Detektif Chiu  (1950) 
oleh Amorinda
Detective Chiu(cover)
Detective Chiu(cover)

Detective CHIU

SIAPA PEMBUNUNJA?

P ADA SUATU PAGI, telah ketahuan suatu kedjadian heibat jang terbit disatu rumah di Lampersari, Semarang, dimana saorang perampuan muda bangsa Tionghoa telah mati dalem tjara begitu rupa, hingga tida mudah diketahui sebab-sebabnja itu kematian, tjuma orang dapet menetapkan bahua itu njonja-muda ada mendjadi korban pembunuhan luar biasa!

Detective Chiu bersama pembantunja, Sin-hock, pada itu pagi sudah berada dirumah terdjadinja drama ini, sedang lakuken papreksaan.

Ini detective muda baru sadja dateng dari Surabaja dan belon berapa lama tinggal di Semarang. Buat jang pertama kalinja di Semarang ia menghadepi suatu kedjadian luar biasa jang aken meminta sapenuh ketjerdikannja untuk dapet membikin terang drama tersebut, atawa kalu tida, ia tentu merasa „panas” aken terus berdiam di Semarang, baekan kombali ke Surabaja !

Sedengkan Sin-hock ada anak Semarang jang memang gemar sekali menuntut penghidupan detective, maka kabetulan pada detective Chiu ia sudah kenal waktu masih sama-sama duduk dibangku sekolahan di Surabaja, dimana pada masa ia masih ketjil ada bertinggal bersama iapunja twathio disana.

„Apa semalem kau tida denger suara² jang keluar dari kamarnja njonja-madjikanmu, 'wak Sun? Dan, apakah semalem kau djuga tida tau siapa jang dateng kemari?” demikian detective Chiu madjuken pertanjaan-pertanjaan pada uwak Sun jang bekerdja pada si korban itu sebagi pengrawat rumah.

„Aku biasanja masuk tidur satelah liwat djam 10 malem, tetapi tadi malem atas prentahnja njonja madjikan Lian, aku disuru tidur pada sorean, jaitu kira-kira pukul 9. Sudah tentu ini prentah bikin tidurku djadi lebih njenjak sebab berarti aku dapet tambahan tidur extra...... 1 djam lebih daripada biasanja,” mendjawab uwak Sun jang kamudian lantas menutur lebih djauh:

„Aku tida denger apa-apa, 'tju, sampe tadi pagi aku bangun dari tidurku,aku dapetken njonja Lian masih belon keliatan keluar dari kamarnja, sedengken biasanja pagi-pagi ia sudah bangun dan djalan² dengen menuntun si Teddy, andjing piaraannja jang ia sanget sajang. Aku tida tjuriga apa-apa kerena aku mengira njonja Lian sedeng kapulesan tidurnja. Tetapi satelah aku perhatiken sampe djam 10 belon djuga bangun atawa keluar dari kamarnja, maka aku djadi ibuk sebab belon belandja apa-apa. Kuntji pintu luar seperti adat saben ada dibawa olehnja, maka pintu itu pun belon bisa dibuka. Lantaran aku ketok² pintu kamarnja tida dapet djawaban sampe aku lalu mengintip dari lobang kuntji aku menampak didalem kamarnja tetep seperti biasa, tida ada terdjadi perobahan apa-apa,tjuma satelah aku punja mata mempergoki kaen kelambu sebelah kiri tersingkap, barulah aku bisa menampak parasnja njonja Lian jang mengadep ka pintu-kamar.

Aku punja hati djadi berdebar-debar satelah memandang wadjahnja njonja Lian begitu putjet dan aku awasken dengan lebih terliti, ternjata dadanja

tida bergerak-gerak, seakan-akan ia tida bernapas. Mendapet ini matjem pemandangan, membikin hatiku penuh perasaan takut, maka dengan tida bisa ditjegah lagi aku telah bertreak-treak meminta tulung pada sabelah-tetangga untuk dobrak pintu-muka. Maskipun aku bertreak-treak begitu keras, toch njonja Lian tida djuga bergerak, maka begitu pintu-muka sudah kena ditoblos oleh tetangga², aku minta marika sekalian buka dengan paksa pintu kamarnja njonja Lian jang satelah dapet didobrak dan aku buru-buru masuk, njatalah njonja Lian...... sudah tida...... tida...... bernjawa!”

Detective Chiu tjatet penuturannja ini njonja tua dalam iapunja buku notes, satelah mana ia madjuken pula pertanjaan-pertanjaan:

„Tjoba kau ingat-ingat jang betul. orang siapa jang sering kemari?”

„Oh...... kasian sungguh njonja Lian, dosa apakah kau sehingga dapetkan nasib jang begini rupa...... Oh, Alah, tobatt...... tobattt!” menangis uwak Sun dengan tida menaro perhatian atas pertanjaannja detective Chiu, bahua hatinja sangat sedih mengingat kematian njonja-madjikannja itu.

„'Wak Sun, haju, kasihlah katerangan, orang siapa jang sering dateng kemari?” mendesek pula detective Chiu.

„Tida...... tida ada...... Eh, ja......”.

„Nah, ingat kau sekarang, hajoo teruskan utjapanmu 'wak!”

„Oh...... ti...... tida, ach...... tetapi djanganlah tjutju nanti buka ini resia jang apabila demikian kan bisa membikin malu rochnja njonja Lian ditempat baka...... Biarlah ia mangkat dengan penuh

kelanggengan..... Oh..... 'nja Lian, kasian kau.....!” menangis lagi uwak Sun.

„Tida, aku perlu lantas dapet kaupunja djawaban, lekas!”

„Jang biasa...... da...... dateng, jalah...... 'tju Kim-hien, jaitu ka...... katjin.....”.

„Hm, katjintaannja njonja Lian?” memotong detective Chiu.

„Be...... benar! Tadi malem ia dateng disini maka sore-sore aku sudah disuru masuk tidur oleh 'nja Lian. Selandjutnja aku tida tau lagi apa jang telah terdjadi......” membenarkan uwak Sun jang sesaat itu keliatan djadi lelah. „Dan,...... minta ampun tuan-tuan, djanganlah dibuka ini resia, ja......?”

„Kim-hien? Apa itu pemuda jang tinggal di Semarang Timur?” tjampur tanja Sin-hock jang ingat seperti perna kenal pada itu orang jang barusan disebut, tetapi sudah sekean lama tida perna ketemu lagi.

Uwak Sun manggutkan kepala membenarkan pertanjaannja Sin-hock jang dengan sendirinja lantas mendjadi djawaban.

Inspektir Lim tinggalkan Chiu dan Sin-hock jang saan, lantas titahkan Ibrahim, iapunja hoofdrechercheur jang sangat dipertjaja, untuk lantas tangkep lebih dulu itu pemuda Kim-hien. Orang jang terima ini order, seperti memang ada mendjadi iapunja kebiasaan, zonder musti diulangi buat kedua kalinja, lantas tjemplak iapunja Harley, kaburkan itu seperti terbang......

„Nah, Chiu, kau teruskan kewadjibanmu disini, aku hendak balik ka kantor untuk periksa itu pemuda jang tida lama lagi pasti akan sudah dibawa oleh Ibrahim. Djuga sabentar aku minta pada Dr. Tan buat dateng periksa lajonnja njonja Lian.”

Inspectir Lim tinggalken Chiu dan Sin-hock jang masih uplek lakukan pertanjaan² dan penjelidikan disitu.

Detective Chiu lalu bikin peperiksaan disekitarnja kamar dan ruangan² laen dari itu rumah, tetapi sebegitu djauh tida ada satu apapun jang keliatan terganggu, bahkan lemari pakean dan peti perhiasannja si korban, pun masih dalem keadaan utuh, tida sedikitpun terdapet tanda-tanda bekas dirabah orang.

Tjuma achirnja ada satu jang menarik detective Chiu punja perhatian besar, adalah waktu ia dapetkan beberapa butir telor ajam di..... atas lemari, dua antaranja isi-telornja meleleh keluar. Kemudian ia tudjukan perhatiannja kebawa podjokan dimana ia ketemukan sebutir telor ajam jang masih utu. Ia sigra djumput itu, tetapi ia mendjadi heran kerena rasakan ditanganja itu telor begitu enteng dan kutika ia gojang-gojangkan itu dipinggir kupingnja tida terdengar geblakan seperti kalu biasanja terdapet pada telor-telor jang suwadjarnja.

Satelah ia ulangkan berkali-kali gojang-gojangan itu, achirnja ia dapet kapastian bahua itu telor sudah...... kosong, didalemnja tida berisi lagi, apa jang sekarang berada dalem tangannja adalah tjangkang telor dalem rupa masih utuh, sedikitpun tida ada tanda-tanda rengat atawa remek!

Ini barang lalu disimpan dengan hati-hati olehnja supaja djangan sampe rusak atawa petjah. Memang ada mendjadi iapunja kabiasaan kalu selagi lakukan penjelidikan perkara² jang sulit, begitu ia dapet ketemukan barang-barang jang bagi laen orang tida berarti suatupun apa, sebaliknja oleh detective Chiu dipandang sangat berharga dan perlu diperhatikan untuk didjadikan bahan-bahan penjelidikanja.

„Ach, rupanja ini ada drama pertjintaan! En, bagimana kaupunja pendapetan Sin-hock?” menanja detective Chiu pada pembantunja.

Jang ditanja tjuma memanggut, sebab ia sedang..... tergetun-getun meliat parasnja njonja Lian jang

begitu eilok, sajang mendjadi korban pembunuhan begitu rupa.....

Menampak apa jang sedang dilakukan oleh pembantunja, detective Chiu bersenjum dan mengedjek: „Hoho...... dasar mata-krandjang, sampe kulit tinggal membungkus daging, toch kau masih bisa begitu...... kesengsem! Djangan membinal, Sin-hock. kalu kau tida ingin terpental!”

Tida antara lama kamudian Dr. Tan dateng dan kerna perlu dipreksa lebih teliti, maka lajonnja njonja Lian lantas diangkut ke hospitaal.

Siapa pembunuhnja?......

Apakah betul jang melakukan itu perbuatan kedjem ada katjintaannja njonja Lian, si djanda-kembang?......

Djikalu bener demikian, persoalan apakah jang mendjadikan sebab sampe terdjadinja ini drama ngeri?......


II.

LAEN KESULITAN MENJUSUL!

IBRAHIM jang mendapet order buat menangkep Kim-hien dengan tida begitu susah sudah bisa berhasil, sebab kabetulan sekali Kim-hien pun masih berada dirumahnja.

Tetapi didepannja Inspectir Lim ia masih belon mengakuh kendati ia membenerkan bahua pada malem terdjadinja itu drama ia berada dirumahnja njonja Lian, tetapi disana ia tjuma sampe djam 11.30, dari sana tida pergi ka tempat-tempat laennja lagi, hanja terus pulang dan tidur dirumah. Ini ditetepkan oleh tetangga-tetangganja jang mengatahui waktu pulangnja Kim-hien.

Oleh kerna perlu untuk dilakukan papreksaan lebih djau, maka Kim-hien pun belon dibolehkan pulang.

Besok paginja, baru sadja Inspectir Lim duduk dibelakang medja tulisnja, atawa sakunjung-kunjung detective Chiu menjelonong masuk dan ambil tempat duduk dihadepannja sembari rogoh sakunja, keluarkan pipa dan tembakonja jang lalu disulut serta diisep dengan tjara begitu kalm.

Satelah ia kebulkan asep pipanja, barulah ia mulai buka mulut: „Lim, aku semalem telah dateng lagi di rumahnja njonja Lian dan lakukan pengusutan pula. Disitu aku dapetkan perobahan-perobahan.

Itu telor-telor ajam jang petjah berarakan diatas lemari sudah tida ada lagi dan beberapa barang dalem lemarinja njonja Lian pun telah linjap, sedengkan kemaren aku tau pasti barang-barang didalem lemari masih dalem keadaan baek. Antaranja jang aku tau sudah tida ada lagi, jalah beberapa potong barang mas-inten”.

„Heh? Apakah uwak Sun tida tau jang didalem kamarnja njonja Lian kemasukan orang?” menanja Inspectir Lim.

„Aku sudah teken uwak Sun, tetapi ia tida bisa kasih katerangan apa-apa, ia hanja bisa kasih undjuk kuntji-kuntji dari pintu-pintunja rumah jang semua memake nomeran. Ada satu kuntji dari pintu luar jang memake nomor 6A, maka aku rasa jang origineelnja telah ilang atawa....... berada pada orang jang sekarang aku sedang tjari, sebab aku merasa sangsi apakah bener pembunuhan ini dilakukan oleh Kim-hien”, menjambung detective Chiu dengan tida katinggalan sedot-sedot lagi pipanja.

„Djadi kau berpendapetan pasti, bahua dalem ini perkara Kim-hien bersih sama sekali?” „Wel, mungkin ia dibikin oleh pembunuhnja njonja Lian supaja dituduh......“

„Kalu begitu, apakah tida lebih baek kita merdekakan sadja padanja?”

„Djangan! Dikwatir begitu ia dimerdikakan, bahaja heibat akan mengantjem atas dirinja, malah mungkin ia...... akan dipaksa buat susul njonja Lian ditempat baka!”

Inspectir Lim manggutkan kepalanja sembari berkata: „Teruskan pembitjaraanmu, detective Chiu!”

„Atas dirinja Kim-hien, aku mendapat beberapa pengundjukan, bahua dalem perdagangan ia ada mempunjai banjak saingan, satu antaranja jang paling keras, adalah Heng-koey. Aku taro sangkaan ini mungkin ada Heng-koey punja tipu daja buat djebloskan Kim-hien, tetapi kutika aku datengi rumahnja, ternjata ia sudah...... mabur!”

„Ia sudah mabur? Oh, kalu begitu kita akan katjele. Barusan djam 8 ada dateng mengadu seorang Indonesia, bahua ia telah ditipu oleh Heng-koey dalem perkara djual-beli barang”.

Inspectir Lim terkedjut dan lantas panggil Ibrahim jang sedari tadi memang sudah menunggu diluar.

Ibrahim menerangkan bahua titahnja Inspectir Lim buat ia panggil Heng-koey atas pengaduannja itu orang Indonesia, tida berhasil sebab Heng-koey sudah pergi kelaen kota.

„Hm, ia tida akan pulang, ini aku berani pastikan! Djadi Heng-koey pun tersangkut perkara penipuan? Siapa itu orang jang ditipu?” menanja Chiu dengan paras terkedjut.

Inspectir Lim angkat pundaknja, mengelah napas.

„Oh, Inspectir, ini hal bikin bujar sebagian dari theorieku! Sekarang timbul laen kasulitan, maburnja Heng-koey apakah berhubungan dengan perbuatannja memfitenah Kim-hien atawakah kerna ia menipu orang?” Detective Chiu memuter otaknja lebih keras.

Inspectir Lim lalu buka buku tjatetannja dan tuturkan itu orang Indonesia jang dateng mengadu bahua dirinja ditipu oleh Heng-koey, ada bernama Sukandar, asal dari Borneo dan tinggal serta membuka kantor dagang di Djalan Halmaheira, deket pengkolan jang menembus ka Semarang-Timur.

„Memang kita berhadepan dengan suatu perkara jang sulit, perlu meminta kaupunja ketjerdikan diperlipet-gandakan, tetapi detective Chiu, aku pertjaja jang kau tentu bisa!” achirnja inspectir Lim „empos” kawannja.

„Ach, djangan terlalu optimistisch, inspectir Lim! Ibrahim, mari ikut padaku buat...... ach, tau sendiri nanti!”

Ibrahim lantas berbangkit dari duduknja, bersedia buat terima adjakannja Chiu jang rupanja sangat membutuhkan tenaganja ini hoofdrechercheur jang kenamaan.

„En, bolehkah aku bawa Ibrahmi, inspectir Lim? Dan, aku harep kau djangan kasih kemerdekaan dulu pada Kim-hien, sekali lagi aku ulangkan, mungkin kalu ia dilepas, akan terantjam bahaja......”.

Satu manggutan dari Inspectir Lim tjukup bikin detective Chiu dan Ibrahim lantas melesat dari itu kantoran......

Papreksaan atas dirinja Kim-hien diulangkan lagi sekali oleh Inspectir Lim dan ini kali ia ditanja kabenerannja pengureian dari detective Chiu bahua Kim-hien dalem perdagangan ada mempunjai banjak saingan, hal mana diakuhi kabenerannja oleh Kim-hien, malah ia djuga undjukan bahua satu antara penjaing-penjaing itu jang paling heibat, adalah Heng-koey. „Tuan Inspectir, kerna mengingat dalem ini perkara, saja tida ada sangkutan apa-apa, maka lagi sekali saja memuhun supaja bisa dikeluarkan dari tahanan. Saja kwartir ibu saja jang sudah tua tentu akan mereres kalu tau aku disekap disini sampe sekean lamanja...... meminta pula Kim-hien pada Inspectir Lim buat ia bisa dimerdekakan.”

Tetapi permintaannja ini mana bisa dilulusi oleh Inspectir Lim jang sudah dipesen berulang-ulang oleh detective Chiu buat djangan loloskan Kim-hien?

Sementara itu, bel telepon berbunji.

„Hallo......! Oh, kau Chiu, ada apa?...... Heh...... apa kau bilang? Ibrahim kena katembak?...... Dimana dan bagimana keadaannja??...... Oh, sukur kalu tida berbahaja!...... Ja, baek, aku akan lantas sampe di djalanan Halmaheira ......” Inspektir Lim lantas tarokan hoorn telepon dan perentahkan sebawahannja masukan lagi Kim-hien dalem kamar tahanan, kamudian dengan tjepet ia adjak beberapa rechercheur laennja, mabur ke tempat jang diundjuk dalem pembitjaraan telepon.

Sesampenja di Djalan Halmaheira, marika tida dapetkan detective Chiu hingga menimbulkan perasaan sangsi dalem hatinja ini pembesar polisie atas kabenerannja itu telepon. Selagi ia akan mengambil putusan atawa sakunjung-kunjung, tida dikatahui dari mana datengnja, seorang Indonesia dengan memake katja mata item menghampiri padanja.

Untuk mendjaga kamungkinan jang bisa terdjadi dalem keadaan demikian, djustru djuga Djalan Halmaheira lagi sepi-sepinja, Inspectir Lim lantas tjabut revolvernja.

Tetapi sabelon ia bisa bertindak laen, itu orang jang menghampiri padanja sudah lebih dulu berkata: „My inspector, adakah kau sudah tida dapet mengenali lagi siapa sabenernja aku ini?.......” „Oh, kau Chiu?!” djawab Inspectir Chiu sembari kedua matanja terus memandang orang jang sekarang berada dihadepannja, siapa lalu tjopot katja matanja, petji dan singkapkan kaen palekatnja jang dipake, hingga tertampaklah dengan njata, bahua sabenernja orang itu adalah bukan laen detective Chiu sendiri.

Detective Chiu lalu pimpin itu rombongan buat kurung sebuah rumah kosong jang diatasnja banjak terdapet karusakan, berada precies dipengkolan Djalanan Halmaheira dan Semarang Timur.

Stelling pengurungan diatur dengan tjepet dan kamudian detective Chiu bersama Inspectir Lim dan satu rechercheurnja lantas...... menjerbu itu rumah kosong dengan paksa, tetapi...... didalemnja tida terdapet saglintirpun manusia!

Marika terus naek keatas loteng, dimana djuga tida tertampak suatu apa pun.

„Aku sudah itung djarak dan arahnja tembakant jang mengenakan Ibrahim, sedikitnja musti ada dari ini rumah...... Aneh disini tida ada apa-apa, tetapi tjoba aku pereksa lebih teliti!”

