Rimba-Rimba/Bab 5
Sebuah gambar seharusnya muncul pada posisi ini dalam naskah. Jika Anda bisa menyediakannya, lihat Wikisource:Pedoman gambar dan Bantuan:Menambah gambar sebagai panduan. |
ROMANTISME DI PESANTREN
Pesantren Padangpanjang sudah terkenal di scantero nusantara. Banyak tokoh-tokoh nasional pernah bersekolah di tempat itu. Pagi itu, kesibukan terlihat lain dari hari biasanya. Beberapa santri terlihat sibuk mengangkat meja dan bangku, membersihkan ruangan, mendekorasi, yang lain memasang kabel mikropon.
"Ayo bergegas..." terdengar salah seorang bersuara.
"Ayoo...ayo... Pak Haji sudah datang."
Tidak lama kemudian rombongan yang dinanti itu memasuki aula diiring nyanyi qasidah yang mendayu-dayu. Begitu merdu. Menusuk hati. Damai menyeruak seketika di relung-relung kalbu. Menembus ruangan, merembes ke seluruh pelosok.
Johan, yang ditunjuk menjadi ketua penyambutan tamu agung itu duduk tersenyum mendengar alunan suara itu. 'Begitu merdu suaranya. Orangnya pun cantik pula. Aduhai, suatu paduan yang sangat menarik. Andi ia menjadi pendampingku kelak.' la terbawa dalam alunan lamunan yang memabukkan itu. Harus diakui, Syabilla. gadis Padangpanjang itu membuatnya betah jauh dari keluarga.
Kemudian ingatannya dikelilingi awan hitam. Sudah hampir sebulan terakhir kehidupan mereka tidak tenang, kekisruhan itu bermula oleh suara berat seorang penyiar radio yang mengabarkan akan terjadinya pemberontakan karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Bagi Johan dan masyarakat kecil lainnya perang hanya sebuah petaka, derita yang tidak terperikan. Pemberontakan hanyalah persoalan elit politik untuk sebuah kekuasaan.
Kedamaian sebentar lagi akan terenggut. Ia masih ingat tiga hari lalu ketika pelaksanaan acara ulang tahun pesantren terancam tidak jadi. Situasi keamanan kian tidak menentu. Haji Sabri selaku pimpinan pesantren belum bisa memutuskan apakah acara akan tetap dilangsungkan atau tidak. Sangat beresiko tinggi. Akan tetapi kuatnya permintaan dari santri, apalagi undangan juga sudah disebar, acara tetap dilanjutkan.
Kegelisahan menyeruak di kamar-kamar santri. Mereka sudah resah. Bustaman dari Bukittinggi sudah pulang kampung. Mardan dari Silaing sudah tidak datang lagi. Jufri dari Padang sudah seminggu tidak menampakkan batang hidungnya.
Yang tinggal tidak sampai sepuluh orang, itupun santri yang kampungnya jauh dari Kota Padangpanjang. Ada Syafri dari Rengat, Rusman dari Sijunjung, Bujang dari Payakumbuh. Di sudut, duduk Johan dari Solok. Ia santri paling tua, sudah 23 tahun lebih. Di kampungnya. Rimba-Rimba
teman seusianya sudah mempunyai beberapa orang anak. Namun dia belum memikirkan untuk berkeluarga.
"Saya masih ingin menuntut ilmu, Ayah,” katanya suatu ketika.
Satu per satu santri-santri itu kian mendekat ke depan. Mereka ingin mendengar dengan sejclas-jelasnya perkataan Guru Yunus tentang situasi terkini yang tengah terjadi. Aljabar, bahasa Arab, atau bahasa Inggris yang menjadi pelajaran kesukaan mereka sudah tidak menarik lagi. Mereka lebih senang mendengar kabar tentang mendaratnya tentara-tentara pusat di Pelabuhan Teluk Bayur beberapa hari lalu.
"Saya dengar di radio, pasukan itu hampir menguasai Kota Padang. Dari Padang tentu mereka akan ke Lubuk Alung, Sicincin, Kayutanam, dan akan sampai di Padangpanjang. Pejuang yang semula berada di pusat kota sudah ditarik ke daerah pinggiran, ada juga yang lari ke Lubuk Alung dan Sicincin. Mungkin, di sana mereka akan menghadang pasukan pusat," kata Guru Yunus.
"Apa hanya ke daerah utara ini saja Pak. Ke daerah selatan seperti Pesisir Selatan dan Solok bagaimana?" tanya Johan seketika.
