Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Cipta Kerja/Batang Tubuh
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Mengingat: |
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: | UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA. |
BAB I
KETENTUAN UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
|
Pasal 3
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
|
Pasal 4
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:
|
Pasal 5
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. |
BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA
BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
|
Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Paragraf 1
Umum
Pasal 7
|
(6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
|
Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah
Pasal 8
|
Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah
Pasal 9
|
sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. |
Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi
Pasal 10
|
Paragraf 5
Pengawasan
Pasal 11
Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha. |
Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 13
Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
|
Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Pasal 14
|
Pasal 15
|
|
Pasal 16
Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
Pasal 17
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah sebagai berikut:
|
|
Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan
Pasal 21
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). |
Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi
Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 26
Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
|
Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan
Pasal 27
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut:
|
yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
|
Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu
Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 76
Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah, Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: |
Pasal 22
|
Paragraf 4
Perbankan Syariah
Pasal 79
Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
BAB IV
KETENAGAKERJAAN
BAB IV
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 80
Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
Bagian Kedua
Ketenagakerjaan
Bagian Kedua
Ketenagakerjaan
Pasal 81
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4279) diubah sebagai berikut:
Pasal 13
|
Pasal 14
|
|
|
Pemerintah.
ayat
(3)
diatur
dalam
Peraturan
22. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3)
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79 (1)
(2)
Pengusaha wajib memberi: a.
waktu istirahat; dan
b.
cuti.
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a.
istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3)
Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4)
Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 348
(6) Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/349 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/350 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/351 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/352 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/353 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/354 - pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
- pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
- pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
- pekerja/buruh meninggal dunia.
- Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Pasal 155 dihapus.
- Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156
- Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
-
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
- masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
|
|
- Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 188
|
- Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 190
|
- Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 191A
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
|
Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial
Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/360 (1) (2) (3) (4)
Pasal 46D Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah. Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 46E
(1) Sumber pendanaan berasal dari:
jaminan
kehilangan
pekerjaan
a. modal awal pemerintah; b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau c.
dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pasal 83
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5256) diubah sebagai
berikut:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
2.
a.
jaminan kecelakaan kerja;
b.
jaminan hari tua;
c.
jaminan pensiun;
d.
jaminan kematian; dan
e.
jaminan kehilangan pekerjaan.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
361
|
Bagian Kelima
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Bagian Kelima
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Pasal 84
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6141) diubah sebagai berikut:
|
|
BAB V
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
BAB V
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 85
Untuk memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, Undang-Undang ini |
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
Bagian Kedua
Koperasi
Bagian Kedua
Koperasi
Pasal 86
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) diubah sebagai berikut:
|
Bagian Ketiga
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Bagian Ketiga
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 87
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah sebagai berikut:
|
Bagian Keempat
Basis Data Tunggal
Bagian Keempat
Basis Data Tunggal
Pasal 88
|
Bagian Kelima
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil
Bagian Kelima
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil
Pasal 89
|
|
Bagian Keenam
Kemitraan
Bagian Keenam
Kemitraan
Pasal 90
|
guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
|
Bagian Ketujuh
Kemudahan Perizinan Berusaha
Bagian Ketujuh
Kemudahan Perizinan Berusaha
Pasal 91
|
Bagian Kedelapan
Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal
Bagian Kedelapan
Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal
Pasal 92
|
Pasal 93
Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. |
Pasal 94
|
Bagian Kesembilan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan keuangan dan Inkubasi
Bagian Kesembilan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan keuangan dan Inkubasi
Pasal 95
|
Pasal 96
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil. |
Pasal 97
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 98
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaataan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil. |
Pasal 99
Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat. |
Pasal 100
Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 bertujuan untuk:
|
Pasal 101
Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi:
|
Pasal 102
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pedampingan untuk meningkatkan kapasitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu mengakses:
|
|
Bagian Kesepuluh
Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik
Bagian Kesepuluh
Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik
Pasal 103
Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53A
|
Pasal 104
|
|
BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA
BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 105
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
|
Bagian Kedua
Keimigrasian
Bagian Kedua
Keimigrasian
Pasal 106
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik |
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal; dan c.
Warga dari suatu negara yang secara resiprokal memberikan pembebasan penjaminan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6)
Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjamin selama berada di Wilayah Indonesia.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan keimigrasian bagi Orang Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1)
(2)
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib: a.
memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau
b.
menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Paten
Bagian Ketiga
Paten
Pasal 107
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1)
Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
(2)
Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, 383 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/384 dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali. 5. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 123
|
6. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 124
|
Bagian Keempat
Merek
Bagian Keempat
Merek
Pasal 108
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:
|
|
Bagian Kelima
Perseroan Terbatas
Bagian Kelima
Perseroan Terbatas
Pasal 109
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah sebagai berikut:
|
Pasal 153I
|
Pasal 153J
|
Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan
Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan
Pasal 110
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
Bagian Ketujuh
Perpajakan
Bagian Ketujuh
Perpajakan
Pasal 111
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia |
Pasal 159A
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara:
|
Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Pasal 115
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah sebagai berikut:
|
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1)Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A (1)Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa: a. penghentian sementara kegiatan; b. pembekuan Perizinan Berusaha; c. denda administratif; d. paksaan pemerintah; dan/atau e. pencabutan Perizinan Berusaha. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan
Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan
Pasal 116
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa
Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa
Pasal 117
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah sebagai berikut:
|
Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 118
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha
menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan
laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dianggap menerima putusan Komisi.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik untuk melakukan penyidikan.
2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keberatan tersebut.
(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14
(empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan
Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1)
Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan 434
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
|
|
BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI
BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI
Pasal 119
Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, Undang-Undang ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan
|
Pasal 120
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah menjadi sebagai berikut:
|
|
Pasal 121
Ketentuan Pasal 48 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
|
BAB VIII
PENGADAAN TANAH
BAB VIII
PENGADAAN TANAH
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 122
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 123
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor |
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/438 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/439 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/440 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/441 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/442 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/443 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/444 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/445 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/446 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/447 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/448 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/449
Paragraf 4
Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pasal 146
|
Pasal 147
Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik. |
BAB IX
KAWASAN EKONOMI
BAB IX
KAWASAN EKONOMI
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 148
Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
Paragraf 3
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Pasal 153
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat
Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat
Paragraf 1
Umum
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/466 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/467 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/468 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/469 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/470 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/471 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/472 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/473 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/474
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
|
BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA
BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 174
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden. |
Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan
Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan
Pasal 175
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:
|
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/476 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/477 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/478 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/479 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/480 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/481 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/482 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/483
|
BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 177
|
Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha. (5)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. peringatan; b. penghentian sementara kegiatan berusaha; c. pengenaan denda administratif; d. pengenaan daya paksa polisional; e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau f.
pencabutan Perizinan Berusaha.
(6)
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 178
Setiap pemegang Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (5), pemegang Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya. Pasal 179 (1)
Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan.
(2)
Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 180
|
Pasal 181
|
Pasal 182
Dalam rangka pembentukan Peraturan Pemerintah, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:
|
Pasal 183
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada:
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. |
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 184
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 185
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
Pasal 186
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta pada tanggal Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Cipta Kerja di atas beserta penjelasannya telah mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna ke-7 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
WAKIL KETUA, AZIS SYAMSUDDIN |