Sasudahnja utjapkan itu perkataan, detective Chiu lantas menudju ka langkan dan melongokan kepalanja keluar, dimana ternjata ada Djalanan Semarang Timur sebab letaknja itu rumah kosong precies berada dipengkolan.

Sesaat kemudian terdengar detective Chiu berseru: „Hola, itu apa?”

Ia pasang matanja jang tjeli kearah tembok samping itu rumah kosong, diatas tembokan mana ada menempel selondjor bambu besar jang dari pangkal sampe diudjungnja ada terdapet lobang-lobang sabar kira-kira 2 djengkal.

Menempelnja itu bambu ada begitu rupa, jalah udjungnja berada di tembokan gang menembus pekarangan belakang dari itu rumah. Sigra detective Chiu ambil buku notitienja, lukiskan dengan tjepet pemandangan itu.

Sasudahnja seleseh ia tjorat-tjaret dinotesbuknja, lalu ia adjak Inspectir Lim c.s. buat kerumahnja njonja Lian almarhum.

III.

NAMANJA SEORANG GURU SILAT.

D ENGAN tida mau buang banjak tempo, sesampenja dirumah njonja Lian, marika lantas masuk kedalem kamar, dimana marika, terutama detective Chiu djadi terperandjat kerna menampak disitu lagi-lagi ada terdjadi perobahan-perobahan.

Barang-barang jang semalem waktu Chiu pereksa disitu sudah tida ada, sekarang tertampak sudah kombali dimasing-masing tempatnja, tjuma tempat perhiasan sadja jang tida terdapet lagi, malah ini kali ada diketemukan sedjilid buku tjatetan ketjil jang satelah dipreksa didalemnja ada terdapat namanja Chie Fu-kay, guru silat jang kenamaan di Semarang.

Kombali seperti mendjadi kebiasaannja, itu buku ketjil pun lantas disimpan dengan hati-hati dalem sakunja detective Chiu dan kemudian ia parani lagi uwak Sun, pada siapa dimadjukan pertanjaan² tentang apa jang marika nampak sekarang, tetapi lagi² ini orang tua mewek-mewek sembari menjatakan, bahua ia tida tau apa-apa, malahan sekarang ia utarakan mau berlalu sadja dari ini rumah sebab ia djadi katakutan tida karuan-karuan mengalami ini berbagi-bagi kegandjilan. Atas antjeman dari Inspectir Lim, itu njonja tua kemudian menurut buat terus tinggal disitu, sedikitnja sampe nanti perkara sudah menjadi terang.

„My inspectir, aku ingin dapetkan kaupunja sedikit keterangan, siapakah itu Chi Fu-kay, guru silat?” menanja detective Chiu.

„Ja bener, ia ada seorang guru silat jang mempunjai banjak murid. Sabegitu djauh aku belon perna tau jang ia tersangkut perkara, apa lagi perkara polisie!”

„Oh, kalu begini, apa sebab iapunja buku tjatetan berada disini? Ach, Mr. Chiu, ini sangat sulit, bisa bikin otakku lekas...... kopjior!” menjeletuk Sinhock jang selalu ikut sadja dimana detective Chiu berada.

„Kiranja nanti aku bisa bikin terang, atawa satida-tidanja aku akan bisa menjingkap tabir jang menutupi ini kesulitan” djawabnja detective Chiu.

Teranglah, bahua si pendjahat masih berlenggang-lenggang kangkung disini, berglandangan dengan anggepan begitu ajem. Ini mengentjengkan theorieku bahua Kim-hien tida berdosa, tjuma perlu ia terus kau tahan buat sementara waktu, my inspectir, supaja djiwanja selamat! Sekarang, baeklah kita kerumah sakit, minta keterangannja Dr. Tan tentang papreksaan atas maitnja njonja Lian sekalian kita tiliki Ibrahim jang kakinja luka......

Ini adjakan diturut oleh marika dan dirumah sakit marika dapetkan katerangan dari Dr. Tan, bahua kematiannja njonja djanda Lian, adalah terkena......ratjun gigitan uler! Ini terbukti, bahua biarpun tubuhnja njonja Lian tida terdapet luka-luka bekas aniajaan, tetapi dibagian geger sebelah kanan ada bengkak dan berwarna item-biru serta terdapet bentolan-ketjil berwarna merah-tua. Uler jang menggigit terang bukan terdiri dari uler-ular besar, tetapi mungkin ada uler ketjil jang mengandung bisa luar biasa kerasnja, uler mana menurut keterangan Dr. Tan, tida ada terdapet ditanah Djawa, tjuma ia tida tau namanja itu binatang berbahaja.

Ibrahim punja luka tida begitu berarti, tjuma perlu tiga hari sadja sudah bisa sembuh.

„Nah, sekarang aku musti lantas bikin penjelidikan lebih keras, tetapi dengan zonder...... kau!” kata detective Chiu jang kemudian lalu mengilang tinggalkan marika......

AMPAT hari berselang.

Dari rumahnja guru-silat Chie Fu-kai ada keluar seorang tua dengan pakean sederhana serta berkumis dan berdjenggot rada pandjang, rupanja baru sadja ketemui itu guru-silat buat satu urusan, kerna tindakan dari itu orang tua keliatannja begitu terburu-buru. Sesampenja di djalanan Karangsaru, dimana itu guru kunthao ada bertempat, si orang tua lantas panggil betja dan titahkan pengandarnja buat dengan tjepet ke Bodjong.

Setelah sampe di Kantor Polisi, betja lalu diberentikan dan penumpangnja memberi uang pembajarannja, sigra masuk kedalam kantornja Inspectir Lim, siapa itu waktu sedang memeriksa surat-surat diatas medja tulisnja.

Mendapet ini kundjungan Inspectir Lim tau bahua orang tua itu tentu bukan laen detective Chiu adanja, maka ia pun lalu silahkan Chiu berduduk.

„Sekarang kau lebih tadjem, my inspectir!” kata itu orang tua jang lantas tjabut-tjabuti djenggot dan kumisnja, dan sesaat kemudian jang berhadepan dengan Inspectir Lim bukan seorang tua, tetapi detective Chiu adanja.

Inspectir Lim mesem sembari menanja: „Ada kabar baek?” Parasnja detective Chiu nampaknja lebih gumbira, seakan-akan ia sudah dekat dari pemetjahannja perkara jang membelit-belit ini.

„My inspectir, tjoba kau lekas bel pada wijkmeester, tanjakan apa betul njonja djanda Lian almarhum ada mempunjai sudara-lelaki, sebab aku telah mendapet katerangan dari beberapa fihak, katanja itu njonja ada punjakan sudara lelaki jang hilang waktu terdjadinja polisionele-actie”, kata detective Chiu jang lalu sembat lisongnja Inspectir Lim diatas medja, sulut itu dengan kalm.

Permintaan mana lalu diturut oleh Inspectir Lim. „O,djadi betul ia ada punjakan ade jang...... ditjulik pengatjau?” demikian pertanjaan Inspectir Lim dalam telepon jang rupanja telah menerangkan benernja njonja Lim ada mempunjai sudara lelaki. „Kalu begitu,djadi waktu ia pergi ke Pekalongan ditjuliknja? Ja, ja... ...terima kasih!” achirnja Inspectir Lim dapet ketetapan dari wijkmeester tentang sudaranja njonja Lian.

„Dan, apakah kiranja kau bisa tjari dimana sekarang ia berada, my Inspectir, untuk diberi tau tentang kematiannja iapun ja tatji ?” kata pula detective Chiu dengan separo memaen.

„Gila! Mana bisa kasih tau, sedengkan itu orang toch ditjuliknja waktu pergi ke Pekalongan!”

„Djuga perlu buat urus warisannja njonja Lian, jaitu rumah kosong jang letaknja dipengkolan Djalan Halmaheira―Semarang Timur ada mendjadi miliknja njonja Lian. Ini aku pun dapet tau dari H.O.S.”.

Belon pembitjaraan berlangsung lebih djauh atawa satu rechrecheur mengadep pada Inspectir Lim membertaukan bahua itu orang Indonesia jang melapurkan diri ditipu oleh Heng-koey minta ketemu.

Dihadepan Inspectir Lim, Sukandar memberi tau bahua besok pagi dengan spoor pertama ia akan pergi ke Bandung sebab mendapat kawat tentang sakitnja iapunja familie jang berada disana maka diminta kalu ada kabar apa-apa tentang Heng-koey, atawa sudah ditangkepnja itu penipu, supaja polisie sigra telegram sadja padanja jang djuga berikan alamat jaitu pada adresnja M. Sukanda, Kebon-kelapa, Bandung.

Permintaan ini diterima oleh Inspectir Lim jang tjatet dibukunja dan seperginja Sukandar dari ruangan kantornja ,detective Chiu berseru sembari berbangkit: „Lekas kau interlocaal ke Bandung, tanjakan polisie disana apa ada adres begini?”

Kombali Inspectir Lim lakukan apa jang dikahedaki oleh Chiu dan setelah menunggu lama, baru dapet djawaban bahua polisie di Bandung sudah tjari adres itu di Kebon-kelapa, tetapi...... t i d a a d a!

IV.

TELOR JANG DIBUAT KUNTJI.

CHIU berbangkit dan berdjalan mundar-mandir diruangan kantor itu sembari bersuit, akan tetapi otaknja diputer terus dengan lebih keras, kerna terbukti jang iapunja suitan itu ternjata tida karuan djuntrung lagunja.

Setelah ia lempar putungan lisong jang ia isap, ia lalu mengadep pada Inspectir Lim dan berkata: „Kira-kiranja nanti malem, aku akan bisa...... tjekek batang lehernja itu kawanan pembunuhnja njonja djanda Lian!”

Ini perkataan membikin terkedjutnja Inspectir Lim jang djuga lantas menanja: „Djadi kau sudah bisa memastikan bahua pembunuhnja njonja Lian ada berkawan?” Pertanjaan ini diegosi oleh Chiu jang menjambung pembitjaraannja: „Tetapi my inspector, aku perlu minta Sin-hock djalan...... mengemis dan tawarkan telor ajam pada...... Sukandar jang rumahnja berada di Djalanan Halmaheira, dekat pengkolan, tidak djauh dari letak rumah kosong jang kita periksa itu!”

Sin-hock kebetulan dateng dan ia diminta buat djalankan apa jang dibilang barusan oleh Chiu. Bukan maen terperandjatnja Sin-hock satelah ia mendengar bahua ia diminta buat...... djadi pengemis mendjual telor!

„Ach, apa-apa'an 'nih? Aku tida biasa mendjadi....... pengemis !”

„Tida, sekarang djuga kau harus menurut Sin- hock, dan bawa telor ajam pada itu sudagar Sukandar!” Chiu seret Sin-hock masuk kelaen kamar dari itu kantoran polisie dan sebentar lagi bertindak keluar...... seorang pengemis dengan membawa dua butir telor ajam ditangannja, tinggalkan itu kantoran.

Inspectir Lim tida mengerti apa maunja detective Chiu, tetapi ia tida mau menanja sebab ia sudah tau sampe dimana Chiu punja kelihaian.

„Nah, sebentar malem, pukul 12, kita harus sudah berada didalem itu rumah kosong, dimana kita nanti bisa bekuk batang-lehernja itu kawanan pembunuh, tetapi perlu kau train lagi kaupunja boks-spel buat.....kalu-kalu nanti harus bertempur disana! Dan djika Sin-hock kombali, suru sadja ia lantas kekantorku. Now, 'till next time my inspector......” Zonderdapet ditahan detective Chiu meledjit dari hadepannja Inspectir Lim dan tida lama kemudian itu detective sudah tida keliatan bajangan bajangannja hingga membikin itu pembesar polisie goleng-golengkan kepala.

„WAH, sungguh betul omonganmu, Sukandar telah beli itu dua telor ajam jang aku bawa dengan zonder ditawar lagi harganja, sebab katanja ia merasa...... kasian padaku, seorang pengemis !” menutur Sin-hock dihadepan detective Chiu pada malemnja dari itu hari.

„Sekarang, laen kewadjiban meminta......pertarohan djiwamu!” mendjawab detective Chiu pada sebelonnja Sin-hock bisa berkata lebih djauh. Dari dalem latji-medja tulisnja Chiu keluarkan dan undjukan sebutir telor ajam. Itulah ada tjangkangan kosong jang ia ketemukan dirumahnja njonja djanda Lian tempo hari. „Tjoba kau pereksa dengan vergrootglas, ada apanja di-ini telor ajam jang keilangan...... isinja?!”

Dengan tida mengarti maksud apa jang dikandung oleh detective Chiu, Sin-hock menurut sadja ambil katja-api dan preksa dengan terliti itu tjangkangan telor.

„O, dua lobang ketjil jang ampir berdempetan!” berseru Sin-hock. „Dan, ada kepentingan apa kau simpan-simpan ini tjangkang telor, apa ia telah mengadu padamu buat ditjarikan isinja jang sudah ilang?”

„Nanti disana kau akan mengarti bahua ini telor jang aku djadikan kuntji untuk membuka resia²nja pembunuhan atas dirinja njonja djanda Lian. Nah, sekarang kita baeklah kerumah Inspectir Lim, tetapi harus dengan menjaru dan djangan lupa membawa revolvermu......”

Tida banjak omong lagi Sin-hock lantas ganti pakean, begitupun detective Chiu. Mareka berdua satelah seleseh menjaru sigra menudju kerumah Inspectir Lim jang dengan beberapa orang rechercheur, terutama Ibrahim, mulai bersiap untuk lakukan pertempuran seperti jang dipastikan tentu terdjadi oleh detective Chiu.

Gelap gulita keadaannja Djalanan Halmaheira dan Semarang-Timur, terutama dipengkolan jang mendjadi letaknja itu rumah kosong, tetapi sekarang terisi orang-orangnja detective Chiu.

Dirumah kosong jang mendjadi bulan-bulannja detective Chiu sekarang ada sembunji dengan rapi sekali beberapa orang jang terdiri dari Chiu sendiri, Inspectir Lim, Sin-hock, Ibrahim dan dua rechercheur sebawahannja. Marika punja tjara sembunjikan diri diatur berpentjaran begitu rupa, detective Chiu dan Inspectir Lim serta Sin-hock bertiga mengumpet dikamar jg berhadepan dengan laen kamar sedengkan Ibrahim tempatkan dirinja di..... atas usuk genteng jang tertutup pian bedjat, dua rechercheur berada dibelakang untuk membantu kalu ada kedjadian-kedjadian luar biasa. Semua sudah dipesen bagimana musti bertindak begitu ada pertandaan dari detective Chiu.

Antara kira-kira pukul 2, betul djuga tertampak tiga bajangan item jang merembet dari tembokan dipekarangan jang lantas dengan berindap-indap bertindak menudju kedalem kamar jang dihadepan kamar dimana Chiu c.s. ada mengumpet. Satu antara itu tiga bajangan sesampenja didalem kamar lantas menggunakan patjul buat menggali tanah jang berada dipodjokan kamar, precies arahnja ke djurusan Ibrahim bersembunji diatas usuk genteng.

Sementara itu, dua bajangan laennja bantu singkir-singkirkan tanah-kedukan, kemudian satelah kedukan itu mendjadi lebar dan dalem, dari dalemnja diangkat keluar suatu benda pesagi...... Saat jang terpenting ini tida dibuang pertjuma, berbareng dengan suara tjetetan djari dari detective Chiu terdengar, sinar battery dari atas usuk tempat Ibrahim sembunji, menjorot kedjurusan marika dan dengan demikian lalu tertampak terang, marika itulah ada Sukandar dan dua orang Tionghoa.

Mengerti gelagat tida enak, Sukandar lantas lepaskan tembakan kearah sorot battery ,tetapi dalem sekedjapan tempo detective Chiu, Inspectir Lim dan Sin-hock sudah...... serbu marika jang kerna matanja kesilohan sorotan battery tida bisa gunakan sendjatanja dengan betul. Tembakan-tembakan meledak tida karuan djuntrungannja sampe kemudian marika bertiga bisa dibekuk sasudahnja marika tjoba melawan dengan keras.

Pertjuma marika tjoba melawan, sebab selaennja marika punja sumangat sudah mendjadi bujar dengan adanja serbuan jang tida disangka-sangkanja, djuga memang marika bukan mendjadi tandingannja itu kawanan hamba wet jang terdiri dari orang-orang bukan sembarangan!

Ibrahim jang dengan sampurna bisa tarik kawat hubungan buat menjalakan battery jang begitu rapi dipasang oleh Chiu sedari tadi siangnja buat digunakan seperti telah diperbuat oleh Ibrahim menjilokan matanja Sukandar itu, sesudahnja bisa luputkan diri dari tembakannja sang musuh, lantas lontjat turun dari tempat sembunjinja dan kepruk dengan gagang revolver kepalanja Sukandar, sedangkan dua rechercheur jang berada dibelakang pun lantas bantu hantem-hantemi dua pendjahat laennja, sehingga semuanja itu dapet diringkus dengan zonder bisa berdaja lagi.

Kemudian Chiu c.s. lantas parani itu barang-pesagi jang barusan diangkat keluar dari dalem lobang kedukan tanah jang ternjata bukan laen ada sebuah peti-besi.

Apa jang terdapet didalemnja?

Begitu tutupnja peti-besi itu bisa dibuka dengan alat-alat jang memang ada dibawa oleh detective Chiu, apa jang tertampak isinja bisa membunarkan mata. Didalem itu peti-besi terdapet...... perhiasan² terdiri dari emas, berlian, ringgitan emas, uang logam dan laen-laennja jang menurut taksiran detective Chiu dan Inspectir Lim, harganja tida kurang dari f 150.000.― !

V.

SENDJATA...... ULER!

INSPECTIR LIM berserta detective Chiu, Sinhock, Ibrahim dll-nja pada itu malem djuga di kantornja lantas kerdja keras buat preksa itu tiga serangkai pendjahat ulung.

Dengan tenang dan suara kalm, detective Chiu mulai berikan pendjelasan-pendjelasan tentang iapunja pekerdjaan lakukan penjelidikan ini perkara pembunuhan gelap sehingga bisa didapet hasil jang begitu bagus. „Tjoba kau semua dengar apa jang aku akan tuturkan......”.

„Ja, tetapi sekalian diundjutkan bukti-buktinja. agar ini tiga serangkai pendjahat tidak dapat memungkiri perbuatan2-nja!” meminta Inspectir Lim. sedengkan itu tiga pendjahat semua dengan tangan terborgol, berduduk dibangku-bangku jang letaknja dikedua samping dari itu ruangan pepereksaan dengan didjaga oleh beberapa polisie bersendjata.

Detective Chiu keluarkan itu tjangkang-telor, buku tjatetan jang ia dapetkan dengan memake namanja guru silat Chie Fu-kai, kuntji pintu rumah dengan memake nomer 6A dan ia suruan seorang rechercheur buat ambil itu bambu jang melondjor diatas tembok luar pekarangan rumah-kosong.