"Saya dengar dari radio, mereka juga akan menghadang di Sitinjau Laut. Tapi kabamya itu hanya dalam jumlah yang kecil. Pasukan kita sudah masuk ke hutan di Solok dan hutan Payakumbuh yang berbatasan dengan Pasaman dan Riau. Malah tentara pusat yang datang dari Pekanbaru juga akan dicegat di Kelok Sembilan."
Sejak masuknya pasukan pusat suasana jadi kacau. Santri sudah bersiap-siap meninggalkan asrama. Pengurus pesantren menyerahkan semua keputusan kepada para santri, apakah mau pulang atau terus belajar. Rimba-Rimba
Banyak yang ragu-ragu apakah akan pulang kampung atau tidak. Mereka ragu karena walau memutuskan untuk pulang sekalipun, suasana belum tentu akan aman. Kian hari keadaan kian mencekam.
Tepukan lembut Haji Sabri, di bahunya hampir tidak dirasakannya.
Entah sudah keberapa kali pembawa acara memanggil namanya untuk memberi sepatah kata sambutan, namun ia tidak mendengar.
"Han....giliranmu ke depan."
"Ooh.... Ya, ya...maaf Pak Haji."
Diiringi tepukan yang membuatnya malu, ia kemudian tampil ke depan. Sesaat sebelum ia mulai berpidato, sebuah suara mendentum terdengar. Mikrofonnya jatuh. Ia kian grogi. Orang-orang berteriak sengaja mengerjainya. Bahkan, Haji Sabri sampai berdiri untuk menenangkan.
Belum selesai suara ribut, suara ledakan yang dahsyat terdengar. Sesaat mereka berpandangan saling bertanya. Tegang dan mencekam. Kacau. Sebuah suara terdengar berteriak dari luar.
"Bom ... bom ... pesawat ... pesawat ... bom dijatuhkan pesawat."
Suara sirene terdengar berkali-kali. Dari pusat kota sirene itu mengejutkan semuanya.
Tidak ada yang tahu itu sirene pertanda apa, namun yang pasti tidak lama kemudian beberapa truk yang ditumpangi pejuang bersileweran. Mereka berteriak-teriak menyuruh masyarakat mengungsi.
Masyarakat yang mulai cemas segera mengungsi dengan membawa peralatan seadanya. Berlarian dengan panik. Rimba-Rimba
Beberapa jam kemudian, suara sirene terdengar lagi memekakkan telinga. Orang-orang sudah banyak yang menghindar ke luar kota. Tidak ada yang tahu persis apa yang sedang terjadi. Suasana begitu kacau. Tidak ada imbauan resmi dari pemerintah ataupun pihak pejuang lagi. Setiap orang hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri. Ada yang pergi dengan bendi, kuda, atau juga naik ke punggung kerbaunya.
Tidak terkecuali dengan para santri yang sedang mengadakan acara itu. Suasana semakin panik. Acara bubar. Sejak dari tadi Guru Yunus menyuruh mereka untuk bersiap-siap meninggalkan pesantren, menyelamatkan diri masing-masing. Beberapa dari santri berdiri di halaman asrama untuk mengetahui peristiwa apa yang akan terjadi. Sebagian dari mereka masih menunggu perkembangan informasi.
"Apakah yang terjadi?" kata mereka saling bertanya.
"Entahlah," jawab yang lain.
"Kemana orang-orang mengungsi?" ujar Guru Yunus.
Dua orang santri diutus untuk untuk membantu masyarakat yang barangkali menjadi korban di pusat kota. Baru saja beberapa menit mereka meninggalkan halaman sekolah, tiba-tiba kesunyian pagi itu dipecahkan suara ledakan keras. "Bluarrr ..." Sebuah bom dijatuhkan lagi.
"Tolong..."
Menit berikutnya, suara memekakkan itu terdengar lagi dan jaraknya cukup dekat dari pesantren. Suasana kian gaduh. Kini mereka bagai anak ayam kehilangan induknya. Rimba-Rimba
"Lari keluar.....cepat..." Haji Sabri berteriak dari luar kelas. Beberapa murid segera menuju pagar. Tidak jauh dari sekolah itu, di Pasar Padangpanjang asap hitam menggepul.
