saya sejak dulu mengawasi mereka. Saya bukan bodoh. Cuma ingin mengetahui lebih dalam apa yang mereka cari.”

“Apa?”

“Ya. Tujuan mereka menyusup dan menyamar menjadi pasukan rimba bukanlah untuk menghabisi kita. Bukan juga untuk menumpas pemberontak.”

“Lalu?”

“Tujuan khusus.”

“Apa itu?”

“Rantai.”

“Apa?”

Mereka semakin tidak mengerti. Tiba-tiba saja mereka merasa Mangkuto tidak sama dengan Mangkuto yang dulu. Mereka merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mangkuto.

“Mangkuto ada apa semua ini?”

Mangkuto tertawa. Mereka semakin bingung. \ “Itulah salah kalian sendiri. Kalian belum lihai dengan dunia intelijen.”

Mangkuto tertawa. Dua orang anak buahnya semakin tidak mengerti.

“Coba ceritakan dari awal, biar kamu mengerti,” pinta mereka berdua.

Mangkuto memang sengaja menahan-nahan cerilanya untuk membuat dua orang itu semakin penasaran.

Dia senang mengerjai anak buahnya itu. Anak buah yang ia anggap sudah lebih sebagai kawan sendiri. Awalnya pertemuan ketiga orang itu secara tidak sengaja. Waktu itu Mangkuto yang sedang duduk di kedai kopi melihat kedua orang itu.

Kedua orang itu waktu itu juga sedang minum kopi di tempat itu. Kedua orang itu berbicara tentang pasukan rimba, Mereka ingin bergabung tapi tidak tahu entah kemana. Mangkuto menangkap pembicaraan kedua orang itu. Akhirnya dia pun mengajak mereka untuk bergabung.

“Sadi bagaimana cerita lengkapnya komandan?” desak Mansur,

“Ha...ha...”

Mangkuto mencoba tertawa untuk memecah kebekuan itu.

"Ya. Mereka bertujuan melaksanakan operasi yang mereka sebut "rantai. Mereka menyusup ke dalam pasukan APRI dan sekarang menyusup ke dalam pasukan rimba. Dengan memanfaatkan operasi penumpasan pemberontak, mereka masuk jauh ke hutan-hutan kita. Tapi tujuan mereka bukan untuk membasmi pemberontakan. Namun untuk mematikan api-api perlawanati yang kemungkinan muncul dari ranah Minang. Mereka komunis,” “Beni...."

Malik dan Mansur tidak bisa menahan emosi. Dia berteriak. Tapi Mangkuto cepat mengetengahinya.

“Kalian akan lebih terkejut lagi dengan apa yang akan aku katakan ini.”

“Apa?”

“Teruskan...”

“Sabar...”

“Kami sudah tidak sabar lagi..”

“Baiktah. Dari dulu PKI selatu menganggap kaum agama dengan partai Masyuminya adalah musuh bagi mereka. Mereka tahu Sumatera Barat adalah daerah penghasil ulama-ulama besar. Kalian tahu keturunan Minangkabau malah menjadi Khatib dan imam di Masjid Nabawi.”

Kedua orang itu mengangguk-anggukan kepalanya membenarkan perkataan Mangkuto itu.

“Kalian tahu pemimpin-pemimpin Minang sangat disegani di kancah nasional. Tujuan kehadiran komunis dengan sandi “rantai” adalah untuk menghabisi semua ulama di Sumatra Barat. Dengan tuduhan sebagai pemberontak, PRRI, pasukan rimba atau kalaupun tidak terbukti mereka akan menuduh telah ikut membantu pemberontak. Kalian tahu hukumannya adalah mati."

Mereka terhenyak. Merasa bersalah dan seakan ingin agar Mangkuto melanjutkan ceritanya itu.

“Mereka ingin menghabisi ulama-ulama di Sumatra Barat dengan berlindung di balik penumpasan PRRI.”

“Licik.”

“Kej.”

“Jahat, Benar-benar jahat.”

“Lalu bagaimana seterusnya?” “Sejauh ini mereka berhasil.”

“Apa? Dimana mercka membantai ulama. Akan saya bantai komunis-komunis itu.”

“Tenang. Tenang.”

“Panglima mengetahui akai busuk komunis itu. Rahasia itu sudah bocor dari Jakarta. Makanya dengan Sigap para ulama yang ada di Sumatera Barat dikumpulkan. Ratusan ulama di setiap daerah sudah diamankan. Di daerah kita ini puluhan orang disembunyikan di Sungai Abu. Tidak ada orang yang akan tahu tempatnya. Maka operasi itu dinamakan opErasi Aman Akhirat (AA). Kalian tahu siapa penanggungjawab operasi AA itu?”

”Siapa Mangkuto? Mudah-mudahan orang yang bisa dipercaya?”

“Memang orang yang sangat kita percaya.”

“Siapa?”

“Menunut kalian siapa? Coba tebak.”

”Kami tidak bisa menebak. Siapa?”

“Beni. Orang kepercayaan Panglima.”