„Kau bukan laen ada ade dari njonja Lian. Betul itu waktu kau ditjulik, tetapi lantas kau bisa melarikan diri bersama Sukandar jang memang benar ada berasal dari Borneo”, demikian detective Chiu memulaikan membuka hasil penjelidikannja sembari tuding satu antara dua orang Tionghoa jang mudaan, „Dan kau, adalah Heng-koey jang katanja minggat menipu Sukandar! Sunggu lihay dan litjin akal-akalmu buat bikin ruwet djalannja ini urusan. Kau, ade dari njonja djanda Lian, biarpun bagaimana djuga tida akan bisa dilupa oleh hidungnia Teddy, andjing piaraannja itu njonja jang mendjadi korban dari kekedjemanmu. Aku sengadja pada suatu malem bawa dengan diam-diam itu andjing piaraan dan benar djuga kutika kau dibawa kemari, Teddy telah mendjalak-djalak padamu, seolah-olah itu binatang menjambut dengan girang kaupunja kedatengan. Binatang andjing tida akan berbuat demikian kalu bukan berhadepan dengan orang jang dikenal baik, sedikitnja jang ia sudah perna bersama-sama tinggal berdeketan! Sapulangnja dari tjulikan, kau sengadja tida kombali pulang ka rumah 'ntjimu kerna kau hendak gasak semua harta miliknja itu sudara......” detective Chiu sebentar merandek buat kasih titah supaja rechercheur jang sudah dateng membawa itu londjoran bambu, tarokan itu barang dipodjoknja kantoran.

Orang jang dibeber resianja, tinggal tundukan kepala dengan paras putjet.

„Kamudian satelah kau mengetahui bahwa 'ntjimu ada mempunjai perhubungan resia dengan Kim-hien, kau lantas mau bikin tjilaka Kim-hien buat didakwa membunuh éntjimu. Itu malem, setelah Kim-hien pulang dari rumah 'ntjimu, kau lantas ketok lagi pintu rumah dan didalem dengan terus terang lantes kau antjem n'tjimu dengan...... uler jang tentunja berada dalem kurungan sebab amat galaknja. Binatang berbusa itu ada mendjadi miliknja Sukandar dan sudah tentu kerna 'ntjimu sangat katakutan, maka ia lantes mengaku harta miliknja itu ada ditanem dirumah-kosong jang tadi kau keduk tanah kamarnja dan betul djuga dapetkan itu...... harta dan barang-barang berharga ratusan ribu rupiah! Sebab kau takut nanti 'ntjimu mengadu pada polisie, maka kau lantas betul-betul gunakan uler itu jang baru djadi galak kalu sudah diberi apa-apa. Didalem kamar 'ntjimu kebetulan ada terdapet beberapa butir telor diatas lemari, maka kau lantas ambil itu dengan amat kesusu hingga dua antaranja mendjadi petjah. Satu lagi kau ambil, tempelkan itu telor dikurungannja itu uler jang lantas gigit dan...... isep isinja. Kau kurang teliti, sobat, hingga kau taro begitu sadja ini tjangkang dipodjok lemari......”.

Semua jang berada disitu djadi terkesiap mendengarkan penuturannja detective Chiu dan mereka dengan penuh perhatian terus ikuti djalannja itu proces.

„Kemudian, dengan sangat kedjem kau tempelkan itu kurungan terisi uler jang baru abis mengisap isinja telor, diatas gegernja njonja Lian jang sudah tentu itu binatang lantas gigit djuga itu bagian badan sehingga n'tjimu...... binasa. Kau ambil kuntji origineel dari pintu luar dan tinggalkan itu rumah. Aku tau itu, sebab kedapetan kuntji pintu tersebut hanja tinggal reservenja sadja, jalah ini kuntji No. 6A”.

Ini detective jang pande berentikan lagi penuturannja buat tjegluk ijs jang sudah disediakan disitu sedari tadi. „Lantas kau adjak Heng-koey, saingan dagang dari Kim-hien buat...... berkomplot”, meneruskan lagi detective Chiu. „Supaja perkara djadi lebih butek, Heng-koey pura-pura minggat, padahal sembuni dirumahnja Sukandar jang mengadukan pada Inspectir Lim, bahwa Heng-koey menipu padanja. Dan, kaupunja tjara masuk didalem itu rumah kosong, bukan ambil djalan dari pintu atawa laennja, hanja kau gunakan itu londjoran bambu jang dilobang-lobangi saban antara 10 c.m., dimana kalu dipasang batangan- batangan kaju, lantas bisa berupa sebagi tangga.” Detective Chiu melirik pada rechercheur jang bawa itu bambu. „Tjoba kau pasang-pasangi itu batangan² kaju dilobang-lobangnja bambu londjoran jang tadi kau bawa masuk!”

Bener djuga satelah itu rechercheur lakukan apa jang diprentahkan oleh detective Chiu, itu londjoran bambu lantas berupa sebagi tangga dengan satu tiang, batangan² kaju jang dipasang menembus kanan-kirinja, hingga bisa dibuat naik dengan gampang sekali. Semuanja kombali manggut-manggutkan kepala, ketjuali itu tiga pendjahat jang terus membungkem.

„Kau bertiga sungguh ada orang-orang jang tjerdik, tjuma sajang katjerdikanmu itu kau-orang gunakan ditempat jang sesat, hingga menimbulkan kedjahatan-kedjahatan jang melanggar prikamanusiaan!” kata pula detective Chiu. „Dan kau, adenja njonja Lian, waktu kau buat kadua kalinja malem-malem dateng dirumah 'ntjimu almarhum,kau sudah gasak semua perhiasan jang masih ketinggalan dan sengadja kau tinggalkan ini buku tjatetan kapunjaannja kauwsu Chie Fu-kai jang perna mendjadi kau punja guru-silat dan kau sudah sedari berladjar padanja, telah sengadja tjuri ini barang jang maksudnja djuga kalu sewaktu-waktu perlu kau bisa gunakan untuk melabui orang, dus dengan njata kau punja pikiran memang sudah sedari dulu bukan berniat hidup baik-baik. Dengan kaupunja tindakan tinggalkan buku itu didalem kamarnja kaupunja 'ntji almarhum, jalah supaja orang taro sangkaan kauwsu itulah jang mengganggu kamar tidur 'ntjimu!

„Itu uler ada miliknja Sukandar, memang ada uler jang berbisa dan tjuma terdapet di Borneo serta ini djustru dipunjakan oleh Sukandar jang berasal dari itu tempat djuga.

„Tadi pagi Sukandar pura-pura bertahukan pada polisie dan tinggalkan alamat palsu, katanja ia hendak ka Bandung, padahal besok pagi bersmaa kau berdua, adenja njonja Lian dan Heng-koey, mau...... mabur! Sin-hock jang menjaru djual telor pada Sukandar telah dibeli dengan begitu sadja, ini satu tanda bahua sebab Sukandar sudah keabisan telor buat kasih makan ulernja, maka ini merasa kabetulan ada pengemis djual telor, lalu beli itu. Sukandar memang rupanja tida perna suruan orang membeli telor, selalu ia lakukan itu sendiri.

„Ini sudah tida dapat dipungkir lagi, kerna aku dapatkan semua hasil penjelidikan ini dari pengusutan-pengusutan jang teliti dan seksama.

„Nah, Ibrahim, kau bawa Sukandar, tetapi dengan didjaga extra-keras, buat ambil itu uler dirumahnja! Dan, bukan lain adalah ia jang telah tembak kau dari rumahnja, mengarti Ibrahim?!”

Ibrahim lototkan matanja hendak kasih hadjaran pada ini musuh jang berlaku begitu pengetjut sehingga ia mendekem beberapa hari dirumah sakit, tetapi maksud mana sudah lantas ditjegah oleh detective Chiu buat djangan Ibrahim gunakan kakerasan jang bukan ditempatnja. Dan...... bener djuga kutika Sukandar kombali, ia ada membawa satu kurungan ketjil terbuat dari kawat-kawat kuningan, terisi saekor uler jang galaknja bukan maen maskipun badannja begitu ketjil. Ia disuru bikin „demonstrasie” kasih telor pada itu uler jang ternjata bener sekali dengan sedotannja jang keras,ia bisa irup abis isinja itu telor dengan tjangkangnja tjuma kelobangan setitik udjung djarum......

Zonder pardon lagi, ketiga-tiganja pendjahat jang kedjem itu lantas dimasukkan dalem kamar tahanan, sementara Kim-hien itu malem djuga diadjak oleh detective Chiu buat dianter pulang karumahnja......

VI.

ILANGNJA SATU GELANG.

DETECTIVE CHIU setelah mengasuh beberapa minggu buat iapunja ketjapean membikin terang perkara pembunuhan atas dirinja njonja Lian dengan begitu tjerdik hingga surat-surat kabar sama menulis baik sekali buat namanja ini detective muda. pada suatu hari ia mendapet kundjungannja hartawan Tan Su-kiu jang meminta iapunja pertulungan buat uruskan tentang ilangnja gelang giok dari puterinja, nama Ching-hua, siapa ada mendjadi tundangannja Sin-hock, itu pembantu setia dari detective Chiu.

„Aku sanget harep kau suka usutkan itu gelang jang oleh puteriku ada sangat disuka. Taulah kau, detective Chiu, bahua gelang giok jang ilang itu ada pemberiannja Sin-hock sebagi tanda-pertundangannja dengan Ching-hua, maka bagimana malunja puteriku kalu nanti diwaktu perajaan hari tahunnja ia tida memake gelang itu? Aku bersedia korbankan uang berapa sadja asal bisa dapetkan kombali itu gelang giok.....”.

Detective Chiu mesem sembari sedot iapunja pipa-tembako akan kamudian ia kebulkan asepnja dan sebentar lagi barulah ia madjukan pertanjaan²: „Apa semalem rumahmu tida ada terdjadi hal-hal jang kiranja ada bersangkut-paut dengan ini pentjurian?”

Detective Chiu seperti mendapet kesan, bahua ini pentjurian tentu dilakukan oleh orang jang hanja mau bikin malu atawa niat lakukan pembalesan sakit hati sadja kepada hartawan Tan Su-kiu atawa Sin-hock, sebab kalu pentjurian jang maksudnja bukan demikian, tentu tida melulu gasak gelang giok sadja jang djustru ada mendjadi kepunjaan tundangannja Sin-hock, sedengkan kalu mau, si pentjuri masih bisa timpah djauh lebih banjak barang-barang berharga dari rumahnja itu hartawan.

Pertanjaannja detective Chiu didjawab oleh hartawan Su-kiu, bahwa hanja pada kira-kira pukul 6 sore, Ching-hua telah terima satu tetamu perampuan muda jang mengakuh ada mendjadi sudara-misan dari Sin-hock.

Antara Ching-hua dan itu tetamu terbit pertjakepan lama sekali didalem kamarnja gadis jang tersebut duluan sampe kemudian Ching-hua minta kuntji lemari besi padanja buat ambil gelang batu-giok jang memang ada dititipkan pada Su-kiu untuk disimpan dalem lemari besi.

Ching-hua menjatakan bahwa ia ingin supaja antara iapunja gelang giok itu dipadu dengan kapunjaannja itu tetamu.

Seperti dibilang diatas bahwa gelang itu akan dipake oleh Ching-hua pada nanti perajaan hari tahunnja, djustru sekarang hari itu sudah dekat, hingga Ching-hua djadi sangat sedih. „Detective Chiu, dengan ilangnja itu gelang, puteriku sampe seperti orang jang kesengsem hatinja, maka lagi sekali aku minta tulunglah kau tjarikan sampe bisa didapet kombali. Dalem ini hal selaennja kau menulung pada fihakku, pun sedikitnja kau bisa hindarkan salah-mengarti atawa keliru anggepan dari pembantumu, Sin-hock terhadep tundangannja, Ching-hua puterinja......” demikian ada landjutan pengutaraannja hartawan Tan Su-kiu jang terus mendesek buat detective Chiu berikan kesanggupannja menandakan bahua dalem hatinja terbit kekuatiran kalu-kalu itu detective nanti menulak iapunja permintaan.

Samentara itu bel telepon berbunji. Detective Chiu segera sambut hoorn-telepon dan sesaat djadi terprandjat: „Heh? Apa kau bilang Inspectir, Sinhock ditjulik orang?! Ditjulik dimana??”......

Bukan maen terkedjutnja Su-kiu sampe ia terbangun dari duduknja dan matanja ditudjukan dengan keras ke-arah detective Chiu.

„Kapan ditjuliknja? Setan alas! Makanja sehingga begini siang belon djuga keliatan ia dateng padaku...... O.K., sebentar aku lantas dateng padamu, Inspectir Lim......”.

Dengan tjepet detective Chiu lantas bereskan surat-surat jang berarakan diatas medja tulisnja bersedia buat lantas pergi kekantor polisie.

„Baeklah, sebentar lagi, sepulangnja dari kantor Inspectir Lim, aku lantas dateng karumahmu untuk bikin penjelidikan lebih djauh. Rupanja sadja ada hubungan rapet perkara pentjurian ini dengan.... ditjuliknja. Sin-hock...... Kurang adjar betul itu orang-orang djahat!” kata detective Chiu kemudian kepada Tan Su-kiu.

„Oh...... eh...... oh, djadi Sin-hock...... di......ditjulik? Habis, bagimana? Oh, tulung detective Chiu, lekas kau berdaja......!” meratap Su-kiu satelah mendengar pasti bahua iapunja bakal mantu sendiri telah alamkan kedjadian jang segetir itu.

Dengan setjepet kilat detective Chiu lantas sendal gas Baby-Fordnja menudju kekantornja Inspectir Lim.

Apa jang terdjadi disana?

„Sedari sepagian aku belun...... perna bel padamu! Sungguh aku tida mengarti mengapa kau tida bisa kenali suaraku?” begini djawabannja Inspectir Lim atas pertanjaannja detective Chiu jang sekutika itu djuga djadi...... melongo dan banting² kaki.

„Kalu begini, teranglah ada orang jang mempermaenkan diriku! Ja, sungguh kurang adjar......” berseru detective Chiu dengan dada berombak menandakan hatinja sangat mendongkol. „Pembitjaraannja didalem telepon tadi, suaranja precies dengan suaramu, ini aku bisa pertjajakan atas kesempurnaan telingaku. Tetapi, apakah bener Sin-hock ditjulik orang?”

Kombali pertanjaannja detective Chiu menimbulkan rasa terkedjut dan diterima dengan angkat pundak oleh Inspectir Lim jang lantas titahkan pada Ibrahim buat segera tjari tau kebenerannja ini perkara.

Detective Chiu meminta keterangan pada telepon kantor, siapakah jang tadi minta sambung bitjara padanja, akan tetapi teleponiste memberi djawaban bahua permintaan sambung itu ada dari...... publieke-telepon!

„Oh, kalu begini, apakah kau tida pikir, bahua kedjadian permaenkan dirimu sekarang ini ada mempunja hubungan rapet dengan itu perkara pentjurian gelang batu-giok?” tanja Inspectir Lim sasudahnja diberi penuturan oleh detective Chiu tentang Tan Su-kiu punja kedatengan padanja. „Ja, ja, kira-kira demikian. Tetapi biarpun begitu aku mau bikin petjah ini resia edan-edanan!”

„Ingat, kau mungkin berhadepan dengan badjingan² dari kwaliteit „welut-putih” jang litjin, my detective!......”.

„Putih atawa item bagiku serupa, sekali lawan tetap lawan sampe di dapetkan kemenangan achir 100% penuh !”

„......Apa dengan tida boleh ditawar-tawar maski sepeser dibelah tudju?”

„Ach, kau terlalu, Inspectir!”

Sembari menanti baliknja Ibrahim, itu dua orang polisie jang terkenal tjerdik teruskan pertjakepannja buat mentjari daja-daja akan membekuk ini perkara sulit, terutama jang bertalian dengan ditjuliknja Sin- hock.

Betul djuga setelah sekean lama berselang, Ibrahim keliatan dateng dan sasudah berada dihadepan marika berdua, ini hoofdrechercheur lalu memberi keterangan tentang penjelidikannja.

Betul djuga Sin-hock sedari pukul 6 pagi sudah tinggalkan rumahnja jang menurut keterangan orang dirumah Sin-hock, ada atas undangannja detective Chiu! Malah lebih luar biasa lagi, katanja orang jang dateng memanggil Sin-hock adalah...... Ibrahim sendiri.

„Astaga! Sunggu kurang adjar ini perbuatan...... mendjerit detective Chiu, Ibrahim, bagimana ada orang bisa menjaru dirimu? Apakah kau tida pikir, siapa jang kiranja lakukan itu perbuatan edan?”

Ibrahim dengan penuh api-penasaran mendjawab supaja ini perkara lekas diurus dan dibikin terang.

„Pokok jang terpenting adalah kita musti tjari tau dan usut tentang ilangnja itu gelang giok. Bagimana pendapetanmu?” Inspectir Lim menanja pada detective Chiu.

Pertanjaan mana dibenerkan oleh detective Chiu.

„Sekarang, perlu aku lantas pergi kerumahnja Tan Su-kiu buat dengar sendiri nona Ching-hua punja keterangan-keterangan!”

Zonder buang tempo lagi, detective Chiu bawa Ibrahim mabur kerumahnja hartawan Tan Su-kiu jang letaknja di Randusari, deket Djalan Holle Semarang.

BOEKAN maen ributnja dirumah Tan Su-kiu, terutama nona Ching-hua dan ibunja setelah dikasih tau tentang ditjuliknja Sin-hock.

„Nona, aku minta supaja kau suka tuturkan dengan sabar apa jang telah terdjadi semalem, satu demi satu djangan ada jang kelupaan disebut”, mulai menanja detective Chiu dihadepan nona Ching-hua jang keliatannja masih begitu gugup dan putjet.

„Kemaren sore, kira-kari pukul 6, selagi aku berduduk diserambi luar, telah dateng seorang perampuan muda jang mengakuh bernama Sui-niang, katanja ada sudara-misan dari Sin-hock. Sudah tentu aku sambut kedatengan itu sebagimana mustinja dan ia menerangkan, bahua ia sangat girang mendapet kabar jang Sin-hock telah bertundangan...... dengan aku maka ia jang mengakuh djuga baru dateng dari Bandung, perlu sambangi padaku buat beladjar kenal.......

„Sin-hock katanja tida bisa turut dateng sebab sedang repot. Kamudian ia menjatakan, bahua menurut Sin-hock, sebagi tanda pertundangan, aku telah diberi satu gelang-giok jang dimustikan buat nanti perajaan hari tahunku supaja dipake. Memang sebenernja aku telah lama diberi itu gelang oleh Sin-hock, maka aku pun mengakuh betul begitu......

Ching-hua berenti sebentar buat kumpulkan ingetannja, sedangkan detective Chiu dengan penuh perhatian terus mengikuti penuturannja itu gadis tjantik, tundangan dari iapunja pembantu.

„Selandjutnja......!”

„Selandjutnja ia undjukan djuga kepadaku ia punja gelang-giok jang katanja ada pemberian dari ibunja,tinggalan dari mamah-tjang, precies seperti Sin-hock pun menerangkan bahua gelang-giok jang diberikan padaku pun ada tinggalan dari ibunja 'ntjek Tjung-king, ajahnja Sin-hock.

„Dengan tida sangsi-sangsi lagi aku lulusi djuga permintaannja akan meliat gelang-giok kepunjaanku, lantas aku adjak padanja buat masuk kedalem kamarku dengan aku perlakukan sepantesnja seperti terhadep sudara-sendiri, kerna toch ia ada sudara-misan dari...... bakal suamiku.

„Kamudian aku minta pada papah itu gelang-giok jang memang aku titipkan padanja untuk disimpan dilemari besi”.

Ching-hua kumpulkan lagi sumangatnja buat bisa meneruskan iapunja penuturan, sementara itu detective Chiu menjatet semua pembitjaraannja nona Ching-hua dibagian-bagian jang perlu dalem iapunja buku notes sembari manggut-manggutkan kepalanja, tetapi dari sorot matanja mengundjukkan bahua detective ini sembari bekerdja sambil puter otaknja dengan keras.