Johan sudah bersiap untuk lari bersama Rusman yang berasal dari Sijunjung. Mereka memang teman akrab. Asap terlihat mengepul, samar-samar dilihatnya Syabilla ketakutan, kemudian sebuah tangan meraihnya. Johan tidak tahu siapa itu, ia ingin mengejar gadis itu, akan tetapi situasi bertambah kian tidak menentu. Beberapa pejuang sudah berlari ke arah mereka, memerintahkan mereka untuk segera menyingkir. Itu terakhir kalinya ia melihat gadis itu. Hati yang runtuh. Rusman menarik tangannya cepat, kemudian berlari dan terus berlari di tengah situasi yang panik.
Tak lama kemudian sebuah bom dari pesawat jenis Mustang itu menghantam tepat di atap sekolah.
"Lari..." teriak Johan
"Ayo cepat ..."
Mereka pun berlari secepat mungkin ke arah timur kota itu, mengikuti kemana orang-orang berlarian.
"Itu lihat ada kereta api batu bara."
"Cepat kejar."
Sebuah kereta api yang biasa digunakan untuk mengangkut batu bara dari Sawahlunto untuk pabrik-pabrik batu kapur di Padangpanjang dengan dua gerbong di belakangnya mulai bergerak dari stasiun Padangpanjang. Tanpa banyak pikir mereka mengejar dan mencoba menggapai besi pegangan gerbong itu.
Beberapa orang penduduk juga melakukan hal yang sama dan jatuh. Mereka beruntung karena masih muda dan terlihat gesit. Mencoba berpegangan di besi pengaman itu. Rimba-Rimba
"Ayo Johan raih tanganku,” teriak Rusman.
Di gerbong depan ada beberapa orang yang berhasil bergayutan di antara dua gerbong. Nafas mereka masih sesak. Tidak bisa membayangkan apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Wajah mereka pucat dan penuh ketakutan. Seperti orang-orang yang kehilangan harapan.
Setelah beberapa lama kereta meninggalkan Padangpanjang terdengar suara lengkingan keras. Semua mata menatap awas.
Mereka mencari-cari asal suara itu. Lari kereta semakin kencang. Kelihatannya si masinis tidak ingin menjadi korban bom-bom yang berserakan di jalan itu.
"Itu lihat...," ujar seorang yang juga ikut berdesakan di gerbong belakang menunjuk ke udara. Dari kejauhan terlihat sebuah pesawat melayang. Rusman semakin pucat dan ingin melompat masuk ke danau Singkarak yang ada di sebelah kanan. Johan memegang krah bajunya.
"Jangan," kata Johan.
"Itu sama saja bunuh diri," lanjutnya.
"Kalau kita melompat kita akan mati tenggelam.”
Rusman tidak jadi melompat. la berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Johan. Lagi pula jika mereka melompat tentu akan sangat berbahaya. Entah siapa yang memulai, mereka membuka baju singlet dan mengibas-ngibaskan ke arah datangnya pesawat tersebut.
Pesawat kian mendekat dan sebentar lagi pasti akan memuntahkan peluru-pelurunya. Mereka semua sudah ketakutan dan ada beberapa orang yang berteriak dan ada juga yang mengumandangkan suara azan.
Kemudian pesawat pun berputar beberapa kali sebelum membubung tinggi ke udara. Rimba-Rimba
"Allahuakbar..."
"Alhamdulillah…"
Mereka saling berangkulan dengan wajah ceria.
Johan dan Rusman terus berpegangan ke salah satu besi pengaman di kereta itu. Sepanjang jalan mereka melihat banyak orang yang mengungsi dari rumah. Mereka membawa tas, karung bahkan juga ada ternak.
Tepat di terminal Kota Solok, kereta berhenti. Ternyata kondisi di Solok belum seperti Padangpanjang. Belum ada bom yang dijatuhkan. Namun masyarakat sudah banyak yang mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Kabar yang tersiar, sekarang ini pasukan pusat akan segera masuk ke pusat kota.
Tiba-tiba kereta berhenti. Johan dan Rustam melompat dari kereta itu. Lama mereka terdiam. Duduk di pinggir sebuah toko yang sudah ditutup. "Sekarang kemana kita?" ujar Rusman berucap.
"Ini perpisahan kita kawan. Jika perang ini selesai, mudah-mudahan kita bertemu lagi," ujar Johan.
"Ya. Semoga saja cepat berhenti. Apa yang akan kamu lakukan di Sijunjung nanti?"
"Entahlah. Mungkin saya akan bergabung dengan pasukan rimba. Kamu sendiri?"
"Belum tahu, yang penting segera sampai di kampung dan bertemu dengan keluarga dulu."
"Baik kawan. Saatnya kita berpisah." Tanpa banyak kata-kata, mereka berpisah. Menghadang nasib masing-masing.
***