“Apa?” Mansur dan Malik terlonjak.

Secepat kilat mereka menuju ke luar ruangan itu. Namun Mangkuto mengejar dengan cepat.

“Tenang dulu."

“Tidak bisa tenang lagi.”

“Kita harus segera kE Sungai Abu itu,” kata Malik lagi.

“Tunggu.”

“Tunggu apa lagi komandan,”

“Sebelum itu kita harus menemukan Harimau Campo. Kita tidak akan bisa mencapai Sungai Abu tanpa bantuan mereka.”

“Apa yang bisa diharapkan dari bocah-bocah itu?” “Di mana mereka sekarang?"

“Percayalah. Allah Swt pasti membantu.”

“Ada satu peristiwa penting lagi yang belum kalian ketahui.”

“Apa itu?"

“Ya. Makanya jangan buru-buru.”

“Cepat ceritakan. Kami makin tidak sabar lagi ingin menghabisi Beni itu.”

“Kalian ingat, sebulan yang talu kita akan dapat kiriman senjata. Senjata itu diturunkan di Teluk Bayur, dibawa sebuah truk, lalu truk itu mengantar separo senjata itu untuk Solok bagian utara separo lagi untuk Solok bagian selatan. Namun sekembali dari Solok, sekitar kebun teh, rupanya pasukan pusat mengetahuinya dan mengejar dengan pesawat.

Sopir dan penumpang semuanya mati. Namun saat itu ada seseorang yang melarikan truk, kemudian sekitar Aie Dingin truk itu hilang tanpa bekas.”

“Apa? Truk dengan muatan senjata hilang?”

"Ya.”

“Siapa yang mencurinya?”

"Menurut saya bukan mencuri namun menyembunyikan. Karena sejauh ini tidak ada laporan tentang adanya penemuan senjata itu."

“Malah komandan besar sudah memerintahkan beberapa anggota pasukan untuk mencarinya kembali. Kalian tahu siapa yang ditugasi?”

“Siapa?”

“Beni?”

“Apa?”

“Tunggu-tunggu. Kenapa Mangkuto begitu yakin Beni adalah komunis?” “Saya sudah buktikan secara nyata. Sebenarnya saya sudah curiga namun belum ada bukti. Sekarang sudah ada bukti yang nyata. Saya sendiri melihat sebuah dokumen yang sangat rahasia yang disimpan dalam tasnya. Dokumen itu berisi nama-nama ulama yang masuk dalam “rantai”. Dari kota sampai ke desa-desa, ada pada mereka. Sekarang ini pasukan kita sudah mengejar pasukan Beni. Tangkap atau tembak ditempat.”

“Lalu kira-kira apa tujuannya sekarang?”

“Menurut informasi, setelah mereka menemukan senjata itu kemudian ke Sungai Abu untuk melaksanakan misinya. Senjata itu penting bagi mereka sebagai daya tawar dengan pasukan pusat. Mereka serahkan senjata ke tetara pusat dan posisi mereka aman.”

“Apa yang bisa kita kerjakan sekarang?”

“Saya mendengar iaporan juga, sewaktu penyergapan di Aie Dingin itu salah seorang pasukan Harunau Campo menggunakan pistol. Kalian tahu dari mana mereka dapatkan?”

“Bisa jadi dari pasukan musuh?”

“Bukan,”

“Lalu?”

“Saya curiga dari senjata yang hilang itu.”

“Tidak mungkin.”

“Ya, sekarang tiangnya ada ada Harimau ampo. Kita temukan harimau Campo dan bersama-sama kita menuju Sungat Abu.”

“Baik.”

Kemudian Mangkuto, Malik, Mansur, dan beberapa pasukan lain menghilang di balik kerimbunan hutan. Tidak tahu kemana mereka pergi. Namun Mangkuto bukanlah orang sembarangan. Ia juga pesilat yang tersohor dan mempunyai ilmu kebatinan yang cukup tingginya. Ia tahu apa yang mesti dilakukan.

Malah menurut beberapa orang anak buahnya, dia tidak mempan senjata api. Hampir lima jam mereka menyusuri hutan-hutan itu. kemudian terhenti mendengar Suara ribut dekat perkampungan.

“Kita di Alahanpanjang sekarang?” kata Mangkuto.

Mereka pun mengambil sikap siaga dan mengamati apa yang terjadi. Kemudian mercka mendekat. Mereka melihat dengan jelas, lima orang tentara rimba sedang menyerang pos APRI. Begitu lincah dan gesit. Tanpa senjata api, hanya dengan tombak dan lemparan batu.

Mereka hanya melempar menggunakan batu dan beberapa bom molotov. Di balik jembatan kecil itu mereka bertahan dan hampir terdesak,

Waktu itu pasukan pusat sudah mengepung mereka dari beberapa penjuru. Tapi lima orang itu tidak gampang menyerah.

Sebuah batu sekepalan tinju mendarat di dada Seorang tentara. Ia tersungkur. Terlihat muntah darah dan tak bergerak lagi.