„Sekombalinja aku meminta itu gelang giok dari papah, didalem kamar sudah tersedia dua glas terisi minuman jang aku kira ini tentu ada babuku jang sediakan. Aku kasi pada Sui-niang itu gelang-giok buat dipadu dengan iapunja, tetapi sebelonnja ia mau lakukan itu, dengan tida sungkan-sungkan lagi ia adjak padaku buat minum itu suguhan.

„Sedikitpun aku tida mempunjai perasaan kwatir atawa tjuriga apa-apa pada dirinja itu perampuan muda, kerna seperti tadi aku njatakan, pada waktu itu aku anggep ia adalah sebagi sudaraku sendiri, mengingat jang ia ada djadi sudara-misan perampuan dari Sin-hock, apalagi memang orangnja Suiniang pun ada begitu ramah-tamah. Aku bersama ianja berbareng minum dan kamudian aku nampak ia keluarkan djuga gelang-gioknja jang lantas dipadu dengan kapunjaanku jang sudah diterima dan berada dalem iapunja tangan......”.

„Lantas apa ia bilang lebih djauh?”

„Ia menjatakan bahua gelang-giok kepunjaanku katanja ada lebih bagus daripada miliknja sendiri....”

„Teruskan, apa jang kemudian terdjadi?!” mendesek detective Chiu seolah-olah ia suda mempunjai pendapetan bahua penuturannja Ching-hua akan bisa didjadikan kuntji baginja dalem penjelidikan ini peristiwa luar biasa.

„Oh...... tida terasa sesaat kemudian kedua mataku begitu mengantuk sampe achirnja...... aku tersedar setelah fadjar sudah menjingsing. Aku dapetkan kamarku sedikitpun tida ada perobahan apa-apa, pintu dan djendela semua tertutup rapet, tetapi tida terkuntji dan itu dua glas sudah linjap. Dalem sementara waktu aku tida ingat tentang apa jang telah terdjadi semalem, sampe sesudahnja pikiranku terang kombali barulah aku ingat gelang-giokku.

„Mengira jang itu diambil oleh papah, aku lantas tanjakan padanja, tetapi ia tida berasa terima atawa ambil itu gelang, djuga papah mengira masih berada padaku......

„Anehnja, tida ada orang jang mengetahui atas berlalunja itu tetamu......”. Detective Chiu atas perkenannja Miss Ching-hua, lalu bikin pepreksaan dalem kamarnja ini nona, dimana ternjata tida terdapet tanda-tanda pengrusakan apa-apa.

„Waktu kau diadjak minum, apakah kau ambil sendiri atawa disodori olehnja?” menanja detective Chiu sesudah sekean lama lakukan pepreksaan itu dan duduk kombali dihadepannja nona Ching-hua

„Aku disodori dengan glas jang dipegang oleh tangan kanannja, sedangkan jang sebelah kiri adalah jang ditenggak sendiri oleh itu tetamu......”.

„Bagus, kau tertipu, nona Ching-hua!” berseru detective Chiu dengan kedua matanja - seperti biasa diputerkan keseluru pendjuru dalem itu kamar.

„Apakah tida ada laen-laen barang jang ilang, nona Tan?”

„Tida ada!”

Detective Chiu lantas keluar, mengusut ketempat-tempat deketnja, tetapi disini pun tida terdapet tanda² jang menjurigakan sampe setelah ia berada dipintu jang menembus gang samping gedongnja Su-kiu, iapunja mata ketarik dengan satu pemandangan jang terdapet diatas daon pintu sebelah kiri bagian luar. Itulah ada selembar kain kelinan bekas tempat sabuk jang menjantol diatas paku jang menonjol.

Kain kelinan jang mendjadi perhatiannja detective Chiu itu ada berwarna idjo-pupus terdiri dari kain sutra-alus. Detective Chiu lantas simpan baek-baek dalem notitiebuknja, kemudian ia lukiskan dengan tjepet keadaan pintu, gang dan laen-laennja jang dianggap perlu.

VII.

SURAT JANG BANJAK KESALAHAN.

SEPULANGNJA detective Chiu dari rumahnja hartawan Su-kiu, ia lantas duduk pula kang medja tulisnja, diatas mana terdapet satu envelop jang lantas ia buka isinja dan batja surat jang dialamatkan pada dirinja.

„Dear Chiu!
„Kalu kau selagi membatja ini surat, mungkin aku
„sudah berada dilaen tempat. Apa jang terdjadi atas
„diriku sedari tadi pagi, bisa aku tuturkan dengan
„perkenannja orang jang menawan diriku.
„Pagi-pagi hari ini, sekira djam 6, Ibrahim dateng
„memanggil padaku atas titahmu buat suatu urusan
„penting, maka aku sigra brangkat, tetapi tida taunja
„ditengah djalan, dari belakang kepalaku diketok
„orang sekeras-kerasnja, hingga aku djatoh dan ini
„sudah tjukup buat bikin diriku bisa diringkus!
„Kemudian dengan auto dalem keadaan kepala pu-
„jeng terkena ketokan itu, aku dibawa ka suatu
„rumah di Sompok, dimana buat sementara waktu
„aku didjadikan talenan dari berbagi-bagi pertanjaan.
„Aku antara laen diprentah oleh penawanku buat
„lekas tulis surat ini padamu, supaja berdajalah
„lantas menulung diriku!

Your's
SIN-HOCK”.

Surat diatas betul ada tulisan tangan dari Sin-hock sendiri dengan tinta warna violet, tetapi jang amat mendapet perhatian keras dari detective Chiu. adalah itu tjoretan-tjoretan jang membunuh zin-zin antara. „Kalu kau selagi (tjoretan) membatja ini surat” dan „......aku dibawa ka (tjoretan pandjang) suatu rumah gedong......”, kerna tjoretan-tjoretan mana dibuat dengan tinta warna biru-gelap hingga bisa menutupi tulisan² begitu rupa sampe huruf² asalnja sama sekali tida bisa terliat atawa terbatja. Detective Chiu sigra panggil pegawainja, tanjakan siapa jang anteri ini surat.

„Ibrahim, tuan!”

„Ibrahim? Ach, sungguh litjin musuh-musuhku sekarang ini......” mengrendeng detective Chiu jang kemudian lantas panggil Ibrahim jang masih mengikuti padanja.

„Ibrahim ini?” tanja lagi Chiu pada itu pegawai sembari undjukan Ibrahim jang berdiri dihadepannja.

„Be...... betul, tuan”.

„Tjoba perhatikan dengan teliti apa ada perbedaan-perbedaan laennja?”

„Oh...... ja, Ibrahim jang menganter surat itu tida pake pitjis item, tetapi pitjis warna merah-soklat !......”.

„Ha, ini terang ada suatu penjaruan!” bertreak detective Chiu sedengkan Ibrahim sendiri pun berdjingkrak-djingkrak kerna hatinja merasa sangat djengkel merasa dirinja dibuat permaenan oleh badjingan jang ia belon kenal siapa adanja.

„Hmmm, kurang hadjar. Di Semarang hanja tjuma ada satu Ibrahim, mungkin diseluruh Dunia sekalipun, hanja tjuma satu Ibrahim jang bukan laen adalah diriku, masa ada orang laen jang bisa dan berani menjaru buat bikin katjau? Tuan, Chiu aku akan kunjah-kunjah itu pantjalongok pengetjut kalu nanti sudah ketangkep!”

Detective Chiu memikir dengan keras.

„Djuga aku tida berasa dateng panggil pada tuan Sin-hock seperti tadi katanja ada atas suruan tuan......”.

„Nah, taulah sekarang kau, Ibrahim, bahua kita lagi hadepkan suatu pertempuran heibat. Kalu sedikit sadja kita salah hitung, mungkin kita akan djadi...... pentjundang, maka aku minta kau pun dengan sungguh-sungguh bantu padaku buat bisa lekas² bongkar ini resia dan kasih hukuman-hukuman jang setimpal pada itu pendjahat² litjin!”

„Siap sedia, tuan Chiu”.

Dengan tida buang banjak tempo lagi, detective Chiu sasudah pesen pada sang pegawai buat tulak semua kedatengan siapapun djuga, lantas bersama Ibrahim membandang kekantor polisie buat djumpahkan lagi Inspectir Lim.

Dikantor tersebut detective Chiu kombali dibikin tjelengap waktu ia dikasih undjuk satu telegram jang terkirim oleh Sin-hock dari...... Magelang!

„Habis, apakah kau sudah kirim polisie kesana?” menanja detective Chiu.

„Tida ,aku menunggu kaupunja hasil penjelidikan dan bagimana dengan pendapatanmu, apakah perlu kita lantas kirim pertulungan ka Magelang dengan sama sekali tida tau dimana Sin-hock dibawa?”

„Bagus! Aku kira ini ada perbuatan mau sasarkan kitapunja pengusutan”, kata detective Chiu seraja kemudian memesen supaja Inspectir Lim harus selalu siap-sadia buat kalu perlu bisa lantas turun tangan begitu diminta olehnja.

„Djuga Ibrahim djangan diberi kewadjiban diluar, terus ia harus berada di kantor, tida usah pulang kerumah atawa pergi-pergi!” pesennja detective Chiu lebih djauh.

TANGGAL 14 Februari 1948 tinggal 2 hari lagi akan tibah.

Inilah ada hari-tahunnja nona Ching-hua jang akan dirajakan dengan upatjara perajaan. Dan dalem mana nona Ching-hua semustinja memake itu gelang-giok, laginja Sin-hock pun musti berada disitu, kerna ia adalah tundangannja nona Ching-hua, hingga ada mendjadi keharusan buat ia musti bantu seperlunja, terutama ikut berikan selamat atas hari-tahun ka 19 dari nona Ching-hua.

Tetapi......

Gelang-giok jang ilang belon bisa diketemukan, sedengkan Sin-hock sendiri pun belon bisa ketulungan maka tida heran kalu dalem keluarganja Tan Su-kiu bukan maen ripu dan kwatirnja, terutama nona Ching-hua sendiri.

Djuga sudah tiga hari detective Chiu...... mengilang, tida ada seorang pun, terhitung djuga Inspectir Lim sendiri, tau kemana perginja detective itu......

Tetapi bagi Inspectir Lim mengilangnja detective Chiu tida dibuat kwartir, kerna ia sudah paham bahua detective Chiu memang biasa suka......,,mmabur katiup angin”.

Pada itu sore, selagi hartawan Tan Su-kiu dan Ching-hua berdudukan dengan perasaan masgul, sekunjung-kunjung dari luar telah dateng seorang Indonesia jang mengakuh, bahua ia ada disuruh oleh...... Sin-hock buat panggil Su-kiu dan nona Ching-hua supaja papak dengan auto pada itu pemuda jang sekarang berada di Magelang......

„Hajoo, papah, kita lantas papak padanja, tetapi apa kitapunja chauffeur jang baru bisa tau dimana letaknja Magelang?” kata nona Ching-hua dengan pikiran tergontjang sehingga iapunja pertanjaan tentang sopirnja apa sudah tau letaknja Magelang, merupakan suatu pertanjaan jang agak gandjil, kerna masatah ada sopir Semarang tida mengetahui dimana adanja Magelang?

Malumlah, sebagi seorang gadis jang menjinta dan sedeng ditjinta, lebih pula ketjintaannja itu lagi berada dalem...... bahaja, tentu pikirannja pun tida karuan² rasanja...... Tan Su-kiu sebab sangat menjinta puterinja, maka dengan tida pikir pandjang lagi lalu panggil iapunja sopir jang baru masuk kerdja padanja kemaren, lantaran sopir jang biasa, tida masuk berhubung dengan isterinja lagi sakit.

Kombali dihadepan sopir nona Ching-hua madjukan pertanjaan apakah tau letaknja Magelang jang sudah tentu didjawab dengan perasaan hati geli oleh jang ditanja, bahua apalagi baru Magelang, sedengkan seluruh Indonesia katanja ia sudah perna rantaui.

Dengan zonder dibolehkan buang banjak tempo, auto lantas disiapkan dan marika lantas berangkat sekutika itu djuga bersama orang jang memberi kabar tentang adanja Sin-hock di Magelang pun turut sebagi pengundjuk djalan. Ini orang berduduk disebelah sopir dan sikapnja seperti gugup dan saben-saben mulutnja berkemak-kemik seperti ada perkataan-perkataan jang hendak diutjapkan tetapi tida ada keberanian untuk dikeluarkan......

Nona Ching-hua lagi-lagi bergelisah, seperti ia sudah tida tahan buat duduk diauto jang dirasakan djalannja kliwat pelahan. Iapunja hati inginkan supaja selekasnja bisa, setjepetnja mungkin, auto itu dilarikan buat lantas djumpahkan Sin-hock. Ia seselkan dirinja sendiri kenapa oleh Tuhan di lahirkan dengan tida...... diberi sajap, kalu toch ia mempunjai itu, tentu ia sudah terbang sendiri buat bisa tulungi Sin-hock.

Ia tida ingat, bahua apabila bener-bener ia terlahir dengan mempunjai sajap, tentu ia akan berupa satu-satunja orang sangat...... aneh di dalem Dunia, mungkin djuga ia akan mendjadi tontonan luar biasa!

Dasar pikiran ruwet, maka ada sadja jang didjadikan lamunan...... Sementara itu Tan Su-kiu djuga hatinja berdebar-debar, seperti ia mendapat firasat jang tida enak. Ia merasa gegetun mengapa tadi begitu gampang ia setudjui sadja kemauannja Ching-hua dengan zonder dipikir lebih pandjang. Ia mau batalkan ini perdjalanan, tetapi ia kwatir nanti membikin Ching-hua lebih...... tida karuan pikirannja.

„Papah kenapa sopir djalankan auto begini pelahan? Suruh dia larikan sekerasnja bisa supaja djangan terlambat......”.

„Ching-hua, ini kita masih berada dalem kota. nanti kalu sudah liwati bates kota, tentu dengan sendirinja ia akan larikan auto sekeras-kerasnja. Tetapi aku kwatir ini sopir djangan² nanti kurang pande, tida seperti kitapunja sopir jang biasa, maka baeklah kita djangan terlalu retjoki padanja, kwatir nanti ia djadi gugup. Sebagi sopir baru, tentu ia akan djadi gugupan kalu saban² kita tegor......”

„Tetapi Sin-hock perlu lantas kita tulung, bukankah ia suruhan orang perlunja djuga supaja kita lekas-lekas angkat padanja dari kebinasaan?”

„Aku...... sang......” Su-kiu tida bisa teruskan perkataannja, kerna ia ingat ini akan bisa bikin hatinja Ching-hua mentjelos.

„Apa papah bilang? Sangsi?”

„Tida, aku sanggup kalu kau ingin aku jang stuur sendiri”.

Ching-hua tida berkata lagi,ia tundukan kepala, beberapa ketes aer mata keliatan berlinangan......


VIII.

SOPIR BARU JANG GAGAH.

AUTO berdjalan dengan anteng, tetapi ternjata tida distuur menudju ka djalanan jang mendjurus ka Magelang, hanja puter² dulu didalem kota akan kamudian sesampenja di depan kantor Polisie di Bodjong, sigra dimasukkan kedalem pekarangannja kantor tersebut!

Menampak autonja dimasukkan dalem pekarangan kantor Polisie, nona Ching-hua dan ajahnja djadi kaget.

„Kenapa kau masuk dikantor polisie, sopir?” menanja Ching-hua.

„......Perlu ambil saja punja rijbewijs, nona!”

Itu orang jang duduk di sebelah sopir setelah tau kemana auto akan dimasukkan, buru-buru bangun dari duduknja dan hendak...... lontjat keluar, akan tetapi sebelon iapunja maksud bisa dilakukan, atawa satu tendangan keras dari sopir Su-kiu telah lebih dulu melajang kepadanja jang sekutika itu djuga lantas mengutjurkan darah dan dengan bertreak aduh, ia menggloso diluar auto!

„Tangkep; Lekas tangkep ini pendjahat!!......” mendjerit sang sopir kepada polisie jang berada disitu, hingga marika sama lari mendatangi dan ringkus itu orang jang sudah tida bisa bangun kerna luka dipahanja begitu rupa, mengutjurkan banjak darah.

Kawanan polisie jang meringkus itu orang, satelah memandang sesaat pada parasnja, lalu satu antaranja berseru: „Ibrahim! Kenapa kau?!! Oh, ini sopir kurang adjar bikin luka Ibrahim. Tangkep!”

„Ibrahim...... Ibrahim palsu!” bertreak lagi sopirnja Su-kiu jang lantas tjekel sendiri itu orang, seret bawa masuk kedalem kantornja Inspectir Lim.

„Tuan Inspectir, tangkep dan tahan dulu ini penjaru!” berkata si sopir dihadepan itu pembesar polisie, siapa djadi terkedjut menampak ada seorang sopir begitu berani, tetapi dengan lantas ia mengerti bahua ia tida usah buat terlalu maen sangsi-sangsi dalem masa menghadepi perkara-perkara sulit dan aneh-aneh dalem tempo paling belakangan ini. Sigra ia titahkan orang-orang sebawahannja buat sekep itu orang pengundjuk-djalannja nona Ching-hua.

Ternjata diatas pahanja terdapet luka sebagi terkena tusukan belati, sedangkan tadi ia tjuma ditendang sadja oleh sopirnja Su-kiu. Diduga lukanja ada begitu berat, mungkin djuga mengenakan urat paha, maka dengan diberi obat semantara, sang korban dipasangi belenggu dan diangkut kerumah sakit.

Kamudian sopirnja Su-kiu lantas adjak kedua madjikannja pulang sadja dulu dengan beri mengarti jang sekarang tida perlu musti ka Magelang, sebab sudah kenjataan tadi ampir sadja kena ditipu.

Dengan tida mengarti sebab-sebabnja mengapa bisa terdjadi hal jang sedemikian itu. Su-kiu dan puterinja menurut sadja, malah membenarkan utjapannja marika punja sopir.

Sesampenja dirumah, Su-kiu dapetkan iapunja sopir jang biasa, sudah berada disitu, mengadep mau bekerdja lagi sebab isterinja katanja sudah sembuh.

Itu sopir baru pun minta buat bisa lantas tinggalkan pekerdjaannja sesudah sopir jang laen sekarang masuk bekerdja lagi.

Su-kiu tida bisa berpikir lebih djauh ,ia setudjui sadja semua ini......

„CHIU, kau dapet upah berapa dari kaupunja pekerdjaan talangi sopirnja Su-kiu? Sedikitnja kau tentu bisa...... pandang dan lirik-lirik parasnja nona Chiug-hua, bukan? Hahaha, sunggu pandai dan heibat penjaruanmu mendjadi sopir......” kata Inspectir Lim kutika detective Chiu mengadep padanja tida berapa lama berselang dari terdjadinja itu lelakon „sopir-baru”.

„Djangan banjak menggoda, my Inspectir: Sekarang paling baek kau keluarkan Ibrahim-tulen buat sebentar lagi sama-sama...... serbu sarang musuh kita”, djawabnja detective Chiu.

Selama detective kita ini mengilang, ternjata ia telah berhasil dapetkan pengundjukan² jang bisa memastikan atas kemenanganja nanti terhadep kawanan musuh-musuhnja jang litjin. Dihadepan Inspectir Lim ia keluarkan dari taschnja beberapa barang jang kamudian ia beber dan tuturkan satu-persatu.

„Sebentar malem kita musti serbu sarangnja musuh-musuh kita, kerna aku jakin, satelah seorang kawannja jang menjaru djadi Ibrahim suda ketangkep, tentu marika, jang laen-laennja, mau merat dari ini kota sekalian bawa...... Sin-hock”, mulai menutur detective Chiu.

„Memang benar marika ada niat bikin malu pada dirinja Sin-hock, berbareng djuga hendak lakukan pembalesan sakit hati atas dirinja hartawan Tan Su-kiu buat suatu urusan dagang.

