Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab III/Bagian Keempat/Paragraf 10

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020
Bab III – Bagian Keempat – Paragraf 10

Klik untuk menuju bagian lainnya dari Bab III: Kesatu - Kedua - Ketiga - Keempat (Paragraf 12345678910111213141516) - Kelima


Paragraf 10
Transportasi

Pasal 54
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor Transportasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); dan
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).

Pasal 55
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 19
    1. Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
      1. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
      2. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan jalan menurut kelas jalan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 36
    Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha.
  1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 38
    1. Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.
    2. Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
    3. Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan yang bekerja sama dengan usaha mikro dan kecil.
    4. Fasilitas Terminal harus menyediakan tempat untuk kegiatan usaha mikro dan kecil paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
    5. Ketentuan mengenai kerja sama dengan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyediaan tempat untuk kegiatan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 39
    1. Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan fasilitas Terminal.
    2. Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
  1. Dalam hal Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta.
  1. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 40
    1. Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
      1. rancang bangun;
      2. buku kerja rancang bangun;
      3. rencana induk Terminal; dan
      4. dokumen Amdal atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas.
    2. Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    3. Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
      1. perencanaan;
      2. pelaksanaan; dan
      3. pengawasan operasional Terminal.
    4. Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta perencanaan dan pelaksanaan dalam pengoperasian Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43
    1. Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    2. Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
      1. usaha khusus perparkiran; atau
      2. penunjang usaha pokok.
    3. Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, Perizinan Berusaha, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 50
    1. Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
  1. Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 53
    1. Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b wajib dilakukan bagi mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
    2. Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
      1. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
      2. pengesahan hasil uji.
    3. Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
      1. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupatenlkota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
      2. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek dari yang mendapat Perizinan Berusaha Pemerintah; atau
  1. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 60
    1. Bengkel umum Kendaraan Bermotor yang berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
    2. Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
    3. Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    4. Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
    5. Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78
  1. Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 99
    1. Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis mengenai dampak Lalu Lintas yang terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Pasal 100 dihapus
  3. Pasal 101 dihapus.
  1. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 126
    Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
    1. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;
    2. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
    3. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau
    4. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha.
  2. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 162
    1. Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:
      1. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
      2. memiliki tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;
      3. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;
      4. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; dan
      5. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
  1. Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Pengemudi dan pembantu pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.
  1. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 165
    1. Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.
    2. Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
    3. Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
    4. Ketentuan mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 170
  1. Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.
  2. Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap serta sistem informasi manajemen dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
  1. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 173
    1. Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    2. Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
      1. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
      2. pengangkutan jenazah.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Pasal 174 dihapus.
  1. Pasal 175 dihapus.
  2. Pasal 176 dihapus.
  3. Pasal 177 dihapus.
  4. Pasal 178 dihapus.
  5. Ketentuan Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 179
    1. Perizinan Berusaha terkait penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) diberikan oleh:
      1. Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
        1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi;
        2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau
        3. angkutan pariwisata.
      2. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
      3. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan
  1. bupati/wali kota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Pasal 180 dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 185
    1. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi angkutan pada trayek atau lintas tertentu.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  3. Ketentuan Pasal 199 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 199
    1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, atau Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
      1. peringatan tertulis;
      2. denda administratif;
      3. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
      4. pencabutan Perizinan Berusaha.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 220
    1. Rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
      1. Pemerintah Pusat;
      2. Pemerintah Daerah;
      3. badan hukum;
      4. lembaga penelitian; dan/atau.
      5. perguruan tinggi.
    2. Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat.
  2. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 222
    1. Pemerintah Pusat wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
    2. Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
  1. Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat.
  1. Pasal 308 dihapus.

Pasal 56
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24
    1. Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretaapian umum.
    2. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
      1. Pemerintah Pusat untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;
      2. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
  1. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah pusat.
  1. Ketentuan lebih lanjut tentang Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretaapian umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24A
    Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 28
    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenai sanksi administratif.
  3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 32
  1. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
    1. Pemerintah Pusat untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
    2. pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
    3. pemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 32A
    Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 33
    1. Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
  1. Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
  2. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat meliputi:
    1. Pemerintah Pusat untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
    2. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
    3. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait perkeretaapian khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 33A
    Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dikenai sanksi administratif.
  2. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 dikenai sanksi administratif.
  1. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 80A
    Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  2. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 82
    Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif.
  3. Ketentuan Pasal 707 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 107
    Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif.
  4. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 111, dikenai sanksi administratif.
  1. Di antara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 116A dan Pasal 116B sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 116A
    Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

    Pasal 116B
    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  2. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 135
    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti rugi senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
  1. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 168
    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  2. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 185A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 185A
    1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A, Pasal 28, Pasal 32A, Pasal 33A, Pasal 77, Pasal 80A, Pasal 82, pasal 107, Pasal 112, Pasal 116A, Pasal 116B, Pasal 135, atau Pasal 168 dikenai sanksi administratif.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Pemerintah.
  3. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 188
    Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  1. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 190
    Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 191
    Jika tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A mengakibatkan timbulnya kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 195
    Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
  1. Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 196
    1. Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    2. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku penyelenggara dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
    3. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku penyelenggara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Ketentuan Pasal 203 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 203
    1. Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
    2. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
  1. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
  1. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 204
    1. Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
    2. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
    3. Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Ketentuan Pasal 210 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 210
    1. Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  1. Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 dilakukan oleh Badan Usaha Penyelenggara yang mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  3. Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193, dilakukan oleh Badan Usaha Penyelenggara yang mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 57
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 5
    1. Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
    2. Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      1. pengaturan;
      2. pengendalian; dan
      3. pengawasan.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/390 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/391 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/392 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/393 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/394 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/395 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/396 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/397 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/398 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/399 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/400 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/401 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/402 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/403 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/404 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/405 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/406 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/407 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/408 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/409 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/410 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/411 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/412 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/413 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/414 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/415 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/416 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/417 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/418 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/419 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/420
  1. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 336
    1. Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana melakukan kekuasaan, dan menggunakan kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    2. Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
    3. Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai dengan jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang di luar kekuasaannya, pejabat tersebut tidak dapat dikenai sanksi.

Pasal 58
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 13
    1. Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/422 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/423 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/424 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/425 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/426 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/427 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/428 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/429 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/430 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/431 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/432 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/433 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/434 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/435 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/436 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/437 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/438 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/439 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/440 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/441 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/442 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/443 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/444 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/445 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/446 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/447 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/448 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/449
  1. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  1. Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 428
    1. Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).