22508Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 — Bab III – Bagian Keempat – Paragraf 8
Paragraf 8 Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
Pasal 45
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi dan penilaian kesesuaian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tammbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604).
Pasal 46
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri.
Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau
kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Pemerintah Pusat melakukan pengaturan tentang
pengembangan, penataan, dan pembinaan yang
setara dan berkeadilan terhadap Pasar ralqrat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pengembangan, penataan, dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
Setiap pemilik gudang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap pemilik gudang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang keluar dari Gudang.
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang tidak menyelenggarakan pencatatan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan administratif Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Setiap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap Pelaku Usaha yang tidak melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenar Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Pemerintah Pusat dapat meminta data dan/atau
informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan
Barang kebutuhan pokok danf atau Barang penting.
Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
distributor;
agen;
grosir;
pengecer; dan/atau
konsumen.
Perintah penghentian kegiatan Perdagangan dan penarikan dari Distribusi terhadap Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Setiap Pelaku Usaha wajib memenuhi ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan
sebagai Barang dan/atau Jasa yang dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2).
Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
Pemerintah Pusat mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.
Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri;
peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan
peningkatan dan pengembangan produk invensi dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri.
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi:
peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;
pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;
penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;
pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan
pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.
Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi:
Perizinan Berusaha/persetujuan;
standar; dan
pelarangan dan pembatasan.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor.
Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir yang memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, importir tidak memerlukan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor.
Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.
Dalam hal tertentu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 49 dihapus.
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk
diekspor.
Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.
Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
Setiap Eksportir dan/atau Importir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan mengenai kriteria barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:
SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau
kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.
Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.
Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan
secara wajib.
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau
budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan
kearifan lokal.
Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau
informasi secara lengkap dan benar.
Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
cara penyerahan Barang.
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang sedang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor.
Pemerintah Pusat dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri.
Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja
sama dengan pihak lain.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 77
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 77A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:
pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik Barang dari Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang diperdagangkan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Perdagangan; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 100
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemerintah Pusat menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi.
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap:
Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan;
Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur;
Distribusi Barang dan/atau Jasa;
pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib;
Perizinan Berusaha terkait gudang; dan
penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat:
merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang;
merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau
merekomendasikan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan.
Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.
Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 104
Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
|Bagi Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).}}}}
|
Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 106
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
(3) pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha
dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
Bagi Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
}}
Pasal 109
Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 116
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 47
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193) diubah:
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Pemerintah Pusat mengatur tentang:
pengujian dan pemeriksaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang; dan
tempat dan daerah dilaksanakan tera dan tera ulang alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis tertentu.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Setiap Pelaku Usaha yang membuat dan/atau memperbaiki alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap Pelaku Usaha yang melakukan impor alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya ke dalam wilayah Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 22014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) diubah sebagai berikut:
Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil.
Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh sebagaimana dimaksud pada BPJPH.
Penjelasan Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum, dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum.
Dalam hal suatu daerah tidak terdapat LPH yang didirikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga keagamaan Islam berbadan hukum dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum dapat bekerja sama dengan badan usaha milik negara atau Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
warga negara Indonesia;
beragama Islam;
memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam; dan
mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan Auditor Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:
mengawasi PPH di perusahaan;
menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
mengoordinasikan PPH; dan
mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.
Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
beragama Islam; dan
memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.
Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku
Usaha mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari Organisasi Kemasyarakatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.
Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:
data Pelaku Usaha;
nama dan jenis Produk;
daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
pengolahan Produk.
Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha.
Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dinyatakan lengkap.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi
usaha pada saat proses produksi.
Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memerlukan tambahan waktu pemeriksaan, LPH dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada BPJPH.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH.
Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk tidak sesuai dengan standar yang dimiliki oleh BPJPH, BPJPH menyampaikan pertimbangan kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan kehalalan Produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh MUI kepada BPJPH
sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk.
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 dikenai sanksi
administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya.
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
sosialisasi dan edukasi mengenai JPH;
pendampingan dalam PPH;
publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan;
pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum; dan
pengawasan Produk Halal yang beredar.
Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).