„Barangkali kau masih ingat waktu Djepang masih berada di Indonesia, itu masa adalah merupakan djeman jang katjau terutama dalem dunia ekonomie. Buat satu urusan ketjil jang bisa menimbulkan sangkaan tida enak, suda tjukup buat orang bisa lantas berhadepan dengan kenpeitai. Begitupun Tan Su-kiu itu waktu perna diadjak sekongkol oleh Kong-seng buat atur satu penjelundupan perak sedjumlah lebih dari ƒ 100.000. ― buat dibawa ka luar negeri tetapi sebab Su-kiu menulak adjakan ini dan achirnja oleh kenpeitai dapet di-endus maksud-maksudnja Kong-seng, sehingga ini orang sebelonnja bisa lakukan niatannja, sudah kebekuk dan uangnja dirampas. „Kau bisa bajangkan sendiri akibat apa jang menimpah atas dirinja itu orang sial.

„Ia taro sangkaan keras, bahua bisanja kenpeitai tau perbuatan ini, tentu ada atas pengundjukannja Su-kiu, maka ia dendem sakit hati.

„Satelah Djepang taluk dan Kong-seng bisa keluar dari pendjara Banjubiru, ia lantas tjari akal buat lakukan pembalesan seperti sekarang kita sedang hadepi......!”

„Wah, kenapa kau bisa bikin penjelidikan sampe begini luas?” menanja Inspectir Lim jang didjawabnja dengan enteng sadja oleh jang ditanja:

„Bukankah kau sendiri sudah mengarti, bahua Chiu kalu satu kali bertindak, tentu tindakan itu dilakukan sampe dipeloksok-peloksok jang paling njepit?”

„Ja, ja teruskan lantas......”

„Kong-seng dengan mudah dapet beberapa kawan, antaranja ada djuga sudara mudanja Heng-koey, siapa pun niat lakukan pembalesan sakit hati atas diri kita berhubung dengan terhukumnja Heng-koey sebagi gandjaran dari iapunja kedjahatan dalem komplotan membunuh njonja djanda Lian.

„Marika telah mendapat pengundjukan² lengkap tentang hubungan antara kita dengan Sin-hock, malah djuga sudah tau siapa ada tundangannja kita-punja pembantu itu, hingga sengadja si Kong-seng gunakan tenaga isterinja,seorang perampuan tjerdik, berani dan...... tjantik buat tjuri gelang gioknja nona Ching-hua jang ampir sadja tadi bersama ajahnja kena ketipu kalu tida lebih siang aku dapat endus kehendaknja. Inilah sebabnja aku sengadja kasih persen pada sopirnja Su-kiu buat mangkir beberapa hari dan aku talangi pekerdjaannja. „Itu Ibrahim-palsu tida tau ia berhadepan dengan siapa, maka sekali kena akupunja tendangan jang sengadja aku pasangi „djalu” diudjung sepatu dengan tjara begitu rupa sehingga tida sampe keliatan, tjukup bikin ia tida berdaja”.

Kemudian, sesudah sulut api tembakonja di pipa jang selalu tida perna ketinggalan, detective Chiu undjukan satu botol ketjil terisi barang tjaer.

„Ini ada sematjam obat-tetes jang sedikitpun tida ada rasa-apa², tetapi begitu ditjampurkan dalem barang minuman apa sadja, ketjuali arak, bisa bikin peminumnja lantas pules dan nona Ching-hua ada terkena pengaruhnja ini matjem obat atas tipu-dajanja itu perampuan, isterinja musuh kita.

Sepandjang aku „mengilang”, aku berhasil dapat usut bahua rumah gedong jang letaknja di Sompok jang begitu sepih, ditempati orang jang setelah aku selidiki lebih djauh, ternjata gedong itu dithiap oleh orang baru datang dari pedaleman, tapi tida lama ditinggal kosong!

„Tjoba kau batja dan liat suratnja Sin-hock. Betul ini surat ada ditulis oleh Sin-hock sendiri, tetapi teranglah jang ia ada didicteer sebab stijlnja beda djauh dari tjara menulisnja Sin-hock”.

Detective Chiu undjukan surat dari Sin-hock jang ia dapat tempo hari serta djelaskan djuga bagian-bagian tjoretan jang ia sudah bisa bikin...... terang.

„Inspectir Lim, ini tjoretan² aku bisa hindarkan dengan obat jang aku punjakan, hingga sekarang bisa dibatja terang tulisan asalnja. Tjoba kau batja!”

Itu pembesar polisie menurut batja itu surat dan diantara tjoretan² terdapat bekas-bekas gusekan obat tetapi tjukup terang buat dibatja apa bunjinja. Bekas tjoretan antara zin: „Kalu kau selagi......” terusannja berbunji „mengusut”, dus itu zin mulahnja tentu berupa. „Kalu kau selagi mengusut......” dan zin jang laen, jaitu bagian .....aku dibawa ka......” bekas tjoretan merupakan tulisan: „ka suatu hotel di Pendrikan, kemudian terus dibawa kerumah di Tegal-wareng”.

„Oleh kerna musuh² kita tjaranja mendicteer ada sedikit slip, maka marika tjoret-tjoret itu zin-zin dengan pennja sendiri, hingga warnanja tinta tida violet seperti kepunjaannja Sin-hock. Kemudian ia prentahkan Sin-hock ganti tulisan jang ditjoret itu seperti apa jang tersebut dibelakangnja tjoretan². Dari sini aku lalu tau, bahua sebenarnja Sin-hock tida dibawa ka Sompok, tetapi disekap dirumah jang terletak di Tegal-wareng.

„Aku dengan menjaru datengi djuga hotel di Pendrikan dan dapat katerangan bahua sebenarnja hotel itu pada beberapa hari berselang, precies waktu terdjadinja Sin-hock ditjulik, kedatangan lima orang jang tjuma sewa kamar-kamar tida berapa...... djam, kemudian lantas berlalu dengan tida diketahui kemana parannja. Dalem buku hotel hanja ditulis marika datang dari pedaleman, keperluannja tjari familie dan pada eigenaar hotel waktu mua berlalu menjatakan, bahua marika sudah dapat ketemukan familienja jang mau diadjak buat kombali ka pe- daleman......”.

Sembari terheran-heran mendengarkan penuturannja detective Chiu Inspectir Lim awasi setumpukan kain idjo bekas terbakar jang oleh itu detective pande dituturkan, bahua ia dapat ketemukan itu didapurnja hotel di Pendrikan. Rupanja oleh jang punja, itu kain jang ternjata ada rok sutra warna idjo pupus, mau dibakar dalem dapur tetapi tida keburu maka ditinggal begitu sadja.

Setelah ditjotjokan dengan kain kelinan jang menjantol didaon pintu, barang mana diambil dan disimpan setjara hati-hati sekali oleh Chiu, ternjata tjotjok sekali, sebab diitu rok djuga terdapat salah satu tempat sabuknja telah terobek bekas ketjantol paku. Dari Ching-hua detective Chiu mendapat kepastian, bahua perampuan jang menenamu pada itu gadis, ada berpakean ini matjam rok jang maskipun keliatanja ada rok bikinan baru, tetapi djika menilik kaen bahannja ada terdiri dari sutra-lama, maka mengundjukan suatu bukti bahua bahan itu tentu ada simpanan barang-lama dan memang di pedaleman masih terdapat banjak barang² bahan pakean dari simpenan lama, daripada kaen² keluaran baru.

„Habis, kenapa marika tjuma tjulik Sin-hock sadja kalu betul marika hendak lakukan pembalesan sakit hati pada hartawan Tan Su-kiu dan kita?” tanja Inspectir Lim.

„Supaja mengentengkan tenaga perlawanan kita! Sesudah Sin-hock, diniat akan tjulik djuga Ching-hua dan ajahnja, kamudian sebab marika tau jang kita tentu tida akan tinggal diam, sengadja ia suruan atawa paksa Sin-hock tulis surat padaku seperti tadi aku bentangkan dihadepanmu dan titahkan laen orang jaitu itu penjaru Ibrahim buat lekas-lekas Su-kiu dan Ching-hua papak Sin-hock jang katanja disekap di Magelang, padahal itu semua ada pantjingan melulu jang kalu berhasil dan kita turut kedjer barulah nanti dari belakang marika gempur dan mungkin djuga babat kita semuanja......”.


IX.

KEMENANGAN BERADA PADA FIHAK BENER.

K EADAAN GELAP-GULITA, ketjuali satu sinar lampu menjorot keluar dari sebuah rumah jang sekarang mendjadi sasarannja detective Chiu c.s.

Rumah itu sudah dikurung rapet dan bisa dipasti kan bahua pendjahat-pendjahatnja tida akan bisa terlolos dari ringkusannja itu orang-orang polisie jang lihay!

Detective Chiu bersama Inspectir Lim dan orang² sebawahannja,terutama Ibrahim tida mau ketinggalan, sudah atur stelling sebaek-baeknja buat grebek itu rumah di Tegal-wareng jang betul djuga begitu ditembak, dari dalem lantas membales dengan tembakan-tembakan gentjer.

Chiu c.s. bertreak-treak seperti betul-betul terkena tembakan² dan liwat sedikit tempo kemudian, keadaan djadi sirep. Itulah marika sengadja berbuat demikian supaja dikira oleh musuh-musuhnja bahua marika sudah kena dibinasakan......

Dan bener djuga tipu akalnja detective Chiu telah berhasil. Berselang kira-kira 5 menit, dari dalem rumah jang serem itu, tertampak beberapa bajangan bertindak keluar, satu antaranja berupa seperti orang perampuan, maka detective Chiu memastikan tentu itulah ada perampuan jang tjolong gelang gioknja nona Ching-hua.

Laennja lagi keliatan dituntun dalem keadaan tida leluasa dan kombali detective Chiu menetapkan bahua ini tentu bukan laen Sin-hock adanja......

Semua kawan-kawannja detective Chiu pasang matanja dengan betul-betul, bisa dibilang tida ada satu apa jang bisa terlolos dari intjeran marika.

Dalem saat jang tepat sekali, detective Chiu memberi tanda pada orang-orangnja buat lantas kepung marika. Dengan ambil djalan jang sudah diatur bermulah, marika merajap pelahan² dengan sedikit pun tida sampe menimbulkan suara, beruntung bisa deketi bajangan² jang rupanja sedang mau melarikan diri.

Tembakan pertama dari detective Chiu dilepas ke-udara, kemudian disusul oleh jang laennja. Begitupun dari fihak sana dilepaskan tembakan-tembakan jang betul², bukan ditudjukan ke-udara seperti detective Chiu.

Saling tembak-menembak achirnja tida dapat ditjegah lagi......

Biar bagimana pun djuga, pengurungan jang sangat rapet itu tida ada djalan buat marika bisa loloskan diri. Menampak keadaan jang demikian berbahaja, marika lantas nekat sekali, tembakan² terus ditudjukan kesana-sini!

Satu hal jang sangat dibuat kekwatiran oleh detective Chiu, adalah Sin-hock kalu-kalu nanti terkena pelor njasar, maka dengan tjeli dan tumpleki semua perhatiannja, ia awasi terus bajangan jang ia pastikan tentu Sin-hock adanja.

Dalem saat jang sangat berbahaja bagi djiwanja Sin-hock, jaitu selagi dengan tjara sangat pengetjut salah-seorang dari itu kawanan pendjahat mau menembak Sin-hock dari belakangnja, detective Chiu serentak menobros setjepet kilat dan dalem tempo sekedjapan ia sudah bisa bikin terdjungkal musuhnja. Perbuatan demikian lalu diturut oleh semua kawan-kawannja, detective Chiu dengan gunakan kepandean jiujitsu tertjampur kunthao, ia bisa „untjlang” begitu rupa musuh-musuhnja seperti tjaranja orang mempermaenkan bantal² dikasur......!

Betul djuga kawanan pendjahat tida dapat lakukan perlawanan terus, sebab selaennja keabisan peluru, djuga sumangatnja sudah kuntjup mendapat serangan dan untjlangan jang demikian heibatnja dari rombongannja detective Chiu.

Begitulah, achirnja semua pendjahat jang terdiri dari ampat orang lelaki dan satu perampuan muda, telah kena dibekuk dan pada itu malem djuga marika diringkus kekantor polisie, sedangkan Sin-hock dalem keadaan lelah terus dibawa kerumahnja Dr. Tan buat dirawat. Pendjahat-pendjahatnja kemudian dapat diterangkan, jaitu precies seperti apa jang bermulah ditetepkan oleh detective Chiu dalem penjelidikan, jaitu jang mengepalai adalah Phang Kim-sek, dibantu oleh Kong-seng, perna sudara muda dari Heng-koey jang tempo hari kena diobrak-abrik oleh detective Chiu, satunja lagi jalah orang sewaan bersama seorang Indonesia dari golongan „tjabang-atas” jang pande lakukan penjaruan sebagi Ibrahim, sedangkan itu perampuan muda bener djuga ada isterinja Kong-seng, siapa memang bukan terdiri dari perampuan baek-baek hingga pandai sekali mendjalankan segala actie buat lakukan kedjahatan kedjahatan!

14 ANGUSTUS 1948......

Hari tahunnja nona Ching-hua dapat dilangsungkan dengan penuh kegembiraan.

Hudjan dateng, kambing lari;

Kekasih dateng, senang hati!

Nona Ching-hua dengan paras berseri-seri, hati penuh rasa beruntung, pikiran penuh pula dengan segala kegembiraan, hari itu telah merajakan iapunja hari tahun jang ka 19 dengan pakean jang paling baru dan tangan kanannja jang putih alus terhias dengan itu gelang-giok berwarna hidjo muda, bagusnja bukan buatan.......

Pesta berdjalan sampe malem. Tetamu² jang mengundjungi, kesemuanja merasa puas, terutama detective Chiu, Inspectir Lim, hoofdrechercheu Ibrahim dan beberapa kawannja, mendapat perhatian istimewa dari kaluarga Tan Su-kiu......

Kebetulan sekali, sang rembulan dengan remeng-remeng pada malem harinja perajaan itu, membikin suasana djadi indah-permai dalem halaman kebonnja gedong hartawan Tan Su-kiu.

Disana, diatas sebuah bangku pandjang jang letaknja dibawah puhun kemuning jang tertabur kembang-kembangnja menjerbakan harum jang sedap, siliran angin alus disertai pula bertjandanja balang² saling menjanji, membikin kebon itu seakan-akan sorga, terdapat sepasang merpati sedang...... menjulam hati, menggubah kasih......

Marikalah tak lain tak bukan: Sin-hock dan Ching-hua!

Dalem saat Sin-hock hendak memberi......„hadiah-istimewa” dengan perantaraan hidungnja diatas wadjah Ching-hua, sekunjung-kunjung terdengar suara berkresekan dan satelah mereka memandang, bukan lain detective Chiu sudah berada dibelakang marika......

„Selamat malem, dan...... selamat hari tahun, Miss Ching-hua! Eh, kau Sin-hock disini? Pardon, my friend, aku mengganggu kau, tetapi...... apa boleh buat, sudah ketelandjur, aku sekalian akan haturkan djuga pendoaan, moga-moga kau-orang berdua, hidup beruntung sampe dihari tua, djauh dari kachilafan djauh dari penggoda, seumur-hidup terus diberkahi Jang Maha Esa......” kata detective Chiu sembari bersenjum-senjum.

Sebelon marika, sepasang merpati dapat memberi djawaban, atawa dengan selont jat-kidang, detective Chiu sudah tida tertampak bajang-bajangannja.

„Dasar detective, segala-gala dibuat dengan tjaranja sendiri......” menggrendeng Sin-hock.

„Ja, tetapi dialah penulung kita......” menjambung Ching-hua jang sesaat kemudian berduduk pula, hal mana diturut djuga oleh Sin-hock.

T A M A T

}}

Harta lawan Tjinta

MERCURIUS.

I

MATAHARI pagi jang bersinar kuning mas baru sadja sorotken tjahajanja kemuka bumi. Maskipun hari masih ada begitu pagi, aken tetapi djalan besar suda mendjadi rame dengen orang² dan kandaran jang bersliweran kesana kemari. itu pun tida heran kerna kota Djakarta jg penuh penduduknja baru sadja mendusin dari tidurnja. Apa pula hari itu ada hari Minggu, sehingga ampir boleh di bilang rata-rata kaum buruh dapet mengaso. Dengen gumbira masing-masing orang tjari kesenangan hati sendiri-sendiri; ada jang pergi pesiar ke Pasar Ikan, Tandjong Priok, pergi nonton Bioscope, atawa marika jang berigama tentu pergi ka gredja. Bagi marika jang males buat keluar ruma, tentu liwatken temponja dengen pembatjahan di dalem ruma. Itu waktu 'lontjeng telah mengutaraken djam sembilan kurang seprampat.

Dalem sala satu ruma jang terletak di Pekodjan, di serambi depan ada keliatan dua pemuda jang lagi sedeng uplek bitjara satu sama laen.

„Suda lama djuga aku tida perna liat kau Hin, kenapa kau umpetken dirimu? Apa kau mau mendjadi anak prawan, makanja bole djinek sadja diam di ruma? Atawa bisa djadi djuga kau ada mendjadi si „kutu buku”. Di ruma perkumpulan djuga kau djarang dateng. Apatah jang mendjadi sebabnja Hin? Kita punja perkumpulan tentu bisa rugi, kalu waktu maen Badminton se- lalu kena di tjepol sadja, itulah tersebab kau tida mau lagi pegang racket...... Kau tau si Jan Soen? Nah...... kabarnja dia suda bertundangan. Dan kalu nanti ia suda menika, ia djuga ada pikiran buat „mundur dengen teratur”... Wah... kalu begini lebi baek kita punja Badminton Club gulung tiker sadja......”

„Betul...... Seng. Bukannja aku suda bosen buat bergaulan. Sebabnja jalah dalem bebrapa waktu ini aku punja hati di rasaken sanget tida enak sekali, dan kurang kegumbirahan......”

„Hei......? Hal apatah jang telah mendjadi sebab sehingga kau rupanja seperti tarik diri dari pergaulan......? Oh...... ja...... apatah kau kena di serang oleh „penjakit Rembulan” Nah...... kalu betul begitu kau lekas kasi aku tau...... barangkali sadja aku bisa kasi obatnja.....” kata Hian Seng dengen djinaka. Parasnja Tjoan Hin mendjadi sedikit merah: „Ach...... lagi-lagi, kau suka membanjol jang bukan-bukan, Seng. Aku punja hati memang djuga setau kenapa, bolenja kurang kegumbirahan......” Hian Seng berkata lagi: „Oh... kalu begitu, betul tida sala lagi. Aku rasa ini tentu ada berhubung dengen si Lena jg kita perna bertemu di Zwembad Manggarai. Rupanja sadja hatimu suda kena tertjuri oleh itu gadis...... Hajo, mengaku sobat...... djangan malu-malu...... kalu betul kau punja sumanget kena tertarik oleh itu Bidadari, aku rasa aku bisa tulung padamu,” kata lagi Hian Seng sambil menggoda.

„Kau ini bisa sadja menggoda orang, Seng,” menjaut Tjoan Hin atas pertanjahan sobatnja : „Betul... aku masih inget pada itu gadis jang kita bertemu tempo hari. Aken tetapi kau sangka orang sembarangan sadja, kerna sampe ini hari aku masih belon tau terang ia punja „asal usul...”

