PRRI KIAN TERDESAK

Perang kian menggila. Pasukan PRRI kian terdesak. Kalau dihitung secara angka, di luar Harimau Campo, pasukan PRRI yang dipimpin Mangkuto tidak lebih dari 50 orang saja.

Posisi mereka pun tidak dalam satu titik, tapi menyebar dan melakukan perang gerilya.

Kapan mereka muncul dan menyergap, hanya mereka yang tahu. Kapan mereka mengangkat senjata. hanya mereka yang tahu. Minggu lalu puluhan pejuang dikirim ke Bukittinggi, Padang dan Payakumbuh. Selain itu juga ada yang dikirim ke Sangir.

Di sana mereka ditugaskan untuk menjaga jantung' PRRI. Para Panglima PRRI berkumpul di tempat itu untuk mengatur strategi.

Akhir-akhir ini beberapa kali penyergapan yang dilakukan pasukan Mangkuto selalu gagal. Tugas mereka sebenarnya ringan. Mereka hanya memberi kejutan terhadap pasukan APRI yang sedang patroli. Perang secara gerilya. Biasanya mereka menyergap di hutan- hutan di Aie Dingin.

Gagal atau berhasil sergapan itu bagi mereka tidak jadi soal. Sebab walapun musuh bisa merangsek masuk, masih akan banyak hadangan-hadangan yang lain. Pasukan-pasukan di Cubadak, Kotobaru, Lolo, Surian dan banyak daerah lagi. Sehingga pasukan musuh tidak akan pernah mencapai daerah Muara Labuh, dekat jantung PRRI. Jika pasukan Musuh sampai di daerah Muara Labuh, maka 'jantung' segera dipindahkan ke Sumpur Kudus, di Sijunjung melalui sungai Batanghari.

Sudah seminggu ini Mangkuto tidak bisa memantau gerakan pasukan Beni. la curiga Beni akan merencanakan sesuatu setelah senjatanya mereka kuras habis. Bagi Mangkuto, Beni tetap lah orang yang misterius dan mencurigakan. Ia tidak bisa dipercaya.

Kehadiran Harimau Campo setidaknya bisa membuat Mangkuto sedikit lega. Sebab walupun masih terbilang anak-anak muda yang miskin pengalaman perang, namun mereka mempunyai semangat tinggi.

Mereka menjelma menjadi pasukan yang tangguh. Diam-diam Mangkuto mempersiapkan pasukan kecil itu untuk menghadang pasukan Beni.

la tahu, hanya pasukan Harimau Campo yang mampu mengatasi pasukan Beni. Ia tahu pesilat-pesilat itu cukup tangguh.

Mangkuto pun tidak bisa lagi mengandalkan pasukannya. Sebagian besar dari mereka hanya petani yang tidak mengenal istilah militer sama sekali. Mereka bergabung karena terpaksa dan tidak ada tempat berlindung yang lain. Diam-diam Mangkuto memberi tugas-tugas penyergapan kepada pasukan kecil itu. Malah, pasukan itu berhasil membuat geger Alahanpanjang.

Kota kecil yang dingin itu. Mereka berhasil mengacaukan kosentrasi pasukan musuh. Tiga rumah yang dipakai sebagai markas tentara pusat dibakar. Secepat kilat mereka menghilang melalui Batang Gumanti yang menjulur sampai ke Talang Babungo.

Pasukan musuh yang kebakaran jenggot langsung menyisir sepanjang jalan. Namun yang mereka cari tidak juga bertemu. Malah komandan mereka mengirim pasukan untuk mengepung Bukit Okoh yang ada di utara Alahanpanjang.

Namun Harimau Campo membuat gerakan lain. Mereka kemudian belok ke kiri dan menuju hutan Galagah.

Fajar sudah menyingsing ketika mereka berhenti di bawah pohon besar. "Kemana kita sekarang?" ujar Zakir.

"Ke Lubuk Batu Gajah, ikut menghadang di sana," kata Johan.

Sekitar siang, baru mereka sampai di Lubuk Batu Gajah. Lubuk Batu Gajah merupakan daerah yang angker bagi pasukan pusat. Di kiri kanan hanya ada tebing dan jurang. Truk-truk pasukan harus berjalan lambat dan serba hati-hati.

Dua buah truk pasukan terlihat jalan pelan. Mereka melakukan patroli rutin. Tempat itu sering mendapat gangguan pasukan rimba.

Sesampai di Lubuk Batu Gajah, Johan cepat menyembunyikan diri di balik batu sebesar gajah itu.

Di lubuk yang sangat dalam itu ada sebuah batu yang besar, sebesar gajah. Makanya tempat itu dinamakan Lubuk Batu Gajah. Konon lubuk itu sangat angker. Sewaktu zaman perjuangan, puluhan tentara Belanda dibenamkan ke dalam lubuk itu.

Konon juga di Lubuk itu ada ikan ganas sejenis firanha di Sungai Amazon. Sudah sering masyarakat kehilangan kerbau di Lubuk itu dan besoknya hanya ditemukan tulang belulang saja.

Tempat yang angker. Tempat dimana terjadi pertemuan setan setiap malam jumat kliwon. Tempat dimana ada kuntilanak yang memakan anaknya sendiri. Setidaknya begitu kata orang-orang di kedai tentang Lubuk Batu Gajah itu.

Johan terkejut, ternyata di tempat itu sudah ada puluhan penduduk Aie Dingin, mulai dari yang dewasa hingga anak-anak ikut mencegat pasukan pusat itu.

"Apa-apaan ini?" katanya.

"Kami juga ikut mencegat," ujar Bidin yang waktu itu siap dengan senjata parang di tangannya.

"Ini bukan tontonan. Kalian akan mati konyol di sini," katanya.

"Biarkan kami juga ikut berjuang," kata mereka. Johan bertambah terkejut, ternyata di tempat itu juga banyak kaum ibu-ibu. Johan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Batalkan pencegatan," ujar seorang komandan.

"Gila ini. Bisa saja banyak jatuh korban," ujar yang lain

Mereka pun pergi, Johan dan kawan-kawannya pun menghilang di balik rimbunnya pepohonan.

Namun setelah mereka pergi, masyarakat yang tidak mau dilarang itu betul-betul melakukan penyergapan. Mereka melempari tentara-tentara

Rimba-Rimba

bersenjata itu dengan batu dan parang. Tentara pusat membalasnya dengan tembakan. Korban berjatuhan.

***

125

Rimba-Rimba