Sementara itu anak panah meleset dalam keributan bunyi senjata, Mereka tctap bertahan di batik jembatan kecil itu.

Sekitar dua jam kemudian mereka benar-benar Sudah kehabisan persediaan senjata. Bahkan batu tidak ada yang tertinggal,

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Zakir pada Johan,

“Tenang saja dulu. Gunakan pisau, kalau mereka mendekat, serang dan rebut senjatanya.”

“Baik.” Tentara APRI kian mendekat. Johan dan kawan-kawannya kian terdesak dan kini hanya pasrah menerima nasib. Namun tiba-tiba beberapa letusan terdengar dan beberapa orang tersungkur. Sebuah truk juga meledak keras. Pasukan APRI itu kucar-kacir.

Johan tidak menyadari apa yang terjadi. Kemudian seseorang mendekat. “Saya Mangkuto. Komandan pasukan rimba di Lembah Gumanti,”

“Saya Johan, kami biasa disebut Harimau Campo.”

“Apa?”

“Jadi kalian Harimau Campo yang terkenal itu. Saya sudah menduganya. Kalian sudah gila ya, melawan tentara pusat dengan batu,” katanya.

“Bukan begitu, kami tidak sengaja lewat dan tiba-tiba saja tentara pusat muncul,” jawab Johan.

“Ayo di sini tidak aman.” Mereka kemudian menuju pinggir sungai, dan menghilang ke dalam semak belukar, menuju hutan lebat.

“Mau apa kalian siang-siang ke sarang musuh?” katanya.

Johan tidak segera menjawab. Ia tentu akan sangat malu untuk mengakui sebenarnya mereka menjemput beras dari sebuah kedai untuk keperluan mereka dan tentara rimba yang lain. Mangkuto menepuk-nepuk pundak Johan.

“Saya rasa kita pernah bertemu,” katanya memulai pembicaraan.

“Bertemu?”

"ya”

“Dimana?”

"Itulah yang saya ingat.”

"Tapi bukan pertemuan biasa.”

“Ya, tapi dimana?” "Kemana kita sekarang. Sebaiknya ke Aie Dingin."

"Ada yang penting di sana?" kata Johan.

"Ha ha ha. Kita lihat nanti."

"Oh ya. saya baru ingat. Kita bertemu dalam hutan sewaktu kalian mengerjai Beni di pondok itu."

"Beni?"

“Ya, kalian ingat? Orang yang kalian ikat itu bernama Beni."

"Ya...ya..."

"Lalu ada bayangan hitam...."

"Ya...ya..."

"Coba tebak..."

"Apa? Jadi Uda adalah bayangan yang berkelabat malam itu. Saya ingat mata Uda."

"Terima kasih waktu itu," kata Mangkuto. Mereka pun berangkulan. Mangkuto pun menceritakan semua kejadian itu pada Johan. Mangkuto tidak terkejut lagi jika Johan mengatakan ia tahu dimana truk itu disembunyikan.

"Ayo cepat, kita harus sampai sebelum malam atau didahului pasukan Beni," katanya.

Mangkuto pun mengirim pesan kepada beberapa pos pasukan yang ada di rimba. Sebelum malam mereka sampai di hutan Aie Dingin. Setelah mereka berkumpul dengan beberapa orang dari pos rimba lainnya, mereka pun mengangkut senjata itu. Ada sekitar sepuluh puluh senjata berat. Lebih dua puluh senjata ringan. Granat dan sepuluh kotak dengan merek TNT. Kemudian dokumen penting. Mereka menghilang kembali di balik rimbunanya hutan. Johan mengangkat sebuah peti berisi amunisi. Sebenarnya ia pun terkejut menemukan senjata-senjata canggih itu. Selain sebuah pistol, yang sering dipakai ayahnya dulu, ia tak mengenal jenis senjata modern lainnya.

"Dengan ini perjuangan PRRI akan semakin mudah," kata Mangkuto. "PRRI tidak akan melupakan jasa kalian."

Johan hanya mengangguk kecil.

"Bagaimana sekarang?" tanya Johan.

"Kita bawa senjata seperlunya, yang lainnya disembunyikan dulu, sebelum dijemput pasukan lain. Kita segera ke Sungai Abu."

"Sungai Abu?"

"Ya."

"Untuk apa?"

"Untuk apa? Ha ha…..”

"Karena yang kalian cari ada di sana?"

"Siapa?"

"Siapa lagi. Coba tebak?"

"Jangan main teka-teki dalam situasi seperti ini Uda."

"Buya..."

"Buya apa?"

"Coba tebak..."

"Saya tidak bisa menebak?"

"Jangan bercanda, kamu pasti bisa menebak?"

"Buya?"

Kening Johan berkerut.

"Malin Mandaro..." ujar Mangkuto.

"Apa?"

Mereka terlonjak. Bagaimana mungkin Mangkuto bisa kenal dengan Buya.

Berarti sekarang langkah mereka untuk menemukan buya akan semakin dekat.