„Nah... apa aku kata,” memotong Hian Seng: „kalu sesunggunja kau tida djato hati pada Lena, buat apatah kau ingin tau ia punja „asal-usul” Hola... sobat, sudalah djangan maen komedi dengen pura-pura mendjadi santri jang alim, suda djangan „malu-malu kutjing” lagi. Bilanglah padaku apatah kau ingin berkenalan dengen Lena? Nanti aku pikirken satu daja buat kau punja kebaekan......” Hian Seng atawa si „pokrol bambu” seperti di djulukin oleh kawan-kawannja tertawa tida mau brenti, sambil tepok² ia punja tangan...

„Ach...... kau suda gila Seng. Kenapa pagi-pagi hari kau suda mabok tuak? Siapa jang bilang aku tergila-gila sama Lena? Begimana orang jang sebagi aku ini bisa pikirken sual pertjintahan? Aku punja gadji tida tjukup buat bisa ongkosin satu ruma tangga dengen sempurna.”

„Itu bukannja mendjadi sual. Tapi pokoknja pembitjarahan jalah apatah betul kau tida ketarik oleh parasnja Lena? Tetapi bagi aku, aku tetep pertjaja bahua parasnja itu bidadari tentu masih sadja berbajang di depan matamu bukan?” menggoda lagi Hian Seng jang tida mau kala menta-menta......

„Bisa sadja kau menggoda orang terus-terusan. Nah, kalu aku bilang jang aku tida tjinta pada Lena, kau tentu tida mau pertjaja djuga. Sudalah baek aku mau mengaku kepadamu jalah memang betul aku „Tjinta” pada Lena. Tjuma sadja aku harep kau suka undjukin aku satu djalan supaja aku bisa berkenalan padanja......? Tjoba kau tulung kasi tau padaku Lena itu sebetulnja gadis siapa......? Apatah ia itu suda ada jg punja atawa belon......” Sehabisnja berkata begitu paras mukanja Tjoan Hin lalu beroba mendjadi merah kerna merasa malu jang resia hatinja kena di tebak oleh itu sobat jang tjerdik.

„Suda tentu, aku ada kenalan baek dari itu gadis jang kau selalu buat pangenan, Nah, kau bole pasang kupingmu biar terang. Tien Nio atawa Lena Oeij ada putrinja Oei Sian Kheng seorang Hartawan jang berasal dari Surabaja. Adenja Tien Nio bernama Loan Nio itu gadis jg pake rok dadu waktu kita bertemu di Manggarai tempo hari. Sebagi djuga Lena, Dora atawa nama aliasnja Loan Nio, djuga ada terpladjar Barat. Marika berdua ada keluaran MULO. Kedua gadis itu ada modern serta ada gemar dengen kesenian Muziek. Kau tau, Hin, Tien Nio ada pande sekali maen Piano.”

„Berapa usianja Lena?” menanja Tjoan Hin.

„Aku rasa sekarang Lena suda berusia 21 tahon, sedeng Dora baru masuk usia 18 tahon.”

„Apatah Lena suda bertundangan?”

„Ini aku tau pasti masih belon. Seperti kau tau Tien Nio dan Loan Nio dua-duanja ada aku punja temen sekola waktu aku masih tinggal di Surabaja. Aku pun ada kenal baek dengen entjek Sian Kheng. Ada djuga banjak anak-anak hartawan di ini kota jang telah madjuken lamaran pada dirinja Lena, aken tetapi sebegitu djau masih belon ada jang beruntung buat punjaken tangannja itu bidadari dari Surabaja.

„Apatah sebabnja? Apatah barangkali ia punja orang tua ada terlalu tjerewet buat pilihken pasangan bagi djodonja ia punja gadis?”

„Boleh djadi djuga ada begitu maskipun Lena suda berusia dewasa. Aken tetapi apa jang aku tau jalah kabarnja Lena hendak mentjari satu pemuda jang tjotjok betul bagi dirinja. Itulah sebabnja mengapa itu sekian lamaran dari anak² Djakarta suda di tolak oleh Lena sendiri. Ia punja orang tua jang sajang padanja tida bisa bilang suatu apa.”

„Kalu begitu......” kata Tjoan Hin: „aku mau pertjaja bahua hatinja Lena suda ada jang tempatin......”

Hian Seng tida lantes menjaut, ia berdiam sekutika lamanja, sebagi djuga ia ada berasa sangsi atas perkatahan sobatnja. Achirnja ia menjaut: „Aku rasa kau kliru kalu kau menduga demikian, Hin, aku pertjaja pasti jang maskipun ia ada teritung satu gadis jang terpladjar Barat dan modern, tetapi Lena ada satu gadis jang beradat sopan santun. Aku tida mau gampang pertjaja jang ia mau serahken hatinja pada sembarang orang.”

„Aku mau pertjaja dengen anggepanmu, Hian Seng, tetapi sebaliknja aku merasa sangsi atas hatinja prempuan jang suker di tebaknja. Duluan kutika aku masih sekola di Singapore, sobatku, Boon Laij, suda perna mengalamaken satu lelakon pertjintahan jang berachir dengen satu tragedy. Oleh kerna itu sampe sekarang aku masih tetep bersangsi dengen kesetiahannja hati prempuan jang gampang sekalih berobah. Hingga maskipun suda sampe waktunja buat aku beristri, tapi kapan menginget hal itu, aku djadi djeri buat menika......”

„Tapi bagi Lena ada laen sekali, Hin, djangan kau samaken Lena dengen gadis sembarangan. Aku brani pastiken jang Lena itu ada satu gadis jang berkelakuan bersih. Sebab dulu di Surabaja, sebagi aku punja temen sekola aku suda perna bergaulan padanja. Oleh kerna itu, Hin, kapan betul kau ada niatan buat menika, harep kau djajangan bersangsi lagi. Lekas suru ibumu buat melamar pada itu...... dan......”.

„Trima kasi...... Seng,” memotong Tjoan Hin atas pembitjarahan ia punja sobat itu, „sudalah... lebi baek kita rundingken sadja laen-laen sual dari pada halnja Lena jang tida ada habisnja...”

Hian Seng tertawa, tetapi dengen djinaka ia berkata lagi: „Hin, aku bukannja mau djeblosken sobat kedalem djurang. Kau turut bitjaraku, ambil Lena sebagi kau punja istri, dan tentu kau aken mendjadi beruntung......” „Tetapi... tapi...” kata lagi Tjoan Hin: „kau tida harus lupaken jang Lena itu ada putrinja seorang Hartawan, masa ia mau merendahken deradjatnja buat mendjadi istrinja seorang miskin sebagi aku ini...??”

„Djangan kau anggep demikian, Hin, Lena bukannja ada itu gadis jang gampang terdjato di bawah pengarunja uang. Aku pertjaja jang ia tentu mau serahken tangannja kepadamu, kalu sadja kau ada kebranian buat madjuken kau punja Lamaran......” Tjoan Hin tundukin kepalanja, ia mendjublek sekutika lamanja, rupanja sadja ia lagi sedeng pikirken perkatahannja ia punja sobat itu. „Baeklah......” achirnja ia berkata: „Aku mau pikir lagi tentang sual ini terlebi djau.”

Itu dua sobat lalu bitjaraken lagi laen-laen hal jang tida ada menjangkut dengen djalannja tjerita, setelah mana, berdua lalu berdjalan pergi buat meliat Bioscope di Globe, Pasar Baru.

II

SEBELONNJA kita madju terlebi djau, kita hendak adjak pada pembatja buat beladjar kenal dengan Tien Nio atawa Lena. Itu gadis jang ada mendjadi buah pembitjarahannja Hian Seng dan Tjoan Hin. Sesunggunja djuga jang parasnja Lena ada tjantik dan suker sekali di tjari tandingannja. Ajahnja Lena ada satu sudagar Hartawan jang tadinja tinggal di Surabaja, tetapi berhubung dengen sual perdagangan, telah pinda tinggal di Djakarta.

Sedari itu waktu ia bertemu dengen Hian Seng dan Tjoan Hin di Zwembad Manggarai, di mana Hian Seng telah memperkenalken kepada Tjoan Hin, gadis itu telah rasaken jang hatinja tida keruan rasa. Tjoan Hin, itu pemuda, ada sanget menarik hatinja itu gadis. Tjoan Hin, itu pemuda jg hidupnja tjuma bekerdja mendjadi kuli orang, ternjata ada bertabeat sopan santun. Parasnja itu pemuda jang tjakep, serta pengawakan badannja jang keker, tida bisa gampang-gampang di usir pergi dari hatinja itu gadis. Pikirannja melajang djau, seringkali ia suka duduk ngelamun. Sekarang ia tida suka lagi maen piano jang ada mendjadi ia punja kesukahan atawa membatja buku². Ia bajangken betapa beruntung bagi dirinja kalu sadja ia selalu berdamping dengen itu pemuda. Djikalu sang pikiran telah membawa padanja begitu djau, ia mendjadi terprandjat, dan kemudian berkata pada dirinja sendiri: „Oh...... edan betul aku ini. Kenapa aku selalu pangenin sadja parasnja itu pemuda? Apatah aku telah djato tjinta di luar aku punja tau? Ha... itulah ada satu hal jang sanget mustahil, kerna aku sendiri tida mengarti apatah itu sebetulnja jang di namaken TJINTA?

Pada suatu sore, sebagi djuga sang TAKDIR telah menetepken maunja sang NASIB, apa mau sepulangnja kerdja dari Kantoor, sebagi djuga ada apa-apa jang menarik ia punja hati, Tjoan Hin telah tudjuken ia punja sepeda ke Berend rechtslaan di mana Lena ada tinggal. Tjoan Hin mendjadi sanget terprandjat, kerna kutika ia menoleh kesatu djurusan, kebetulan sekali Lena lagi sedeng berdiri di depan pintu. Hatinja Tjoan Hin ada di rasaken sebagi djuga mau tjopot kerna djantungnja ada memukul dengen keras. Sepeda jang di naekin olehnja mendjadi limbung, hampir sadja ia kena kesamber oleh satu auto jang lagi sedeng di lariken dengen keras...... Tjoan Hin lalu membri hormat pada gadis itu dengen manggutin kepalanja, jang lalu bales dengen satu senjuman jang manis. Bagi laen pemuda jang kurang sopan, suda tentu kans itu tida nanti di sia-siaken dengen pertjuma, aken tetapi bagi Tjoan Hin jang pemaluan, tida ada laen djalan lagi dari pada...... lariken terus ia punja sepeda......

Marika terus berpandangan satu sama laen sekutika lamanja, sesudanja Tjoan Hin mengilang, barulah Lena balikin badannja dan terus masuk kedalem ruma. Setelah sinar matanja ke bentrok dengen sinar matanja Lena, jang bening, Tjoan Hin rasaken badannja lemes, hampir² sadja ia tida bisa terusken naek ia punja sepeda buat bawa ia pulang kerumanja.

„Ah......” kedengeran ia menggrutu kutika ia lepasken badannja di atas satu korsi males, sesampenja di ia punja ruma.

Ia punja ibu merasa heran meliat kelakuannja ia punja putra jang ada berbeda sekali dari sari², njonja Tjiam lalu samperken pada Tjoan Hin serta menanja: „Kau kenapa Hin? Kenapa dari setadian kau menarik napas pandjang pendek sadja? Apa kau sakit?”

„Tida ibu... trima kasi buat kau punja perhatian. Aku tida kenapa-napa, tjuma sadja aku merasaken lelah betul pada hari ini, kerna ada terlalu banjak perkerdjahan di dalem Kantoor,” menjaut Tjoan Hin.

Itu ibu jang menjinta putranja lalu awasken mukanja Tjoan Hin sekutika lamanja, kemudian ia lalu berdjalan keluar dari kamar.

„Kesian ibu......” kata Tjoan Hin seorang diri: „Ia suda berusia tinggi memang suda sepantesnja ia mempunjain mantu jang musti urus ia punja segala keperluan......”

Buat hilangken ia punja pikiran jang pepet, Tjoan Hin lalu buka djendela samping, di mana hawa udara seger lalu menghembus kedalem. Ia duduk ngelamun seorang diri sekutika lamanja, parasnja itu bidadari jang tjantik serta itu senjuman jang menggiurken hati, telah membikin itu pemuda mendjadi lupa daratan. Sunggu keras sekali pengaruhnja Tjinta. Kutika meliat anaknja terpekur, njonja Tjiam lalu panggil pada Tjoan Hin buat bersantap, jang pada kutika itu sang ibu jang baek budi suda sediaken buat ia punja putra.

III

SETENGA bulan telah berselang sedari apa jg terganti oleh siang jang panas, Betara Surja suda mulain mengintip dengen rupa-malu di selah-selah awan. Dalem ia punja ruma Tjean Hin dan ibunja lagi sedeng duduk menghadepin satu medja ketjil, di mana ada terdapet dua tjangkir koffie berserta kuwee². Kombali orang berada di Hari Minggu, Tjoan Hin tida berkerdja.

„Kau keliatannja kurang sehat, ibu......” kedengeran Tjoan Hin berkata. „Tida... Hin, aku tida sakit. Tjuma sadja tempo-tempo aku suka bersedi memikirin manusia punja peruntungan jang suda liwat. Kutika ajahmu meninggalken kita, itu waktu kau baru berusia 12 tahon. Ini tahon kau suda berusia 26. Aku suka pikirin tentang diriku sendiri; aku suda ada umur, serta semingkin tua aku rasaken diriku ada banjak kurang tenaga. Aku rasa sekarang suda sampe waktunja buat kau menika, Hin, kerna aku mau meliat kau djadi orang dulu sebelonnja aku menutup mata.”

Tjoan Hin mengarti apa jang mendjadi kehendaknja ia punja ibu. Memang djuga njonja Tjiam itu suda berusia lebi dari lima pulu tahon. Kutika suaminja tinggalken padanja itu waktu itu njonja suda masuk usia ampir ampat pulu tahon. Dengen kuatin hati, njonja Tjiam telah tahanken sekalian sengsara buat piarahken ia punja anak² sampe marika itu mendjadi besar.

Anaknja jang prempuan, jaitu adenja Tjoan Hin, si Giok, sedari berusia 15 tahon ada tinggal di Bogor bersama ia punja Ie. Njonja Tjiam ada mempunjain satu sudara prempuan, kerna tida mempunjai anak, ia lalu ambil pada Giok Nio buat anak. Mendenger perkatahan ibunja, Tjoan Hin berdiam sadja, ia tunggu lebi djau apa jang ibunja hendak bitjaraken lagi.

„Tjoan Hin...” kata njonja Tjiam lagi: „Aku suda mengambil putusan pasti buat nikahken pada dirimu. Aku suda pilih satu gadis jang eilok serta pinter buat mendjadi kau punja pasangan.”

„Apatah aku boleh tau gadisnja siapa jang ibu suda pilihken buat aku?” menanja Tjoan Hin.

„Hong Nio, gadisnja entjek Kwie Beng. Aku rasa gadis itu ada tjukup tjantik serta adatnja ada sabar, sunggu pantes sekali buat mendjadi kau punja istri. Buat hal itu nanti bulan Gouw-gwee aku mau ambil ukuran tjintjin, dan nanti...”

Sang ibu tida dapet terusken ia punja pembitjarahan kerna Tjoan Hin suda lantes memotong: „Aken tetapi menjesel sekali ibu, buat hal menika aku tida bisa turutin kau punja kehendak.”

Parasnja Njonja Tjiam mendjadi gurem. „Apa sebabnja?” ia menanja putranja dengen suara jg sedikit keras. „Oleh kerna aku masih belon ada ingetan buat menika. Pertama aku rasaken jang diriku ini masih ada terlalu muda buat masuk dalem pintu pernikahan, dan kedua seperti kau tau jang aku punja gadji ini tiba tjukup sadja buat liwatken enghidupan dengen sederhana. Terlebi lagi seperti kita tau jang harga barang² pada waktu ini ada sedemikian mahalnja...... Begimana kita bisa menjukupin ongkos buat menika. Harep ibu suka bersabar dulu sampe keadahan suda mendjadi biasa lagi, dan ongkos penghidupan tida begitu berat,” kata Tjoan Hin.

„Habis kalu begitu sampe kapantah kau baru mau menika, Hin?”

„Itulah kita nanti bitjaraken lagi belakangan, ibu. Tetapi pada waktu sekarang ini lebi baek kita kesampingin sual pernikahan......” Tjoan Hin tetep membanta.

Mendenger perkatahannja ia punja putra jang beralesan, njonja Tjiam lalu bungkem. Tetapi hatinja itu njonja tua ada sedemikian kerasnja, sehingga ia tida bisa tahanken dirinja buat tida berkata lagi: „Maskipun kau punja alesan ada betul, Hin, tetapi kau harus djangan lupaken jg ibumu ini suda berusia tinggi. Maka itu kau harus bisa kesianken pada ibumu Hin, jang tiada ada mempunjain laen anak lagi selaennja si Giok, jang sekarang ada tinggal di Bogor. Apa jang aku inginken lagi kalu bukannja lekas mempunjain satu Nona mantu. Aku ingin mengempo tjutju dulu seblonnja aku pergi menjusul kau punja ajah. Itulah jang mendjadi sebabnja kenapa aku inginken kau punja pernikahan selekasnja.” Matanja orang tua itu lalu mengembeng aer kesedian. Hatinja di rasaken perih sekali kapan menginget pada suaminja jang telah marhum.

Mendenger ibunja berkata begitu, hatinja Tjoan Hin di rasaken sanget terharu, aken tetapi...... ja, apa bole buat, kerna „hatinja” sama sekali tida ada sama Hong Nio tetapi pada Lena. Oh...... keras sunggu pengaruhnja AMOR......!

Pada suatu hari kutika Tjoan Hin berada dalem kantoornja, Hian Seng ada telefoon kepada- nja. „Hallo...... Hin, old boy. Aku rasa barangkali kau suda pergi bertapa di atas gunung maka kau „simpen” dirimu begitu lama......? Kau djarang sekali muntjul di Rumah Perkumpulan kita...... Aku ada satu kabar baek buat kau...... Kau tentu masih inget tempo hari aku telah berdjandji kepadamu buat mendjadi „orang perantarahan” buat kau punja perhubungan dengen Lena. Nah, denger. Sekarang ada, hari Djumahat bukan, nanti hari Minggu depan djadi seminggu lagi, perkumpulan Toneel amal UNITAS bakal buka pertundjukan di gedong Thalia buat Amal. Aku ada duduk di situ sebagi Comite. Nona Lena bakal bantu merameken itu pertundjukan amal dengen ia punja piano...... nah, di situlah ada itu kans jang sanget baek buat aku pertemuken kau kepadanja. Aku tau bahua kau ada pande maen Viool, maka itu...... maafken aku Hin, kau punja nama aku suda masuken dalem programma buat solo-viool, aken kemudian kau aken bermaen bersama-sama Lena, jaitu Viool dengen Piano accompagniement......

„Kau...... gila, Seng......? Mana aku sanggup??......” kata Tjoan Hin di laen udjung telefoon: „Wah...... kau ini sesunggunja lantjang bener......”

„Apa? Gila?...... Nah suda kalu kau tida mau ja suda, aku bisa cancel kau punja nama, tetapi apatah sesunggunja kau tida mau berkenalan sama Lena...... Kau ada anak goblok...... kau ada terlalu pengetjut. Pertjaja sadja padaku. Nah...... suda ini sore aku nanti dateng di kau punja ruma, besok tengahari kau bole bawah kau punja viool bersama-sama aku kita nanti pergi di rumanja entjek Sian Kheng buat train bersama Lena. Entjek Sian Kheng ada mendjadi Ketua dari itu kumpulan Amal......”

Tjoan Hin tida mengarti apatah ia harus bersedi atawa berduka, Hatinja berdebaran keras... sekali, dan djantungnja seperti mau tjopot. Itu hari ia berkerdja luar biasa giatnja...... kerna parasnja Lena ada terbajang di depan matanja. Lena ada mendjadi ia punja sumanget......

IV

PERTUNJ KAN amal dari UNITAS telah mendapet succes jang mengumbirahken...... Publiek umumnja merasa puas dengen, apa jang telah di pertundjukin. Permaenan Viool dan Piano oleh Tjoan Hin dan Lena telah mendapet applaus jang heibat dari penonton......

Sedari marika di perkenalken satu sama laen, dan djuga sesudanja marika bermaen muziek guna amal, pergaulan di antara Tjoan Hin dan Lena keliatannja bertamba rapet...... Itu sifat² pemaluan mulain linjap dari dirinja Tjoan Hin, ia sekarang banjak berlaku tabah dan tida kikuk² lagi kapan berhadepan dengen Lena.

Seringkali djuga di waktu hari Minggu ia mampir di rumanja Lena sambil menenteng ia punja viool dan maenken bebrapa lagu² klassiek bersama-sama si tjantik. Ternjata jang entjek Sian Kheng tida merasa kebratan buat gadisnja bergaul dengen itu pemuda. Djuga kadangkali marika suka pergi menonton Bioscope atawa ke Zwembad bersama-sama dengen Hian Seng dan Dora.

Pelahan-pelahan itu perhubungan persobatan di antara Tjoan Hin dan Tien Nio telah beroba mendjadi satu pertjintahan jg sutji murni. Aken tetapi sebegitu djau, marika punja pergaulan satu sama laen masih tetep bersifat persobatan sadja. Keduanja merasa malu buat utaraken marika punja pengrasahan hati, kerna itu sifat „pemaluan” ada mendjadi penahan jang sanget keras bagi itu pemuda...... Tjoan Hin merasa kuatir jg djika sadja ia utaraken ia punja pengrasahan hati kalu² ia punja pernjatahan itu dapet ditrima dengen senang hati, tentu sekali ia aken merasaken malu jang sanget besar, maka itu sebegitu lama Tjoan Hin masih terus bersikap sabar sadja! (Sifat pemaluan sunggu ada satu tjatjat dalem Penghidupan manusia. Penulis).

Pada waktu bulan Tionghoa djato pada penanggalan 15, hari jang mulain gelap suda terganti dengen sinarnja Bulan Purnama jg terang benderang. Di bawanja puhun mangga di atas satu bangku kebon, ada keliatan sepasang merpati jang lagi sedeng duduk berendeng. Marika itu adalah Tjoan Hin dan Lena jang lagi sedeng ngelamun menggadangin sang putri malem, di rumanja Lena di Berendrechtslaan.

„Lena......” berkata Tjoan Hin dengen suara bergumeteran: „Lena......” kombali Tjoan Hin berdiam. Sesudanja berpikir mateng, pada malem itu Tjoan Hin hendak paksaken diri buat utaraken ia punja pengrasahan hati jang sekean lama tinggal terpendem sadja dalem ia punja sanubari.

„Lena...” katanja lagi: „Idzinkenlah aku bitjara kepadamu......” „Aku idzinken, engko Tjoan Hin, hal apatah jang kau hendak bitjaraken dengen aku, sampe perlu buat kau minta aku punja idzin terlebi dulu?” kata Lena jang rupanja sengadja hendak ganggu pada itu pemuda.

„Ada satu hal penting jang ada menjangkut dengen aku punja penghidupan, di mana aku hendak minta kau punja putusan......”

„Hal apatah adanja itu, engko Tjoan Hin, tjoba tuturken aku bersedia buat mendengerin,” menanja lagi itu gadis jang masih berpura-pura.

„Terlebi dulu aku harep kau suka maafken padaku, djikalu perkatahan jang aku hendak utjapken kau anggep ada kurang sopan, atawa „laen” dari biasa......” Tjoan Hin berdiam, ia keluarken sebatang cigaret, kemudian isep itu, sebagi djuga orang jang hendak kumpulin ia punja ingetan. Ia awasken mukanja si djantung hati jang pada malem itu ada memake badju kebaja berwarna puti, sehingga mukanja jang tjantik keliatannja ada mendjadi terlebi tjantik lagi, kerna di sorotin oleh sinarnja rembulan.

Puhun² kembang melati jang ada tertanem di sekiternja itu kebon ketjil ada menjiarken bebauan jang harum, membikin Tjoan Hin merasaken dirinja sebagi djuga mengimpi berada di dalem Sorga, bersama-sama satu Bidadari. „Harep kau djangan bersangsi buat tuturken kepadaku, engko, aku berdjandji buat membri maaf kepadamu.”

„Permintahan ini ada sanget berarti sekali bagi aku. Apatah kau ada itu keteguhan hati buat mendengernja?” menanja lagi Tjoan Hin dengen melit. Tien Nio lalu memandang pada Tjoan Hin dengen ia punja sorotan mata jang menjajang... Lena rupanja sampe mengarti hal apatah itu jang hendak diutaraken oleh itu pemuda. „Baek engko, kau bole sigra djuga menutur, aku bersedia buat mendengerin pula,” sautnja Tien Nio.

„Aku TJINTA kepadamu, Lena. Apatah sebagi djuga aku kau ada menjinta pada diriku? Apatah aku bole mengharep buat dapetin kau punja tangan buat pimpin padaku dalem aku púnja Penghidupan? Maafkenlah kepadaku Lena, kalu kau anggep jang diriku ini ada berlaku lantjang....”

Tien Nio tida sautin atas perkatahannja itu pemuda. Parasnja lantes beroba bersemu dadu, hingga membikin ia punja ketjantikan semingkin terliat njata. Ia tundukin kepalanja serta tangannja buat maen ia punja saputangan jang di pelintir udjungnja pergi dateng. Tjoan Hin lantes sambungin lagi ia punja bitjara: „Dengerken aku, Lena, bahua aku ini belon perna menjinta laen prempuan seperti aku ada menjinta pada dirimu. Sedari pertama kali aku meliat padamu di Zwembad Manggarai, aku suda merasa tjinta kepadamu. Itulah ada „TJINTA PADA WAKTU PERTAMA KALI BERTEMU” atawa „Love at first sight”. Kau punja paras muka jang tjantik serta senjumanmu jang manis selalu ada terbajang di depan mataku. Maskipun aku hendak usir pergi itu pengrasahan, aken tetapi itu semua ada sia-sia belaka. Lama aku ingin utaraken ini pengrasahan aken tetapi aku tida mempunjain tjukup kebranian. Pendek kata, sual ini ada mendjadi mati-hidupku. Apa aku bakal mendjadi beruntung atawa sengsara dalem ini dunia, ada bergantung dengen kau punja putusan pada malem ini.”

Kombali Tien Nio tida menjaut, melainken parasnja mendjadi merah djambu, hal mana membikin ketjantikannja Lena djadi bertamba. Tjoan Hin jang sanget bernapsu buat denger djawabannja Lena, mendjadi berkuatir, dengen tida sabaran ia lalu menerusken pembitjarahannja. „,Oh... Len... Len... djiwa hatiku, kenapa kau tida menjaut? Oh...... aku rasa sekarang bahua aku ini betul-betul suda keblakangan, hingga kau punja hati rupanja sadja suda di tempatin oleh laen orang......” Sehabisnja berkata begitu, Tjoan Hin lalu mengelah napas, kemudian keluarin ia punja saputangan buat tjit ia punja keringet jg keluar mengutjur......

Ini kali Lena tida bisa berdiam terus, maka itu sesudanja angkat kepalanja jang sedari tadi di tundukin sadja, ia lalu berkata: „Oh...... engko Tjoan Hin, kliru sekali kalu kau menduga demikian. Sampe pada saat ini hatiku masih tetep kosong, seperti djuga itu langit jang djerni di mana tiada ada sepotong awan pun jang menutupin. Sebagi djuga kau, engko, aku djuga ada menjinta pada dirimu dengen segenap djiwaku... tjuma... tjuma sadja...” Itu gadis berdiam lagi. „Tjuma apa Lena...?? memutusken Tjoan Hin dengen pengrasahan kuatir. Tjuma sadja... aku kuatir tida bisa...” menjaut Lena. „Mengapatah tida bisa?... apatah kau menolak aku punja tjinta??......” berkata Tjoan Hin.

„Aku bersumpa di hadepanmu, dan djuga di hadepan Dewi Rembulan jang mendjadi saksinja, bahua aku ada menjintaken kepadamu dengen setulus hatiku. Tjuma sadja itu pengrasahan aneh jang saban-saban timbul ada sanget mengheranken. Aku sepertinja mendapet firasat jang kita punja perhubungan ini tida bisa berdjalan dengen kekel seperti jang kita ada harepken, engko Tjoan Hin......” Gadis itu lalu mengelah napas, parasnja dengen mendadak mendjadi sedi, hingga membikin Tjoan Hin mendjadi sanget kaget.

„Buat aku...... kendatipun Dunia mendjadi terbalik, tetapi aku aken tetep menjinta kepadamu Lena......” kata Tjoan Hin lagi.

„Sunggu ada merasa bergirang buat mendenger utjapanmu, engko Tjoan Hin, kalu sadja apa jang di utjapken padaku tadi, ada dengen hati jg setulusnja......” kata lagi Tien Nio.

„Demi Allah... aku bersumpa...” kata Tjoan Hin dengen bernapsu, „Biarlah Allah nanti kutuk kepada diriku kalu sadja apa jang aku utjapken barusan tida keluar dari hati jg sedjudjurnja...”

Oh... Cupido... kau sunggu ada sanget djail sekali, dengen kau punja „pana” jang tadjem bukannja sedikit hati jang telah terluka...... bukannja sedikit orang jang suda mendjadi kau punja korban. Itu kedua merpati lalu tempelken marika punja hidung dengen pengrasahan jang sanget puas dan gumbira. Rembulan jang tadinja terang benderang mendadak sembuniken dirinja di belakang mega, seupama merasa mengiri buat meliat keberuntungannja itu sepasang merpati.

V

DJALANNJA hari ada di rasaken sanget pesat sekali. Hari berganti hari mendjadi bulan, bulan mendjadi tahon dan setrusnja. Bagi orang jg lagi sedengnja menjinta djalannja sang tempo tida di rasaken sama sekali. Anem bulan telah berselang sedari apa jang telah di lukisken di atas. Oleh kerna merasaken manisnja madu pertjintahan, Tjoan Hin punja tenaga berkerdja mendjadi sanget besar. Ia punja ambekan timbul, kerna mana dengen berlaku himat, ia bisa simpen sedikit uang gadjinja setiap bulan. Chefnja jang meliat Tjoan Hin ada satu penggawe jang sanget radjin, telah tambaken ia punja gadji dengen satu kenaekan jang boleh di bilang besar djuga. Sekarang Tjoan Hin ingin menika. Ia punja angen angen hati adalah hendak menjiptaken satu ruma tangga jang ada penuh dengen madunja kebruntungan bersama dengen Lena jang tertjinta. Aken tetapi kerna sifatnja jang pendiam dan pemaluan, sebegitu djau Tjoan Hin masih belon perna utaraken ia punja resia hati pada ia punja ibu sendiri.

Pada suatu malem kombali njonja Tjiam tanja pikirannja sang anak. „Hin...... apa kau masih djuga belon ada niatan beristri?” Tjoan Hin tundukin kepalanja, agaknja ia lagi sedeng berpikir. „Kalu kau masih tetep menolak djuga, sampe kapantah jg kau hendak menika? Kau harus inget jang aku ini suda berusia tinggi, kalu masih kau berkepala batu djuga sampe kapantah jang aku ini bisa dapet meliat Nona mantuku??” Matanja njonja Tjiam mengembeng aer mata. Ia menangis...... Sunggu kesian njonja Tjiam itu, jang memang djuga seharusnja ada mempunjain satu penulung dalem ia punja penghidupan. „Kau suda tjukup umur... maka itu sebagi satu ibu aku mau meminta kepadamu dengen sanget, supaja kau suka turut aku punja perkatahan...” kata lagi itu njonja tua. „Baek ibu, aku nanti turutin kau punja kehendak kalu sadja kau sanget ingin buat aku menika, aken tetapi sanget menjesel sekali aku musti tolak kau punja permintahan, djikalu kau hendak paksa aku menika dengen Hong Nio,” berkata Tjoan Hin, atas perkatahan ibunja.

„Kenapa kau tida mau menika dengen Hong Nio? Ia ada sampe eilok serta tjukup pinter dan terpladjar? Djikalu kau tida mau menika padanja, aku rasa barangkali kau suda pili satu gadis buat pasanganmu. Siapatah adanja gadis itu jang kau penudju??” menanja lagi itu ibu jang menjajang pada putranja.

„Ibu... baeklah aku bilang terus terang kepadamu... Oh... ibu maafkenlah kepadaku. Aku punja hati suda kena ketarik oleh Tien Nio alias Lena gadisnja entjek Sian Kheng jang tinggal di Berendrechtlaan. Ajahnja Lena ada berasal dari Surabaja, tetapi suda lama djuga tinggal di Djakarta. Itulah jg mendjadi sebabnja ibu, mengapa aku tolak buat aku di perdjodoken dengen Hong Nio pula,” sautnja Tjoan Hin.

Njonja Tjiam merasa terprandjat waktu mendenger omongannja Tjoan Hin. „Ach... kau gila, Hin. Lebi baek kau buang itu segala pikiran jang bukan-bukan. Begimana kau bisa mengharep buat dapetken dirinja itu gadis, sedeng ajahnja ada satu orang hartawan? Turut aku punja pengliatan, Hong Nio itu ada satu gadis jang tjotjok betul dengen kau punja diri......”

„Aken tetapi ibu, kalu bukannja aku menika dengen Tien Nio, aku bersumpa buat seumur hidup aku tetep tida mau menika pula......”

„Kau terlalu kepala batu, Hin, kau harus kesianin pada diriku jang suda tua...” kata njonja Tjiam dengen suara meratap. „Kau kliru betul anak. Kau musti bandingken keadahannja itu gadis dengen kita punja keadahan. Apatah sekiranja ia punja ajah nanti setudju kalu kau menika dengen putrinja. Kau harus inget jg marika itu ada orang hartawan, begimana ia kesudian buat berbesan dengen kita jang miskin?”

„Betul sekali katamu, ibu, tetapi menjesel sekali jang aku tida bisa berbuat laen dari pada tetep pada putusanku. Maskipun betul kita ada miskin ibu, aken tetapi sebegitu djau jang aku tau, aku ini belon perna berbuat hal-hal jang dapet merendahken kita punja deradjat. Maka itu kalu kau ingin aku menika, ibu djangan bersangsi lagi buat melamar gadisnja entjek Sian Kheng.”

Maskipun ada berlawanan dengen ia punja hati sendiri, achirnja Njonja Tjiam turutken djuga kehendaknja ia punja putra jang tertjinta. Seminggu berselang, dengen di anter oleh ia punja satu kenalan, ibunja Tjoan Hin telah kundjungin rumahnja itu hartawan di Berendrechtslaan buat meminang pada dirinja Tien Nio. Sebelonnja itu, Tjoan Hin telah bertauken pada ia punja kekasih jang ibunja aken dateng kerumanja buat melamar ia punja diri. Pada kutika ibunja Tjoan Hin dateng, maka Lena suda ketahuin orang punja kehendak. Sehabisnja membawahin thee, Lena lantes mengumpet di samping pintu kamarnja buat mendengerken pembitjarahannja ia punja ibu dengen ibunja ia punja kekasih. Kapan gledek menjamber barangkali sadja gadis itu tida mendjadi begitu kaget, kapan ia mendenger ibunja punja perkatahan jang membilang: „Betul entji... harep sadja djangan mendjadi gusar, bukannja saja tolak itu lamaran, kerna sebetulnja djuga Lena itu suda di perdjodoken oleh ia punja sudara misan dari Bandung......” Hampir-hampir sadja Lena rubu. Dadanja di rasaken sesek, kepalanja pusing...... Ia lalu banting dirinja di atas pembaringan, sambil lampiasken ia punja kesedian......

Waktu ibunja Tjoan Hin suda pulang, Tien Nio merasaken badannja sanget lemes sekali seperti tida bertenaga, aer matanja turun dengen deres sekali membasaken sang bantal...... Itulah ada satu vonnis, vonnis mati jang suda di keluarken oleh ibunja...... Sebetulnja ibunja Tien Nio suda berdjusta terhadep ibunja Tjoan Hin, sekedar buat menolak sadja lamaran tersebut. Sebabnja jang betul jalah, pada bebrapa hari berselang familie Oeij telah menerima satu lamaran dari satu familie di Bandung. Njonja Sian Kheng telah djustaken pada njonja Tjiam bahua ia punja putri suda di pertundangken oleh ia punja sudara misan...... Lamarannja itu orang Bandung masih belon di putusken, kerna ajahnja Lena hendak minta tempo dulu buat sepulu hari lamanja. Ini semuanja suda terdjadi di luar taunja...... Lena sendiri...... Kho Tjong Bian dari Bandung itu ada seorang hartawan jang usianja ada ampir ampat pulu tahon. Berhubung dengen meninggalnja ia punja istri jang pertama, maka itu ia ada niatan buat beristri kombali. Pada ajahnja Lena ia ada kenalan lama, kerna Tjong Bian itu ada mendjadi eigenaar dari Perkebonan karet „Djaja Mulia”, di mana Sian Kheng seringkali berhubungan dagang padanja. Apa mau jang lamaran itu telah di madjuken hampir dengen berbareng, suda tentu sadja si „KAKAP” jang menang, masa si Tjetjere???”

Selagi Tien Nio merasaken itu kesukeran batin jang sanget heibat ada pun ajah dan ibunja lagi sedeng berduduk di ruwangan depan, sambil membitjaraken urusan perdjodohannja Lena dengen Tjong Bian. Pada waktu itu Sian Kheng baru sadja pulang, hingga ia sama sekali tida tau tentang kundjungannja ibunja Tjoan Hin, sampe istrinja tuturken padanja, jang ia suda tolak lamaran tersebut. Sian Kheng manggutin kepalanja menjataken setudju...... betul. Lama sekali Sian Kheng berdami dengen istrinja apa baek apa tida trima lamarannja Tjong Bian, sampe achirnja marika putusken buat trima perbaek sadja lamarannja itu hartawan Bandung. Tiga hari lagi suda sampe temponja jang entjek Sian Kheng musti briken ia punja putusan...... Sampe hari suda hampir gelap, masih sadja Lena tida keluar dari...... kamarnja Gadis itu lampiasken ia punja kesedihan sampe kedua matanja mendjadi merah. Kerna meliat Lena tida keliatan ibunja mendjadi heran, ia sama sekali tida mengarti hal apatah jang telah membikin itu gadis mendjadi begitu. Lantaran sanget sedi dan pikirannja di rasakan sanget kalut, Tien Nio sama sekali tida mendenger jang ibunja telah masuk kedalem kamar, sehingga bukan maen ia punja kaget kutika ibunja menegor kepadanja: „Hei...... Lena, kau kenapa? Apa kau sakit?” Lena tida menjahut, ia tekep mukanja dengen bantal jang suda mendjadi basa dengen aer mata. Tetapi menginget hal apa jang barusan telah terdjadi, maka njonja Sian Kheng bisa menduga apa jang mendjadi lantarannja. Terlebi pula memang ia tau jang gadisnja itu ada sanget rapet bergaulan dengen Tjoan Hin. „Lena...... bangun” kata sang ibu pada gadisnja: „Kau tau, barusan sadja aku menolak lamarannja njonja Tjiam, jaitu ibunja Tjoan Hin. Aku sengadja telah berbuat demikian, kerna kau punja kebruntungan sekarang suda berada di depan mata......” Begimana kau bisa di pasangken sama Tjoan Hin jang miskin? Kau satu gadis hartawan suda tentu musti dapet pasangan orang jang setimpal betul. Kau tau, bahua kau punja entjek di Bandung telah piliken kau satu pasangan jang sembabat betul. Kho Tjong Bian eigenaar dari „Djaja-Mulia” suda madjuken ia punja lamaran... dan kita suda trima itu. Tida lama pula kau aken sigra menika dan hidup beruntung dengen kau punja bakal suami. Laen minggu Tjong Bian bakal dateng kemari, baek kau beladjar kenal dengen kau punja bakal suami itu. Mulain hari ini kita larang padamu buat bergaulan lagi dengen Tjoan Hin.” Ibu itu berdiam, dan mau meliat apa jang bakal mendjadi akibatnja ia punja pembitjarahan tadi.

Seperti orang jang terpagut uler, Tien Nio bangun duduk di atas pembaringan ia awasken muka ibunja dengen sorot mata gurem. „Apa kau tida setudju jang kita suda tolak lamarannja Tjoan Hin?” menanja lagi sang ibu. Tien Nio bersangsi sekutika lamanja. Ia duduk mendjublek dengen tida memperduliken sang ibu. Ia ingin utaraken ia punja pengrasahan hati, aken tetapi lehernja di rasaken seperti terkantjing, lidanja dirasaken kaku. Ia tetep membisu.

„Kenapa bolenja kau mendjadi berduka? Harep kau tjeritaken kau punja pengrasahan hati dengen terus terang......” membudjuk itu ibu.

„Oh...... ibu...... aku tida sudi menika dengen hartawan dari Bandung, aku...... aku......” Lena tida bisa berkata lagi, kerna aer matanja mengalir dengen deres...... ia sesenggukan...... ia menangis...... Njonja Sian Kheng manggutin kepalanja. Ia mengarti bahua putrinja itu ada menjinta pada Tjoan Hin, jang suaminja tida setudju, bukan kerna kelakuannja itu pemuda ada kurang sopan, atawapun kurang terpladjar, aken tetapi oleh kerna...... kurang...... duit...... alias miskin !!!! suda tentu sadja Sian Kheng tida gampang-gampang buat serahken putrinja pada orang jang dalem anggepannja tida bersamahan deradjat dengen dirinja.

„Lena......” kata sang ibu sambil memandang muka putrinja dengen pengrasahan kesian: „Kau punja pemandangan sunggu tjupet. Begitu djuga kau harus berpikir dengen tenang. Begimana kau hendak menolak jang kaja buat ambil pada jang miskin...... (Orang tua mata duitan. Penulis). Inget bahua kau masih ada terlalu muda buat mengenal penghidupan manusia. Djangan sekali kau kena terbudjuk oleh segala budjukan iblis jg kosong belaka. Orang tida bisa hidup zonder mempunjai uang, kau mengarti?? Betul Tjoan Hin ada satu pemuda jang tida ada ketjelahannja, tapi kau toch tida bisa hidup melainken dengen ia punja Tjinta sadja...... kerna Tjoan Hin itu toch tida lebi dari pada mendjadi kuli orang. Beda sekali dengen kedudukannja Tjong Bian jg kaja, serta ada mempunjain Auto dan ruma gedong, suda tentu kau nanti mendjadi beruntung kalu kau bisa mendjadi ia punja istri......” Sang ibu masih mau mengotje lebi djau lagi, tetapi seperti kesetanan Lena mendjadi sengitan, kutika meliat jang ibunja telah mendjelekin pada itu pemuda jang di tjinta olehnja di hadepannja jang di tudu ada mendjadi pembudjuk. Dengen suara keras ia berkata: „Ach...... sudalah ibu, kau djangan menduga djelek atas dirinja engko Tjoan Hin. Ia sama sekali belon perna membudjuk aku. Tjuma sadja aku suda berdjandji kepadanja buat mendjadi ia punja istri. Aku tjinta pada Tjoan Hin.”

„Bukan...... Lena, bukan aku mau persalahken padamu. Tjuma sadja kau ini rupanja belon mengetahuin dengen djelas apa itu jang dinamaken HARTA. Barang itu ada sanget penting sekali dalem manusia punja penghidupan. Ia bisa menjiptaken segala rupa hal, jang kita sebagi menusia harus mempunjain, Orang² muda djeman sekarang melainken tjuma kenal Tjinta sadja...... apatah orang dapet hidup melainken dengen Tjinta melulu......?”

Sebagi lakunja satu pendita dalem gredja, begitulah terus menerus itu ibu mata duitan membudjuk putrinja dengen pandjang lebar. Lena berdiam sadja...... ia menangis sesenggukan. Pada waktu itu mendadak Sian Kheng masuk kedalem kamarnja ia punja putri. „Hei Lena...” katanja: „kenapa bolenja kau djadi begini? Kita suda trima baek lamarannja Tjong Bian itu ada guna kau punja kebruntungan, djuga aku sebagi kau punja orang tua ada mempunjain hak penuh atas dirimu. Aku tau bahua hatimu suda kena ketarik oleh anak miskin...... bukan?? Nah...... apa aku kata, bukantah anak itu ada sanget kurang adjar sekali? Maka itu kapan ia brani dateng lagi kesini, aku nanti usir padanja sebagi se-ekor andjing......” Gadis mana masih tinggal diam sadja. Hatinja di rasaken sakit sekali atas perkatahannja ajahnja jang menusuk ia punja hati...... Tjoan Hin mau di usir sebagi se-ekor andjing....... „Begimana Lena, apatah kau tida setudju mendjadi istrinja Tjong Bian? Ingetlah jang Tjong Bian itu ada seorang hartawan serta ada mempunjai harta millioenan rupia. Kau djangan membandel buat bawah kau punja adat sendiri, Lena, kerna achirnja kau tentu nanti merasaken menjesel di kemudian hari.”

„Tapi...... ajah, orang toch tida aken mendjadi beruntung dengen harta sadja? Aku bukannja hendak menika sama ia punja harta, maskipun djuga ia itu ada mempunjain segunung banjaknja,” djawab Lena dengen suara tetep.

„Ja, lagi sekali aku mau kasi kau tau jang ini kans baek djangan di sia-siaken dengen pertjuma......” kata lagi itu ajah jang mata duitan.

„Lena......” kata ibunja: „Harep kau djangan bikin ajahmu mendjadi berduka, trimalah lamarannja Tjong Bian nistjaja kau tida djadi menjesel, masa orang tua mau djeblosken pada anaknja? Kita aken merasa puas dan beruntung sekali, kapan kau bisa hidup senang dan beruntung.”

„Tapi...... ibu, dan kau djuga ajah, aku mau bilang terus terang jang aku tida bisa turutin kau punja kehendak, kerna hal itu ada sanget berlawanan sekali dengen hatiku sendiri......”

„Kalu begitu...... masa bodo. Itu melainken terserah dengen kau punja pikiran sendiri sadja... Lena. Tjuma sadja aku merasa sanget menjesel sekali jang kita suda piara dan besarin kau djikalu pada hari ini kau suda menolak begitu getas atas kehendakannja kau punja kedua orang tua......” kata lagi ibunja Lena dengen sedikit sengit meliat putrinja ada begitu bandel dan kepala batu. Lena tundukin kepalanja kerna perkatahannja ia punja ibu ada di rasaken sanget pedes sekali. Memang djuga jang Lena itu ada sanget berbakti sekali terhadep ia punja orang tua. Sama sekali ia bukannja bermaksud buat membikin hati ibunja mendjadi djengkel, aken tetapi oleh kerna hatinja suda di tempatin Tjoan Hin, djadi ia sama sekali tida tau apa jang ia harus berbuat ...... melainken...... lepas suaranja menangis tersedu-sedu.......

„Harep kau djangan bersedi Lena......” kata lagi itu ibu jang mata duitan: „Djandjilah pada kita bahua kau aken turut kita punja permintahan buat mendjadi seorang jang hartawan di kemudian hari......” Kombali Lena tida menjaut, rupanja sadja ia lagi sedeng lajangken pikirannja. Ia punja pikiran lagi sedeng bertarung heibat. Hampir sadja ia punja mulut mau mengutaraken bahua ia mau turut kehendakannja ia punja orang tua, aken tetapi dengen mendadak pula bajangannja Tjoan Hin berklebat depan matanja; hingga teringet lagi olehnja itu perdjandjian pada itu maleman Terang Bulan. Tersurung oleh pengrasahannja sendiri, achirnja Lena telah mendapet satu tenaga baru, ia sigra keringken ia punja aer mata, dan dengen suara tetep ia lalu berkata pada ajahnja: „Menjesel...... ajah, jang aku musti menolak kau punja permintahan.......”

„Djadi kau tetep tida mau menurut??” menanja lagi Sian Kheng dengen gusar.

„Betul, ajah, maskipun aku di bikin mati djuga, aku tetep musti menolak kau punja permintahan...” kata Lena pada ajahnja.

„Djadi kau tetep tida mau menurut?” kata Sian Kheng lagi dengen gusar serta agaknja seperti mengantjem pada putrinja.

„Betul......” menjaut Lena dengen suara tetep. „Bagus, bagus betul ja? Siapa jang adjar kepadamu buat berlaku kurang adjar pada kau punja orang tua? Ha...... tentu itu andjing keparat jang berupa Tjoan Hin. Kalu ia brani dateng lagi kemari, aku nanti......” Sian Kheng punja napas memburu tersengal-sengal...... ia tida dapet terusken lagi ia punja perkatahan, kerna ia lalu batuk-batuk, aken kemudian dengen gabrukin pintu kamar ia lalu berdjalan keluar, tinggalken istrinja jang masih terus mendjublek di situ sebagi djuga satu patung. Itulah ada kelakuannja satu ajah jang bertindak sebagi djuga satu dictator, di mana ia punja perkatahan harus mendjadi wet. Aken tetapi itu semuanja suda terdjadi kerna pengaruhnja uang jang telah membikin matanja Sian Kheng sebagi djuga buta...... Dengen putus harepan, achirnja ibunja Lena djuga tinggalken ia punja putri, jang terus sadja banting dirinja di atas pembaringan buat melampiasken ia punja kesedian hati.

Dengen tida sabaran Tjoan Hin menungguken kedatengan ia punja ibu jang pergi melamar pada dirinja Lena. Itu waktu suda hampir lohor, aken tetapi masih djuga sang ibu belon keliatan mata hidungnja. Tjoan Hin berdjalan bulak-balik sambil gendong tangan. Kelakuannja ada mirip sekali sebagi satu persakitan jang lagi sedeng tungguken putusan Hakim. Matanja sebentar-bentar di intjerken ke djalan rajah buat meliat apa ibunja suda kombali atawa belon......

Kutika suda hampir djam tiga, barulah keliatan sang ibu berdjalan pulang sambil undjuk muka lesu. „Begimana...... ibu?” menanja Tjoan Hin dengen rupa kuatir. „Ach...... Hin, sedari duluan djuga aku suda kata lebi baek kau ambil sadja Hong Nio sebagi istri, tetapi dasar kau sendiri jang berkapala batu, sehingga suda tentu pada hari ini jang aku tida usa dapet malu begini rupa. Kau tau, aku punja lamaran suda di tolak dengen setjara getas sekali oleh Njonja Sian Kheng, sehingga sunggu bisa menjebelken hati......” saut ibunja. Barangkali djikalu ia mendenger suara bom meledak atawapun guntur menjamber di depan ia punja mata, Tjoan Hin aken tida mendjadi begitu kaget dari pada sesudanja ia mendenger perkatahannja ia punja ibu. Perkatahan itu maskipun pendek, aken tetapi sama djuga putusannja satu Hakim atas dirinja satu persakitan. Dan „vonnis” jang di utjapken itu adalah berarti „vonnis” mati...... Mendadak kepalanja di rasaken pujeng, segala apa jang terliat di sekulilingnja ada terputer. Dengen mendadak satu suara, Tjoan Hin sempojongan dan rubu. Hal mana telah membikin ibunja mendjadi sanget berkuatir, dengen ripu ia lalu ambil djahe dan minjak kaju puti jang lalu di borehken di badannja ia punja putra...... „Ach...... Tjoan Hin, kenapa bolenja kau mendjadi begini? Apatah kau tida kesian sama ibumu??” sesambat entjim Tjiam dengen hati jang di rasaken sanget pilu.

Lama djuga baru Tjoan Hin bisa inget kombali. Ia lalu melekin matanja: „Tida...... ibu, aku tida kenapa-napa. Tjuma sadja hatiku ada di rasaken sanget sakit sekali waktu mendenger kau punja perkatahan tadi......”

Kemudian dengen pelahan Tjoan Hin lalu masuk kedalem ia punja kamar dan banting dirinja di atas pembaringan dengen pikiran kusut. Njonja Tjiam lalu masuk kedalem kamar itu, dan lalu berkata pada itu putra jang pata hati: „Aku bilang djuga apa, Hin, buat apatah kau kandung itu niatan kosong jang tida ada artinja. Aku toch suda bilang jang kita punja kedudukan di bandingken dengen ajahnja itu gadis jang hartawan ada sebagi djuga minjak dan aer. Ingetlah jang Dunia ini ada bukannja sedaon kelor seperti pepata ada bilang, aku nanti tjariken laen gadis lagi jang terlebi tjantik buat kau punja pasangan. Sebetulnja hatiku ada sanget penudju sekali dengen si Hong, tetapi kau......” „Ach...... sudalah ibu,” memutusken Tjoan Hin, aku harep ibu tida mendjadi ketjil hati, aku mau bersumpa di hadepanmu ibu, kalu sadja aku tida bisa dapetken Lena buat mendjadi istriku, aku tida mau menika baek pada siapa djuga.”

Njonja Tjiam lalu menarik napas, kemudian dengen pelahan ia lalu keluar kombali dari itu kamar, tinggalken Tjoan Hin jang melampiasken ia punja hati jang pepet sendirian.

VI

S EDARI mendapet itu pukulan pertama bagi orang jang menjinta, Dunia jang rame ini di rasaken sepi adanja. Demikian pula dengen halnja Tjoan Hin, ia rasaken hatinja ada sanget kosong, serta sama djuga orang jang tida ada mempunjain sumanget...... Seringkali ia duduk terpekur, serta lajangken pikirannja. Ach...... Lena, sunggu tida di njana sekali jang kita punja perhubungan musti berachir begini rupa.....

Itu waktu djuga pikirannja Tjoan Hin lagi sedengnja bergulet keras, ia rasa tida bisa tinggal lama lagi dalem kota Djakarta jaag besar, kerna hatinja suda „dingin” dan „mati” buat ketjantikannja laen-laen gadis. Begitulah sesudanja tetepken ia punja pikiran. Pada suatu sore, Tjoan Hin lalu utaraken ia punja pengrasahan hati pada ia punja ibu, bahua ia hendak pergi mengumbara ke Surabaja, di mana ia hendak mentjari penghiburan pada ia punja sobat jang paling kekel jaitu Hian Seng jang suda balik pulang ke Surabaja berhubung dengen urusan familie, pada bebrapa bulan berselang, sedeng ia punja ibu di minta suka tinggal dulu buat sementara waktu pada ia punja le di Bogor. Maskipun Njonja Tjiam melarang keras, tetapi niatannja Tjoan Hin ada begitu tetep dan tida bisa di roba kombali. Pada Hian Seng ia lalu menulis surat tentang ia punja kedatengan. Sesudanja mengatur segala perkara dengen beres, pada suatu hari Tjoan Hin lalu tinggalken kota Djakarta.

Sekarang marilah kita meliat pada Lena, itu gadis jang bersengsara kerna pengarunja Amor. Pada waktu belakangan ini, gadis itu banjak kali liwatken temponja dalem kedukahan. Semuanja ia punja kegumbirahan suda mendjadi linjap seanteronja. Ia punja paras ada putjet, badannja rongsok, serta ia punja senjuman-senjuman jang manis, tida lagi tertampak di atas ia punja paras muka. Sesunggunja djuga Lena itu harus di kesianin, satu gadis sutji jang masih belon kenal uwetannja Dunia dan Tjinta jang besar... Kutika ia di paksa menika dengen Tjong Bian, dengen nekat itu gadis lalu tenggak satu flesch Aspirin tablet...... Kalu sadja Doktor tida pande membriken pertulungan, pasti sekali djiwanja Lena suda melajang. Oleh kerna keadahannja ada serba sala, Sian Kheng tida bisa berbuat suatu apa, melainken serahken Loan Nio buat mendjadi istrinja Tjong Bian......

Dunia terputer terus. Hari mendjadi bulan dan setrusnja, sampe achirnja Nasib manusia djuga ikut beroba. Sian Kheng punja perusahan djato failiet, sedeng Tjong Bian ternjata ada satu orang jang beradat pembosenan, sesudanja menika dengen Loan Nio, tabeatnja itu hartawan mendjadi „gila” kombali. Achirnja ia depak istrinja. Sian Kheng kerna mendapetken itu pukulan heibat dalem Penghidupannja tida bisa hidup. pandjang. Ia meninggal dunia dalem kemiskinan.

Itu familie jang tadinja hartawan sekarang terpaksa pinda di satu ruma ketjil jang sederhana, sedeng Loan Nio sekarang musti berkerdja mendjadi pelajan dalem satu Ruma Makan di Kramat...... Lena tetep pertahanken ia punja kesutjian diri, ia tida mau menika, kerna ia punja suara hati seolah-olah membisikin kepadanja, jg pada suatu waktu ia musti berdjumpa kombali dengen Tjoan Hin, jang di tjinta.

Di Surabaja Tjoan Hin telah mendjadi beruntung. Ia punja hati jang luka, plahan² mulain sembu. Atas pertulungannja Hian Seng ia telah mendapet kedudukan di satu Firma Tionghoa dengen gadji jang bagus djuga. Oleh kerna ia punja keradjinan, achirnja ia telah di angkat mendjadi kuasa dari firma tersebut.

Dua tahon telah berselang.

Pada suatu hari hatinja sanget keras sekali buat dateng di Djakarta kerna parasnja Tien Nio ada berbajang sadja di hadepannja ia punja mata. Ia seperti meliat jang gadis itu ada terantjem satu bahaja jang ia sendiri tida dapet mengarti, tetapi ia punja firasat tetepken itu. Sesudanja minta permisi buat verlof dari ia punja madjikan, ia lalu dateng di Djakarta dalem saat jang betul. Pada waktu itu Tien Nio lagi terserang penjakit djantung. Oleh kerna menanggung kesel kerna setiap hari musti berkerdja keras buat marika punja penghidupan, achirnja badannja ini gadis jang lemah tida sanggup menahan lagi. Di Djakarta Tjoan Hin mendapet denger tentang hal ichwalnja ini familie jang bertjilaka, ia lantes kundjungin pada Lena...... „Oh...... engko Tjoan Hin,” kata Lena sambil menangis sesunggunja. Itulah ada perkatahan jang Lena bisa utjapken. Tjoan Hin lalu peluk itu tubu jang kurus, serta membri satu tjiuman di djidatnja itu gadis jang bertjilaka. Aer matanja turun membasaken ia punja pipi.

Dalem satu bulan, Lena suda mendjadi istrinja Tjoan Hin, siapa lalu adjak ia punja istri dan ibu pinda ke itu kota besar di Djawa Timur. „Kalu Djodo Masa Kemana”. Harta lawan Tjinta.........

— T A M A T. —

TUNGGU TERBITNJA:

Bidadari Binal
Oleh: Njoo Cheong-seng.

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)